Archive for August 2014

Kalau Aku Cinta ...


Pekan lalu, saat aku sedang mengajar matematika di kelas. Tiba-tiba muridku, seorang anak dengan autisme dan ADD (Attantion Deficite Disorder) menghampiri. Menyentuh daguku dan memalingkan wajahku ke arah wajahnya. Ada yang ingin disampaikannya dan aku harus memperhatiannya. Begitulah kurang lebih yang ingin dikatakannya melalui caranya mendekatiku.

“Ibu …,” katanya sambil menyentuh daguku dengan tangan mungilnya.

Biasanya sebelum sempat aku menjawab, anak ini akan langsung membicarakan hal yang akan disampaikan atau ditanyakan. Pertanyaan yang ajukannya pun selalu disampaikan dengan pola yang sama. Persis sama meski hal yang ditanyakannya berbeda. Dan semuanya harus berpola sebab-akibat. Misalnya pertanyaan, “Aku ngantuk, kenapa?”; “Makananku berantakan, kenapa?”; “Tulisanku tidak muat di buku, kenapa?”, dan banyak lagi pertanyaan yang berakhir tanya ‘kenapa?’. Lalu anak ini akan bertanya, “Makanya aku jangan apa?”

Tepat sesuai dugaanku, anak surga yang satu ini melanjutkan perkataannya sambil memalingkan wajahku ke wajahnya, tanpa menungguku menyahut.

“Kalau aku cinta Salsabila, kenapa?” ucapnya dengan intonasi dan kalimat khasnya.

“Kamu cinta Salsabila?” aku balik bertanya padanya. Sedikit terkejut mendengarnya.

“Kalau aku cinta Salsabila, kenapa?” dia mengulang tanyanya dengan intonasi yang persis sama dan mata yang menatapku semakin lekat.

“Ibu jawab nanti ya, Sayang. Kita belajar dulu,” jawabku sambil memberikan buku tulisnya.

Tanpa menjawab, dia langsung mengambil buku tulisnya dan kembali ke mejanya sambil terus bergumam. ‘Kalau aku cinta Salsabila, kenapa?’

Sejujurnya, aku bingung mau menjawab pertanyaannya dengan apa. Anak lelaki usia sembilan tahun dengan autisme dan ADD yang dimilikinya membuatku sempat berpikir mungkin dia sedang meniru ucapan di tivi. Atau meniru ucapan teman-temannya di lingkungan sekolah. Entah.

Yang ada dalam pikiranku selanjutnya adalah bagaimana kalau anak ini bertanya ‘makanya jangan apa?’. Gubrak! Bisa mati kutu aku dibuat anak ini.

Pulang sekolah, saat aku sudah melupakan pertanyaannya. Tetiba dia kembali menanyakan hal yang sama padaku. Dengan cara yang sama pula. Menyentuh daguku, mengalihkan wajahku ke wajahnya. Lalu menatapku dengan dua matanya yang lebar dan bersinar. ‘Kalau aku cinta Salsabila, kenapa?’

Selalu saja begini. Hampir seluruh muridku yang mempunyai keautistikkan memiliki ingatan yang sangat tajam. Sampai hal kecil yang luput dari perhatian dan ingatanku pun tetap diingatnya.

Huhf! Sambil menghembuskan napas dengan agak berat, aku memutar kepala dan berpikir cepat. Jawab apa ya kira-kira untuk anak ini. Oke. Asumsiku anak ini mungkin sedang puber dan dia memang sedang tertarik dengan salah satu temannya.

But … what should I say to him? O God!

Akhirnya aku bertanya kepadanya. “Kenapa kamu cinta Salsabila?”

“Kalau aku cinta Salsabila kenapa?” dia kembali mengulang pertanyaannya tanpa menjawab pertanyaanku.

“Tidak kenapa-kenapa, Sayang,” jawabku sambil mengelus kepalanya.

“Aku cinta Salsabila, Bu Lisfah,” katanya.

“Oke. Sesama manusia memang  harus saling mencintai, Sayang. Itu artinya kaliam berteman. Tidak saling bertengkar dan menyakiti. Sama seperti ibu yang mencintai kamu sebagai murid ibu. Sama seperti umi dan abi di rumah yang mencintai kamu sebagai anak. Kamu juga begitu. Tidak hanya ke Salsabila. Kamu juga harus mencintai teman-teman yang lain, mencintai hewan, dan tumbuhan. Karena kita memang harus mencintai semua makhluk, tidak merusak atau menyakitinya ya.”

“Kalau aku cinta Salsabila, kenapa?” dia kembali bertanya.

“Tidak apa-apa. Kamu harus cinta pada semuanya,”

Lalu dia pergi sambil memainkan jari-jarinya dan tanpa bergumam sepatah kata.

Cuma begitu responnya. Simple. Selalu sesimpel itu di depan anak-anak. Apalagi anak-anak berkebutuhan khusus seperti dia. Tetiba aku teringat salah satu bagian di film Cinta Brontosaurus; dalam hal cinta kadang kita harus menjadi anak kecil yang mencintai tanpa sebab apa-apa.

Argh, seperti ada yang baru di hatiku. A little thing that belonging breath. More than love.
Jadi, sepertinya lebih asik kalau aku cinta… seperti anak-anak saja.

Tanpa sebab apa-apa. Hanya cinta.
20 August 2014
Posted by Fatinah Munir

Tanpa Lilin


Mentari sudah tenggelam beberapa menit lalu. Giliran cercahan cahayanya yang merekah di balik barat. Langit sudah berubah jadi nila, jingga, lalu merah. Itu saja. Lalu perlahan berubah jadi gelap.

Aku mgnintip ke timur. Mencarinya yang kutahu dia pasti tak ada lagi malam ini. Tidak akan ada bulan malam ini. Sebab purnama sudah pergi lebih dari tujuh hari.

Kala aku memalingkan wajah ke pucuk-pucuk pohon, tetiba kulihat ia terbit. Lagi. Di depanku.

Seperti melihatnya sekali lagi. Purnama datang menghampiriku. Kini dalam sosok asing yang nyaris tak kukenal.

Lalu kenapa kau bisa mengenal itu purnama? 

Sebab ada pendar cahaya yang datang bersamanya. Cahaya yang tak pernah dimiliki satu makhluk Tuhan lainnya di dunia.

Dari balik rerimbun, aku mengintip wajahnya. Tanpa berkata. Persis seperti gadis yang malu-malu aku mencoba mengenalnya tanpa bahasa.

Pertama melihatnya tujuh hari sebelum purnama pada malam itu, aku tahu dia akan datang. Lagi. Entah kapan. Entah kini. Entah sama atau beda rupa.

Apa yang membuatmu bergitu mudah mengenalnya?

Aku tak pernah tahu apakah dia makhluk Tuhan yang selama ini kupuja; purnama. Tapi saat itu aku merasakan satu hal; tulus.

Bersambung...,
15 August 2014
Posted by Fatinah Munir
Tag :

Ngarai Hati Mandalawangi (5)



Tak ada cara terbaik untuk mengenal siapa orang yang ada di samping kita selain sebuah perjalanan. Sama halnya tak ada tempat terbaik untuk mengenal siapa diri kita sebenarnya selain alam lepas.

Empat tahun lalu, Mr. G, guru bahasa Inggrisku di SMA mengucapkan dua kalimat di atas. Sampai saat ini, dua kalimat itu tetap kuingat dan kuresapi setiap ada kesempatan melakukan perjalanan jauh untuk menikmati alam. Dan setiap kali kesempatan itu datang, aku selalu membuktikan bahwa apa yang dikatakan Mr. G saat aku masih mengenakan seragam putih abu-ibu itu adalah benar.

Seperti pada perjalanan kali ini. Aku ingin mengenal tujuh orang asing yang bersamaku dari setiap langkah yang akan membawa kami ke tengah hutan dan langit biru yang membentang. Seperti pada perjalanan kali ini. Aku akan kembali mengenal siapa diriku sendiri. Mengukur keegoisan dan menakar kesabaran.

***

Aku, dua sahabatku, dan tujuh orang asing yang baru kukenal akhirnya memuai pendakian. Dari Green Ranger, kami berjalan beriringan. Menapaki jalan aspal yang tadi, saat kami lewati beberapa jam lalu masih lengang dan hanya satu dua warung yang buka, kini sudah ramai. Dipenuhi lalu lalang penduduk asli Cibodas dan beberapa pendaki seperti kami.

Di akhir jalan aspal ini kami menikung ke kanan, menapaki jalan dari bebatuan yang disusun rapi. Menuju jalan setapak yang dipagari dan bersisian dengan lapangan hijau berumput yang mengarahkan kami pada pintu masuk Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Di pintu masuk inilah, lebih tepatnya di pos pemeriksaan, kami berhenti untuk pertama kali untuk menyerahkan surat perizinan.

“Andhika? Berapa orang?” tanya seorang bapak dari balik kaca di pos pemeriksaan setelah membaca surat perizinan yang diterimanya.

“Iya, Pak. Sepuluh orang,” jawab Dhika yang lagi-lagi menjadi orang yang sibuk mengurus kami.

Tidak sampai dua menit kami di pos pemeriksaan, kami melanjutkan perjalanan menuju pemberhentian selanjutnya. Aku kurang hapal berapa pos tepatnya di Jalur Cibodas ini. Beberapa tempat yang kuingat justru tempat pemberhentian yang lebih sering digunakan untuk peristirahatan para pendaki seperti Telaga Biru, Panyangcangan, Air Panas, Kandang Batu, dan Kandang Badak.

Setelah melewati pos pemeriksaan, kami tetap berjalan beriringan. Saling berdekatan sambil sesekali berbincang. Di sepanjang perjalanan dari Pos Pemeriksaan sampai Panyangcangan, biasanya ada aliran air di sisi kiri pendaki yang hendak naik. Kali ini aliran itu kering. Bagi yang belum pernah menaiki Gede-Pangrango melalui jalur Cibodas mungkin tidak akan tahu kalau sebenarnya ada air yang mengaliri parit di sisi jalan.

Setelah beberapa menit melangkah, menelusuri parit yang kering, mataku tertuju pada salah satu papan bertuliskan “Telaga Biru” pertanda kami hampir sampai di tempat pemberhentian pertama. Teman yang lain mendahuluiku, salah satu di antara mereka bilang bahwa kita berhenti di Panyangcangan saja yang jaraknya tidak jauh dari Telaga Biru dan lebih luas daripada Telaga Biru.

Telaga biru sudah di depan mata. Pos pemberhentian pertama ini adalah sebuah toilet dan tanah lapang kecil yang di depannya saat itu dipenuhi banyak pengunjung berwajah oriental yang sedang tertawa terbahak. Aku ikut tertawa melihat tingkah mereka. Beberapa teman jalan begitu saja, tak menghiraukan apa yang ada di depannya. Di belakangku ada Yola dan Bang Awal. Aku menoleh ke belakang. Yola sepertinya memuntahkan cairan. Ya, hanya cairan. Bening. Seperti air.

“Mau lanjut?” tanyaku pada Yola.

“Lanjut aja, Teh,” jawabnya dengan wajah yang sudah mulai pucat.

Aku berjalan bersisian dengan Yola. Saat mendekatinya, bau muntah sudah menyengat hidungku.

“Kamu muntah? Istirahat dulu ya. Aku bilangin ke yang lain,” kataku sambil memerhatikan wajahnya yang sudah menunjukkan raut lelah. Saat itu sebenarnya tubuhku juga sudah merasakan lelah. Payah. Sudah mengantuk meskipun tubuh harus tetap bergerak.

Beberapa meter ke depan, kami tiba di Panyangcangan. Lebih banyak pendaki yang berhenti di sini. Teman-teman yang lain sudah mengambil posisi untuk duduk atau sekadar bersandar. Aku memilih duduk meluruskan kaki, sambil bersandar di carrierku sendiri.

“Yola mau minum obat supaya gak mual?” aku bertanya pada Yola yang berdiri saja di seberangku. Bersisian dengan Bang Awal dan Dhika.

“Yola muntah?” tanya Kak Tiwi.

“Cuma air. Tadi kebanyakan minum,” jawab Yola.

Aku menyodorkan satu sachet obat herbal cair ke arah Yola. Kemudian aku mengeluarkan satu sachet madu untuk aku minum sendiri. Ini adalah kali pertamanya aku meminum madu. Saat itu ketidaksukaanku pada rasa manis harus aku buang jauh-jauh. Tubuhku yang semakin payah, kepala yang pusing, dan mata yang meminta untuk dipejamkan memaksa diriku meminum madu.

Aku meminum sesachet madu dengan menutup hidung dan meminum beberapa teguk air untuk menghilangkan rasa manis di lidah dengan segera. Di pikiranku saat itu adalah aku ingin melanjutkan perjalanan tanpa harus menyusahkan orang lain karena fisikku  yang sedang lemah. Hanya itu.

Lima menit setelah beristirahat, kami melanjutkan perjalanan. Kami melewati jembatan terbentang di sepanjang Rawa Gayonggong. Di jembatan ini kami masih jalan beriringan. Aku memilih jalan di belakang sambil memerhatikan yang lain berbincang dan bercengkerama. Mengenal mereka dari jauh.

Jembatan sudah kami lalui. Setelah ini jalan yang akan kami tempuh akan semakin sulit. Bebatuan dan tanah yang tersusun tak cukup beraturan. Setelah ini pula para pendaki akan disuguhi jalan bercabang yang pendek, jalur kanan biasanya jalur pintas tetapi lebih curam dan sebaliknya untuk jalur kiri yang landai namun lebih panjang.

Di percabangan pertama inilah Dhika meminta ransel Yola untuk dibawanya. Mulanya Yola menolak, tetapi kami memaksanya agar tidak ada beban bawaan Yola dan dia bisa berjalan lebih cepat lagi. Di sini pula Bang Edi menanyakan apakah aku ingin bertukar tas dengannya, sebab tasku paling berat dibandingkan teman-teman perempuan lainnya dan sedikit lebih berat dari bawaan Bang Edi.

“Masih bisa kok. Minta bantu tarikin di sini aja palingan,” jawabku sambil menunjuk pada jalan di depan kami yang cukup tinggi.

Di sinilah tim kami jalan berjauhan. Di depan sana Kak Lina, Sofi, Yudith, dan Dhika sudah jauh meninggalkan kami. Aku, Erni, Kak Tiwi, Bang Awal dan Bang Edi jalan di belakang. Kala itu Yola mulai menunjukkan ketidaksanggupannya. Kak Tiwi juga tetiba meminta kami agar berjalan lebih pelan. Tubuh Yola dan Kak Tiwi sudah basah kuyup oleh keringat, padahal kami belum menempuh separuh jalan yang harus kami lalui untuk menuju Kandang Badak. Ini pertanda tubuh dua teman kami sedang payah.

Sepanjang jalan ini kami benar-benar terpecah. Aku dan Erni memutuskan jalan lebih dulu bersama Yola. Kak Tiwi berjalan di belakang kami, ditemani Bang Edi dan Bang Awal. Aku dan Erni sering berhenti menunggu Kak Tiwi, Bang Edi, dan Bang Awal, sambil menemani atau lebih tepatnya memaksa Yola untuk beristirahat.

Aku kembali mencium bau muntah. Sekali lagi aku dan Erni bertanya pada Yola. “Kamu sakit? Istirahat dulu ya. Mau makan?”

Lagi-lagi jawaban Yola tidak, kecuali untuk beristirahat. Duduk sejenak. Sejujurnya, kala itu yang aku rasakan adalah sendiri. Ya. Benar-benar sendiri. Aku merasakan pendakian kali ini benar-benar berbeda dengan pendakianku selama ini.

Dulu, saat aku masih duduk di bangku SMP –setiap pendakian meskipun itu hanya ke Gunung Bunder atau Gunung Salak, pun di bangku SMA saat masih aktif di Pecinta Alam, para senior selalu meneriakkan hal yang sama. Liatin temen yang di belakang, masih ada apa nggak! Naik gunung jangan egois! Gak bakal kabur gunungnya! Saling jagain temen! Semuanya saling tanggung jawab sama timnya!

Kalimat-kalimat sejenis itu selalu aku ingat. Sampai saat ini. Bahkan di masa-masa aku tidak lagi berhubungan dengan aktivitas alam. Seorang penikmat alam akan tahu dirinya tidak boleh egois. Karena masih ada tanah, angin, dan api yang bisa sekali waktu menghabisi dan tidak bisa dihindarinya. Seorang penikmat alam akan tahu dirinya harus jauh dari kesombongan. Sebab ada gunung-gunung perkasa yang siap memuntahkan isinya atau menggelindingkan siapapun yang mendakinya, ada lautan berombak tinggi yang kapan saja bisa menggulung kapal sebesar apapun bersama isinya, dan ada hamparan padang pasir mematikan siapapun yang terjebak di dalam luasnya.

“Baru pertama kali gue naek kayak begini,” seruku saat kami bertiga melanjutkan perjalanan.

“Kenapa emangnya?” tanya Erni.

“Gak enak. Pada mencar-mencar. Gak mikirin ada temennya yang sakit,” aku jujur.

“Iya sih. Beda sama biasanya ya. Biasanya kan kita tetap deketan jalannya. Saling tunggu. Saling jaga,”

“Nah itu dia. Gue merasa di sini naeknya buat have fun aja. Gak ada rasa ngejagain temen. Gak nganggep tim-nya ada,” aku sedikit naik pitam.

“Orang-orangnya juga gak asik. Gue mau balik aja nih rasanya,” Erni menimpali sambil membantu Yola melangkah.

“Orang-orangnya gak asik mungkin karena kita emang belom pada kenal. Tapi justru karena belom kenal harusnya kita punya tanggung jawab yang lebih. Apalagi katanya udah ada yang sering naek. Masa gak respect sama kondisi temen sih?” aku kembali berargumen.

Kemudian kami saling diam. Menunggu Yola yang beristirahat sambil menunggu Kak Tiwi, Bang Edi, dan Bang Awal.


 ***

Tatkala kami berenam sudah bersama, kami berjalan berdekatan. Mencoba mempercepat langkah. Siapa tahu kami bisa mengejar yang lainnya di depan.

Pada sebuah persimpangan jalan menanjak, sebuah pohon melintang di jalan. Kak Tiwi, dan Erni berjalan di depan. Aku mempersilahkan Yola jalan mendahuluiku, sedangkan Bang Edi dan Bang Awal tepat di belakangku. Tetiba sebuah suara muncul dari depan.

“Ini dia. Makan dulu, Wi!” entah siapa yang berbicara demikian. Aku lupa.

Beberapa teman sudah membuka nasi. Sepertinya mereka sudah cukup lama duduk dan baru saja membuka bekal makan siang. Kak Tiwi, Erni, dan Yola duduk bersisian dengan Yudith, Kak Lina, dan Shofi. Sedikit ke depan, ada Dhika. Aku berhenti dan meletakkan tas lebih rendah daripada tempat duduk Dhika.

“Jalannya pada mencar-mencar banget ya. Kasihan yang di belakang, yang sakit, ketinggalan jauh!” aku menumpahkan kesal yang entah didengar atau tidak oleh yang lainnya. Saat itu semuanya sedang sibuk dengan makan siang masing-masing.

Aku duduk menghadap arah kedatangan kami. Minum dan melepas lelah, juga amarah.

“Fatin, sini. Makan siang dulu!” Kak Tiwi memanggilku.

Aku tidak menjawab. Hanya menghampiri dan mengambil sebungkus nasi berserta lauknya yang disodorkan Kak Tiwi dalam sebuah kantung plastik. Yang lainnya menikmati makan siang sambil bersisian atau saling berhadapan dan sambil berbincang. Aku memilih duduk di atas sebuah potongan batang pohon, menghadap hutan lebat dan makan sendirian. Bukannya aku tidak ingin melebur atau berbaur, aku hanya ingin sendiri. melepas kesal dan ketidaknyamananku di perjalanan ini.

“Fatin sendirian aja. Sini gabung!” seru Yudith kepadaku.

“Udah pewe,” hanya itu jawbaku.

Aku masih makan kala yang lainnya sudah hampir selesai dan beberapa di antaranya sudah selesai makan dan bersiap melanjutkan perjalanan. Lagi-lagi, beberapa di antara kami, terutama Kak Lina, Yudith, dan Shofi, bersiap dan jalan terlebih dahulu seperti tak memikirkan yang lainnya. Aku dan Erni yang sebelumnya sudah sepakat akan berjalan bertiga saja dengan Yola pun memutuskan berjalan belakangan. Menunggu Yola yang masih bersiap. Dhika berjalan di belakang kami. Kak Tiwi, Bang Edi, dan Bang Awal lebih di belakang, tak jauh jaraknya.

Selepas makan siang ini, aku benar-benar hanya jalan bertiga dengan Erni dan Yola. Sesekali kami berbarengan dengan Dhika yang kadang mendahului, membelakangi, atau beriringan dengan kami. Sedangkan Kak Tiwi tetap dengan Bang Awal dan Bang Edi. Terkadang, sambil menemani Yola beristirahat, Kak Tiwi bisa mengejar langkah kami.

Selepas makan siang ini pula, aku menyempatkan diri untuk tidur dua kali kala Yola meminta istirahat. Lima sampai sepuluh menit terpejam di pinggir jalan, sambil meluruskan kaki dan bersandar pada carrier cukup mengurangi kepayahan tubuh ini. Semilir angin, kicauan burung, dan gemercik air yang terdengar samar-samar juga membantuku mengurangi bad mood yang menjejal di kepala.

Kami hampir tiba di Air Panas. Aku, Erni, dan Yola, menunggu Kak Tiwi, Bang Edi, dan Bang Awal yang masih di belakang kami. Kala itu Dhika sudah berjalan lebih dulu. Mengejar Kak Lina, Shofi, dan Yudith.

“Jam berapa sekarang?” tanya Kak Tiwi kepadaku sebelum kami menjejaki bebatuan, melewati aliran air panas yang deras.

“Hampir jam 2,” jawabku menerka, setelah melihat matahari dan bayangan yang dibentuknya.

“Shalat di depan aja ya,” kata Kak Tiwi, memutuskan dna mengabarkan pada Bang Awal yang ada di depan kami, “Bang Awal, di depan kita berhenti ya. Shalat dulu.”

Aku, Kak Tiwi, dan Erni berwudhu di aliran air hangat berbau belerang. Kemudian naik ke dataran yang lebih tinggi, mencari tanah datar, kemudian shalat zuhur dan ashar yang dijamak. Yola yang sedang tidak shalat menunggu di dekat kami. Bang Edi dan Bang Awal menceburkan diri ke aliran air hangat. Menyegarkan badan dan memilih menjamak shalat di waktu ashar.

Ketika kami selesai shalat, Dhika sudah berdiri di dekat kami. Mengajak kami untuk bergegas dan bergabung dengan yang lainnya yang menunggu tak jauh dari kami. Aku memilih diam. Tak menjawab sepatah pun karena masih ada rasa kesal. Kak Tiwi mengiyakan dan bergegas menuju tempat yang lainnya menunggu.

Aku, Erni, Kak Tiwi, dan Erni membuntuti Dhika. Disusul oleh Bang Edi dan Bang Awal di belakang kami. Ternyata Kak Lina, Shofi, dan Yudith, menunggu di tanah kosong di belakang Air Panas. Lokasi peristirahatan yang biasanya digunakan pendaki untuk membuat minuman hangat atau beberapa pendaki yang pernah kutemui biasanya juga mendirikan tenda di sini.

Sesampainya di tempat yang lainnya menunggu, Bang Awal dan Bang Edi melanjutkan  menceburkan diri ke aliran air hangat yang ada di depan kami. Sayangnya, belum ada semenit aku, Erni, Kak Tiwi, dan Yola tiba, berkumpul bersama mereka, ternyata Kak Lina, Shofi, dan Yudith, sudah bersiap untuk melanjutkan perjalanan.

“Lanjut yuk!” kata Yudith, didahului Shofi yang sudah menggendong carriernya.

“Kelamaan berhenti. Kaki jadi sakit,” sambung Kak Lina yang ikut berdiri dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan.

Aku tercengang. Merasakan suasana dongkol yang kembali berjejal.

“Gila! Ngapain lu pada nyuruh kita nyamperin kalo lu bakal jalan nafsi-nafsi gini?” aku bergumam dalam hati.

“Lanjut?” tanya Dhika pada kami yang baru tiba.

“Terserah. Gue sih lanjut hayuk. Istirahat dulu hayuk. Mending tanya Yola aja tuh!” jawabku sambil berusaha menyembunykan kekesalan.

Seperti yang sudah kuduga, mereka tidak akan bertanya pada kami apakah kami ingin lanjut atau beristirahat barang sejenak. Mereka langsung jalan. Entah mereka tahu atau tidak bahwa Yola dan Kak Tiwi sedang dalam kondisi payah. Pun itu sebenarnya aku juga.

Beberapa menit setelah mereka berjalan, Bang Awal dan Bang Edi sudah selesai memanjakan diri mereka dengan aliran air hangat. Kami melanjutkan perjalanan. Jarak Kandang Badak dari tempat kami beristirahat tidak terlalu jauh. Kami tinggal melewati Kandang Batu, sebuah tanah lapang yang berdekatan dengan air terjun lebar yang juga sering dijadikan pilihan tempat mendirikan tenda oleh beberapa pendaki, kemudian kami harus melewati jalan bebatuan hingga kami menemukan jalan berbatuan pipih tersusun rapi dengan pepohonan lebat. Setelah kami melewati semua itu, barulah kami akan tiba di Kandang Badak.

Saat kami sudah menjejaki jalan setapak dengan bebatuan pipih tersusun rapi, Dhika berjalan mendahului kami. Dia hendak menyusul yang lainnya. Aku berjalan bersisian dengan Erni, Kak Tiwi dan Yola di belakangku, disusul Bang Edi dan Bang Awal.

Kami hampir memasuki memasuki Kandang Badak saat Dhika berjalan ke arah kami. Dia menunjukkan arah tempat yang lainnya berkumpul. Akhirnya, kami pun berkumpul. Utuh, setelah sejak melewati Panyangcangan kami berpisah seperti bukan satu tim perjalanan.

“Lanjut atau mau diriin tenda di sini? Masih kuat?” tanya Dhika kepadaku yang bersandar pada pohon.

“Kalau badan kuat. Tapi mata ngantuk,” ujarku

“Gue juga. Di sini aja gak apa-apa ya,” jawab Dhika.

Saat itu sebenarnya semangatku untuk berkemah benar-benar menghilang. Setibanya di Kandang Badak, aku merunduk pada carrier yang sudah kulepas, memejamkan mata hingga tanpa sadar aku kembali terlelap.

Aku terjaga, kala sebuah tangan mengguncang carrier yang menjadi tempatku menyandarkan kepala. Ternyata yang lainnya sudah tidak ada. Mereka sudah menuju tempat kami akan mendirikan tenda. Shofi yang dibuntuti Dhika sedang berjalan di depanku. Dengan wajah lesuh, tubuh yang semakin payah, mata yang sudah tidak bisa diajak kompromi, dan bad mood yang semakin menjadi aku berjalan mengikuti mereka menuju lokasi kemah.

Setibanya di lokasi kemah, ketidaknyamananku semakin menjadi. Aku mengeluarkan logistik, kompor, dan sarungtangan. Erni yang ada di sampingku pun melakukan hal sama.

“Lisfah, gak enak,” katanya dengan suara nyaris berbisik.

“Suasananya ya? Sama. Baru pertama kali naek gak enak banget kayak gini,” aku menanggapi dengan suara sama rendahnya. “Rasanya sekarang gue pengin balik aja,” aku melanjutkan.

“Besok pagi balik yuk! Gak usah muncak. Berdua aja. Berani kan?” kata Erni.

“Berani. Tapi liat nanti malam sampe besok pagi. Kalo suasananya masih ngedongkolin kayak gini, mending gue balik besok pagi,” jawabku.

“Iya,” seru Erni sambil membantuku mengangkuti beberapa barang yang harus dikumpulkan di dapur yang kami buat.

Kandang Badak semakin gelap. Pertanda matahari sudah beristirahat, bergantikan malam, berkawan udara yang semakin dingin di kulit muka. Tapi suasana hati yang kurasakan tetap sama. Jengkel, marah, dan ingin lenyap saja di antara mereka.

Sebenarnya, hal paling membuatku tidak nyaman adalah sikap Shofi yang selalu menempel dengan Dhika. Sebentar-sebentar yang dipanggil Dhika, pun itu sebaliknya. Seperti tidak ada orang lain yang dikenalnya di antara kami. Seperti yang lain tidak ada dan hanya ada mereka berdua. I don’t know they are a couple or not, tapi sikap mereka –yang teman-temanku yang pacaran pun tidak seperti itu, membuat aku mengeluarkan satu kata untuk mereka berdua. Norak!

A, sudahlah! Whatever about all of they are did. Those not my matters.

Aku, Erni, dan Kak Lina shalat maghrib digabungkan dengan shalat isya berjamaah dengan Bang Awal. aku, Erni, dan Kak Lina, Selepas itu, aku menghampiri yang lainnya yang sedang menyiapkan makan malam. Semua pekerjaan sudah diambil alih. Saat aku hendak membantu pun tidak ada yang benar-benar merespon. Alhasil, aku memutuskan diam. Berdiri saja dekat pohon.

Kak Lina berjongkok di sampingku. Lama posisi kami berdua seperti ini. Hingga tanpa diduga, Bang Awal datang menghamparkan sebuah matras dan menyuruh kami duduk di atasnya.

“Nggak. Berdiri aja,” aku menolak ajakan Kak Lina untuk duduk. Hingga yang lainnya ikut menyuruhku untuk duduk.

Lama aku berdiri hingga memutuskan untuk ikut duduk, merapatkan lutut ke dada. Lalu memutarkan pandangan ke sekeliling Kandang Badak dan pucuk-pucuk pepohonan yang gelap. Tanpa kutahu bagaimana mulanya, aku baru menyadari kala Erni menyentuh pundakku, membangunkanku yang tengah tertidur bersandar di pundak Kak Lina.

“Bangun, Lis. Makanannya hampir matang,” kata Erni.

“Nggak mau makan,” jawabku sambil bangkit, berlalu menuju tenda dan melanjutkan memejamkan mata.

Kak Lina yang ternyata juga tertidur saat duduk, mengikutiku ke dalam tenda. Kami pun tidur lebih dulu. Mungkin Kak Lina lelah, setelah mengebut dari bawah ke Kandang Badak. Tapi aku, selain memang ingin membayar hutang tidur yang tersita selama lima hari belakangan, memilih tidur adalah agar aku bisa lekas melewati malam. Agar segala kekesalan, bad mood, dan segala emosi juga perasaan yang entah bisa segera hilang dan bisa aku lupakan. Dan yang paling penting adalah tidak akan ada yang jadi korban dari kekesalanku malam itu.

Sebelum benar-benar memejamkan mata di dalam tenda, aku sempat teringat salah satu ajaran Rasulullah. Bahwa orang yang kuat bukanlah orang yang mampu mengangkat beban paling berat atau berpetualang ke tempat yang paling jauh. Bahwa orang yang kuat adalah orang yang bisa mengendalikan amarahnya.

Aku terdiam sejenak. Mencoba merefleksikan ucapan Rasulullah pada diriku sendiri di saat itu. Aku tersenyum, menyunggingkan senyuman itu untuk diriku sendiri. Bodoh! Kataku pada diriku sendiri, mengingatkan apa gunaku marah pada mereka yang baru kukenal.

Buat apa lu marah sama orang yang sangat mungkin gak tau kalau dirinya berbuat kesalahan. Toh kesalahan itu mungkin cuma berlaku di mata lu, bukan di mata orang lain. Sekali lagi aku berseru pada diriku sendiri.

“Lisfa, dingin,” suara Erni membuyarkan lamunanku. Tubuhnya sudah menghambur di dekatku.

“Sini dipeluk biar hangat. Pake sleeping bag berdua nih yuk. Ini masih bisa dishare kok,” jawabku dengan suasana hati lebih tenang.

“Makan aja dulu yuk! Kak Lina juga, makan dulu yuk!” kata Erni disusul ajakan makan dari teman lainnya yang ada di luar tenda.

“Ngantuk. Capek,” kata Kak Lina.

“Nggak ah. Mau tidur aja. Kak Lina dingin juga? Mau dipeluk gak?” kataku sambil membuang sedikit kejengkelanku yang juga tertuju pada Kak Lina.

Erni dan Kak Lina tertawa mendengar jawabanku.

Kak Lina merapatkan sleeping bag-nya, melanjutkan istirahatnya.

“Besok pagi jadi turun duluan?” bisik Erni, lebih pelan dari percakapan kami berdua setiba di Kandang Badak.

“Liat mood besok,” jawabku sambil menyeringai.

“Ah, dasar!” Erni mulai mengencagkan suaranya. “Lisfah beneran gak makan? Gue makan duluan ya. Yaah, gak ada yang nemenin gue makan dong!”

“Yang laen kan banyak,” jawabku sambil menutup sleeping bag, meletakkan lengan di atas cekungan mata, lalu terpejam dengan suasana hati sedikit membaik. Kejengkelanku, sedikit terkikis.

Aku tidak pernah tahu apa yang akan terjadi esok hari. Yang aku tahu adalah aku harus tetap melangkah ke mana pun arahnya, menikmati dan belajar dari alam yang selalu menjaga dirinya untuk tetap seimbang.



Bersambung…,



05 August 2014
Posted by Lisfatul Fatinah

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -