Archive for 2015

The Teacher's Journey (7): Mau Kemana Sehabis Lulus Kuliah?



Mau kemana sehabis lulus kuliah?

Itulah pertanyaan yang selalu kudengar dari banyak orang kepada setiap orang yang baru lulus kuliah. Kini, giliranku yang menerima pertanyaan itu dari orang-orang yang kutemui.

Tentang apa yang akan kulakukan selepas lulus kuliah, sebenarnya sudah aku bicarakan dengan emak jauh sebelum aku lulus. Tapi lagi-lagi emak selalu saja bilang, “Semoga Allah ngasih jalan ya, Nak.”

Ada banyak arti yang terpendam dalam satu kalimat yang emak sampaikan. Salah satunya adalah sebuah haru yang emak simpan baik-baik.

Beberapa tahun ini, saat aku baru masuk kuliah di UNJ, usaha emak dan bapak memang mengalami kemunduran. Bisa dibilang penghasilan dari berdagang emak bapak menurun hingga 50% dari sebelumnya. Tapi Alhamdulillah, meskipun usaha emak bapak sedang turun, selama kuliah aku bisa mengandalkan uang beasiswa, menulis freelance, dan juga panggilan wawancara ke radio atau penelitian untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Yang membuatku khawatir adalah ketika aku lulus kuliah. Dengan berakhirnya pekuliahanku, itu artinya berakhir pula masa beasiswaku. Dan itu membuatku harus memutar otak untuk tidak menyusahkan emak bapak sebelum aku mendapatkan pekerjaan. Kadang aku mendiskusikan hal ini kepada emak bapak. Bukan hanya tentang pekerjaan, tetapi juga rencana-rencana jangka panjang yang ingin aku capai. Kami senang membicarakan rencana ini bersama-sama, meskipun di akhir percakapan emak selalu mengucapkan hal sama dan selalu membuat suasana menjadi haru.

“Kamu dari keluarga gak punya, tapi cita-cita kamu selalu tinggi. Semoga Allah ngasih jalan, Nak,” kata emak.

Jika emak sudah berkata seperti itu, aku selalu langsung beranjak pergi karena takut mengeluarkan airmata di depannya. Lalu dengan intonasi suara ceria yang dibuat-buat aku berkata, “Apaan ih emak. Gak usah terlalu dipikirin sih. Insya Allah bisa.”


***

Demi memuliakan emak bapak, selepas kuliah ini aku sudah mempunyai serangkaian rencana. Rencana pertamaku adalah pergi ke Pare, Kediri, untuk belajar bahasa Inggris. Aku berencana selama dua bulan di Pare untuk mempersiapkan IELTS dan meningkatkan kemampuan speaking-ku.

Sebelum berangkat ke Pare, aku mendaftar pekerjaan di Sekolah Alam atau Homeschooling yang sudah aku jadikan sasaran karierku. Semoga Allah melancarkan prosesnya hingga aku bisa diterima sebagai tutor di salah satu sekolah yang aku targetkan.

Sepulang dari Pare, aku berencana mengajar di Sekolah Alam atau Homeschooling tersebut. Masih sambil mengajar, aku berniat terus belajar bahasa Inggris. Mungkin di tempat kerja nanti aku bisa berbicara dan menulis menggunakan bahasa Inggris, ya hitung-hitung sambil melatih kemampuan bahasa Inggris-ku. Selain itu, mungkin di luar jam mengajar aku akan mengambil les bahasa Jepang.

Kenapa harus bahasa Inggris dan bahasa Jepang? Semua itu berhubungan dengan rencanaku selanjutnya. Paling lama tahun depan aku ingin mendaftar beasiswa LPDP untuk program magister. Berhubung major Special Needs Education di Indonesia hanya tersedia di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, maka aku pikir akan banyak kesempatan emas yang bisa aku ambil untuk memperoleh beasiswa Magister Special Needs Education di luar negeri. Untuk spesialisasi pendidikan anak dengan autisme, aku memiliki target untuk kuliah di Jepang di Kyoto University, Yokohama National University, atau minimal di Malaya University, Malaysia. Selepas lulus magister, aku ingin menjadi dosen di almamaterku, UNJ.

Itulah rencana jangka panjang yang sudah aku rancang demi emak dan bapak. Melihat kondisiku saat ini, memang semua terlihat impossible. Tapi aku punya Tuhan. Aku punya Allah yang selalu membantu hamba-Nya yang yakin atas janjinya. Aku punya Allah yang selalu Mengabulkan doa-doaku setiap kali aku meminta. Semoga Allah melancarkan segala urusanku yang berkaitan dengan impian-impianku. Semoga Allah Membantuku menunaikan setiap hajat yang kupunya. Semua ini untuk emak bapak. Untuk memuliakan keduanya di hadapan-Nya. Semoga Allah senantiasa Mengabulkan. Amin.


© Lisfatul Fatinah Munir
Orchid House, 13 April 2015
13 April 2015
Posted by Fatinah Munir

The Teacher's Journey (6): Mak, Aku Sarjana!

Sudah hampir dua puluh kali revisi untuk bab IV dan bab V tugas akhirku. Dosen pembimbingku pun mengizinkanku untuk maju mempresentasikan hasil penelitian. Aku pikir jalanku akan mulus-mulus saja jika aku sudah dinyatakan boleh maju mempresentasikan hasil penelitian, tapi nyatanya tidak. Huft!

Saat jadwal seminar hasil penelitian diumumnya, ternyata jadwalnya sangat lama. Masih sepuluh hari jaraknya sejak jadwal seminar diumumkan. Dosen pengujiku bilang kalau aku tidak akan bisa mengikuti jadwal wisuda semester ini jika aku mengikuti jadwal yang ada. Maka dosen pengujiku menyarankanku untuk meminta perubahan jadwal kepada dosen kepala penguji.

Nasib! Hari itu kepala penguji tidak ada di kampus begitu pun dengan tim pelaksana ujian. Bermodalkan nekad, aku menelpon dua dosen yang bertugas di tim pelaksanaan ujian akhir. Aku memita jadwal ujianku dimajukan dengan alasan seperti yang diberitahukan dosen pengujiku –agar aku bisa mengejar wisuda di semester tujuh.

Bersyukur Alhamdulillah, kedua dosen yang kuhubungi menerima permohonanku untuk ujian lebih awal, yakni hari Selasa depan. Tepatnya tiga hari lagi.

The day is comes!  Aku mempresentasikan hasil penelitianku tanpa kehadiran dosen pembimbing kedua. Hari itu beliau sedang kuliah di Bandung. Lagi-lagi beruntungnya aku bisa, tidak ada perbaikan berarti yang harus aku lakukan terhadap tugas akhirku. Insya Allah bisa aku selesaikan dalam waktu satu malam dan esok harinya bisa aku berikan kepada dosen penguji dan dosen pembimbingku. Tapi berita buruknya, pekan depan aku harus ikut sidang. Mau tidak mau, segalanya harus dilakukan lebih cepat dari sebelumnya. Oh. My. God!


Mak, Aku Sarjana!



Dengan segala peluh dan airmata –I’m really serious about this!, aku menyelesaikan tugas akhir dan bisa mengikuti sidang di waktu yang sangat mepet. Hingga pada tanggal 27 Februari 2015 aku dinyatakan lulus sebagai sarjana pendidikan. Tapi aku belum bisa bersantai-santai. Masih banyak berkas yang harus diurus sebelum waktu wisuda datang. Ahay! Kembali berpusing ria dengan berkas dan tanda tangan! :D

Alhamdulillah. Selasa, 24 Maret 2015. Aku bersama empat puluh teman sesame mahasiswa Pendidikan Luar Biasa akhirnya diwisuda di Jakarta International Expo, Kemayoran. Emak, Bapak, Ong, Nti, dan Naufal ikut datang. Teman-teman dekatku juga datang. Mengharukan sekaligus menyenangkan. Yang paling melegakan adalah aku akhirnya bisa membayar janjiku kepada emak untuk merampungkan kuliahku tiga setengah tahun saja.

Selanjutnya, saatnya bersiap memenuhi janjiku yang lainnya pada emak. Bersiap mencapai impian selanjutnya! Bismillah!

© Lisfatul Fatinah Munir

Orchid House, 12 April 2015
12 April 2015
Posted by Fatinah Munir

The Teacher's Journey (5): Mengejar Sarjana



Mei 2014

Ini adalah bulan terakhir perkuliahan. Alhamdulillah selama tiga tahun aku mengambil sks hingga full di setiap semsternya. Semester enam ini adalah semester terakhir perkuliahan di kelas, karena seluruh perkuliahan yang harus dituntaskan sebelum tugas akhir sudah diselesaikan.

“Semester depan itu semester terakhir kamu kan, Lis,” tanya emak. Um, lebih tepatnya emak memastikan aku lulus di semester tujuh seperti janjiku saat masuk UNJ.

“Insya Allah kalau skripsi Lis lancar. Doain aja, Mak,” jawabku.

“Emak bantu Cuma sampai semester depan loh. Selebihnya kalau kamu main-main, emak gak tanggung jawab,” lanjut emak memastikan aku benar-benar akan memenuhi janji.

Jadi sebenarnya sejak semester empat aku memperjuangkan biaya kuliahku sendiri. Beberapa beasiswa dari luar kampus aku kantungi untuk membayar  uang kuliah. Tapi sayangnya beasiswa tersebut turun setiap enam bulan sekali dengann waktu yang tidak bersamaan dengan tenggat waktu pembayaran kuliah. Mau tidak mau sebelum beasiswa turun, aku harus menabung. Jika uang tabunganku tidak cukup untuk membayar uang kuliah, aku akan meminjam uang kepada emak bapak untuk menutupi kekurangan biaya kuliahku. Ya, meskipun kenyataannya beberapa semester emak bilang kalau uang pinjamanku tidak usah dibayar.

Emak tidak hanya memastikan kelulusanku di semester tujuh kepadaku. Ternyata emak terlanjur excited dengan mengatakan kepada tetangga dan keluarga besar kami kalau aku akan lulus di semester tujuh.

Duh! Bagaimana ini. Aku belum mempunyai strategi untuk menyelesaikan kuliah yang tinggal satu semester lagi menurut perhitungan emak. Maka pada saat pemilihan dosen pembimbing, aku langsung menembak satu dosen yang aku pastikan dapat membimbingku agar dapat menyelesaikan penelitian dalam waktu satu semester.

Ibu Suprihatin atau yang lebih akrab dipanggil Ibu Key (dibaca Key, bukan Ki). Beliau dosen pengampu Pendidikan Anak dengan Autisme sekaligus dosen yang sangat aku kagumi sejak pertama kali perkuliahan bersama beliau. Dengan ketegasan yang beliau miliki, aku yakin beliau bisa membimbingku dan aku akan nyaman dengan beliau.

Alright! Dosen pembimbing satu sudah terpilih. Giliran menunggu pengumuman dosen pembimbing kedua yang ternyata jatuh pada Pak Budi Santoso. Beliau calon doktor di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung. Beliau dosen muda yang sangat cerdas dan bisa dibilang gaul. Yaa, cukup mengimbangi Bu Key –menurutku.

Penelitian aku lakukan nyaris bersamaan dengan program PKM (Pelaksanaan Kegiatan Mengajar) selama tiga bulan di SDN Kelapa Gading Timur 04 Pagi, Jakarta Utara. Murid yang aku ajar adalah subjek dalam penelitianku.

Awalnya prosesnya mudah. Tapi sayangnya, di  tengah penelitian aku harus menghadapi permasalahan tidak penting yang sialnya malah berpengaruh besar pada kelancaran proses penelitianku. Malam menulis dan mengolah data adalah imbasnya. Dan kemalasan itu berlangsung satu bulan. Selama sebulan aku tidak menyentuh penelitianku, pun tidak menghubungi dosenku. Arhg!

Saat teman-teman yang lainnya sudah mulai seminar hasil penelitian, aku malah baru mengonsultasikan data hasil penelitianku. Dampaknya, kedua dosenku memarahi dan sempat selama dua minggu tidak mempedulikanku. Hiks.

Tapi aku terus berusaha membujuk keduanya. Melakukan perbaikan sendiri  dengan mencoba membaca ulang hasil tulisanku yang membandingkannya dengan buku panduan penelitian. Hingga akhirnya, hasil tulisan tiga kali revisi hasil bimbingan sendiri, alias tanpa dosen pembimbing, aku serahkan kepada kedua dosen pembimbingku. Bersyukurnya aku, kedua dosen pembimbingku mau menerimanya. Sejak saat itu aku di-push habis-habisan untuk mengejar ketertinggalan. Semua  dilakukan serba cepat. Hari ini bimbingan, malam revisi, besok menyerahkan hasil revisi. Begitu seterusnya hampir satu bulan.

Meksipun aku sudah mengerahkan semua tenaga dan waktu, aku berpikir bahwa aku akan tetap tertinggal dari teman-teman lainnya. Seluruh teman yang penelitian bersamaku sudah melakukan sidang, sedangkan aku belum juga maju seminar hasil penelitian. O God, what should I say to my emak? Hiks.


© Lisfatul Fatinah Munir

Orchid House, 12 April 2015
Posted by Fatinah Munir

The Teacher's Journey (4): Membayar Janji



Hasil Ujian Masuk Bersama akan diumumkan. Aku masih mengikuti perkuliahan Farmasi. Hari itu aku memilih pulang ke rumah daripada ke asrama. Tepat sehabis maghrib aku tiba di rumah dan membuka website pengumuman. Aku memasukkan beberapa angka yang menjadi identitasku. Klik. Sebuah tulisan terpampang lebar.

Selamat Anda Lulus di Pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri Jakarta!

Aku senang bukan kepalang. Saat itu aku ke kamar emak bapak juga kakak untuk memberitahukan bahwa aku diterima di Pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri Jakarta. Seisi rumah ikut senang. Kini semuanya membantuku mempersiapkan kepindahanku ke UNJ.

“Kalau dari awal kamu ke UNJ aja, biaya masuk Farmasi bisa dipakai sampai kamu lulus dari UNJ kali ya, Nak?” kata emak kepadaku.

Saat itu aku langsung menangis, memegang tangan emak sambil memintaa maaf atas apa yang telah aku lakukan.

“Emak jangan bilang gitu dong. Lis berat ngejalaninnya nanti,” kataku.

“Nggak. Nggak apa-apa kok. Ya buat pelajaran aja jangan sampai begini lagi. Pilih yang Lis mau. Jangan terbawa omongan orang. Sekarang belajar yang benar di UNJ,” nasihat emak kepadaku.

Sambil mengurus pendaftaran ulang, kakak membantuku pindah dari asrama ke rumah. Aku memilih tinggal di rumah selama kuliah di UNJ. Meskipun harus ditempuh dengan dua kali naik angkutan umum, tetapi jarak UNJ dengan rumah cukup dekat. Hanya 45 sampai 60 menit. Jika macet, maksimal aku  membutuhkan waktu 90 menit.


***


Sejak pertama kali masuk UNJ, aku mencatat kembali janji-janjiku kepada emak bapak. Aku belajar lebih giat dan lebih aktif dibandingkan saat aku masih di Farmasi. Aku berusaha semampuku untuk membuktikan pada emak bapak bahwa kepindahanku ke pendidikan tidak untuk main-main dan aku siap membuktikan bahwa aku bisa membayar satu tahunku di Farmasi dengan banyak prestasi di tempat baruku.

Alhamdulillah, di UNJ aku berusaha aktif di BEM Jurusan Pendidikan Luar Biasa (BEMJ PLB) dan Pers Dakwak Kampus (PDK). Sejak tahun pertama perkuliahan aku menjadi bagian dari tim redaksi PDK. Di tahun kedua perkuliahan, aku dipercaya menjadi Ketua BEMJ PLB. Tidak hanya itu, di tahun pertama aku mendirikan sebuah komunitas yang bergerak di bidang pendidikan untuk anak-anak yang bekerja di jalanan  yang kini berkembang cukup pesat. Selama di UNJ pun aku dinobatkan menjadi delegasi kampus untuk pertemuan pemuda Indonesia di beberapa daerah. Berkat inilah aku bisa menyambangi banyak kota di Indonesia mulai dari pulau Jawa, Sumatera, hingga Kalimantan.

Sejak semester dua hingga semester empat aku bekerja sebagai penulis lepas dan reporter freelance di dua majalah sekaligus sambil sesekali mengirim cerita fiksi ke majalah online. Pada semester lima hingga tujuh aku memilih bekerja sebagai guru pendamping anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi. Alhamdulillah, semua aku lakukan dengan lancar berkat doa dari emak bapak dan semua ini untuk mereka pula.

Meskipun ada beberapa hal yang belum bisa aku penuhi, tapi aku bersyukur setidaknya banyak hal yang sudah aku lakukan untuk “membayar” hutang satu tahunku di Farmasi kepada emak bapak. Ya, meski sebanyak apapun hal yang sudah aku lakukan tidak sebanding dengan apa yang sudah dilakukan emak bapak kepadaku.

© Lisfatul Fatinah Munir

Orchid House, 11 April 2015
11 April 2015
Posted by Fatinah Munir

The Teacher's Journey (3): I'm Promise!


Beberapa hari selepas terakhir kali pembicaraan dengan emak bapak terkait keinginanku untuk pindah kuliah. Emak yang sedang memasak bersamaku memulai pembicaraan itu lagi.

“Kamu mau pindah ke mana memangnya?” tanya emak.

“Ke UNJ aja kayaknya. Jadi guru aja,” jawabku sambil asik memotong sayur.

“Guru apa?”

“Guru buat anak-anak kayak Naufal kayaknya,” jawabku santai sambil menyebut nama keponakanku yang menyandang autisme.

“Beneran? Gimana ih kamu. Dulu disuruh jadi guru Matematika atau Fisika aja kamu nggak mau. Sekarang masa mau jadi guru anak-anak autis. Kan gak banyak sekolahan yang butuh,” ibu protes atas keputusanku.

Aku mengangguk, mengiyakan dengan mantap. Memang sih dulu emak bapak sempat memberikan saran kepadaku untuk melanjutkan sekolah ke Keperawatan di Rumah Sakit Bhakti Husada atau kuliah di bidang Pendidikan Matematika atau Fisika. Emak bapak tahu persis kemampuan akademikku, memang. Tapi aku tidak berminat di kedua profesi itu. Untuk menadi perawat di instansi swasta, aku tahu betul semua itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Meskipun emak bilang kalau biaya di awal akan dibantu oleh Tante Bali –ibu Putu, ibu dari temanku yang menjadi dokter di rumah sakit tersebut, aku tetap harus memikirkan biaya selama tiga tahun aku sekolah di sana. Belum lagi biaya kost dan praktik di beberapa rumah sakit tiap bulannya.

Aku pikir, bukan pilihan yang tepat untuk kondisi perekonomian keluarga kami yang bisa dibilang kecil. Untuk menjadi guru pun aku tidak tertari saat itu. Aku berpikir jika menjadi guru, kelak aktivitasku akan sangat menoton. Mengajar di kelas dengan meja dan bangku berjejer serta seragam coklat dan biru tua yang sangat membosankan. Aku tidak bisa beraktivitas secara monoton. Aku selalu mencari aktivitas yang dinamis dan berubah-ubah untuk mengatasi moody yang kumiliki.

Tapi entah bagaimana jadinya, berselang satu tahun, aku malah memutuskan menjadi guru yang tidak biasa. Menjadi guru pendidikan khusus untuk anak-anak berkebutuhan khusus.


***

Setelah pembicaraan panjang di dapur, keesokan harinya Abah Surip datang ke rumah. Emak, bapak, kakak-kakaku, termasuk aku berkumpul di ruang depan. Abah Surip  sebagai anggota keluarga terbesar memulai pembicaraan yang menurutku agak menegangkan.

“Mau pindah kuliah, Lis?” tanya abah.

Aku menjawab sambil  menunduk. Lalu menjawab lagi pertanyaan-pertanyaan lain yang disusulnya. Hingga tiba saatnya pembicaraan tentang jurusan perkuliahan yang hendak kuambil.

“Kamu yakin?” pertanyaan itu muncul lagi. Kini dari Abah Surip.

Aku mengiyakan penuh keyakinan. Kujelaskan semua kemungkinan yang akan kuhadapi jika aku meneruskan kuliah di Farmasi, juga segala rencana yang akan aku lakukan jika aku diizinkan pindah kuliah. Kadang di sela-sela obrolan ini aku menangis, karena merasa cita-citaku terlalu tinggi  dibandingkan kondisi keluarga kami yang sangat biasa-biasa saja.

“Kalau memang mau pindah, nanti belajarnya harus lebih giat. Mulai sekarang ikutin apa kata hati Lis sendiri. Jangan dengerin orang yang nyuruh Lis buat ngerjain B kalau Lis sendiri mantap ngelakuin A. Jangan sia-siain perjuangan orang tua. Belajar yang bener,” nasihat Abah Surip.

Jika Abah Surip sudah berkata demikian, itu pertanda beliau sudah mengizinkan. Artinya, emak dan bapak pun mengizinkan.

Beruntung izin sudah kukantongin sebelum pendaftaran ujian masuk universitas ditutup. Akhirnya aku bisa memilih apa yang aku mau. Aku langsung mempersiapkan diri untuk mendaftar kuliah di jurusan yang aku inginkan. Aku mengikuti Ujian Masuk Bersama tahun 2011 dengan memilih beberapa jurusan yang sedari dulu aku inginkan. Aku memilih Ilmu Biologi, Bahasa dan Sastra Indonesia, Pendidikan Biologi, Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, dan pastinya Pendidikan Luar Biasa (Pendidikan Khusus) yang semuanya di  UNJ.

Aku berjanji kepada diriku sendiri, terutama kepada emak bapak, jika aku diterima di Pendidikan Luar Biasa UNJ, aku akan menyelesaikan pendidikan hanya tiga setengah tahun, aku akan mendapatkan beasiswa hingga lulus kuliah, aku juga berjanji akan menjadi mahasiswa berprestasi di kampus, termasuk akan mencoba melakukan apapun mengikuti kata hatiku dan bertanggung jawab atasnya, dan aku berjanji akan mendapatkan beasiswa untuk lanjut kuliah hingga aku menjadi seorang dosen di bidangku.

Aku berjanji semua itu akan aku lakukan demi emak dan bapak yang sudah senantiasa memercayaiku.


© Lisfatul Fatinah Munir
Orchid House, 11 April 2015




Posted by Fatinah Munir

The Teacher's Journey (2): Let Me Go, Pak, Mak!


“Boleh gak Lis pindah kuliah, Mak, Pak?”

Itu pertanyaan yang sudah kusiapkan saat pulang ke rumah di akhir pekan. Saat itu emak dan bapak sedang duduk di ruang depan selepas shalat maghrib. Keduanya masih menggunakan perlengkapan ibadah. Emak masih menggunakan mukena dan bapak mesih menggunakan sarung dengan peci yang melekat di kepala.

“Hah? Kenapa? Gak kuat pelajarannya?” tanya emak setengah khawatir.

“Enggak juga sih. Tapi ngerasa kayak bukan jalannya. Lis ngejalaninnya setengah hati,” jawabku jujur.

“Jangan main-main, Nak!” bapak mengingatkan.

Tidak. Aku jelas tidak main-main. Ini keputusan yang bulat setelah beberapa minggu aku mambaca artikel di blog tersebut. Saat itu emak dan bapak terus mengorek alasan apa yang membuatku ingin pindah kuliah. Emak dan bapak hanya mendengarkan, tidak banyak bertanya apa-apa lagi.

Selain karena merasa menjalankan dengan terpaksa, alasan lain yang aku utarakan adalah tentang biaya. Memang aku mendapatkan beasiswa selama kuliah di Farmasi, tapi bukan beasiswa full. Emak dan bapak masih harus mengeluarkan uang iuran lebih dari 20 juta rupiah saat mendaftar kuliah. Selebihnya, uang bulananku bebas dari tanggungan emak bapak. Tapi sayangnya, uang beasiswa hanya cukup untuk kebutuhan pokok kuliah seperti  membeli buku dan beberapa alat praktikum. Itu pun kadang alat praktikum harus kubeli dengan uang dari beasiswa lain yang kuterima. Uang yang rutin emak berikan selalu aku tabung atau kadang aku pakai untuk keperluan sehari-hari jika mendesak.

Karena masih banyak kebutuhan yang belum terpenuhi dan lebih sering mendadak harus dipenuhi untuk perkuliahan, tanpa sepengetahuan emak bapak, aku berjualan selama kuliah. Setiap pagi aku bangun jam lima subuh. Mandi, shalat, lalu belajar sebentar. Pukul enam tepat aku pergi ke salah satu warung makan Jawa yang ada di dekat asrama untuk mengambil nasi yang akan aku jual di asrama dari pintu ke pintu. Begitu saja aktivitasku setiap pagi mengelilingi asrama putri berlantai empat untuk menjajahkan nasi uduk atau nasi kuning.

Sering juga di sela jam istirahat kuliah siang, aku kembali ke asrama untuk menjual gorengan dan kacang hijau. Hal ini kadang aku lakukan di sore hari setelah pulang kuliah. Bahkan aku juga menjual buku kuliah. Buku-buku itu aku peroleh dari salah seorang pemilik toko buku di Thamrin City. Aku mengambil buku-buku tersebut dengan harga murah yang khusus diberikan kepada pembeli yang akan menjual bukunya lagi.

Yang aku pikirkan selanjutnya adalah bagaimana nanti jika aku harus melanjutkan pendidikan ke jenjang profesi untuk memperoleh gelar apoteker? Saat itu yang aku tahu jarang ada beasiswa untuk sekolah profesi. Dan saat itu, saat aku masih semester pertama, biaya untuk sekolah profesi dua kali lipat dari biaya kuliah Farmasi. Lantas berapa biaya yang aku butuhkan untuk sekolah profesi jika aku lulus nanti?

Aku berpikir, bagaimana nasibku nanti. Emak dan bapak hanya seorang pedagang kecil. Uang puluhan juta yang emak keluarkan adalah tabungan emak selama bertahun-tahun. Paling lama lima tahun lagi aku akan sekolah profesi, terkumpulkah uang sebanyak dua kali lipat dari sekarang itu sedangkan emak dan bapak menghidupi tiga anak yang belum bekerja dan satu keponakanku?

Demi memperoleh izin dari emak bapak, aku menceritakan semua rahasiaku tersebut. Mulai dari beasiswa lain yang kuterima untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari hingga tentang usahaku mengumpulkan uang tambahan dengan berjualan selama di asrama.

“Terus satu tahun ini sia-sia?” kata emak. Matanya menatapku dalam-dalam. Aku hendak menangis melihatnya.

“Nggak, Mak. Nggak sia-sia. Di sana Lis belajar banyak. Lis ketemu banyak teman. Lis belajar nulis yang sekarang pun Lis sambil kerja dengan menulis. Nggak sia-sia, Mak. Ini memang salah Lis yang gak bisa nentuin keinginan Lis sendiri. Tapi setahun di Farmasi benar-benar gak sia-sia kok,” jawabku dengan mata berkaca-kaca.

 “Kamu yakin mau pindah?” tanya bapak.

Aku mengangguk mantap. Kembali meyakinkan emak dan bapak. Aku sudah merancang rencana apa saja yang akan aku lakukan jika emak bapak mengizinkanku melakukan apa yang kumau. Termasuk rencana yang kini sedang aku jalankan.

“Bapak ngomong dulu sama Abah Surip,” kata bapak mengakhiri percakapan malam itu. Emak diam, mengikuti kehendak bapak.

Malam itu bapak keluar rumah. Pergi ke rumah Abah Surip, kakak iparnya yang tertua, untuk berdiskusi dan meminta saran atas apa yang belakangan ini sampaikan.

© Lisfatul Fatinah Munir
Orchid House, 11 April 2015



Posted by Fatinah Munir

The Teacher's Journey (1): Aku Farmasis dan Belum Guru

Tak pernah terbayangkan sebelumnya olehku bisa menjadi seorang sarjana, terlebih lagi menjadi seorang sarjana pendidikan. Bahkan tak terbersit sedikitpun dalam pikiranku untuk menjadi seorang guru.

Empat setengah tahun lalu saat duduk di bangku SMA, aku selalu mengimpikan menjadi seorang insinyur pertambangan. Bekerja di perusahaan minyak terbesar di Indonesia, bekerja berpindah tempat dari satu daerah ke daerah lainnya. Tapi saat aku menceritakan impianku, emak dan bapak menolak dengan sangat halus.

“Kamu perempuan. Kamu yakin mengidamkan masa depan seperti itu?” kata emak bapak suatu hari lalu.

Aku hanya diam. Tidak menjawab. Hanya memikirkan jawaban  itu dan menanyakannya kembali kepada diriku sendiri.

“Kamu mau ambil jurusan apa?” tanya salah seorang guruku di SMA.

“Teknik Metalurgi, Pak. Tapi saya juga mau ambil Sastra Indonesia. Mungkin akan ambil ujian IPC,” jawabku mengikuti kata hatiku.

Jawaban itu selalu kuutarakan pada siapapun yang bertanya hendak kemana aku setelah lulus SMA. Respon yang kuterima semuanya sama. “ Sayang sekali nilaimu sudah tinggi tapi kamu memilih jurusan seperti itu. Buat apa masuk jurusan yang passing grade-nya rendah dan tidak sesuai dengan jurusanmu di SMA?”

Lagi-lagi aku tidak bisa menjawab. Aku hanya berpikir itulah yang kumau. Aku tahu apa yang aku mau, maka aku akan melakukannya selama emak dan bapak merestui. Sayangnya, emak dan bapak hanya mengiyakan. Menyerahkan segala keputusan kepadaku dan menyuruhku meminta saran dari guru-guru.

Aku seperti kehilangan arah ketika emak bapak memintaku berkonsultasi kepada guru-guru. Meskipun aku menginginkan Teknik Metalurgi dan Sastra Indonesia sesuai passion-ku, guru-guru tidak mengacuhkannya. Yang mereka tahu  aku adalah siswi dengan nilai yang yang nyaris selalu sempurna, terutama di urutan pelajaran Bahasa, Seni, Fisika, Kimia, Biologi, dan Matematika. Mereka ingin aku masuk ke bidang bergengsi yang berhubungan dengan IPA. Guru Biologi menyarankanku masuk Kedokteran. Guru Kimia menyarankanku masuk Farmasi. Guru Fisika menyarankanku masuk ke ilmu Fisika murni dan mengambil Fisika Klinik. Sedangkan Guru Bahasa dan Seni mendukungku untuk masuk ke jurusan apapun. Ya, mereka menyadari bahwa guru-guru sains sangat menginginkan aku tetap bergelut di bidang sains.

Di detik-detik terakhir pendaftaran PMDK aku mendaftar ke Farmasi di dua universitas. Di dua universitas bergengsi di sekitar Jakarta ini Farmasi menjadi jurusan tersulit setelah Kedokteran. Tapi bagaimana pun saat itu aku merasa tidak cukup sepenuh hati untuk menjadi bagian dari Farmasi. Lagi pula, meksipun nilaiku cukup tinggi, aku yakin masih banyak sekali orang dengan nilai yang jauh lebih tinggi daripadaku. Aku tidak yakin bisa bersaing dengan banyak orang yang menginginkan Farmasi.

Alhamdulillah, di tengah keraguan dan ketidakpercayaan diriku, aku diterima di salah satu universitas tersebut, ditambah lagi dengan beasiswa yang aku terima di tahun pertama ini. Aku merasa sangat beruntung, tapi entah mengapa aku tidak cukup puas dan lega dnegan semua yang aku terima.

Aku menjalani perkuliah seperti mahasiswa lainnya. Tinggal di asrama, mengikuti aktivitas kuliah hingga sore. Kemudian mengikuti kelas Bahasa Inggris, Bahasa Arab, dan Kelas Qur’an di asrama khusus mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan hingga pukul 10 malam. Begitu kami lakukan setiap harinya kecuali hari Sabtu dan Minggu. Meskipun jadwal kuliah dan asrama padat, aku lebih sering memilih pulang ke rumah dengan jarak tempuh dua jam.

Sudah hampir dua semester aku di Farmasi dengan nilai yang nyaris sempurna. Tapi tidak ada kebahagiaan yang lapang di hatiku. Entah karena apa. Aku tidak bisa menduga-duganya.


***

Dua bulan menjelang libur semester. Saat itu aku sedang blog walking. Membaca secara random blog-blog yang berkunjung ke blog-ku –blog khusus tulisan tentang kefarmasian. Tetiba aku masuk ke dalam sebuah artikel yang bertajuk Anak Tunalaras. Who are they? Aku penasaran dengan judulnya. Klik. Maka aku sudah meluncur ke dalam blog tersebut.

Aku tenggelam dalam isi artikel tersebut. Sesekali mengerutkan kening dan tersentak sambil bertanya pada diri sendiri. Anak-anak yang menggunakan narkoba? Anak-anak yang melanggar hukum? Anak-anak nakal yang mempunyai pistol untuk membunuh temannya sendiri? Memangnya ada ya anak yang seperti ini? Di Indonesia? Aku pikir itu hanya ada di Amerika seperti yang kutonton di film-film. Ternyata, ya anak seperti itu ada di Indonesia. Merekalah yang disebut anak tunalaras.

Aku penasaran dengan artikel lainnya. Hingga dalam satu hari penuh, aku habisnya untuk membaca artikel-artikel tentang anak di dalam blog tersebut. Semua itu membuatku tercengang miris dan kagum secara bersamaan. Saat itu juga aku merasakan seperti melihat dunia baru yang membuatku jauh lebih hidup.

Di akhir peseluncuranku di blog tersebut, aku mencari tahu siapa orang menulis artikel tersebut. Ternyata penulisnya adalah seorang yang berhubungan dengan anak-anak berkebutuhan khusus. Profesinya sebagai psikolog yang bekerjasama dengan guru-guru anak berkebutuhan khusus. Saat itu entah dari mana lagi asalnya tetiba sesuatu muncul di benakku. Lalu aku berseru “Aku ingin menjadi guru anak berkebuhutan khusus”.

© Lisfatul Fatinah Munir
Orchid House, 10 April 2015
Posted by Fatinah Munir

Hai 2 April!: Light It Up Blue!




Semua bermula dari sebuah ruang dokter spesialis syaraf. Dua belas tahun lalu untuk pertama kalinya aku melihat begitu banyak kabel terpasang di kepala seorang balita. Kabel-kabel itu terhubung ke sebuah layar yang menampakkan berbagai garis yang membentuk gelombang. Dari balik kaca ruangan yang memisakanku dengan dokter dan balita tersebut, kulihat dua wajah berbeda yang menunggu dengan cemas di dekatku. Keduanya juga turut memerhatikan dokter bekerja untuk balita yang berbaring di atas tempat tidur. Terutama untuk kedua wajah yang menunggu di dekatku.

Dua wajah itu adalah Ong, kakak pertamaku, dan suaminya. Balita yang berbaring di balik pintu kaca dengan berbagai kabel yang menempel di kepala itu adalah keponakan pertamaku yang baru berusia dua tahun.

Dua belas tahun lalu, untuk pertama kalinya aku mendengar istilah itu. Sebuah istilah yang tidak hanya mengubah hidup Ong, tetapi juga mengubah kehidupan keluarga kami. Dan selanjutnya berperan mengubah kehidupanku.

Autis. Itulah yang disebut dokter untuk mewakili kondisi keponakanku yang perkembangannya tidak sama seperti anak pada umumnya. Sebuah istilah asing di telinga keluarga kami yang awam dan kampungan. Tapi bagaimanapun, kondisi ini sudah diprediksi. Jauh sebelum keponakanku dilahirkan.

Dua tahun sebelum memasuki ruang dokter spesialis syaraf ini, saat Ong sedang mengandung delapan bulan, dokter sudah memprediksi akan ada kelainan pada anak yang akan dilahirkannya. Semua itu karena saat itu Ong sedang sakit typus dengan suhu tubuh yang terus meningkat hingga rambutnya rontok. Kondisi kandungan Ong memang masih kuat, tapi kemungkinan buruk dengan melahirkan anak yang berbeda dengan anak pada umumnya tetap ada.

Muhammad Naufal Maulana. Begitulah nama yang diberikan kepada anak yang dilahirkan Ong pada 6 Juli 2000 lalu. Bayi yang sehat, dengan berat dan tinggi badan yang lebih dari normal. Tak ada yang kurang saat melihat Naufal datang ke dunia ini. Wajahnya tampan dan fisiknya tumbuh dengan baik.

Namun semua keganjalan muncul ketika Naufal beranjak satu tahun. Tak ada perkembangan yang berarti dari Naufal kecil. Tak ada perkebangan verbal, pun itu sebuah ekolalia, pengulangan atau meniru ucapan. Tak ada juga perkembangan motorik yang berarti. Naufal kecil belum menunjukkan perkembangan bahwa dirinya hendak berjalan. Maka kami sekeluarga mengira, mungkin inilah kelainan yang dimaksud dokter saat Naufal masih dalam kandungan. Sebab itu saat menginjak usia dua tahun, Naufal dibawa ke dokter syaraf dan hingga sekarang usianya menginjak angka lima belas untuk menerima penanganan medis. Selama itu pula kami mengalami banyak perubahan dalam hidup.

Sejak ada Naufal, selalu banyak mata yang menatap kami dengan aneh. Masa-masa dikucilkan pun sempat kami rasakan. Tatapan merendahkan, kasihan, dan iba juga pernah kami terima. Hingga kadang amarah kami memuncak untuk mejawab semua itu dengan berkata, “Ada yang salahkah jika dia berbeda?!”

Keberadaan Naufal juga mengubah hidupku. Bisa dibilang keberadaannyalah yang mengantarkanku menjadi seperti sekarang. Menjadi seorang guru pendidikan khusus anak dengan autisme. Selain sebagai bentuk pengabdian atas apa yang sudah Tuhan hadirkan dalam kehidupanku, aku berpikir anak dengan autisme memiliki dunia yang jauh lebih luas daripada dunia yang aku lihat dan dengar selama ini dari kacamata sebagai “manusia normal”.

Maka saat aku memasuki dunianya, aku melihat banyak hal menjadi sangat memukau. Bahkan hal-hal kecil yang kadang dianggap sepele sekalipun. Seperti Naufal yang selalu terpukau setiap kali melihat beraneka ragam poster rokok. Sejak kecil hingga Naufal memiliki ketertarikan lebih pada poster-poster rokok. Oleh sebab itu di rumah terdapat banyak poster rokok dan beberapa spanduk rokok yang ditempel di kamarnya. Bahkan di rumah kami terdapat beberapa kardus bungkus bekas rokok yang Naufal kumpulkan dari jalanan sekitar rumah.

Kini Naufal tumbuh seperti remaja pada umumnya. Dia suka bertemu dengan banyak orang, selalu menyapa siapapun yang dikenalnya. Naufal juga sudah menunjukkan masa-masa pubernya sejak menginjak usia belasan tahun. Dia rutin meminta disediakan parfum, minyak rambut, hingga sabun pembersih wajah. Naufal juga selalu memilih pakaiannya sendiri, bahkan kadang meminta sendiri untuk diajak ke pasar untuk sekadar membeli sebuah kaos yang pernah dilihat dan dia menyukainya. Naufal yang menyukai musik pun belakangan minta dibelikan gitar dan selalu bilang mau bermain gitar dan aku bermain biola bersamanya. Beberapa pekan ini Naufal juga meminta dibelikan motor agar bisa sama seperti teman-temannya yang tidak menyandang autisme.

Yang paling membanggakan dari Naufal adalah dia mempunyai hati yang lembut. Dia selalu ikut menangis jika melihat orang lain menangis. Naufal mudah menangis jika mendengarkan lagu-lagu sedih. Jika Naufal melihat seorang pengamen ataupun orang yang fisiknya kurang lengkap dan pengemis, Naufal selalu meminta uang kepada Ong, ibunya, untuk diberikan kepada pengamen atau pengemis tersebut. Jika Ong tidak memberikan uang, Naufal akan terus meminta uang kepada siapapun yang dikenalnya agar dia bisa memberikan uang kepada pengamen dan pengemis yang dilihatnya.

Bersama Naufal dalam setiap kesempatan.
Dia jauh lebih tinggi daripada aku dan selalu merangkulku setiap kali berjalan bersisian dengannya

Aku bersyukur Naufal bisa tumbuh di lingkungan yang perlahan menerimanya dengan baik. Bahkan bisa dibilang kemampuan sosial Naufal sangat baik dibandingkan anak dengan autisme lainnya.

Tak ada yang harus dipertahankan selama bersama Naufal selain kesabaran. Maka di sinilah aku menemukan betapa beruntungnya kami memiliki Naufal yang mengajarkan kami arti kesabaran dan keikhlasan.

Jika dulu dosenku berkata, butuh jiwa yang ikhlas dan sabar dengan kadar yang tinggi untuk menjadi guru anak-anak berkebutuhan khusus. Maka aku pikir butuh kelapagan dada saat hidup bersama anak dengan autisme agar segalanya berjalan dengan mudah dan justru bisa menatap anugerah di tengah keberbedaan yang lebih sering disebut musibah.

Bila banyak orang berkata betapa hebatnya orang-orang yang mau menjadi guru untuk anak-anak dengan autisme, maka jauh lebih hebat mereka, para orang tua yang Tuhan titipkan anak-anak dengan autisme dalam rumah mereka. Mulialah mereka para orang tua yang menerima, merawat, dan mendidik anak-anaknya yang  menyandang autisme. Mulialah mereka yang Tuhan pilih untuk menjadi bagian dari kehidupan anak dengan autisme. Mulialah mereka hingga Tuhan menjadikannya orang tua yang selalu ikhlas dalam mendidik anak-anak dengan autisme dan bersabar menerima berbagai cemoohan atasnya.

Anak dengan autisme memang berbeda, tapi keberadaannya bukan untuk dibedakan. Mereka juga manusia seperti kita. Ketika mereka sedikit berbeda dengan kita, apalah sulitnya membantu mereka mengenal bagaimana menjadi “manusia normal” seperti kita. Ketika mereka sedikit berbeda dengan kita, bukan berarti mereka bisa dijadikan sebagai bahan ejekan, olok-olok, dan lelucon bagi kita yang merasa sebagai “manusia normal”. Ketika mereka sedikit berbeda dari kita bukan berarti Tuhan gagal Menciptakan mereka,  melainkan mereka adalah satu dari sekian cara Tuhan untuk mengingatkan kita bahwa kondisi kita saat ini patut disyukuri.

Mari beri ruang untuk mereka, anak-anak dengan autisme yang ada di sekitar kita. Kenalkan kepada mereka bagaimana hidup menjadi “manusia normal” –jika memang kita menganggap yang normal adalah yang lebih baik. Mari terima mereka, anak-anak dengan autisme di sekitar kita sebagaimana anak-anak lain pada umumnya. Karena mereka tetap manusia, maka perlakukanlah mereka seperti manusia.

Selamat hari anak autisme sedunia!
Selamat harimu, Naufal sayang!


© Lisfatul Fatinah Munir
Tanah Merah, 2 April 2015
(*) Notes:

Light It Up Blue adalah frase yang digunakan untuk memperingati hari autisme sedunia. Blue atau biru yang memiliki banyak spectrum warna mewakili kondisi anak dengan autisme yang memiliki banyak spektrum kondisi dan setaip anak dengan autisme yang satu tidak sama kondisinya dengan anak dengan autisme lainnya. Light It Up Blue disuarakan di hari autisme sedunia dengan sambil menunjukkan keberadaan anak dengan autisme kepada dunia agar dibisa diterima seperti anak pada umumnya. Di hari autisme sedunia ini setiap orang yang memperingati dianjurkan menggunakan pakaian berwarna biru untuk mewakili keberadaan anak dengan autisme.
02 April 2015
Posted by Fatinah Munir
Tag :

Trip Teach and Shared: Cibuyutan Asonde Kurete, Arigatou!

Pukul 5.00 WIB. Mataku terbuka selepas beristirahat semalaman. Yang lainnya masih tidur dan sepertinya Bu Rani juga masih tidur. Aku mengenakan kacamata yang kuletakkan di kayu yang ada di belakangku semalam, sebelum tidur. Aku membangunkan Klara dan mengajaknya keluar menuju rumah Abah, satu-satunya rumah yang ditumpangi teman-teman wanita yang memiliki fasilitas kamar mandi. Aku dan Klara bergantian mengambil wudhu dan shalat di rumah Abah.

Pagi ini seharusnya pukul 6.00 WIB acara sudah dimulai, tetapi anak-anak belum datang juga. Hingga Pak Mista dan Nengsri harus beberapa kali memberikan pengumuman lewat megaphone beberapa kali.

Sambil menunggu anak-anak, aku merapikan beberapa perlengkapan untuk outbond pagi ini di ruang guru lalu menikmati matahari yang beranjak naik dan menunjukkan keindahannya dari Timur, tepat dari depan sekolah. Saat sedang berdiri memperhatikan matahari yang terbit, dari kejauhan terlihat dua anak kecil berjalan bersisian menapaki tangga tanah menuju sekolah. Itu Rohni dan temannya.

Malam sebelumnya aku memang meminta izin kepada ibu Rohni bahwa kami akan mengajak Rohni bermain dan belajar di sekolah sejak pagi. Oleh karena itu Rohni datang bersama temannya untuk ikut bermain dan belajar bersama kami.

Saat masuk ke dalam gerbang sekolah, Rohni memberi salam dan berteriak kegiragan. Satu per satu teman-temanku yang ada di selasar sekolah disalimi. Kadang Rohni mencium tangan teman-teman sambil tertawa. Pagi itu Rohni mendekati Klara dan meminta difoto seperti sebelumnya. Pun itu pintanya kepada teman-teman lain yang sednag memegang kamera. Alhasil, seluruh teman-teman tertawa melihat tingkah polah Rohni yang lucu.

Waktu beralih dari pukul 6.30 WIB menuju pukul 7.00 WIB. Anak-anak sudah mulai berdatangan bersama gelas dan sendok yang dibawanya. Kak Sari dan Mas Wadi tampak membantu anak-anak mengumpulkan gelas dan sendok yang nanti akan kami pakai untuk makan bubur kacang ijo bersama. Klara juga tampak sigap membariskan anak-anak di depan sekolah untuk olahraga pagi. Tak berbeda dengan anaknya, Pak Madinah, ayah Klara, bersiap memimpin senam dan beberapa perlombaan pagi ini.








Sebenarnya aku ingin ikut gabung senam bareng, tapi Yudith memanggil, “Lis, anaknya nih. Daritadi mau masuk ruangan terus. Takutnya diberantakin.”

Yang dimaksud Yudith adalah Rohni. Baiklah, akhirnya aku menemani Rohni sepanjang pagi ini. Sampai saat anak-anak bermain post to post saat outbond pun aku tetap bersama Rohni. Bolak balik melempar bola. Lari-lariaan. Bahkan bermain badut-badutan dengan balon di dalam baju untuk menggendutkan perut. Hingga Rohni ‘melupakan’ aku saat Kak Tiwi datang dan bermain bersamanya.

Pukul 9.00 WIB satu per satu ibu-ibu yang ada di Cibuyutan ini datang untuk mengikuti penyuluhan kesehatan, bertepatan saat aku malah asik main lompat tali bersama Farah di tengah kesenggagan waktu. Buruknya lagi, ruangan untuk penyuluhan belum siap. Alhasil Farah, Kak Tiwi, Vany, dan aku terburu-buru memindahkan meja-meja ke ruangan lain dan Mas Wadi yang akan memberikan penyuluhan langsung meninggalkan kelompok anak-anak untuk segera berganti pakaian.

Di waktu yang sama, Kak Tiwi, Yudith, dan Mas Awan menyiapkan bingkisan untuk anak-anak dan Vany menemani anak-anak dengan cerita-ceritanya. Lalu tetiba aku dipanggil untuk masuk ke ruangan. Ceritanya aku diminta mendongeng di depan anak-anak. Aaarrggghh, dag dig dug. Ini pertama kalinya aku mendongeng di depan anak-anak, setelah selama ini mendongeng di depan cermin :D

Meskipun suaraku masih serak-serak becek, aku usahakan mendongeng untuk anak-anak. Dan di sinilah aku merasakan bagaimana menyenangkannya menjadi seorang pendongeng kala melihat perubahan wajah anak-anak yang awalnya tempak bosan, letih, dan tidak fokus berubah menjadi wajah dengan mata membelalak lebar dan berbinar. Oooh, aku seperti terbang. Melayang di antara binar mata mereka. Meskipun aku merasa kurang maksimal saat mendongeng, tapi aku senang dan ingin semakin belajar mendongeng ^^

Well, mendongeng selesai, tapi suasana sunyi senyap. Selain karena anak-anak, Pak Mista dan Pak Idris sedari tadi menyimak, di dalam ruangan yang hanya ada Yudith dan Mbak Aby, ternyata yang lain sedang berkerumun di selasar sekolah.

Ada apaan sih? Aku penasaran dan langsung menghampiri teman-teman yang sedang berkumpul. Ternyata Mas Wadi sedang buka praktik. Eh, maksudnya sedang mengenalkan akupuntur kepada teman-teman. Menarik, kupikir. Sebab ini pertama kalinya aku melihat praktik akupuntur secara langsung, mungkin juga pertama kalinya untuk teman-teman yang lainnya.

Singkat cerita, sambil melihat Mas Wadi mengakupuntur Pak Madinah, Inta, Vany, dan Mbak Nina, acara anak-anak sedang ditutup oleh Yudith, Mas Awan, Kak Tiwi, dan Mbak Aby. Setelah itu kami berfoto bersama anak-anak dan Pak Mista juga Pak Idris.


Di sinilah detik-detik perpisahan mulai terasa. Suasana mulai membiru, apalagi saat anak-anak bersalaman satu per satu. Ketika hampir seluruh anak pulang, tetiba ada seorang anak yang menarik bajuku. Saat aku menunduk, ternyata itu Intan. Dia tersenyum kepadaku dan langsung memelukku erat-erat. Aku berlutut agar bisa sejajar dengannya. Lalu membalas pelukannya. Duuuh, gak boleh nangis, Lis! Aku mengingatkan diriku sendiri.

“Intaaan. Makasih yaa sudah mau main sama kakak. Kakak akan kangen sama kamu. Jadi pintar dan solehah ya!” ucapku sambil menatap matanya.

Intan mengangguk. Masih dengan senyuman manisnya dan matanya yang bulat berbinar. Lalu dia berlari kecil meninggalkanku yang masih berlutut di atas rumput. A, aku benar-benar kangen dia. Kangen semangat anak kecil ini saat di dalam kelas. Kangen dengan keberaniannya, meskipun postur tubuhnya lebih kecil daripada yang lainnya. Sayangnya, aku tidak sempat berfoto berdua dengannya. Semoga Tuhan mempertemukan kita lagi, Intan sayang! :)

Selepas acara, kami bersiap untuk pulang. Merapikan dan membersihkan ruang sekolah. Membersihkan badan dan packing untuk kepulangan. Lalu sesekali di antara kami meluangkan waktu untuk berbincang santai dengan Pak Mista dan Pak Idris –karena sibuk dengan acara bersama anak-anak kami, termasuk aku, malah jarang berbincang santai dengan Pak Mista maupun Pak Idris terkait kondisi sekolah.


Pulang! :(

Pukul 13.00 WIB. Kami harus berpamitan kepada Pak Mista dan Pak Idris. Aku bersyukur bisa kembali ke Cibuyutan untuk kedua kalinya. Senang bisa berbaur dengan anak-anak, mengingat saat kedatangan pertama kali dulu aku ada di bagian orang tua dan perbaikan mushalah desa.

Yang paling aku syukuri adalah aku masih punya kesempatan kembali ke Cibuyutan selepas sidang tugas akhir. Rasanya semua penat selama penelitian langsung hilang ketika berada di tempat ini. Lalu di Cibuyutan inilah semuanya berubah. Kepenatan menjadi kesenangan. Kebisingan  menjadi kesunyian. Keluh kesah menjadi syukur yang tak hingga.


Gara-Gara Lisfah Pelupa >,<

Kami berjalan kaki dari Cibuyutan menuju Tanjung Sari. Berbeda dengan keberangkatan yang membutuhkan waktu 4 jam dengan barang bawaan yang banyak, kini kami hanya membutuhkan waktu satu hingga dua jam menuju Tanjung Sari. Kami beristirahat sejenak di mushalah tempat kami bermalam sambil menunggu ashar tiba dan shalat ashar di sini.

Saat turun, entah kenapa kepalaku sangat sakit, bahkan sakitnya sudah terasa sejak berpamitan dengan keluarga tempat kami tinggal di Cibuyutan. Kepalaku semakin sakit ketika panas menyengat menembus kulit kepala. Oleh sebab itu aku mengenakan payung selama perjalanan turun. Hingga tiba di mushalah pun sakit kepalaku masih terasa. Bersyukur sekali ada Mbak Nina yang mau memijat kepalaku dan membuat perlahan sakitnya hilang. O, thank you my dear, Mbak Nina :*

Pukul 16.00 WIB. Kami semua masuk ke dalam tronton dengan bekal bakso tusuk, es teh manis, dan sekantung rambutan pemberian Bu Apang. 15 menit sudah tronton kami berjalan, tetiba terdengar suara dari bagian belakang tronton.

“Kunci sekolahan ada di mana?” kata suara itu

Aku yang berusaha tidur dan masih mendengar percakapan teman-teman langsung tersontak. Terkejut.

“Astaghfirullah! Kunci masih di aku. Di tempat pensil,” kataku dengan wajah terkejut sekaligus mau menangis.

“Kak Lis. Lu lupaan banget sih!” kata Klara.

“Karena gue lupaan itu, Ra, makanya itu kunci dari kemaren setiap habis dikasih Kak Ihsan langsung gue taruh di tempat pensil. Biar gak lupa atau ilang. Ya Allah, ini malah kebawa. Gimana dong?” aku menjelaskan masih dengan raut wajah tidak jelas.

“Tempat pensilnya di mana, Tin?” tanya Kak Sari yang duduk di depanku.

“Di tas. Gak tau tasnya sebelah mana. Tadi tas itu dibawain Mas Awan,”

Well. Semuanya turun dari tronton. Aku panik dan merasa sangat bersalah. Huhft! Ceroboh banget sih, Lis! Kesal! Aku kesal pada diriku sendiri! >,<

“Gak apa-apa Lis. Mas Awal naik ojek balik ke Tanjung Sari buat ngasih kuncinya,” kata Yudith menenangkanku.

Akhirnya, kami menghabiskan waktu satu jam di luar tronton sambil menunggu Mas Awal kembali. Beberapa di antara kami duduk-duduk di warung terdekat sambil makan dan berbincang. Beberapa ada yang memilih tetap di dalam tronton sambil berbincang panjang. Aku memilih duduk di dekat tronton bersama Rahma, Minka, Mbak Pupun, Putu, dan Mas Wadi mengobrol banyak hal, termasuk tentang Makassar. Aaah, aku ingin ke Makassar!

Yang paling unik adalah perbincangan di dalam tronton yang terdengar sangat heboh. Ternyata, Mbak Aby dan Nengsri adalah teman lama yang pernah kenal dan bermain bersama semasa kecil mereka. Maka jadilah saat mereka tahu hubungan mereka sudah terjalin sejak bertahun-tahun lalu dan mereka baru menyadari, terdengar suara jeritan dan teriakan yang sangat heboh dari dalam tronton. Memang perempuan di mana-mana sama, selalu heboh dengan teriakan kesenangannya.

Well, Mas Awal tiba. Waktunya melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Kami semua naik ke tronton dan kembali ke posisi masing-masing. Selama perjalanan pulang ini, entah bagaimana ceritanya tetiba Mas Wadi kembali mengakupuntur dan kali ini pasiennya adalah aku. Hihihi. Lalu dilanjutkan dengan sesi sharing tentang diet. Alamak, seperti seminar saja perjalanan pulang ini :D

Tapi lambat laun suasana kembali sunyi. Sat satu dari kami memejamkan mata, mengistirahatkan diri sejenak sebelum tiba di tempat tinggal masing-masing.




Cibuyutan, Sayonara! Asonde Kurete. Arigatou!

Di Cibuyutan, semuanya menjadi terlihat berbeda. Bayangan sekolah yang terdapat banyak guru tua dan guru muda hanya tampak sebagai bangunan sederhana dengan dua guru rendah hati. Kehidupan yang penuh dengan kenyamanan berubah seketika menjadi kesederhanaan yang menuntut kami menerima keadaan lalu tersenyum kepada satu dua warga sekitar. Hiruk pikuk perbincangan dan bunyi handaphone pertanda chat masuk pun menghilang berganti dengan percakapan lisan, saling tatap, dan tertawa berhadapan –hal yang cukup jarang dilakukan di Ibu Kota.

Yang terindah bagiku adalah di sini, di Cibuyutan yang sederhana nan bersahaja, ketiadaan sinyal yang memutuskan hubungan kami dengan dunia luar justru menguatkan sinyal kami kepada Tuhan. Semuanya terasa tentram dan terasa semakin dengan Tuhan. Ah, entah harus menulis apa lagi tentang Cibuyutan. Yang terasa hanya ketraman, kelembutan, dan kesejukan dalam hati. Semoga suatu hari bisa kembali.

Kepada teman-teman Trip Teach and Shared, terima kasih atas semuanya. Terima kasih atas kebersamaannya sebelum, selama, dan sepulang dari Cibuyutan. Aku senang sekali bisa mengenal orang-orang hebat dan baik seperti kalian. Terima kasih untuk Yudith yang sudah mau bersusah-susah mengurus agenda ini. You’re the wonder women! Terima kasih Klara, sahabat terimut yang sudah mau ditodong untuk ikut dan membantu di acara, semoga perjalanan selama TTS ini bisa menginspirasi untuk SM3T. Terima kasih Farah, Rahma, Minka, Vany, Kak Sari, Mbak Pupun, dan  Mbak Aby yang sudah banyak membantuku di acara. Terima kasih banyak buat Nengsri dan Inta yang sudha mengajar ibu-ibu membaca dan menulis. Terima kasih untuk pasukan dapur yang selalu sedia menyiapkan P3K (Pertolongan Pertama Pada Kelaparan), hehehe, Mbak Nina, Yolla, dan Komandan Tiwi. Terima kasih untuk Mas Awal, Babeh, dan Dhika yang sudah membantu menyiapkan banyak perlengkapan, meskipun origami tidak dibawa. Terima kasih Mas Wadi atas ilmu akupunturnya, akupuntur gratisnya dan penyuluhan mendadaknya di trontron, semua itu hal baru yang sangat menarik, Mas! Terima kasih Mas Awan yang sudah mengabadikan setiap momen selama perjalanan ini, kapan-kapan harus ikut lagi ya! Terima kasih untuk Pak Madinah yang sudah memberi banyak ilmu lewat ceritanya.

Untuk Kak Ihsan, Kak Solihun, Pak Mista, Pak Idris yang sudah menerima kami dengan begitu banyak kekurangan di sana sini. Untuk anak-anak Cibuyutan yang menginspirasi, asunder kurete, arigatou! Terima kasih sudah bermain bersama kami! Akan ada rindu yang kembali berkerumun untuk mengantarkan kami ke sini lagi. Suatu hari nanti.

Terima kasih Tuhan atas kesempatan berharga nan indah ini! Aku beruntung bisa melihat lebih banyak. Bersyukur lebih banyak. Terima kasih! :’)


© Lisfatul Fatinah Munir
Tanah Merah, 1 April 2015

Happy April, Happy Autism Month!
01 April 2015
Posted by Fatinah Munir

Trip Teach and Shared: Selamat Datang Ibu Bapak!

Pagi, Tanjung Sari!

Matahari  masih malu-malu saat mata kami terbuka untuk memulai hari di tempat baru. Satu satu di antara kami memulai hari dengan ibadah, beberapa mandi dan beberapa tidak. Yang tidak mandi itu salah satunya adalah aku. Hihihi.

Sejak pukul 5.30 WIB istri Pak Apang, warga yang rumahnya berhadapan dengan TK, sudah menyiapkan sebaskom nasi goreng lengkap dengan telur matasapi dan kecap di meja depan rumahnya. Kami memang memesan sarapan kepada beliau, karena dengan barang bawaan yang banyak dan jarak yang jauh,kami tidak mungkin hanya memakan roti atau sereal.


Melihat teman-teman masih sibuk mengantre di toilet, aku berpikir mungkin pukul 6.00 WIB kami baru bisa makan bersama. Sehingga setidaknya paling lambat pukul 7.00 WIB kami sudah bisa mulai naik. Tapi nyata tidak. Hiks. Setengah jam berlalu, teman-teman masih ada yang mengantre di kamar mandi. Beberapa teman-teman lelaki juga tampak masih tidur di dalam mushalah. Ah, telat telat telat! Pikiranku tetap tertuju pada itinerary yang sudah kususun dan mungkin karena tidak tenang memikirkan acara ini, aku tidak bernafsu makan.

Pukul 7.00 WIB, akhirnya seluruh teman sudah selesai makan. Kami semua masuk ke dalam mushalah untuk membagi barang bawaan yang begitu banyak sekaligus repacking bawaan kami masing-masing. Di luar dugaanku, ternyata untuk mengatur barang bawaan yang banyak ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar :( maka habis sudah satu jam di dalam mushalah untuk repacking seluruh barang bawaan tim.

Lewat dari pukul 8.00 WIB, kami selesai repacking. Kami saling bertukar tas, sesuai dengan kemampuan fisik kami. Saat itu aku memilih membawa tas Kak Tiwi yang berisi banyak logistik dan tasku yang jauh lebih kecil dibawa olehnya.

 Kami keluar mushalah. Sambil menunggu yang lainnya keluar, aku duduk di depan mushalah. Beberapa saat kemudian Mas Wadi keluar dari mushalah dan duduk di sampingku, berjarak kurang lebih tiga puluh senti.

“Lisfah. Ngomong!” ucap Yudith yang berdiri di depanku sambil memberi kode dengan matanya.

“Hah?” aku melirik ke kanan dan melihat sosok Mas Wadi. “Takut, Dith. Gimana ya ngomongnya. Gak enak ih. Um, nanti aja deh, jangan pas ada banyak orang.”

“Oh yaudah.” Yudith mengiyakan. Duuuh, betapa tidak sopannya aku dan Yudith saat itu membicarakan orang di depan orangnya langsung. Saat itu aku bertanya-tanya apakah Mas Wadi memahami pembicaraan kami atau tidak. Semoga tidak ya. Hehehe.

***


Yudith menginstruksikan semuanya untuk berkumpul di depan mushalah. Setelah berdoa, kami berjalan ke Timur. Melangkahkan kaki setapak demi setapak untuk bertemu anak-anak Cibuyutan! :)

Pembuka perjalanan kami menuju Cibuyutan berupa jalanan bebatuan pipih yang menurun. Lima ratus meter kurang lebih jaraknya. Kami masih bergerombol di awal perjalanan ini.

Aku memegang buku kecil dan membaca ulang itinerary yang tertulis di dalamnya. Seharusnya sebelum berangkat tadi aku mem-briefing teman-teman terkait tugas masing-masing saat tiba di Cibuyutan. Tapi karena waktu yang ada telah habis untuk repacking, maka sambil berjalan aku menghampiri satu per satu orang yang akan kumintai bantuan selama acara. Saat aku berbincang dengan Minka tentang apa saja yang akan kami lakukan, tetiba Yudith menghampiri.

“Lisfah, udah ngomong?” tanya Yudith mengagetkanku yang sedang asik ngobrol.

“Eh iya!” mataku mencari sosok yang sedang kami maksud. Ternyata Mas Wadi sedang berjalan di depan bersama Babeh, tepatnya di bagian paling depan yang berjarak cukup jauh dariku. “Yuk samperin! Tapi ngomongnya kalau dia lagi sendirian ya, Dith.”

Aku dan Yudith berjalan lebih cepat, mengejar langkah yang lainnya untuk menyusul Mas Wadi dan Babeh. Saat sudah nyaris berjalan di paling depan, kami memperlambat langkah. Menunggu Babeh berjalan terpisah dengan Mas Wadi.

“Mas  Wadi, ada yang mau ngomong,” kata Yudith to the point.

“Hehg?” aku terkejut mendengar betapa Yudith berbicara tanpa basa-basi. “Um, iya, Mas. Tentang penyuluhan, mau minta maaf.”

“Hah? Ya? Oh, itu. Kenapa? Gak bawa ya? Gak apa-apa kok. Santai aja,” jawaban Mas Wadi lebih mengejutkanku. Kok Mas Wadi tahu? Jangan-jangan Mas Wadi paham saat tadi aku dan Yudith ngobrol di depannya. Duh malu!

“Hehehe, iya. Maafin ya, Mas. Gak enak banget sama Mas Wadi,” aku memasang wajah melas.

“Iya, iya, gak apa-apa,” Mas Wadi menegaskan.

“Makasih ya, Mas!” aku dan Yudith menyahut hampir berbarengan. Sebenarnya aku sedikit bingung.

Tanpa kami sadari, hampir 500 meter kami berjalan dan kami tiba di sebuah pertigaan yang arah kirinya membawa kami ke Cibuyutan. Saat yang lain meneruskan perjalanan, aku memilih duduk saja bersama Rahma, Minka, dan Kak Sari. Aku menunggu yang lainnya, terutama teman-teman yang lelaki. Aku ingin bertukar tas, karena aku merasa tidak kuat membawa tas Kak Tiwi yang penuh dengan logistik.

“Mas, mau tukeran tas dong!” aku berseru padaMas Awal yang muncul pertama  kali.

“Oh, tuker? Sama siapa?” tanya Mas Awal. Bersamaan dengan itu Mas Wadi muncul.

“Mas Wadi, aku boleh tukeran tasnya? Ini berat banget. Gak kuat,” pintaku.

“Tuker? Oh. Boleh boleh,” Mas Wadi menghampiriku yang duduk di tangga sebuah bangunan. Kami bertukar tas dibantu Mas Awal.

“Ini enteng!” aku berseru spontan saat tas Mbak Aby yang dibawa Mas Wadi berpindah ke pundakku.

“Luar biasa! Yang seperti ini enteng!” kata Mas Wadi dan Mas Awal senada.

“Bukan gitu, Mas. Maksudnya ini lebih enteng daripada tas yang aku bawa sebelumnya,” aku meralat ucapanku.

Setelah bertukar tas, aku dan yang lainnya meneruskan perjalanan. Hingga kami bertemu dengan yang lainnya pada sebuah jembatan yang berdekatan dengan warung kecil. Beberapa teman yang sudah tiba lebih awal tampak sedang menikmati pemandangan berupa hamparan sawah yang menghijau, bebatuan besar yang membentuk formasi mengagumkan di sungai yang ada di bawah jembatan. Aku meletakkan tas di kursi bamboo yang ada di depan warung dan bergabung dengan yang lainnya untuk berfoto. Yang lainnya tampak ada yang duduk-duduk saja, ada yang menyanntap camilan di warung seperti yang dilakukan Pak Madinah, bahkan Mbak Nina menyempatkan diri untuk turun ke sungai dan duduk di atas batu yang paling besar.

Kurang lebih sepuluh menit kami berhenti, kemudian kami melanjutkan perjalanan.


Sebuah bukit tampak jauh di depan kami, kata Kak Solihun, Cibuyutan ada di balik bukit itu. Aku benar-benar lupa dengan jalur dan seberapa jauh kami harus berjalan. Entah mungkin karena tiga tahun lalu aku sibuk menikmati pemandangan dan tidak memperhatikan jauhnya jarak yang kutempuh.

Hamparan sawah, barisan pepohonan, semak-semak, satu dua wanita dan lelaki tua yang berpapasan, hingga sapi-sapi dengan gemerincing lonceng yang tergantung di leher menjadi pemandangan kami selama perjalanan. Di tengah perjalanan ini aku kembali bertukar tas dengan Mas Awan mulai merasa sangat lelah. Apalagi matahari kian merangkak ke tengan langit, menunjukkan sinarnya yang menyengat tubuh.

Nyaris pukul 11.00 WIB, aku menghentikan langkah. Bergabung bersama beberapa teman yang sudah lebih dahulu beristirahat di antara rerumputan dan semak-semak. Kami memutuskan berkumpul di tempat ini, karena menurut Kak Solihun, Cibuyutan sudah dekat. Kurang lebih 10 menit lagi, katanya menambahkan.

Di tempat pemberhentian ini kami saling melempar canda, ejekan, dan tawa bersama. Membaur dengan sendirinya di tengah lelah yang menggelantung di pundak. Beberapa di antara kami memang sudah saling kenal, tapi banyak juga yang baru kami kenal di perjalanan ini, tapi semua itu tidak menghalangi kami untuk bisa berbaur. Misalnya saja Mbak Nina yang datang dari Cilegon. Kepolosannya membuat kami tertawa hingga sakit perut. Apalagi saat Mbak Nina mempraktikkan cara membuka buah kecapi dengan gigi. Kepribadiannya yang apa adanya selalu membuatku tertarik untuk menyimak setiap ucapannya. Hehehe :D

Cukup lama kami sudah beristirahat, sekitar setengah jam kalau tidak salah. Kami memutuskan melanjutkan perjalanan. Sebagian mempercepat langkah agar semakin lekas sampai. Aku berjalan agak lambat karena kepala yang pusing dan perut yang kurang nyaman. Mungkin karena tadi pagi aku belum sarapan.


Selamat Datang Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak!

Lima belas menit sejak kami meninggalkan tempat beristirahat tadi, tampak sebuah bangunan merah muda dengan jejeran rumah-rumah kayu di kejauhannya.

“Sampai! Kita sampai! Alhamdulillah!” aku berseru kencang. Semakin dekat aku ke banguan merah muda itu, semakin tampak beberapa teman sudah duduk asik melepas lelah setelah terbakar matahari selama perjalanan.

“Alhamdulillah!” yang lainnya menyusul berseru.

Di dalam salah satu ruangan bangunan sekolah terlihat Kak Ihsan, seniorku yang mencetuskan ide membina Desa Cibuyutan. Ada juga Pak Mista, sesepuh Cibuyutan yang wajahnya sudah kukenal tiga tahun lalu. Lalu ada Pak Idris, kepala sekolah sekaligus guru di sekolah Cibuyutan.

 “Selamat datang ibu-ibu dan bapak-bapak dari Jakarta! Terima kasih sudah mau datang ke Cibuyutan!” seru Pak Mista saat prosesi penyambutan yang begitu sederhana.

Saat mendengar Pak Mista mengucapkan ‘ibu-ibu dan bapak-bapak’, keningku berkerut. Ingin mengintrupsi bahwa kami belum menikah dan rata-rata masih berstatus mahasiswa. Tapi Kak Ihsan yang melihat ekspresi wajahku langsung tersenyum dan mengarahkan telapak tangannya kepadaku seolah tahu apa yang ingin aku lakukan dan dia menghentikannya sebelum aku memulai. Maka, aku diam dan hanya mendengarkan Pak Mista dan Pak Idris berbicara bergantian.

“Jadi, teman-teman, usia seperti kita ini kalau di sini sudah jadi ibu-ibu dan bapak-bapak. Makanya Pak Mista dan Pak Idris memanggilkan kita ibu-ibu dan bapak-bapak, bukan kakak-kakak. Iya kan ya, Pak?” Kak Ihsan menjelaskan tanpa dipinta. Aku hanya cengar-cengir malu atas apa yang sudah aku pikirkan sebelumya. Kulihat Pak Mista dan Pak Idris mengangguk, mengiyakan apa yang diucapkan Kak Ihsan.

“Anak-anak mulai jam 1 siang ya, Lis. Sekarang dibagi-bagi aja tugasnya,” kata Kak Ihsan sebelum aku mem-briefing teman-teman. Aku hanya mengangguk. Bukan karena aku paham, tapi karena hanya mengiyakan di tengah kebingunganku.

Briefing dilakukan dengan sangat singkat. Semuanya merapikan barang bawaan dan pindah ke rumah warga yang akan kami tumpangi. Kami terbagi ke dalam empat rumah dengan tiga rumah untuk wanita dan satu rumah untuk lelaki.

Sejujurnya saat itu aku benar-benar panik, bingung harus memulai dari mana. Semua itu karena jadwal kami yang molor. Aku menjadwalkan pukul 13.00 WIB untuk Teaching Class, sedangkan realitanya di jam itu kami baru mau mulai. Aku memilih beristirahat sebentar di rumah Bu Rani, ibu beranak dua yang kami tumpangi rumahnya.  Bersama Klara, aku membuat jadwal acara yang baru hingga sore nanti serta mematangkan konsep outbond yang rencananya akan dilakukan sore selepas ashar.

Setelah cukup tenang dan letih sudah berkurang, aku dan Klara memilih kembali ke sekolah dan mempersiapkan acara di rumah guru. Dari ruang sebelah terdengar suara anak-anak bernyanyi dibimbing Kak Ihsan. Mereka terdengar sangat kompak. Satu dua celotehan dari mereka yang sangat menggemaskan, membuatku sedikit relaks.

Setelah shalat Zuhur dan baru saja kembali berkutat dengan perlengkapan acara, tetiba Kak Ihsan masuk ke dalam ruangan.

“Mau dimulai kapan, Lis? Ini udah jam 1 loh! Anak-anak udah siap dari tadi. Teman-temannya yang di acara diarahin dong buat segera mulai,” ucapan Kak Ihsan menyerbuku.

Aku terdiam beberapa saat hingga akhirnya aku hanya menyahut, “Hehg? Hu’um. Iya, Kak.”

Mukaku tertekuk saat itu, bingung harus melakukan apa. Sejak tadi kembali lagi ke sekolah, teman-teman masih banyak yang belum datang. Melihat ketegasan Kak Ihsan dalam waktu dan kekurangsiapan diriku, saat itu rasanya aku ingin menangis saja. Tapi aku pikir menangis pun tidak ada gunanya dna tidak akan memperbaikin keadaan.

Aku keluar, mencari beberapa teman yang aku butuhkan untuk mengisi acara. Beruntungnya Vany yang tadi saat aku kembali ke sekolah masih tidur-tiduran, kini tampak sudah berdiri di ruangan. Aku langsung memintanya untuk masuk ke dalam ruangan dan membuka acara dengan perkenalan. Yang kuingat, saat itu Vany ditemani Mas Awal, Dhika, dan Mas Awan.

Satu satu teman yang lain muncul. Aku meminta beberapa teman yang bertugas menjadi pendamping kelompok anak-anak untuk stand by di depan kelas. Sedangkan aku melanjutkan menyiapkan perlengkapan outbond.


Aku terus berkutat dengan persiapan acara di dalam ruang guru ditemani beberapa teman yang memang sedang tidak melakukan apapun. Di luar ruangan terdengar suara Klara yang sedang memandu game anak-anak. Sebenarnya aku mau bergabung, ikut bermain dengan anak-anak. Tapi itu mustahil. Hiks. Sedihnyaaa  T_T

Akhirnya aku tetap berkutat dengan persiapan perlengkapan acara dibantu Kak Sari, Babeh, Dhika dan Vany yang merapikan bingkisan untuk anak-anak. Di luar, suasana sudah berubah. Anak-anak sudah terbagi menjadi kelompok-kelompok kecil didampingi kakak-kakaknya. Mereka sibuk menentukan nama kelompok dan membuat yel-yel. Oh, serunyaaaa tapi tetap saja aku tidak bisa gabung. Huhuhu T_T


Teaching Class pn tiba. Kelas 5 dan 6 dipegang Mas Wadi yang hendak mengajarkan keterampilan dokter kecil. Kelas 3 dan 4 dipengang oleh Mbak Aby dan Vany yang akan mengajarkan Bahasa Inggris. Aku dan Farah mengajar menggambar di kelas 1 dan 2.

Di kelasku dan Farah, ada 11 anak dengan 5 anak kelas 2 dan 6 anak kelas 1. Semuanya duduk rapi sambil menunjukkan wajah-wajah polos mereka yang selalu menggemaskan. Dengan sebuah kapur di tangan, aku menulis namaku besar-besar di papan tulis untuk memperkenalkan diri.

Kemudian, dilanjutkan dengan mengajak anak-anak berimajinasi dengan coretan-coretan yang kubuat di papan tulis dan membuat ikan-ikan dari coretan-coretan tersebut. Wajah anak-anak tampak sangat antusias untuk menemukan gambar ikan di balik coretan jelek yang kubuat. Bahkan beberapa teman yang menyaksikkan aku mengajar pun ikut mencari gambar ikan dalam coretan yang kubuat.

Yang paling membuatku senang adalah saat setiap anak berebut maju untuk menggambar ikan di dalam coreta yang kubuat. Beberapa malah harus digendong untuk meraih gambar ikan yang terletak di bagian atas papan tulis. Bagi seorang guru, manalah lagi yang lebih menyenangkan hati jika bukan saat melihat anak-anaknya belajar seperti tidak merasa belajar, belajar dengan tertawa, antusias, dan menyenangkan. Di sini, aku merasakan benar-benar menjadi guru dibandingkan sebelumnya :)

Ada satu anak yang paling menonjol di kelasku dan Farah. Namanya Intan, gadis kecil dengan rambut lurus sepundak. Setiap kali ditantang untuk maju ke depan, Intan selalu mengacungkan tangan lebih cepat dari teman-temannya. Bahkan sesekali dirinya langsung maju ke depan. Sayangnya, Intan tampak seperti anak yang tidak terbiasa berbicara. Saat maju ke depan tanpa diintruksi, Intan langsung mengambil kapur di tanganku tanpa izin. Bahkan saat berganti aktivitas menjiplak bebek dengan tangan, Intan langsung menarik spidol yang ada di tangan Farah.

Saat itu Klara yang mengamati kami mengajar langsung memberi kode kepadaku untuk melihat ke arah Intan. Melihat Intan mengambil spidol yang ada di tangan Farah tanpa izin, aku mengambil spidol itu kembali sambil berkata, “Tidak langsung diambil ya, Sayang. Coba bilang ‘kakak, aku mau pinjam spidolnya ya’.”

Intan mengulang apa yang sudah kucontohkan. Dia kembali berkumpul dengan anak-anak yang lainnya, melanjutkan menjiplak bebek dengan kedua tangannya yang belepotan dengan cat dan memberi gambar pada karyanya menggunakan spidol yang baru saja dipinjamnya dari Farah.



***

Selesai Teaching Class, giliran ibu-ibu belajar membaca dan menulis bersama Inta dan Nengsri. Anak-anak kembali bergabung menjadi kelompok besar, bermain bersama kakak-kakak pendampingnya dan juga Vany tentunya.

Yang lainnya, termasuk aku mempersiapkan makan sore bersama. Seharusnya ini adalah makan siang, tapi karena kami tiba telat di Cibuyutan, jadilah ini makan sore. Maka sejak tiba di Cibuyutan kami belum mengisi perut, tapi lapar menjadi hilang begitu saja saat pikiran hanya tertuju pada acara.

Waktu berlaju menuju pukul 15.30 WIB sore saat kami hendak makan. Seharusnya kami sedang siap-siap untuk memulai outbond tapi ini kami malah baru akan makan. Lalu kapan outbond dimulai? tanyaku pada diri sendiri. Maka 15 menit kemudian, aku bilang ke Klara untuk memberitahukan ke anak-anak untuk berkumpyl kembali pukul 16.30 WIB untuk outbond.

Jam tangan Mbak Pupun menunjukkan pukul 16.15 WIB, tapi tidak ada tanda-tanda kedatangan anak-anak. Aku berbicara pada Yudith, meminta sarannya apakah outbond tetap diadakan sore itu juga atau tidak. Yudith bilang kalau outbond dilakukan besok saja, apalagi langit sudah mulai gelap. Well, akhirnya aku kembali ke rumah, mengambil senter dan siap-siap ke menuju salah satu rumah yang ingin aku kunjungi.



Anak Setan

“Kak Ihsan gak apa-apa nganterin” tanyaku padanya yang sedang mengecek sekolah dan hendak mengunci seluruh ruangan.

“Gak apa-apa. Kita ke rumahnya aja. Biasanya saya lihat anaknya main sih,” jawab Kak Ihsan.

“Oh gitu. Okay!” kataku sambil membuntuti Kak Ihsan.

Aku mengajak Yudith dan Klara ke rumah yang hendak aku sambangi. Sebuah rumah yang cukup besar dibandingkan rumah-rumah lainnya yang berada di bawah sekolah. Bagian depan rumah tersebut dijadikan warung dengan sebuah meja dan bangku panjang yang bisa diduduki tiga orang.

“Assalamualaikum. Ibu,  ini ada ibu guru dari Jakarta mau ketemu,” Kak Ihsan memberi salam kepada seorang ibu yang sedang di dalam warung.

Saat itu pula ibu tersebut keluar warung, lalu seorang bapak muncul dari samping rumah. Keduanya menjabat tangan kami. Kak Ihsan mengulang maksud kami menggunakan bahasa Sunda. Lalu suami istri di depan kami mengatakan anak yang kami cari sedang pergi bermain di atas, bersama beberapa anak lainnya. Aku, Klara, dan Yudith diantar Kak Ihsan mencari anak yang ingin kami temui.

Rohni namanya. Seorang anak yang tiga tahun lalu kutemui di Cibuyutan  ini. Dulu, pada sore hari setelah aku dan yang lainnya selesai mengerjakan tugas di desa ini, tetiba seorang teman menghampiriku dengan tergesa-gesa.

“Kak Lis! Kak Lis!” katanya sambil berlari masuk ke rumah yang kami tumpangi bersama, -sama seperti Klara, temanku yang satu ini pun memanggilku kakak meskipun kami satu angkatan dan aku lebih suka langsung dipanggil nama.

“Kenapa, Nuy?” tanyaku yang saat itu sedang berbincang dengan teman lainnya.

“Aku kan dapat tugas ngedata warga. Di sana itu pas tadi ngedata ada anak DS,” jawabnya dengan napas tersenggal.

“Kamu yakin dia DS? Liat langsung anaknya?” aku terkejut dan mengklarifikasi lagi pesannya.

“Bener, Kak! Aku liat sendiri. Ayo aku antar sekarang!” Nuy menarik tanganku.

Aku menolak ajakan Nuy. Bukan karena tidak mau, tapi karena sore itu sampai malam nanti aku masih mempunyai tugas di mushalah desa. Akhirnya aku hanya mendengarkan cerita Nuy tentang anak DS yang ditemuinya.

DS adalah singkatan dari Down Syndrome, salah satu syndrome pada anak yang menyebabkan kondisi fisik anak tersebut berbeda dengan yang lainnya bahkan sangat mudah dikenali oleh orang awam sekalipun, dominan kasus anak DS disertai dengan IQ di bawah rata-rata yang menyebabkan anak mengalami mental retarded. DS kadang disebut Mongolia Syndrome atau Sindrome Kembar Sedunia karena wajah anak DS menyerupai orang Mongol dan wajah anak DS di seluruh dunia ini nyaris serupa. Lidah anak DS lebih pendek dan lebih tebal dari lidah manusia pada umumnya. Jemari anak DS juga pendek-pendek dengan telapak tangan yang kasar.

Sedikit yang aku tahu, DS disebabkan kelebihan kromosom pada anak yang konon hal ini bersifat genetik. Selebihnya aku kurang tahu, sebab sebagai guru pendidikan khusus aku tidak dituntut untuk mengetahui secara detail tentang penyebab kelainan pada anak, aku fokus pada perkembangan anak. Termasuk saat bertemu Rohni, tujuanku kali ini ingin bermain dengannya, melihat perkembangannya, dan berbincang banyak hal dengan orang tua Rohni tentang masa depan Rohni ke depan.

Beberapa menit kami berkeliling di sekitar rumah rumah Rohni, mencari keberadaannya. Beberapa anak yang kami temui bilang kalau Rohni ada di atas, di rumah salah seorang warga. Saat memasuki pekarangan umah warga yang dimaksud, aku melihat sesosok anak lelaki yang sedang bermain dengan dua anak perempuan. Itu Rohni, kataku senang.

“Punten, Bu. Ada Rohni?” tanya Kak Ihsan pada salah satu wanita paruh baya yang sedang duduk di bangku yang ada di depan rumah.

“Rohni? Itu Rohni! Niiii, dicari ibu bapak guru itu!” teriak wanita lain yang ada di pekarangan.

Mendengar teriakan itu, Rohni berlari ke arah kami smabil berteriak, “Aaaaaaaaah!”

Klara dan Yudith yang ada di sampingku langsung tertawa, aku membungkuk sambil membentangkan tangan. Rohni memeluk, meski hanya memeluk pinggangku. Lalu bergantian memeluk yang lainnya.

“Salim, Ni, salim!” seru ibu-ibu yang ada di dekat kami.

Kami mengucapkan salam berbarengan, Rohni menjawab salam dengan speech yang lucu dan mencium satu satu tangan kami. Kami semua tertawa. Aku mengacak-acak rambutnya yang tipis.

“Rohni, ini ibu guru dari Jakarta mau maen sama Rohni!” kata Kak Ihsan dari kejauhan. Dia tetap berdiri di tempatnya sejak kami memasuki pekarangan rumah ini.

“Bu Gulu! Aaaaaaaah!” kata Rohni sambil menunjuk kami dan tertawa. Lalu matanya beralih ke sebuah kantung yang kubawa. Tangannya menunjuk kantung tersebut dan bertanya denganku menggunakan ekspresinya.

“Ini kado buat Rohni. Buat belajar,” kataku sambil membuka  kantung plastik yang di dalamnya terdapat hadiah yang sengaja kusiapkan untuknya.

“Ka…, Kaaa!” katanya.

“Tidak. Tidak. Dibukanya tidak sekarang. Kita ke rumah Rohni dulu ya, baru buka kadonya,” Klara mengambil alih. Yudith hanya menyaksikan kami. Mungkin Yudith sedikit bingung harus bersikap seperti apa pada Rohni, karena Rohni terlihat berbeda dengan anak lainnya.

Rohni sendiri bukannya mendengarkan ucapan Klara malah menunjuk benda lain yang sedang dipegang Klara. “Ape. Apeeee!” katanya.

“Hape? Kamu mau lihat hape? Untuk apa?” tanya Klara dengan ekpresi yang sedikit dilebih-lebihkan.

“ Toooo!” kata Rohni sambil melompat.

“Oooh. Mau foto? Yuk Yuk kita foto bareng. Ibu yang fotoin ya!” Klara menyahut dan mulai mengambil posisi untuk memfoto kami. Aku, Yudith, Rohni, dan seorang anak lainnya. Kemudian kami bergantian berfoto. Kak Ihsan masih berdiri di tempatnya, melihat kami yang bercengkrama dengan Rohni.

Klara dan Yudith membujuk Rohni untuk pulang ke rumahnya. Kata mereka, di rumah kita akan membuka kado dan berfoto lagi. Oleh karena itu Rohni mau pulang, malah sangat senang ^_^

Saat tiba di rumahnya, Rohni kembali menunjuk kantung yang kubawa. Dia meminta kado itu segera dibuka. Maka dengan bantuan Kak Ihsan dan ibunya, Rohni membuka kadonya. Isinya hanya sedikit perlengkapan belajar untuk melatih motorik Rohni berupa beberapa buku mewarnai yang berisi cerita, beberapa puzzle dan krayon.

“Ini ibu guru dari Jakarta, Bu. Mereka ngajar anak-anak kayak Rohni di Jakarta. Mau maen sama Rohni terus mau ngobrol sama ibu katanya.” kurang lebih begitu kata Kak Ihsan menggunakan bahasa Sunda kepada ibu saat Rohni sangat antusias membolak-balik buku mewarnai.

“Oooh, ya Allah. Makasih, Bu,” jawab ibu Rohni dengan nada yang takzim.

Pembicaraan sore ini mengingatkan aku pada pertemuan kami tiga tahun lalu. Dulu saat pertama kali berbincang dengan ibu Rohni, bagaimana beliau menyebut Rohni saat aku bertanya tentang kondisi perkembangan Rohni? Roh Kolot. Anak Setan. Itu sebutan orang-orang, termasuk keluarganya kepada Rohni. Kala itu, sontak aku dan teman-teman terkejut. Miris dan hampir  ikut menangis saat ibu Rohni  mengucapkan ‘Anak Setan’ dengan mata berkaca-kaca.

Ketika itu juga aku dan teman-teman bilang pada beliau bahwa Rohni bukan Roh Kolot, Anak Setan, atau Anak Kutukan seperti yang disebut oleh warga. Kami bilang bahwa kami mengajar anak-anak seperti Rohni di Jakarta. Ada banyak anak-anak yang seperti Rohni di Jakarta, bahkan di seluruh dunia.

“Ibu masih ingat saya? Saya pernah ke sini dulu. Waktu  pertama kali mahasiwa UNJ datang ke sini,” kataku mengingatkan kedatanganku beberapa tahun lalu.

Aku berbincang sedikit dengan ibu Rohni dibantu Kak Ihsan yang menjelaskan ulang menggunakan bahasa Sunda kepada beliau. Klara dan Yudith, bermain bersama Rohni dengan krayon dan buku mewarnai baru miliknya. Rohni telihat sangat antusias mewarnai. Saat Klara meminta Rohni menggunakan krayon dengan warna tertentu, Rohni menolak dan mengambil seluruh krayonnya. Dia ingin memilih warna sendiri. Hahaha.

Sore kian beranjak hingga langit menjadi gelap. Kak Ihsan mengajak kami pamit.

“Rohni, ibu guru pulang yaaa!” kataku, disusul Klara dan Yudith, “Iya, nanti kita main lagi ya!”

Setelah mendengarkan kami pamit, air wajah Rohni berubah drastis. Dia langsung merangkak ke arahku, langsung duduk di pangkuanku sambil menunduk.

“Duuh, ngambek nih ngambek,” Kak Ihsan meledek.

“Ooh, ngambek. Hahaha,” aku, Yudith dan Klara tertawa.

“Eh, Rohniii. Ibu pulang dulu ya. Nanti malam sama besok ibu guru ke sini lagi,” kataku membujuk Rohni. Ketika dibilang begitu, Rohni merosot dari pangkuanku. Menunduk dengan mulut memonyong.

Klara memanggil Rohni. “Rohni…” Disusul Yudith yang ikut membujuk, “Rohni, ibu guru pulang ya. Besok main lagi.”

Rohni memalingkan wajah saat Yudith dan Klara menyentuhnya. Uuuuuh, anak ini ngambek ternyata. Hehehe. Kami akhirnya membujuk bahwa setelah shalat maghrib kami akan kembali ke sini untuk bermain bersamanya. Akhirnya Rohni membolehkan kami pulang.

“Peluk dulu dong!” kataku sebelum kembali ke sekolah.

Satu satu di antara kami berpelukan dengan Rohni. Dia mencium tangan kami sambil berseru, “Aikuuuuuuum!” kami semua menjawab kompak, “Wa’alaikumussalaaaaam!” sambil melambaikan tangan :)


Night of The Crybaby

Selepas shalat Isya, aku dan Nengsri kembali ke rumah Rohni. Mala mini aku berniat untuk berbincang banyak dnegan ibu Rohni terkait Rohni selama tiga tahun belakangan ini. Aku mengajak Nengsri sebagai translator pembicaraan kami. Hehehe.

Sepulangnya dari rumah Rohni, aku dan Nengsri bergabung dengan yang lainnya yang sudah berkumpul di selasar sekolah. Yeeaaach! Dinner is coming! Makanan kami memang  hanya dengan lauk seadanya tapi rasanya enak! :P


Sehabis makan, kami membentuk lingkaran untuk evaluasi acara hari ini dan membahas apa yang kami lakukan besok. Tapi anehnya Kak Tiwi minta evaluasi di belakang, padahal setahuku di mana-mana eveluasi lebih dulu baru membahas acara selanjutnya. Tapi ya sudahlah, terserah saja, begitu pikirku.

Sebagai orang yang wara-wiri di acara, aku kebagian berbicara paling akhir. Aku menjelaskan apa saja kekurangan acara selama satu hari ini dan meminta maaf atas kekurangan acara juga kesalahan yang telah aku lakukan. Tapi tiba-tiba aku dikejutkan dengan Kak Tiwi yang mengatakan bahwa outbond tadi sore dibatalkan karena aku sibuk sendiri dan tidak mau meminta tolong kepada yang lain. Belum lagi yang lain mengiyakan. Ditambah Mbak Aby, Vany, dan Mbak Nina berkata kalau sore tadi ada 20 anak yang datang untuk mengikuti acara. Tapi karena aku, Klara, dan Yudith tidak ada di lokasi, anak-anak dipulangkan.

Setelah itu, yang lainnya ikut berbicara. Dan aku merasa sangat bersalah. Memang tadi sore saat berjalan ke arah Rohni, aku melihat anak-anak berkumpul dengan pakaian yang rapi di belakang sekolah, di dalam pagar tempat  panel surya berjajar. Tapi yang kulihat hanya beberapaa anak, tidak sampai 20, bahkan 10 anak pun tidak.

Aku mencoba menjelaskan pada semuanya bahwa aku pikir lebih baik outbond di-cancel saja. Bukan untuk ditiadakan, hanya diundur sampai besok pagi. Lagi pula sebelumnya aku sudah berdiskusi dengan Yudith yang bertanggung jawab atas acara ini. Tapi yang lainnya terus berkata bahwa ada 20 anak yang berkumpul di lapangan dan akhirnya dibubarkan karena aku tidak ada di lokasi.

Aku meminta maaf atas kesalahanku. Aku benar-benar tidak tahu kalau anak-anak datang. Aku juga minta maaf karena tadi sore sudah pergi tanpa pamit kepada yang lain. Tapi sepertinya teman-teman tidak menerima alasanku. Aku pun melempar pandangan ke Klara yang duduk di depanku. Jujur saat itu aku bingung dan ingin menangis. Klara tidak tahu apa-apa, tadi sorepun aku yang mengajak Klara ke rumah Rohni. Jadi kalaupun mau dibilang salah, ini memang salahku.

“Hancur! Hancur acaranya!” suara tinggi Mas Awal mengejutkanku. Aku sempat melihat tangannya berayun ke lantai, seperti hendak memukul lantai.

Mendengar Mas Awal berkata demikian, aku tidak bisa menahan airmataku. Tangisku pecah, merasa sangat bersalah sekaligus takut. Saat itu yang ada dipikiranku adalah betapa kasarnya Mas Awal berteriak seperti itu kepadaku, apalagi di hadapan teman-teman. Aku benar-benar terkejut dan tak bisa menahan tangis. Nengsri yang duduk di sampingku memelukku. Aku sedikit tenang, tapi masih takut dan sangat sedih.

Aku semakin berdebar saat Pak Madinah, ayah Klara, ikut berbicara. Jangan merasa terdusut! Begitu kata Pak Madinah. Aku menggeleng dengan airmata tetap mengalir. Tidak, aku menangis bukan karena merasa tersudut, ucapku dalam hati. Kita belajar tanggung jawab, kata Pak Madinah kepadaku. Aku malah semakin menangis. Aku jadi semakin merasa bersalah. Hiks. Tolong maafkan, maafkan Lis dong T_T

Pak Madinah terus sanja berbicara, aku tidak mendengar jelas ucapannya karena aku masih terus menangis karena kesalahanku. Lalu tiba-tiba semua bertepuk tangan sambil berteriak, “Selamat ulang tahuuuuun!” Dan semuanya tertawa.

Nyebelin! Seruku dalam hati. Aku ingin berhenti menangis saat itu, tapi tidak bisa T_T

“Maaf ya, Lisfah, kita gak nyediain apa-apa!” kata Yudith. Aku hanya mengangguk sambil mengusap airmata.

“Mau tau gak siapa yang ngasih tau ulang tahun kamu?” tanya Kak Tiwi.

“Nggak. Nggak mau!” serbuku. Aku tidak pernah mempublikasikan tanggal lahirku, di sosial media pun aku selalu memprivasi tanggal lahir. Orang yang tahu tanggal lahirku pasti orang yang pernah melihat KTP-ku dan itu pasti salah satu di antara mereka yang pernah naik gunung denganku.

Okay, malam itu berakhir dengan tawa teman-teman dan kedua mataku yang sembab. Ada satu yang membuatku kesal. Klara! Selama evaluasi wajahya begitu panik dan terlihat sangat melas. Mungkin persis seperti wajahku yang panik.

“Muka melas lu tadi bikin kesel banget sih, Ra! Ternyata lu sekongkolan! Huh!” kataku sambil mencubit pinggangnya. Klara hanya tertawa.

Pukul 22.00 WIB. Cibuyutan gelap. Panel surya sudah dinyalakan sejak Maghrib tadi dan kini mengalirkan listrik ke rumah-rumah untuk sekadar memberi penerangan dengan satu dua buah lampu. Saatnya kami beristirahat untuk kembali bermain bersama anak-anak di keesokan hari.

Terima kasih atas kejutan yang menyebalkan tapi sangat berkesan. Terima kasih atas doanya, teman-teman :)


Bersambung…,

© Lisfatul Fatinah Munir
Tanah Merah, 19 Maret 2015



19 March 2015
Posted by Fatinah Munir

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -