Archive for January 2014

Menuju Dua Ketiga

Nyaris 366 malam terlewatkan, sejak satu ketiga muncul di depan mata dan menempel di kening saya. Begitu banyak kisah tertulis sebagai jejak waktu yang kian bergulir. Satusatu darinya mengingatkan saya akan begitu baiknya Tuhan kepada saya dan setiap makhluk-Nya. Satusatu darinya mengingatkan saya atas lemahnya saya di hadapan-Nya. Satusatu darinya mengingatkan saya pada betapa banyak hal yang dianggap buruk, ternyata tak seburuk yang dikira.

Meninggalkan belasan menuju puluhan, saya belajar banyak hal tentang sebuah alasan mengapa Tuhan Menciptakan saya ke dunia. Menjejaki puluhan pertama yang hendak habis harinya, saya bersyukur atas karunia-Nya yang senantiasa memberi saya kesempatan untuk bisa bisa berkeliling Indonesia tanpa biaya, menyisihkan waktu untuk terus bersama anak-anak bermata telaga, dan  berkenalan dengan orang-orang hebat yang ada di Indonesia, termasuk kesempatan paling berharga saat bisa bertandang ke kediaman Pak Habibie :’)

Kini tepat duapuluh satu hari menjelang semakin habisnya jatah hidup saya, tak banyak yang dapat saya lakukan selain terima kasih tak terhingga atas kasih dan sayang Tuhan kepada saya. Lalu kembali saya panjatkan harapan dan impian yang ingin saya capai di dua ketiga.

Pertama.Dari segala hal yang ingin saya pinta pada-Mu, Tuhan, ada satu yang tak ingin saya lepas darinya. Mohon jangan Kau cabut rasa syukur saya pada-Mu. Saya terlalu takut untuk lupa dan jauh dari-Mu. Biarkan saya terus di dekat-Mu. Mendekap-Mu. Bersembunyi di balik ketiak-Mu.

Kedua. Begitu banyak sekali nikmat yang Kau berikan kepada saya beriring dengan sakit dan sakit yang sangat sering Kau timpakan kepada tubuh ini. Sungguh, tak ada tahun-tahun yang lebih sering membuat saya berbaring berkali-kali tanpa daya kecuali di tahun dua kedua ini. Saya mohon kepada-Mu, tolong sehatkan saya selama dua ketiga ini. Jauhkan saya dan orang-orang yang saya cintai dari penyakit dan wabah.

Ketiga. Ada rindu yang semakin menggumpal di dada saya. rindu itu berdampingan dengann kerinduan saya pada kekasih-Mu, Rasulullah SAW. Saya rindu pada Rumah-Mu, pada sebongkah bangunan suci yang setiap hari saya menghadapnya untuk bermunajat pada-Mu. Saya rindu pada Mekkah yang menjadi saksi perjuangan Rasulullah menyuarakan ajaran-Mu. Saya rindu pada Madinah yang menjadi pusat perkembangan dan kekuasaan Islam lebih dari 14 abad lalu. Saya rindu pada makam-makam sahabat/sahabiyah yang berjuang bersama Rasul-Mu. Saya mohon, Tuhan, sampaikan kaki saya di Mekkah-Madinah pada dua ketiga ini. Agar semakin besar cinta saya pada-Mu.

Keempat. Begitu banyak hal yang ingin saya sampaikan melalui tulisan. Begitu banyak kisah yag saya pikir bisa bermanfaat bagi banyak orang. Saya ingin menuangkan banyak hal ini ke dalam tulisan. Saya ingin tulisan saya diterbitkan dalam bentuk novel atau kisah inspiratif yang bisa bermanfaat kepada pembacanya. Saya ingin Kau meridhoi tulisan saya dan memberkahinya.

Kelima. Seperti betapa saya mencintai dunia kepenulisan, seperti itu pula saya mencintai dunia pendidikan. Saya ingin mendedikasikan diri saya pada pendidikan khusus yang geluti selama tiga tahun ini. Selepas dari mengajarn sekolah inklusi, saya ingin mengajar di sekolah alam sebagai guru pendidikan khusus bagi anak-anak dengan gangguan emosi dan tingkah laku, atau anak berbakat.

Keenam. Kau Maha Mengetahui seberapa besar keingianan saya untuk bertemu dengan orang-orang hebat dan sholeh/sholehah. Jika sebelumnya Kau berikan saya kesempatan untuk duduk bersisian dengan Pak Dahlan Iskan, Pak Habibie, Bu Venna Melinda, Tifatul Sembiring, Tere Liye, dan Ibu Menteri Pemberdayaan Perempuan. Kali ini, di dua ketiga ini, saya ingin Kau izinkan saya bertemu dan dekat dengan Ummi Pipik (Istri Almh. Uje) dan Pak Jokowi. Dari keduanya saya ingin banyak belajar tentang agama dan tanggung jawab. Dari keduanya saya ingin belajar menjadi rendah di tepat yang menjulang.

Ketujuh. Tak ada kesempurnaan nikmat ketika belumlah sempurna pengabdian saya pada-Mu. Tak ada pengabdian yang lebih baik saya lakukan, selain mengabdi pada-Mu melalui kedua orang tua dan pendamping hidup saya nantinya. Saya ingin melanjutkan pengabdian pada-Mu dengan mengabdikan diri ini pada pasangan hidup saya yan Kau ridhoi dan berkahi. Saya ingin menjalankan hari-hari melayani pasangan hidup saya sebagai ibadah saya pada-Mu. Maka saya mohon, Tuhan, pada dua ketiga ini, jadikan saya pendamping lelaki yang baik agamanya, yang mampu membimbing saya agar semakin mencintai-Mu, yang Kau ridhoi dan berkahi kebersamaan saya dengannya.

Dalam perjalanan duapuluh satu hari menuju duapuluh satu dan meninggalkan satu ketiga menuju dua ketiga, saya berharap bisa semakin memperbaiki diri. Tak banyak yang bisa saya lakukan. Saya hanya berusaha untuk menjadi wanita yang bermanfaat di manapun saya berada. Saya hanya ingin menginspirasi banyak orang melalui sedikit hal yang saya lakukan. Saya hanya ingin apa yang saya lakukan, jika itu bernilai kebaikan di mata Tuhan, maka semoga kebaikan itu mengalir pula pada kedua orang tua saya. Amin.

Dalam titian waktu menuju dua ketiga. Semoga semakin baik segalanya bagi saya. Semoga segala yang tertulis di sini pun menjadi nyata. Amin.

Tanah Merah, 20.45, 31/1/2014 
Lisfatul Fatinah Munir


31 January 2014
Posted by Fatinah Munir

Bincang di Atas Motor



Pagi itu, saat matahari masih malu-malu menampakkan wujudnya dari balik gumpalan awan, seperti biasa di hari libur, bapak ada di rumah dan aku tetap sok sibuk dengan aktivitas di luar rumah. Di setiap pagi seperti ini bapak akan mengantarkanku meski hanya sampai terminal –karena trauma dan bekas operasi di mata, bapak tidak bisa mengemudikan kendaraan dalam jarak jauh.

Di atas motor tua miliknya, bapak memboncengiku. Seperti biasa, kami akan berbincang selama perjalanan menuju terminal. Kami melewati sebuah flyover yang menghubungkan KS. Tubun dengan Jati Bunder. Saat bapak melajukan motornya ke atas flyover tampak seorang ibu mendorong gerobak di sisi kiri jalan. Bapak mengeraskan suaranya sambil menunjuk ke arah ibu yang mendorong gerobak, “Lihat itu! Perempuan tapi dorong gerobak buat jualan. Itu namanya mandiri dan kuat.”

Sambil mendengarkan ucapan bapak, mataku terus tertuju pada ibu yang mendorong gerobak itu hingga sosoknya menghilang di kejauhan. Ucapan bapak tak berhenti sampai di situ, bapak kembali berucap, “Kamu juga harus kayak gitu. Mandiri dan kuat.”

“Hu’uh,” jawabku singkat, seperti biasa hanya mendengarkan bapak dan bicara seperlunya.

“Lis, perempuan juga harus mandiri dan kuat. Tapi kamu juga harus tahu batasnya, harus tahu kodrat. Jadi harus tetap hormat sama laki-laki,” lanjut bapak.

Tanpa terasa, kami hampir tiba di terminal dan aku harus segera turun. Saat aku hendak mencium tangan bapak, bapak sempat terdiam. Seperti ada yang ditunggunya. “Perempuan itu mudah masuk surga, tapi mudah masuk neraka. Kuncinya ada di sini. Jaga baik-baik ini,” kata bapak sambil mengarahkan jemarinya yang besar ke depan mulutnya.

Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutku, meski sekadar sahutan “hu’uh”. Hanya anggukan yang aku berikan pada bapak, bersama dengan airmata yang tertahan. Aku mencium tangan bapak lalu menyeberang menuju sebuah bus yang akan membawaku ke tempat lain. Aku melihat bapak masih di tempatnya. Bus yang kunaiki mulai melaju, bapak tersenyum pada kondektur bus dan melambaikan tangan kepadaku.
Posted by Fatinah Munir

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -