Archive for January 2015
Di Balik Tangis (2)
"Kamu kenapa?" tanya bapak saat aku duduk di bangku merah yang selalu ada di depan kamar bapak.
Aku hanya diam. merunduk, menyembunyikan wajah di balik kedua kakiku yang terlipat di atas bangku.
"Kenapa jadi sering nangis?" bapak kembali bertanya. Posisi bapak masih sama. Duduk di teras, menghadap jalanan atau sambil menatap langit malam.
Aku tidak menjawab. Aku hanya bisa terus menangis.
Teringat lagi olehku saat kemarin, ketika aku datang menghampiri bapak yang baru saja selesai shalat maghrib dan meminta bapak untuk memijat kepalaku yang sakit. Sebenarnya bukan kepalaku yang sakit, melainkan diriku yang sakit. Lebih tepatnya tersakiti.
"Kamu pusing karena sakit atau karena mikirin sesuatu?" bapak bertanya kepadaku yang semakin mengucurkan airmata kala bapak menyentuh kepalaku yang sakit.
Lalu aku menyerbu bapak dengan pelukan, memendamkan wajahku dalam pangkuannya. Aku menangis dalam pangkuan bapak.
Kala itu ingin sekali aku tumpahkan semua sakit yang aku rasakan kepada bapak. Tapi seperi sebelum-sebelumnya, selalu saja tidak bisa. Aku hanya bisa diam dan memendam segala sakit ini sendirian.
Saat sedih seperti ini, yang aku inginkan biasanya hanya kesendirian. Tapi kali ini berbeda. Kali ini aku selalu ingin dekat dengan bapak. Aku ingin bertanya banyak kepada bapak. Aku ingin bertanya banyak hal kepadanya sebagai seorang lelaki, bukan sebagai bapakku sendiri.
Sama seperti malam ini ketika aku diam-diam ke lantai atas setelah memastikan hanya ada bapak di lantai atas. Aku ingin menangis di sini hingga sakitku sedikit berkurang.
"Bapak bingung lihat kamu nangis terus di sini," kata bapak setelah tidak menerima jawaban apapun dariku.
Aku masih terus menangis smabil menjawab, "Nggak apa-apa. Gak usah mikirin aku, Pak!"
"Orang tua selalu mikirin anaknya," jawab bapak sambil menoleh, melihatku yang terus merunduk.
"Pak..., bapak selalu nyuruh aku baik ke orang. Bapak selalu nyuruh aku jaga sikap dan lisan. Aku sudah berusaha untuk itu semua. Termasuk menjaga apa yang aku rasakan sejauh ini. Aku selalu diam dan menjaga sikap untuk menjaga kehormatan, harga diri, dan menjaga bapak sebagai orang tua. Tapi kenapa yang aku dapat malah seperti ini, Pak? Kenapa apa yang sudah aku jaga justru seperti telah dilecehkan, diejek, diremehkan, bahkan ditertawakan. Pak..., bapak selalu tunjukkan kepadaku kalau lelaki tidak pernah boleh bersikap kasar kepada perempuan, tidak boleh menyakiti perempuan, baik itu dengan sengaja ataupun tidak. Bapak selalu tunjukkan itu kepadaku dengan sikap bapak selama ini yang tidak pernah memukul, berbicara kasar, bahkan menatap dengan menyeramkan ke perempuan di rumah ini. Bapak tunjukkan bahwa perempuan pada kodratnya adalah diperlakukan dengan lembut, apapun kondisinya. Tapi yang aku rasakan saat ini tidak. Yang aku rasakan saat ini adalah sebaliknya. Entah dengan sengaja atau tidak sengaja, Aku telah tersakiti, aku tersakiti dengan lembut sekali sampai aku tidak baru menyadari saat luka itu sudah sangat dalam dibuatnya. Bapak, apa yang aku lakukan dengan semua ini?" aku bergumam dalam hati. Meluncurkan segala geram dan sakit yang menggumpal. Tapi tak pernah benar-benar dapat aku sampaikan dengan lisan.
Aku diam.
"Kamu nangis karena mikirin apa? Bukan karena kuliah kan?" bapak membuka suara, "Biarlah orang lain bersikap seperti apa ke kamu. Tapi ingat, kamu tidak boleh seperti orang itu. Tetap berbuat baik ya!" kata bapak, seolah tahu bahwa aku disakiti.
Aku hanya diam. merunduk, menyembunyikan wajah di balik kedua kakiku yang terlipat di atas bangku.
"Kenapa jadi sering nangis?" bapak kembali bertanya. Posisi bapak masih sama. Duduk di teras, menghadap jalanan atau sambil menatap langit malam.
Aku tidak menjawab. Aku hanya bisa terus menangis.
Teringat lagi olehku saat kemarin, ketika aku datang menghampiri bapak yang baru saja selesai shalat maghrib dan meminta bapak untuk memijat kepalaku yang sakit. Sebenarnya bukan kepalaku yang sakit, melainkan diriku yang sakit. Lebih tepatnya tersakiti.
"Kamu pusing karena sakit atau karena mikirin sesuatu?" bapak bertanya kepadaku yang semakin mengucurkan airmata kala bapak menyentuh kepalaku yang sakit.
Lalu aku menyerbu bapak dengan pelukan, memendamkan wajahku dalam pangkuannya. Aku menangis dalam pangkuan bapak.
Kala itu ingin sekali aku tumpahkan semua sakit yang aku rasakan kepada bapak. Tapi seperi sebelum-sebelumnya, selalu saja tidak bisa. Aku hanya bisa diam dan memendam segala sakit ini sendirian.
Saat sedih seperti ini, yang aku inginkan biasanya hanya kesendirian. Tapi kali ini berbeda. Kali ini aku selalu ingin dekat dengan bapak. Aku ingin bertanya banyak kepada bapak. Aku ingin bertanya banyak hal kepadanya sebagai seorang lelaki, bukan sebagai bapakku sendiri.
Sama seperti malam ini ketika aku diam-diam ke lantai atas setelah memastikan hanya ada bapak di lantai atas. Aku ingin menangis di sini hingga sakitku sedikit berkurang.
***
"Bapak bingung lihat kamu nangis terus di sini," kata bapak setelah tidak menerima jawaban apapun dariku.
Aku masih terus menangis smabil menjawab, "Nggak apa-apa. Gak usah mikirin aku, Pak!"
"Orang tua selalu mikirin anaknya," jawab bapak sambil menoleh, melihatku yang terus merunduk.
"Pak..., bapak selalu nyuruh aku baik ke orang. Bapak selalu nyuruh aku jaga sikap dan lisan. Aku sudah berusaha untuk itu semua. Termasuk menjaga apa yang aku rasakan sejauh ini. Aku selalu diam dan menjaga sikap untuk menjaga kehormatan, harga diri, dan menjaga bapak sebagai orang tua. Tapi kenapa yang aku dapat malah seperti ini, Pak? Kenapa apa yang sudah aku jaga justru seperti telah dilecehkan, diejek, diremehkan, bahkan ditertawakan. Pak..., bapak selalu tunjukkan kepadaku kalau lelaki tidak pernah boleh bersikap kasar kepada perempuan, tidak boleh menyakiti perempuan, baik itu dengan sengaja ataupun tidak. Bapak selalu tunjukkan itu kepadaku dengan sikap bapak selama ini yang tidak pernah memukul, berbicara kasar, bahkan menatap dengan menyeramkan ke perempuan di rumah ini. Bapak tunjukkan bahwa perempuan pada kodratnya adalah diperlakukan dengan lembut, apapun kondisinya. Tapi yang aku rasakan saat ini tidak. Yang aku rasakan saat ini adalah sebaliknya. Entah dengan sengaja atau tidak sengaja, Aku telah tersakiti, aku tersakiti dengan lembut sekali sampai aku tidak baru menyadari saat luka itu sudah sangat dalam dibuatnya. Bapak, apa yang aku lakukan dengan semua ini?" aku bergumam dalam hati. Meluncurkan segala geram dan sakit yang menggumpal. Tapi tak pernah benar-benar dapat aku sampaikan dengan lisan.
Aku diam.
"Kamu nangis karena mikirin apa? Bukan karena kuliah kan?" bapak membuka suara, "Biarlah orang lain bersikap seperti apa ke kamu. Tapi ingat, kamu tidak boleh seperti orang itu. Tetap berbuat baik ya!" kata bapak, seolah tahu bahwa aku disakiti.
Di Balik Tangis
Beberapa menit setelah azan maghrib berkumandang, kereta yang aku naiki baru saja tiba di stasiun Tanah Abang. Rintik hujan menyambut kedatangan kami, penumpang kereta yang baru saja turun. Aku membentangkan payung biru sebelum menyatukan diri dengan kerumunan orang di jalanan.
Aku berjalan perlahan dengan pikiran yang melayang, teori-teori yang perlu direvisi untuk tugas akhir. Aku harus segera selesaikan tugas akhir ini. Kataku pada diriku sendiri. Lalu muncul beberapa.kalimat serta wajah-wajah yang membuat dadaku seketika sesak. Perlahan, tanpa kusadari, airmataku sudah mengalir.
Airmata ini terus mengalir, pelan-pelan. Beberapa meter mendekati rumah, aku menahan airmataku. Aku memasuki rumah dengan salam, menyapa keponakan dan kakak yang sedang duduk di ruang keluarga. Emak dan Bapak tak tampak, keduanya masih di kamar.
Aku melepas lelah dengan langsung menunaikan shalat maghrib di kamar. Selama shalat, airmataku terus mengalir. Tak sanggup kutahan barang setetes pun. Bahkan hingga baris-baris doa kusampaikan dengan lirih.
Beberapa menit kemudian, saat aku sudah berganti pakaian dan Emak sudah turun dari kamar atas, aku beranjak ke atas. "Udah pulang? Kok nangis?" tanya Emak di dapur.
"Lis capek," jawabku singkat lalu berlari melintasi anak-anak tangga.
Aku duduk di bangku merah yang ada di depan kamar bapak, menunggu bapak keluar sambil tetap menangis. Beberapa menit kemudian bapak keluar.
"Baru pulang?" tanyanya.
"Iye," jawabku sambil menunduk.
"Udah shalat?" bapak bertanya lagi.
"Udah," aku menjawab dengan suara serak dan airmata masih mengalir.
"Kok nangis?" tanya bapak.
"Pusing," airmataku semakin deras. Tangisku semakin menjadi.
"Minum obat!" seru bapak sambil melangkah ke teras dan duduk di dekat pintu.
Aku menaikkan kakiku ke atas bangku. Melipat kaki dan membenamkan wajahku di antaranya. Aku tetap menangis hingga beberapa lama.
"Kamu kenapa?" bapak bertanya.
Aku sakit, Pak. Hatikusakit sekali. Ingin aku menyahut dan mengatakan kalimat itu. Aku malah menghampiri bapak dengan airmata yang terus mengalir. Aku duduk tepat di depan Bapak.
"Pak, kepala Lis sakit banget. Tolong pijetin!" kataku. Aku tak bisa melihat wajah bapak dengan jelas karena mataku penuh dengan airmata.
Tangan bapak memijat sisi kanan kiri kepalaku, tepat di samping mata. Saat jari-jari bapak memijat kepalaku, airmataku justru semakin deras mengalir.
"Pak, Lis sakit. Anakmu ini tersakiti. Pak, bagaimana bisa orang yang seharusnya melindungi dan bersikap lembut pada wanita justru malah menyakiti dan bersikap buruk pada wanita? Bapak, anakmu diperlakukan buruk. Lebih dari keburukan. Lebih dari kejahatan. Bapak..., Lis gak kuat!" aku berseru dalam hati. Melontarkan kalimat yang ingin aku sampaikan pada Bapak, tapi tak sanggup aku ucapkan.
Semakin lembut bapak bersikap padaku malam ini dengan memijat kepalaku, entah mengapa aku semakin mengingat kejahatan itu. Kemudian hatiku semakin sakit. Lebih sakit dari sebelumnya.
"Kamu pusing karena sakit atau karena mikirin sesuatu?" tetiba bapak bertanya masih sambil memijat kepalaku.
Aku terhenyak. Aku langsung merunduk. Membenamkan wajah di pangkuan bapak. Aku menangis di pangkuan bapak.
Aku berjalan perlahan dengan pikiran yang melayang, teori-teori yang perlu direvisi untuk tugas akhir. Aku harus segera selesaikan tugas akhir ini. Kataku pada diriku sendiri. Lalu muncul beberapa.kalimat serta wajah-wajah yang membuat dadaku seketika sesak. Perlahan, tanpa kusadari, airmataku sudah mengalir.
Airmata ini terus mengalir, pelan-pelan. Beberapa meter mendekati rumah, aku menahan airmataku. Aku memasuki rumah dengan salam, menyapa keponakan dan kakak yang sedang duduk di ruang keluarga. Emak dan Bapak tak tampak, keduanya masih di kamar.
Aku melepas lelah dengan langsung menunaikan shalat maghrib di kamar. Selama shalat, airmataku terus mengalir. Tak sanggup kutahan barang setetes pun. Bahkan hingga baris-baris doa kusampaikan dengan lirih.
Beberapa menit kemudian, saat aku sudah berganti pakaian dan Emak sudah turun dari kamar atas, aku beranjak ke atas. "Udah pulang? Kok nangis?" tanya Emak di dapur.
"Lis capek," jawabku singkat lalu berlari melintasi anak-anak tangga.
Aku duduk di bangku merah yang ada di depan kamar bapak, menunggu bapak keluar sambil tetap menangis. Beberapa menit kemudian bapak keluar.
"Baru pulang?" tanyanya.
"Iye," jawabku sambil menunduk.
"Udah shalat?" bapak bertanya lagi.
"Udah," aku menjawab dengan suara serak dan airmata masih mengalir.
"Kok nangis?" tanya bapak.
"Pusing," airmataku semakin deras. Tangisku semakin menjadi.
"Minum obat!" seru bapak sambil melangkah ke teras dan duduk di dekat pintu.
Aku menaikkan kakiku ke atas bangku. Melipat kaki dan membenamkan wajahku di antaranya. Aku tetap menangis hingga beberapa lama.
"Kamu kenapa?" bapak bertanya.
Aku sakit, Pak. Hatikusakit sekali. Ingin aku menyahut dan mengatakan kalimat itu. Aku malah menghampiri bapak dengan airmata yang terus mengalir. Aku duduk tepat di depan Bapak.
"Pak, kepala Lis sakit banget. Tolong pijetin!" kataku. Aku tak bisa melihat wajah bapak dengan jelas karena mataku penuh dengan airmata.
Tangan bapak memijat sisi kanan kiri kepalaku, tepat di samping mata. Saat jari-jari bapak memijat kepalaku, airmataku justru semakin deras mengalir.
"Pak, Lis sakit. Anakmu ini tersakiti. Pak, bagaimana bisa orang yang seharusnya melindungi dan bersikap lembut pada wanita justru malah menyakiti dan bersikap buruk pada wanita? Bapak, anakmu diperlakukan buruk. Lebih dari keburukan. Lebih dari kejahatan. Bapak..., Lis gak kuat!" aku berseru dalam hati. Melontarkan kalimat yang ingin aku sampaikan pada Bapak, tapi tak sanggup aku ucapkan.
Semakin lembut bapak bersikap padaku malam ini dengan memijat kepalaku, entah mengapa aku semakin mengingat kejahatan itu. Kemudian hatiku semakin sakit. Lebih sakit dari sebelumnya.
"Kamu pusing karena sakit atau karena mikirin sesuatu?" tetiba bapak bertanya masih sambil memijat kepalaku.
Aku terhenyak. Aku langsung merunduk. Membenamkan wajah di pangkuan bapak. Aku menangis di pangkuan bapak.
Hi, 2015!
Sudah matahari keenam di tahun 2015. Tak pernah disangka aku
bisa menghirup udara, menatap mentari, dan memandang langit 2015 yang meskipun
sama seperti tahun-tahun sebelumnya, tapi mereka membawa dan menemani cerita
yang berbeda. Apalagi semalam, saat purnama pertama tahun ini datang, seperti
sebuah keajaiban di musim hujan Ibu Kota. Semalam, untuk pertama kalinya
melihat purnama tahun ini, aku bisa melihat banyak bintang berkedip di langit
Jakarta yang lebih cerah dari malam-malam sebelumnya.
Begitu banyak hal yang ingin aku lakukan di tahun ini,
banyak impian, banyak harapan, dan juga doa. Sama seperti tahun lalu yang
berjalan dengan banyak impian dan doa
yang panjang.
Terima kasih untuk Allah yang selalu berbaik hati kepadaku,
karena sudah memberikanku kesempatan untuk lagi dan lagi terbnagun dari tidur
dan bergerak untuk mewujudkan impianku satu satu. Terima kasih untuk Allah Maha
Kasih yang sudah mengirimkan cita dan cinta dan membuatku melihat banyak hal di
sekelilingku. Terima kasih atas banyak petualangan di tahun lalu, itu semua
membuatku lebih beruntung dari siapapun dan aku bersyukur karenanya.
Dua nol satu lima. Tahun ganjil yang kudengar dari banyak
orang adalah tahun di mana segala urusan menjadi mudah dan di tahun itulah kita
harus berusaha mewujudkan banyak impian kita. Tapi bagiku, semua hari-hariku
akan jadi sangat mudah dan berarti karena ada diri-Mu.
Januari. Di bulan pertama tahun ini aku hanya ingin
melanjutkan proses kelulusanku. Di bulan pertama tahun ini aku harus Seminar
Hasil Penelitian dan Sidang Skripsi. Mohon lancarkan urusanku yang satu ini,
Allah!
Februari. Bulan kedua yang pada beberapa kisah yang pernah
kubaca diyakini pada Februari ratusan tahun lalu Pangeran Valentino meninggal dan kematiannya
menjadikan bulan Februari sebagai bulan cinta kasih. Di bulan kedua ini, di
bulan kelahiranku ini, aku ingin pergi ke salah satu Panti Asuhan di sekitar
Jakarta, ingin berbagi kebahagiaan dengan mereka. Di bulan kedua ini pula aku
ingin mengikuti tes TOEFL dan melakukan pemberkasan untuk kelulusan.
Maret. Bulan ketiga yang setiap mendengar namanya muncullah
alunan musik March dari Remioromen yang bercerita tentang musim semi yang dinanti. Maka tidak berbeda dengan itu,
aku ingin bulan ketiga di tahun ini benar-benar menjadi musim semi bagiku. Semoga
di bulan ketiga tahun ini aku wisuda dan resmi menjadi sarjana pendidikan
khusus bidang anak dengan autisme. Kelulusanku juga akan menjadi kado terindah
yang akan persembahkan pada Bapak yang berulang tahun pada Maret ini. Pada Maret ini pula aku ingin merayakan
kelulusanku dengan mendaki Gunung Arjuna, Malang. Bismillah! Semoga Allah
mengizinkan dan melancarkan prosesnya!
April. Bulan keempat yang selalu aku sebut bulan biru. Kenapa?
Karena April adalah bulan untuk anak-anak dengan autisme yang karakternya
seperti warna biru, begitu banyak gradasi biru yang membuat setiap anak autisme
tidak memiliki kesamaan kasus atau ciri dengan anak autisme lainnya. Pada bulan
ini aku ingin mendaki gunung lagi. Entah gunung apa. Mungkin gunung itu lagi
itu lagi. Ya, meskipun aku sudah mengantungi tiket ke Makassar pada akhir April
untuk mendaki Latimojong. Tapi entah jadi atau tidak. We’ll see! Pada April ini
aku bertekad harus sudah diterima di salah satu Sekolah Alam atau Komunitas
Homeschooling di Jakarta untuk menangani anak dengan autisme. Ya, bismillah! Insya
Allah bisa!
Mei. Bulan kelima tahun ini yang saat menuliskan namanya
terngiang revolusi Indonesia. Pada bulan kelima ini aku ingin mendaki gunung
Ciremai, gunung yang pernah kudaki dan membuatku menyimpan trauma pada angin.
Di bulan ini pula aku ingin mulai menabung untuk memulai usaha Nasi Bebek
Surabaya yang sudah aku rencanakan sejak tahun lalu.
Juni. Bulan keenam sekaligus bulan awal tahun ajaran baru. Pada
Juni ini aku akan merasakan pengalaman baru menjadi guru di tempat yang baru. Berharap
saat bekerja aku sudah tidak ketergantungan dengan angkutan umum lagi. Ya,
semoga bisa membawa kendaraan pribadi saat bekerja. Oh iya, Juni ini aku ingin
mengajak anak-anak mendaki gunung Papandayan. Semoga bisa! Amin!
Juli. Bulan ketujuh sekaligus Ramadhan di tahun ini. Aku
hanya ingin satu hal. Aku ingin berbagi lagi, menjalankan projek sosial lagi
seperti yang sudah dilakukan tahun lalu bersama teman-teman baru! Tapi Ramadhan
tahun ini aku ingin lebih banyak di rumah, ingin lebih banyak bersama
Emak-Bapak.
Agustus. Bulan kedelapan dan bulan kemerdekaan untuk
Indonesia. Aku ingin merintis usaha Nasi Bebek Surabaya bersama Emak. Semoga bisa
menjadi awal yang baik!
September. Bulan kesembilan yang katanya bulan keceriaan. Tapi
yang aku tahu di bulan inilah hujan pertama turun untuk musim hujan selama enam
bulan ke depan. Pada September ini mungkin aku masih akan tetap bekerja sambil
mengurus Nasi Bebek bersama Emak. Tapi tidak lupa, bulan ini akan tetap naik
gunung. Ya mungkin gunung yang dekat-dekat dulu.
Oktober. Bulan kesepuluh yang menurutku adalah bulan penentu
cerita akhir tahun. Pada bulan ini aku ingin ke Karimunjawa. Semoga Allah
mengizinkan! Amin.
November. Bulan kesebelas tahun ini yang jika aku mendengar
dan mengingatnya maka yang ada di mataku adalah hujan. Ya, di bulan ini hujan
sudah mulai turun dengan konsisten. Mungkin ini juga alasan Guns and Roses
memilih kata hujan di belakang nama bulan ini sampai lagu itu menjadi lagu legendaris
music hard rock. Pada bulan ini aku
ingin mendaki gunung lagi, mungkin menengok Mandalawangi lagi.
Desember. Bagian terakhir dari kisah setiap tahun yang harus
menjadi bagian yang paling bagus di antara sebelumnya. Memasuki Desember ini
aku ingin ke Pulau Tegal, Lampung. Mungkin akan menghabiskan waktu libur
panjang di sana untuk mengajar anak-anak di pulau terpencil.
Dari sekian banyak keinginan yang tertulis di sini, ada satu
hal yang paling pertama ingin aku sampaikan pada Allah. Pada tahun ini aku
ingin lebih banyak tersenyum dan tidak banyak menangis seperti dua bulan
terakhir ini. Aku tidak ingin menangis di hampir setiap malamku. Maka aku
minta, dengan tangan-Mu, buat aku tersenyum. Tersenyum. Lalu tersenyum.