Archive for October 2014

Traveling Okay! Praying Okay!



Saya termasuk orang yang suka jalan. Ya jalan ke mana saja dalam artian menikmati alam dan suasana sekeliling saya. Mulai dari sekadar keliling kota (apalagi Kota Tua, Jakarta :* ), ngebolang ke tempat yang jauh dan asing, naik gunung, ke pantai, dan berharap bisa keliling bawah laut.

Berhubungan dengan kesukaan saya pergi ke tempat jauh, sudah pasti saya akan menghabiskan waktu di perjalanan yang jauh. Sebelum-sebelumnya saya biasa jalan-jalan naik bus atau pesawat, cukup jarang menggunakan kereta.

Seperti bus antar kota pada umumnya, setiap bus memiliki jam berhenti di rumah makan beberapa menit. Waktu singgah di rumah makan ini biasanya juga saya digunakan untuk memenuhi kewajiban saya sebagai Muslim, yaitu shalat. Jika bepergian menggunakan pesawat, pastinya waktu perjalanan ke tempat tujuan akan lebih singkat meski saya harus menyeberang pulau. Dengan begitu, jika menggunakan pesawat waktu shalat tidak terlalu terganggu.

Nah, lain lagi ceritanya jika menggunakan kereta. Perjalanan menggunakan kereta ke luar kota inilah yang menjadi alasan saya membuat tulisan ini. Terakhir saya naik kereta beberapa pekan lalu saat hendak ke Jawa Timur dengan jam keberangkatan pukul 15.15 WIB dan tiba di stasiun tujuan pukul 3.49 WIB.

Sebelum berangkat, saya menjamak shalat zuhur dan ashar di rumah. Tapi bagaimana dengan shalat maghrib dan isya saya?

Sebelum perjalanan ke Jatim ini, perjalanan jarak jauh menggunakan kereta terakhir kali saya lakukan tahun 2012 lalu saat ngegembel ke Semarang. Ketika itu perjalanan saya tidak mengganggu waktu shalat, karena kereta berangkat di atas pukul 8.00 WIB dan tiba di Semarang pukul 5.15 WIB kalau saya tidak salah ingat. Kala itu saya masih bisa shalat Subuh di mushalah terdekat stasiun dan menumpang mandi di rumah salah satu warga dekat Stasiun Poncol sebelum matahari benar-benar muncul.

Di perjalanan kali ini, saya benar-benar bingung bagaimana saya melaksanakan shalat Maghrib dan Isya. Memang sih saya pernah melihat teman saya shalat Subuh di bus saat perjalanan ke Dieng. Tapi saat itu saya memilih shalat di masjid, karena shalat Subuh masih bisa dilakukan setelah kami turun dari bus. Lagi pula, saya pernah mendengar dari salah seorang teman bahwa shalat wajib tidak bisa dilakukan di kendaraan.

Karena info simpang siur yang saya peroleh sebelumnya dan pemahaman agama saya yang bisa dibilang masih seciul, ditambah lagi kebiasaan –yang bisa jadi saklek dan buruk; saya tidak akan melakukan hal yang tidak pernah saya pahami sebelumnya, akhirnya saya memutuskan untuk tidak melakukan shalat di dalam kereta sepanjang perjalanan ke Jatim.

Sebelum saya sampai di Jatim, lebih tepatnya Lamongan, saya bertanya pada teman  yang menjadi tuan rumah tentang shalat di perjalanan atau shalat di kendaraan. Namanya Alawy. Saya memanggilnya Kak Awy. Kebetulan beliau lulusan universitas ternama di luar negeri, konsen belajar di bagian tafsir hadits –kalau tidak salah. Jadi, insya Allah info yang beliau berikan valid.

Jadi, shalat wajib selama perjalanan jauh memang tidak bisa dilakukan di kendaraan. Shalat wajib selama perjalanan jauh hanya bisa diringankan dengan dijamak atau diqoshor.

Kurang lebih beginilah Kak Awy bilang, “Udah ngubek-ngubek buku babon, tapi gak ada tuh yang bilang kalau shalat wajib boleh dikerjain di kendaraan. Yang boleh dikerjain di kendaraan cuma shalat sunnah. Itu juga beda-beda pendapat mazhabnya.”

Jadi, mazhab Maliki dan Hanafi bilang kalau shalat sunnah di kendaraan hanya boleh dilakukan jika perjalanan lebih dari 83 Km dan shalat bisa menghadap mana saja.

Berbeda lagi dnegan mazhab Hambali dan Syafi’i yang bilang kalau shalat sunnah di kendaraan boleh dilakukan dengan jarak tempuh perjalanan berapa pun dan shalat diharuskan menghadap kiblat saat takbiratul ihram saja.

Lah terus kalau naik pesawat ke luar negeri ke yang memakan waktu panjang sampai 9 jam perjalanan, bagaimana shalat wajibnya? Atau kalau naik kereta seperti yang saya alami beberapa waktu lalu, bagaimana dong shalat wajibnya?

Masih merujuk ke jawaban dari Kak Awy. Jadi kalau waktu tempuhnya sangat lama dan tidak memungkinkan berhenti untuk shalat, maka shalat wajibnya dibablas.

Loh? Terus bolong shalatnya gitu?

Nein. Tidak begitu. Kita berarti punya “hutang” shalat selama di dalam kendaraan. Sama seperti hutang puasa, hutang shalat ini juga harus dibayar. Diqodho. Caranya dengan mendouble shalat wajib yang bablas selama dalam kendaraan. Dilakukannya di waktu shalat yang sama.

Adakah keringanan lainnya tentang shalat dalam kendaraan? *maunya yang ringan-ringan*

Ada. (Yeeeeaaach. Prok prok prok!) *Gak usah kegirangan dulu*

Kalau kita melakukan perjalanan jauh menggunakan bus atau mobil yang memungkinkan kita bisa berhenti untuk shalat wajib, ada keringanan untuk tidak usah keluar kendaraan dan bisa melakukan shalat wajib di kendaraan. Yaitu saat terjadi empat hal, (1) saat perang (macam perang di Palestina dan  Somalia mungkin), (2) jika ada kemungkinan dirampok jika turun (mungkin seperti perjalanan jalur darat ke Padang yang harus melewati hutan dan banyak penyamun), (3) saat tanah yang dilewati kendaraan itu berlumpur dan tidak ada tempat singgah selama perjalanan, (4) saat sedang sakit parah.

Satu lagi. Saat di kendaraan, mislanya di kereta dalam waktu sangat lama dan tidak memungkinkan untuk shalat wajib, kita bisa melakukan shalat sunnah untuk menghormati waktu shalat yang sudah tiba. Saya lupa namanya itu shalat apa. Intinya itu shalat sunnah dua rakaat dalam kendaraan yang setidaknya untuk menghormati datangnya waktu shalat selama kita tidak memungkinkan untuk melaksanakan shalat wajib.

Kurang lebih begitulah tentang shalat wajib di kendaraan. Semoga postingan ini bermanfaat. Khususnya untuk teman-teman yang juga suka ngebolang ke tempat-tempat jauh.

Karena setiap perjalanan –bagi saya– adalah cara saya menyentuh dan mengenal Tuhan lebih dalam, maka saya juga masih belajar agar setiap perjalanan saya tidak boleh lepas dari-Nya. Jadi, kalau ngebolang tetap jalan, kenapa shalatnya nggak?


“Islam memang gampang, tapi bukan berarti digampangin seenak jidat kita.” 
(Kak Awy)
10 October 2014
Posted by Fatinah Munir

Ngarai Hati Mandalawangi (8 - Selesai)



“Eh, pada belom dateng juga nih?” tanya Bang Edi dari depan tenda. Disusul suara Shofi yang sudah kembali dan menanyakan keberadaan mereka.

“Gini aja. Biar gue sama Shofi naik lagi. Kalian jaga tenda sambil ngeberesin yang bisa diberesin deh. Ini udah siang banget. Kalo mereka dateng, nanti enak mereka tinggal makan dan packing aja,” Bang Edi memberikan intruksi.

“Ikuuuut. Ini kan salah Lisfah, Bang Ed…,” aku merajuk, berharap bisa ikut mencari mereka. Menebus kesalahan atas keegoisanku. Atau apapun itu namanya.

“Nggak. Fatin lu di sini aja bantuin yang lain,” Shofi menyahut.

“Semoga cepet ketemu ya. Cepet balik,” kataku pada keduanya yang sudah mulai berjalan ke arah atas.

Kami yang ada di tenda saling berbagi tugas. Kak Tiwi dan Kak Lina mencuci alat masak dan makan yang kotor. Sedangkan aku merapikan perlengkapan di tenda perempuan.

Baru beberapa menit aku ditinggal sendirian di tenda. Tiba-tiba Dhika datang dari kejauhan.

“Alhamdulillah. Yang lain mana?” tanyaku tetiba.

“Di belakang. Enalgen gue yang ijo sama air dong. Kasihan yang lain kehausan sama kelaperan,” sahut Dhika.

Aku sontak mengambil barang-barang yang disebutkannya, meskipun awalnya sempat linglung dan bingung kemana yang lainnya.

“Yang lain mana? Ketemu sama Shofi dan Bang Edi gak?” tanyaku saat Dhika sedang minum.

“Di belakang. Udah, lu rapihin tenda gue ye. Keluarin isinya. Lepasin rangkanya. Kesorean nih nanti turunnya,”

“Hu’um,” aku mengangguk dan mulai melakukan intruksi Dhika saat dia berbalik arah, berjalan ke atas untuk menjemput yang lainnya.


Insiden Kolor

Aku membentangkan trash bag di dekat pohon. Kemudian aku memasuki tenda pria. Mengeluarkan tas mereka. Lalu mengambil matras yang menjadi alas tidur mereka untuk dijadikan alas barang-barang mereka.

“Haduh berantakan banget. Ini barang siapa aja?” gumamku saat melihat isi tenda. “Ah, sudahlah. Pokoknya gue keluarin aja dulu semuanya deh.”

Ada dua sleeping bag yang belum dilipat. Aku melipatnya satu satu, menggambungkannya dengan tas yang sudah kukeluarkan. Lalu aku mengambil beberapa kantung plastik yang entah apa isinya. Semuanya aku gabungnya saja.

Ketika aku hendak keluar tenda, tiba-tiba tanganku menyentuh kantong plastik di dekat pintu tenda yang sedari tadi terhalang oleh kakiku sendiri. Aku raba-raba sejenak, terasa seperti sebuah pakaian. Tapi kok kecil? Kok berkaret?

Aku menarik kantong plastik yang tertindih kakiku sendiri. Benda yang ada di dalamnya keluar sendiri. Berantakan begitu saja saat kutarik. Jumlahnya lebih  dari satu. Bentuknya segitiga, berwarna abu-abu, dan berkaret hitam pipih. 

Aaarrrgggghh! Underware! Celana dalam! Kolor! Huaaaaaa! >,<

Aku tersontak. Tertawa geli sendirian. Celingak-celinguk di tenda kosong dan cengar-cengir sendiri. Hahahahaha. Awkward. Tapi geli. Tapi lucu.

Aku bergidik, sembarang memasukan celana dalam abu-abu itu ke kantung plastik yang kupegang dengan tangan kiri. Kemudian aku meletakkan kantung-kantung yang aku angkut dari dalam tenda ke atas matras. 

Aku tertawa lagi, sejenak. Membayangkan kecanggungan beberapa saat lalu saat melihat celana dalam abu-abu yang aku bentangkan di dalam tenda. Ah sudah, sudah! Beberes aja, Tul. Seruku pada diriku sendiri sambil menahan tawa yang nyaris kukeluarkan lagi


I Look They Return!

Baru saja aku ingin melepas pasak tenda, pandanganku teralih pada warna merah yang mengarah ke tenda kami.

“Erni!” aku sontak berlari ke arah tenda perempuan.

“Lisfaaaaaah! Gue nyasaar!” kata Erni sambil berlari ke arahku.

Aku langsung memeluk Erni yang dibuntuti Dhika. “Maafin yaaa. Tadi jalan duluan. Gak kenapa-kenapa kan? Ayo duduk, makan dulu!” aku menunjuk makan siang untuk mereka yang sudah kami siapkan.

“Tendanya belom sempat dibongkar, Dhik. Barang-barangnya udah dirapihin, udah dikeluarin juga itu,” kataku pada Dhika.

“Iya gak apa-apa. Laper nih gue. Tiwi sama Ais mana?” seru Dhika.

“Masih ngambil air sama nyuci alat masak kayaknya. Gih pada makan dulu. Udah disisain itu dari tadi,” kataku sambil menunjukkan nasi dan lauk untuk mereka.

“Ah, bikin ribet nih tali-tali!” kata Erni sambil mengeluarkan potongan tali dari kantung jaketnya.

“Kita tuh lama gara-gara tali-tali gak jelas itu tau gak! Itu tuh gak jelas tali penunjuk arah apa tali buat mapala atau apa!” Dhika menimpali. Mencurahkan kekesalannya pada tanda-tanda di pohon yang konon menyesatkan mereka.

Satu satu yang lainnya muncul. Yudith, Yolla, Bang Awal, Bang Edi, Shofi, bahkan Kak Tiwi dan Kak Lina. Kini kami sudah lengkap. Kami saling menimpali cerita tentang terpisahnya kami. Pun mereka yang selama dua jam tersesat. Termasuk tentang tali-tali yang menjadi sasaran kekesalan Erni dan Dhika karena dianggap semakin membuat mereka tersesat.

Tidak tega melihat wajah mereka yang kelelahan. Pasti mereka kelaparan dan kehausan. Duh, aku benar-benar merasa bersalah sudah menuruti kekesalanku dan memilih jalan lebih dulu tanpa memikirkan yang lain. Padahal saat itu aku hanya kesal pada Dhika –yang menurutku sudah seenaknya menyuruhku jalan duluan dan sendirian padahal yang lain sudah berjalan lebih dulu sedari tadi.

Saat jalan lebih dulu, mungkin aku sedang beruntung karena bertemu dengan pendaki lain yang juga hendak turun. Jika saja saat itu aku, Kak Lina, dan Shofi tidak bertemu dengan pendaki lainnya, mungkin kami juga aka tersesat. Mungkin lebih lama tersesatnya daripada mereka.

Tapi, ya sudahlah. Semuanya sudah dilewati. Biar jadi pelajaran untuk diriku sendiri; kalau jengkel ingat waktu dan tempat, juga jangan seenaknya. Yes, I’ll do it next time! Insya Allah!


Bersama Tuan-Tuan Tak Tampak

Semuanya sudah berkumpul. Lengkap sudah. Kami merapikan semua bawaan. Sambil packing,  aku berincang ringan dengan siapapun di antara kami. Apapun itu perbincangannya. Sesekali kami juga saling menimpali canda. Ah, hanya di sini, saat hendak turun inilah aku merasakan kehangatan dari orang-orang asing yang baru kukenal, yang sedari kemarin mendaki bersamaku.

Seperti biasa, sebelum turun kami membentuk lingkarang seperti kemarin kami hendak mendaki. Berdoa dengan khitmad, berharap keselamatan di perjalanan turun hingga kami bisa berkumpul kembali dengan keluarga di rumah. Eh iya, tidak lupa juga kami berfoto sebelum meninggalkan Kandang Badak.

Pukul 04.00 WIB, kurang lebih. Kami berjalan beriringan. Mulanya. Ya seperti biasa, pasti akan terpisah-pisah. Di awal perjalanan turun ini aku, Dhika, dan Shofi berjalan lebih awal. Di tengah perjalanan, Dhika sempat memintaku bertukar tas denganya karena tasku lebih berat daripada tasnya.

Kami melanjutkan perjalanan hingga air panas. Di sini kami bertiga beristirahat sambil menunggu yang lainnya menyusul.

Tak lama setelah kami beristirahat di air panas, yang lainnya datang. Di sinilah kami membuat popcorn instan yang dibawa Dhika sejak kemarin, namun belum sempat dimasak. Baru sejenak kami bersama, saling menimpali canda lagi, tiba-tiba Kak Lina memanggilku. Mengajak jalan lebih dulu.

“Tunggu dulu, Kak. Bareng aja. Udah mau gelap ini soalnya,” sahutku sambil tetap berkerumun bersama yang lainnya.

Kak Lina mengajakku lagi untuk berjalan lebih dulu. Akhirnya aku, Kak Lina, Yolla, dan Erni berjalan terlebih dahulu.

Selama jalan berempat, Yolla harus di tengah. Aku membuat peraturan sendiri, mengingat Yolla tampak masih letih. Kami melwati air panas perlahan-lahan. Aku khawatir Yolla jatuh atau terpeleset karena bebatuan yang licin.

“Yolla bisa?” tanyaku pada Yolla yang ada di belakangku.

“Bisa, Kak Fatin,” jawabnya.

Saat kami sudah melewati bebatuan besar di air panas, tetiba terdenar suara dentuman. Yolla terjatuh. Bersyukur dia tidak apa-apa dan hanya terpeleset hingga jatuh terduduk. Sepatunya basah. Kakinya pun basah. Sampai di pos pemberhentian, kami berhenti. Yolla mengganti kaos kakinya.

Tik…. Tok…. Tik…. Tok....

Di telingaku terdengar jarum jam berdetak sangat lambat. Selambat Yolla berganti kaos kaki. Sampai-sampai saat itu rasanya aku ingin turun tangan untuk menggantikan kaos kakinya dan memasangkan sepatunya. Tapi saat itu hanya senyum-senyum dengan Erni sambil bergeleng.

“Udah, Yol?” tanyaku, memastikan untuk kesekian kalinya apakah Yolla sudah selesai mengganti kaos kaki atau belum.

Kami melanjutkan perjalanan. Hingga gelap mulai datang.

Situasi kembali menjadi menyebalkan –buatku. Kami hanya punya dua senter. Entah senter milik siapa saja. Tapi yang jelas itu bukan milikku. Karena baterai headlamp-ku habis dan aku tidak membawa baterai cadangan.

“Erni, Kak Lina, yang pegang senter di paling depan sama paling belakang ya,” seruku pada mereka.

“Lisfa aja yang pegang senter di depan,” kata Kak Lina.

“Gue jangan belakang dong,” kata Erni.

Aku memegang sebuah senter yang diberikan Yolla. Kami berjalan beriringan. Aku, Yolla, Erni, dan Kak Lina. Agak menyebalkan sebenarnya. Aku pikir hari yang mulai gelap ini cukup bahaya dengan hanya dua penerangan. Apalagi kami perempuan semua dan tidak ada pendaki lain yang beriringan dengan kami. Belum lagi kami harus menjaga Yolla juga “menuntun” Yolla untuk memilih pijakan agar dia tidak terjatuh lagi.

“Yolla bisa kan?”, “Lewat sini, Yol!” Aku berulang kali mengucapkan dua kalimat tersebut selama turun.

Sampai cukup lama kami berjalan hanya berempat, yang lainnya belum juga datang. Pun itu pendaki lain yang bukan tim kami.

“Berhenti dulu ya. Nunggu yang lain aja,” pintaku pada yang lainnya.

Kak Lina menolak. Aku meminta Yolla beristirahat saja sambil menunggu yang lainnya, tapi Yolla  juga menolak. Tinggal Erni yang hanya mengikuti saja apapun keputusannya. Saat itu aku tetap bersikukuh untuk menunggu yang lainnya.

“Ayo lanjut aja,” pinta Kak Lina.

“Kalo mau duluan yaudah, Kak Lina duluan aja. Gue bisa aja duluan. Tapi kita Cuma berempat. Gak ada orang di sini. Sekuat apapun gue tetap cewek. Gue mau ada cowok di sini!” kataku dengan suara tinggi. Mungkin bisa dibilang membentak.

“Ya tapi mereka lama,” ujar Kak Lina.

Ah, sebenarnya aku minta berhenti bukan karena gelap dan kami hanya berempat di sini. Melainkan karena sedari tadi ada yang lain di antara kami. Kami tidak berempat. Ada yang lain yang mengikuti kami. Tak hanya satu, tapi beberapa. Aku takut –ya takut, kondisi  Yolla yang keletihan justru memancing terjadinya hal yang sangat tidak diharapkan. Belum lagi Kak Lina yang sejak kemarin sudah “dikerjai”. Apalagi sepanjang jalan ini pengelihatanku mulai aneh. Mulai tampak hal-hal aneh.

Saat kami berempat sedang berdiam, dari belakang kami muncul tiga pria pendaki. Mereka menyapa kami selayaknya pendaki yang lain dan mengajak kami  turun bersamanya.

“Yaudah, ayo bareng mereka!” Kak Lina mengajak.

Alhasil kami berempat berjalan bersama ketiga pria ini.  Saling tanya sejenak. Lalu perjalanan kami hening hingga teman-teman menyusul kami.

Kami berjalan beriringan lagi. Aku tetap berjalan dengan Yolla. Mengarahkan jalannya setapak demi setapak. Saat sedang menyinari jalan di depan Yolla, aku berjalan mundur. Kaki kiriku turun terlebih dahulu, disusul kaki kananku. Aku tidak menyadari bahwa kaki kananku menendang sebuah batu dan jatuh tepat di ujung kaki kiriku.

Dug!

Ya Tuhan, sakit! Tulang jemari kakiku sempat kejang dan ngilu. Aku tidak mengacuhkan sakit di jari kaki. Aku terus melangkah sambil membalikkan badan, berjalan ke depan, dan tetap membagi cahaya dengan Yolla.

Sebelum Panyangcangan. Kami masih berjalan beriringan. Para pendaki juga mulai banyak terlihat. Ada sekelompok pendaki yang berhenti. Salah satu dari mereka menggendong seorang perempuan berambut pendek. Wajah yang menggendong dan yang digendong sama-sama pucat.

“Ya Allah. Sakit, Mas, temannya?” tanya salah satu di antara kami.

“Iya ini udah payah dari tadi,” sahut pria yang berdiri di depan yang menggendong.

Itu bukan sakit. Itu ada yang ngikutin. Aku bergumam dalam hati sambil berlalu, saat melihat ada yang berbeda dari wanita pasi yang tertunduk saat digendong.

Masih sebelum Panyangcangan. Kami berhenti sejenak. Melepas lelah. Akumemilih bersandar pada tasku sambil menghadap ke arah jalan yang akan kami lewati selanjutnya. Di sisi kiri jalan, di antara pohon yang tak jauh dariku, ada sosok besar menyeramkan. Sedangkan di sisi kanan kami ada sosok-sosok beraneka rupa yang melayang. Melakukan aktivitas mereka sambil seperti  menunggu sesuatu.

Tak lama setelah kami beristirahat, rombongan pendaki yang salah satu anggotanya sakit datang menyusul kami. Mereka memilih sisi kanan. Aku melirik sejenak saat suasana menjadi dingin. Dingin yang berbeda.

Sesaat setelah itu, terdengar suara pria berteriak. Bukan pria, tapi wanita pucat pasi yang digendong tadi yang berteriak dengan suara berbeda.

“Tuh kan,” gumamku dalam hati sambil membaca doa.

Saat sedang diam berdoa, tiba-tiba seorang lelaki menghampiri kami. Dia meminta bawang pada kami. Suara pria di balik wanita pucat  pasi itu yang meminta, sepertinya. Sebenarnya, kalau ada kejadian seperti ini tidak harus dituruti permintaannya. Jika masih bisa diajak berkomunikasi, sebaiknya berkomunikasi saja. Lalu “bernegosiasi” agar makhluk itu pergi setelah permintaanya diberikan.

Beberapa lama setelah aku berdiam diri, menyimak keadaan hanya dengan telinga –karena sudah terlanjur nyaman dengan posisi bersandar, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.

Panyangcangan kami lewati begitu saja tanpa berhenti. Di sini Yudith dan Shofi diikuti sesosok pria tinggi. Aku dan Kak Lina yang berjalan bersisian mengikuti di belakang mereka. Sampai di pertengahan jembatan Telaga Galonggong, sosok itu menghilang.

Kini posisi kami benar-benar terpisah. Kak Tiwi dan Dhika di depan, disusul Yudith dan Shofi. Aku dan Kak Lina berjalan bersama Bang Edi. Sedangkan Bang Awal, Yolla, dan Erni di belakang.

Sebelum berjalan terpisah dengan Erni, Bang Awal dan Yolla, aku memang sengaja bilang ingin jalan lebih dulu. “Gantian, Er, temenin Yolla. Kaki gue sakit banget jalan terlalu lama begini.”

Saat jalan lebih dulu bersama Kak Lina dan Bang Edi, kakiku sakit sekali. Bekas tertimpa batu beberapa saat lalu jadi terasa karena terlalu lama berhenti dan lambat saat berjalan. Aku sempat beberapa kali minta berhenti karena merasakan perih di jari kaki.

“Sepatunya ngepas kali, Tin,” Bang Edi berseru.

“Enggak. Ini udah lebih satu ukuran. Tadi emang sakit kok ini kakinya,” jawabku.

Kami melanjutkan perjalanan dengan cukup perlahan. Karena tidak kuat menahan perih di jari kaki kiri, aku lebih mengandalkan kaki kananku. Di perjalanan turun bertiga ini kadang hening, kadang kami saling berbincang hal-hal ringan. Yang aku ingat, saat itu aku sempat mengutarakan kekesalanku selama pendakian ini. Pun itu Kak Lina. Dan Bang Edi hanya menanggapi dengan kata “Umm” dan sesekali tertawa kecil.

Satu demi satu bebatuan kami pijaki untuk menempuh Pos Pemeriksaan. Akhirnya kami tiba di pos. Dhika, Kak Tiwi, Shofi, dan Yudith, sudah duduk santai di teras salah satu bangunan. Sepertinya mereka sudah cukup lama menunggu. Ketika melihat kami bertiga datang, mereka bertepuk tangan sambil mengucapkan beberapa seruan.

Aku memasang wajah datar. Entahlah. Perih di jari kaki membuatku malas menanggapi mereka termasuk saat mereka menanyakan Yolla, Erni, dan Bang Awal.

Aku langsung memilih posisi yang bisa membuatku bersandar pada tas dengan nyaman. Aku melepas sepatu kiri dan memijat jemari kaki yang tadi tertindih batu. Beberapa jari terasa membengkak. Sakit yang paling terasa ada di jempol kaki. Perih pula.

Saat sedang memikit kaki, Erni, Yolla, dan Bang Awal datang. Erni membaringkan badannya di samping Kak Lina. Yolla duduk di ubin sambil bersandar pada tembok. Sedangkan Bang Awal meletakkan tas di paling ujung, dekat Bang Edi dan Dhika.

Aku letih. Aku memutuskan melupakan sakit di kaki dan memilih memejamkan mata sejenak. Baru saja aku mau memejamkan mata, aku merasa ada yang mendorong-dorong tas yang menjadi sandaranku. Lalu kegaduhan kecil tertangkap di telingaku.

“Kok gak ada? Eh, celana dalem gue kebawa lu, Di?” suara Dhika.

“Nggak. Ngapain juga bawa celana dalem lu,” sahut suara Bang Edi.

Saat itu aku ingin terjaga lalu terawa terbahak-bahak mengingat celana dalam yang tadi siang tidak sengaja aku bentangkan dan aku masukan ke sembarang kantung plastik.

“Kayaknya sama Awa’. Tadi ada warna abu-abu,” suara Bang Awal menimpali.

Aku terseyum. Lalu melanjutkan tidur.


Pulang

“Lis…, Lisfah. Bangun!” seru suatu suara membangunkanku. Mengguncang tubuhku.

“Umm…, udah mau jalan lagi? Kataku sambil memicingkan mata.

Saat aku membuka mata sepenuhnya, semua sudah berkemas. Aku meregangkan otot-otot. Saat tangan kuregangkan ke atas, aku merasa tas yang kubawa semakin ringan.

“Tasnya kok terbuka?” tanyaku pada sembarang orang.

“Tadi gue ambil barang,” sahut Dhika.

“Eeeh, bukannya bangunin aja,” kataku sambil melepas tas dan mengambil tasku sendiri.

Semuanya sepertinya berganti  pakaian kecuali aku. Ah, biarlah. Sudah terlanjur malas. Pokoknya yang penting tadi sebelum turun, aku sudah bersih-bersih dan ganti-ganti di Kandang Badak. Aku membela diri sendiri dalam hati.

Kami berjalan ke jalanan Cibodas. Menuju deretan warung yang sudah tutup. Hanya satu dua warung makan yang masih buka. Dan kami mampir ke salah satunya.

Sudah hampir tengah malam. Aku memutuskan tidak makan. Saat yang lainnya makan dengan menu bakso dan bubur, aku memilih hanya minum jus jambu merah kemasan yang selalu kubawa setiap kali bepergian.

Usai makan beberapa menit, kami langsung naik angkot kuning ke pertigaan Cimacan. Beruntung di depan warung tempat kami makan ada angkot. Dengan bantuan ibu warung, angkot itu dipanggil ke depan warung.

Kondisi tempat duduk masih kondusif dan suasana masih stabil saat kami menaiki angkot menuju pertigaan Cimacan dengan berdesakan. Tapi berbeda dengan perjalanan selanjutnya dari Cimacan menuju Kampung Rambutan.

Seorang calo angkot menghampiri kami dengan suara khas orang mabuk. Seingatku, saat hendak menuju Cibodas kemarin, calo angkot paruh baya itu juga dalam kondisi mabuk seperti ini.

Sebagai orang yang diketuakan dalam pendakian ini, lagi-lagi Dhika yang  ambil alih berinisiasi menggunakan angkot menuju Kampung Rambutan. Alasannya adalah kalaupun kami naik bus dari Cimacan menuju Kampung Rambutan, kami tidak akan memperoleh tempat duduk. Dan memang begitu kondisinya. Bus menuju Kampung Rambutan yang lewat di depan kami penuh kursinya.

Dhkia dan calo angkot bernegosiasi tentang tarif kami ke Kampung Rambutan. Kurang lebih Rp300.000,- tarif yang disepakati untuk mengantarkan kami ke Kampung Rambutan dari pertigaan Cimacan ini.

Baru saja kami menaikkan beberapa tas setelah proses tawar-menawar tarif, supir angkot berkata bahwa angkot yang akan kami tumpangi bocor bannya. Tanpa ba-bi-bu alias basa basi pada kami, angkot tersebut meluncur ke bengkel yang katanya tak jauh dari posisi kami. Dhika sempat marah saat itu, sebab tas yang sudah masuk tidak dikeluarkan terlebih dahulu.

Di sini, tampak suasana menjadi buram. Semuanya seperti dalam kejengkelan. Aku yang sudah cukup merasakan jengkel sejak awal pendakian, memilih berbincang dengan Erni dan Kak Lina. Membincangkan apa saja, termasuk tentang tari kreasi yang aku buat untuk anak-anak di sekolah tempat Erni mengajar.

“Emang lu bisa nari, Lis?” tanya Kak Lina tidak yakin kepadaku.

“Weeeiiit, bisa dong. Gue sering diundang buat tari tradisional selama SD. Apalagi sekarang pas jadi guru SLB itu harus bisa nari, nyanyi, sama main musik,” aku menimpali keraguan Kak Lina.

“Gimana lu kalo nari?” Kak Lina masih tampak ragu sambil mendorong bahuku dengan bahunya bersebelahan.

“Yeeey, tanya deh sama Erni. Kita bikin tarian kreasi buat anak-anak murid dia,” aku kembali menimpali.

“Iye tau, Kak. Nih ada videonya pas Lisfah tari kreasi buat anak-anak,” sahut Erni.

“Hiiiaaaaak. Jangan disetel di sini!” aku menjerit lalu tertawa.


Insiden Molor

Saat sedang asik mengobrol, angkot yang akan kami tumpangi ke Kampung Rambutan sudah datang. Semua tas dimasukkan ke dalam mobil. Ketika memasukkan tas pun lagi-lagi suasananya penuh kejengkelan. Shofi meninggikan suaranya. Dhika pun cara berbicaranya sudah jutek. Ini orang kalau sudah kecapean pada berubah jadi menyeramkan ya, batinku.

Setelah semua tas masuk, giliran kami duduk. Yolla, Shofi, Kak Lina, dan aku duduk pada bangku panjang. Bang Edi, Yudith, dan Kak Tiwi duduk di bangku yang lebih pendek. Di depan, Bang Awal duduk bersama kenek yang menemani si supir. Sedangkan Dhika duduk di atas lantai angkot, tepat di depan pintu.

Hampir semua teman sudah menyiapkan posisi ternyaman untuk tidur di dalam mobil. Aku sendiri sempat merasakan sakit di pinggangku yang secuil, karena terkena siku Kak Lina. Setelah mendapatkan posisi duduk yang nyaman, aku meluruskan tangan kananku di belakang jok bagian depan, yang di samping jok supir. Sedangkan tangan kiri aku lipat di atas tas yang berdiri di depanku.

Beberapa menit kemudian setelah aku terlelap dengan sendirinya *halah, bilang aja pelor, nempel molor*, aku merasakan tubuhku tidak dapat bergerak. Kedua tanganku juga sulit  bergerak. Aku hanya bisa menggerakkan kepalaku.

Aku mengangkat kepala yang dari tadi tertunduk dan berpangku pada tas. Aku melihat apa yang terjadi dengan tubuhku. O, God! Aku bingung sekaligus canggung.

Kak Lina bersandar di pundakku. Tangan kiriku terhimpit kepala Dhika yang bersandar di lenganku. Lengan kananku terhalang kepala Bang Awal yang juga terjatuh di lenganku. Aku ingin menarik kedua tanganku, karena mulai terasa kesemutan. Tapi membiarkan saja posisiku seperti ini, sebab tidak enak jika harus membangunkan yang lain. Saat satu per satu Dhika dan Bang Awal, agak terjaga dan mengangkat kepalanya, aku bergegas menarik tanganku dan melipatnya di depan dada atau di bawah wajah.

Perjalanan dilanjutkan dengan tidur kembali. Tapi sayangnya belum lama tertidur kembali, tiba-tiba muncul kegaduhan lagi.

“Kalo mau ke Kampung Rambutan keluar di tol mana? Ada yang tau gak?” terdengar beberapa di antara kami setelah supir angkot bertanya pada Dhika.

“Lis…, Lisfah, ke Kampung Rambutan keluar di tol mana?” Kak Lina bertanya sambil menyenggol-nyenggol pinggangku yang hanya segaris.

“Keluar tol sebelum Kampung Rambutan,” kataku sambil setengah sadar. Asal. Dan sebenarnya tidak ingin dibangunkan *dasar pelor*

“Iya, nama tolnya apa?” Kak Lina bertanya lagi.

“Umm…, gak tau,” aku menjawab singkat dan memilih kembali tidur. *tidur melulu*

Cukup lama aku tertidur. Tapi tidak dengan yang lainnya, apalagi yang dengan senang hati mau terjaga demi menemukan tol tempat kami keluar untuk menuju Kampung Rambutan.

Kurang lebih pukul 2.30 WIB pagi. Kami tiba di Kampung Rambutan. Seperti biasanya, kami turun di depan Asrama TNI yang bersebelahan dengan pintu masuk Kampung Rambutan. Aku segera meminta tenda yang aku bawa dari rumah dibawakan oleh Bang Awal selama perjalanan ini. Selanjutnya aku, Kak Lina, dan Erni langsung berkumpul bertiga. Dari kejauhan aku melihat Dhika dan Kak Tiwi mengantarkan Shofi ke sebuah taksi.

“Lah Shofi balik aja. Gak pamit,” celetuk Kak Lina saat kami hendak berpamitan dengan yang lainnya.

Aku, Kak Lina, dan Erni, menyalami teman-teman wanita satu satu. Berpelukan. Cipika cipiki. Kemudian saling membisikkan ungkapan senang. Tak lupa pula selalu kubisikkan, “Sampai bertemu di perjalanan selanjutnya!”

Aku, Kak Lina, dan Erni tiba di rumahku pukul 3.30 dini hari. Kami langsung tepar di ruang tengah, di atas karpet yang terhampar. Di antara tas-tas yang kami terlantarkan. Sebelum beristirahat, aku membuka kaos kaki dan mengecek kaki kiriku yang tertimpa batu.Aku terkejut melihat kuku jempol kaki kiriku membiru. Kukunya goyang. Hendak copot. Sekencang apa tadi memangnya batu itu aku tendang sampai mengenai kaki kiriku sendiri dan kuku jempolku sampai copot seperti ini? Aku membatin.

Aku hanya mencuci kaki, membersihkan jempolku, mencuci muka, Lalu kembali ke ruang tengah. Aku, Kak Lina, dan Erni tidur begitu saja. Kami terbangun satu setengah jam kemudian, saat Emak menyalakan lampu ruangan.

Hooaaaaam....

It's Sunday! It's time to enjoying our activities! Aku kembali ke kampus untuk mengikuti Kelas Pelatihan IT tepat pukul 8.00 WIB, sebagai salah satu syarat pengambilan ijazah saat wisuda nanti. Erni dan Kak Lina kembali ke rumah mereka. Bertemu keluarga mereka kembali.

Satu lagi yang tak pernah terlewatkan. Yaitu kembali merencanakan pendakian atau perjalanan selanjutnya. Untuk menikmati sentuhan Tuhan dari hijaunya hutan, birunya langit, dan luasnya lautan. Untuk kembali menuliskan kisah menyenangkan.

***

Ya, seburuk apapun perjalanan ini, pada dasarnya perjalanan kali ini menyenangkan. Um, tidak. Buatku, setiap perjalanan pasti menyenangkan. Terlepas dari apapun yang telah, sedang, dan akan terjadi. Setiap perjalanan selalu menyenangkan, karena di dalamnya kita bisa mempunyai cerita baru, pengalaman baru, dan serpihan pelajaran baru, meskipun orang dan tempat perjalanan itu sama dengan sebelumnya. Dan yang paling menyenangkan adalah ketika melakukan perjalanan jauh dengan orang-orang yang baru kita kenal.

Seperti perjalanan kali ini bersama orang-orang yang asing bagiku. Begitu banyak konflik sebelum hingga selama perjalanan ini berlangsung, menjadikan pendakian kali ini sebagai pendakian yang paling menyebalkan. Karena begitu banyaknya konflik dan hal-hal menyebalkan di perjalanan ini, membuatku menuliskan catatan perjalanan ini sepanjang 60 lembar A4, Calibri 11, dengan satu spasi.

Tapi apapun yang terjadi selama pendakian kali ini, aku sangat berterima kasih pada kalian, sosok-sosok yang sudah menjadi tokoh dalam catatan perjalanan ini. Kalian orang-orang ajaib yang pernah kukenal. Berbagai karakter, latar belakang, sampai potongan cerita yang kalian bagi selama perjalanan ini membuatku merasa sangat senang bisa mengenal kalian. Kalian baik. Kalian unik. Bersama kalian, mungkin suatu hari nanti kita akan saling membantu dengan menyebut nama kita dalam doa yang kita panjatkan sehabis shalat.

Senang bisa mengenal kalian! Sampai jumpa di perjalanan selanjutnya!

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan, ketika sebuah perjumpaan, perjalanan, dan kedekatan membawa kebaikan dan keberkahan?

-Selesai-
08 October 2014
Posted by Fatinah Munir

Ngarai Hati Mandalawangi (7)



Ada letih pada suatu pagi yang terganti dengan desir rasa pada hati. Berkerumun suka yang menjejal duka untuk keluar dari relung jiwa.

Di sini, di dalam sini semuanya bisa tetiba berubah. Semua terasa aneh dengan rasa bernama entah. Bahagia yang tergambar lewat airmata dan hati yang mengerdil namun gumpalannya menyesakkan dada.

Di sini, di lembah ini semuanya tetiba berubah. Aku merasakan senang dan sedih bersama. Lega rasanya bisa bersama yang lainya merasakan letih di kaki untuk mencapai Lembah Kasih.

Aku bahagia bisa menginjak tanah, menghirup udara, meminum air, dan menatap langit Tanah Air terkasih. Tapi yang terlukis di wajah ini bukan hanya senyuman, tapi juga redup di mata yang membuatku semakin takut dan sedih atas diriku sendiri.

: aku, 

begitu kecil dan tak berarti dibandingkan apapun dan siapapun yang Tuhan ciptakan di semesta ini


Kembali ke Tenda

Hampir satu jam kami menikmati Lembah Kasih Mandalawangi. Waktu sejenak ini kami habiskan untuk menikmati jerih payah kami mendaki. Mengabadikan moment dengan berfoto, memanjakan mata dengan memandang keindahan sejauh kami memutar pandang. Atau seperti aku, yang menikmati semilir angin lembah hingga desirnya mengantarkanku pada nyenyak yang dalam.

“Ayo turun,” Pak Ketua alias Dhika memberikan intruksi.

Semuanya bersiap untuk turun. Termasuk aku yang beberapa saat lalu tertidur dan langsung membuat video bertiga dengan Kak Lina dan Erni saat mulai terjaga. Ada yang terlupakan. Seruku dalam hati setelah mengingat sesuatu yang tidak bersamaku sedari tadi. Jaket Kak Lina yang super berat tidak ada. Entah di mana aku meletakkannya. Sepertinya aku tinggal di puncak, dekat tugu.

Aku mengikuti yang lainnya menuju puncak, kembali ke jalan yang tadi telah kami telusuri. Benar saja. Jaket coklat besar dan berat itu terhampar sembarangan di atas tanah. Aku membawanya. Tidak kupakai ataupun kuikatkan di pinggang.

Lagi-lagi kami berjalan terpisah. Aku berjalan lebih dulu dengan Kak Lina, Yudith, Shofi, dan Bang Awal. Erni, Yolla, dan Dhika berjalan di belakang.


Felt Alone and $^&Y*^%@^&

Pada suatu tempat peristirahatan, kami yang berjalan di depan berhenti untuk menunggu yang lainnya yang masih di belakang. Saat Yolla, Erni, dan Dhika muncul. Baru saja melepas lelah dan lengkap jumlah tim kami, Kak Lina, Yudith, Erni, dan Bang Awal memilih melanjutkan perjalanan. Aku mengantar Yolla yang saat itu hendak buang air kecil. Dhika dan Shofi duduk sambil berbincang entah.

Beberapa menit setelah aku mengantar Yolla buang air kecil di antara semak, aku dan Yolla ikut berkumpul dengan Dhika dan Shofi. Mereka menikmati camilan dan minuman yang kami bawa saat summit tadi. Aku memilih untuk tetap berdiri sambil melihat sekeliling. Menerka jalan turun yang akan kami lalui. Saat mengedarkan pandangan ke pucuk-pucuk pohon yang menjulang tinggi, tiba-tiba sebuah suara memecah keheningan pikiranku.

“Fatin duluan aja,”  Dhika memberi intruksi –yang menurutku cukup mengejutkan.

“Huum?” aku mengerutkan kening.  Berseru dalam hati, “Duluan? Gue? Sendirian?”

“Iya, duluan aja,” Dhika menjawab.

Aku tidak menjawab apa-apa. Tidak mengiyakan ataupun menolak, meskipun saat Dhika menyuruhku berjalan lebih dulu ada perasaan bingung dan dongkol yang menyatu.

“Yolla mau bareng?” tanyaku pada Yolla sebelum aku berbalik badan.

“Masih mau istirahat, Kak Fatin,” seru Yolla.

“Sini tasnya aku bawain,” aku menghampiri Yolla sambil meminta tas selempangnya.

Aku berjalan saja. Tanpa berkata lagi, tanpa ba-bi-bu. Aku menuju jalan setapak di sebelah kiri yang terus menurun dan menurun. Yang lainnya pasti sudah jauh di depan. Entah akan terkejar atau tidak. Nanti aku akan bertemu dengan pendaki lainnya atau tidak. Aku hanya terus berjalan dengan perasaan kesal pada Dhika yang menyuruhku jalan duluan dan sendirian.

“Apa maksudnya sih nyuruh duluan? Sendirian pula. Gak nganggep gue cewek apa? Seenaknya aja nyuruh gue jalan duluan sendirian, padahal gue udah nungguin, nganterin Yolla. Sedangkan dia asik-asik duduk sambil ngobrol!” celetukan dongkol aku keluarkan atas kekesalanku pada Dhika.

Di saat ini aku benar-benar merasakan bahwa ini adalah pendakian terburuk dan paling menyebalkan yang pernah aku rasakan! Aku merancau dalam hati. Menekuk wajah dengan kesal yang menjejal di dada. Menyebalkan.

Aku masih berjalan sendirian. Menelusuri jalan setapak yang asing di mataku. Jalan ini penuh lumut dan tertutup dedaunan. Satu dua cahaya matahari masuk malu-malu dari daun yang rimbun. Bahkan beberapa meter jalan yang kulalui cukup gelap. Tak tampak seperti siang hari.

Aku menyadari sepertinya aku benar-benar terpisah dari teman-teman. Tidak bisa mengejar tim yang di depan dan terpisah jauh dari tim yang ada di belakang. Aku juga merasakan bahwa pagi tadi, saat summit bersama yang lainnya, aku tidak melewati jalan ini. Entahlah. Mungkin itu hanya perasaanku saja karena sedang berjalan sendirian di tengah hutan.

“Kayaknya tadi gak lewat sini,” aku berseru dalam hati. Berhenti sejenak sambil melihat sekeliling dan berputar mengamati jalur yang telah dan akan aku lewati setelahnya.

Beberapa menit setelah berdiam diri, aku melanjutkan perjalanan sambil setengah berlari. Berharap aku bisa mengejar teman-teman di depan.

Saat aku mulai merasa benar-benar sendirian, cukup jauh di depan, di balik lumut-lumut yang menjuntai dari batang pepohonan, aku melihat warna merah. Jaket Erni. Itu yang ada di pikiranku saat itu. Ah, akhirnya!

“Ebooooiiiiii,” aku berteriak spontan.

“Iyaaaa,” jawab Erni.

“Gue sendiriaan. Sedihnyaaaaaaaaaa,” aku kembali berteriak sambil terus mendekati mereka yang sedang duduk. “Akhirnya, kekejar juga.”

“Gak sama Dhika, Fatin?” Bang Awal yang duduk di seberang bertanya.

“Iya. Dhika, Yolla, sama Shofi mana?” tanya Yudith.

“Gak tau. Tadi disuruh jalan duluan. Nyebelin banget ih!” aku meluruskan kaki, bersandar di batang pohon sambil menunjukkan kedongkolanku.
Kami memutuskan untuk tetap beristirahat, menunggu yang lainnya datang mengusul kami.

“Eh, tadi emangnya kita lewat sini ya?” aku iseng bertanya. Memastikan apa yang aku pikirkan adalah salah.

“Gak tau deh. Tadi kan masih gelap,” jawab salah satu di antara mereka.

“Tapi kan pasti terasa beda atau nggak jalanannya sama yang tadi,”

“Kurang tau, Tin. Tunggu Dhika aja. Dia sering ke sini katanya,” kata Bang Awal.

Beberapa menit kemudian, Dhika dan yang lainnya datang. Kesal masih berkerumun di pikiranku. Karena itu, aku memilih diam saat mereka datang dan berjalan lebih dulu. Kak Lina, Yudith, dan Shofi mengikutiku.  Yang lainnya? Entah. Perasaan kesal membuatku enggan menoleh lagi ke belakang.


Get Lost!

Kami berjalan terpisah. Berjarak. Namun tidak terlalu jauh. Sebab kami masih bisa berkomunikasi dengan suara yang ditinggikan. Di depanku, terdengar suara air mengalir dengan samar-samar.

“Salah jalan nih,” pikirku dalam hati. Mengingat sebelumnya kami benar-benar tidak melewati aliran air.

“Kita benar-benar gak lewat jalur yang tadi nih,” seruku pada Kak Lina, Shofi, dan Yudith yang ada di belakangku.

“Terus kita kemana?” tanya Yudith.

“Ini ada dua jalur. Kanan lurus sama kiri ke bawah. Kalau ke bawah, gue yakin itu aliran sungai. Mungkin itu jalan pintas, tapi gue gak mau lewat situ. Karena gue gak tau itu aliran sungai kalo kita seberangin bakal ke mana dan kalo kita ikutin alirannya kita pasti gak bakal nyampe Kandang Badak,” jawabku.

“Mau nunggu yang lain?” tanya Yudith.

“Terserah sih,” jawabku.

“Mereka jauh. Duluan aja tunggu di depan situ,” kata Kak Lina.

Saat kami sedang cukup kebingungan, tiba-tiba sekelompok pendaki naik dari jalur kiri.

“Mau naik, Mas?” tanyaku pada salah satu pria berambut gondrong yang ada di antara mereka.

“Mau turun. Itu bukan jalur biasanya kayaknya,”

“Oh, buat Mapala ya kayaknya. Itu ada tanda,” aku menerka. Sok tau lebih tepatnya.

“Bisa jadi, Mbak. Mau turun juga? Cuma berempat?”

“Iya mau turun, Mas. Nggak. Yang lain di belakang,” jawab Shofi.

“Duluan ya, Mbak,” pria berambut gondrong itu berjalan memasuki jalan bagian kanan yang lurus.
Kami kembali terdiam. Aku mengikuti kelompok pendaki yang baru lewat tadi. Mengecek jalur yang ternyata menurun yang basah.

“Ada jalan tuh. Tapi naik. Mau duluan nih?” tanyaku pada yang lain.

“Yuk duluan aja,” seru salah satu dari mereka sambil berjalan melewatiku. Saat itu terdengar suara Bang Awal dan Dhika memanggil nama Yudith dan membuatnya berdiam diri sejenak di belakang kami.

“Lisfa duluan,” kata Kak Lina.

Kami melewati aliran air. Menanjak dengan bantuan tali hitam dan memasuki jalan setapak yang kembali bercabang.

“Kak Ais, di mana?” terdengar suara Yudith.

“Di sini. Lurus aja yang tadi. Terus naik pakai tali hitam,” teriak Kak Lina.
Saat itu aku berjalan ke depan. Melihat jalur yang bercabang. Di belakang, Shofi membuntutiku.

“Lewat mana nih? Yang laen udah keliatan, Shof?” tanyaku dalam kebingungan.

“Jauh di belakang,” jawabnya saat Kak Lina sudah mendekati kami.

“Yudith sama yang lainnya mana, Kak?” tanyaku pada Kak Lina.

“Di belakang. Dipanggilin gak kedengeran lagi suaranya,” jawab Kak Lina menyadari kami benar-benar terpisah. “Rombongan yang tadi mana?”

“Gak tau,” jawabku dengan malas.

“Tungguin mereka di sini aja apa?” tanya Shofi.

“Kalau mereka lewat jalur lain gimana?” aku bertanya atas kemungkinan-kemungkinan yang terjadi.

Kami saling menatap. Bingung hendak meneruskan perjalanan, menunggu, atau kembali ke tempat tadi kami terpisah. Di sini sempat aku berpikir, mungkin saat ini aku terlalu egois. Terlalu mengikuti kesal yang terlanjur ada karena Dhika menyuruhku berjalan duluan sendirian. Hingga aku enggan menunggu yang lainnya.

“Eh kalian lagi,” sebuah suara yang beberapa waktu lalu kami dengar kini muncul kembali.  Pria berambut gondrong dengan rombongannya menghampiri kami dari jalan kanan.

“Iya, Mas,” jawab kami hampir berbarengan.

“Di sana gak ada jalan ya, Mas?” tanyaku agak heran melihat mereka kembali.

“Itu bukan jalur turun kayaknya. Malah makin banyak cabang. Ini mau cek yang sebelah sana,” jawabnya sambil menunjuk jalan kiri. Salah seorang dari rombongan mereka sudah turun mengecek jalan.

“Teman kalian mana?” tanya salah satu dari mereka.

“Di belakang. Kepisah kayaknya, Mas. Daritadi dipanggilin gak ada yang nyahut,” Shofi menjawab diselingi Kak Lina.

“Mau ditungguin apa bareng kita? Bareng kita aja. Daripada kalian tunggu ternyata mereka gak dateng. Kalian juga gak bisa turun. Nanti kalau mereka gak ada di tenda, kalian bisa balik lagi,” saran pria berambut gondrong kepada kami.

“Iya, sempet mikir gitu juga sih, Mas,” jawabku. Kak Lina dan Shofi mengiyakan.

Meskipun ingin sekali mengikuti rombongan ini, tapi Kak Lina tetap ingin mengunggu yang lain sebentar lagi.

“Yuk lanjut! Bener nih jalannya!” seru orang yang tadi turun mengecek jalan.

“Mbak, duluan ya,” seru pria berambut gondrong sambil diikuti teman-temannya yang lain.
Kami mengangguk, mengiyakan, meskipun masih dalam kebingungan menunggu teman-teman yang lainnya.


We Back! Thanks My Lord!

“Lanjut yuk! Tunggu di tenda aja,” kata Shofi.

“Lisfah duluan!” peritah Kak Lina.

Aku mengangguk. Melangkah memasuki jalur yang dipilih pendaki tadi. Menelusuri jalan menurun yang gelap dan penuh lumut. Di depanku ada percabangan lagi. Aku sempat terdiam hingga aku melihat warna-warni tenda di kejauhan. Aku memilih jalan kiri.

Tak lama setelah percabangan ini. Kami keluar dari rerimbunan pohon yang cukup gelap. Percabangan terakhir yang kami lewati tadi mengantarkan kami ke Kandang Badak, tepat di belakang sumber air.

Syukur, Alhamdulillah kami tiba! Kami tidak jadi nyasar! Gumamku dalam hati. Untuk sejenak aku merasa lebih rileks.

“Tuh kan, beda jalur,” seruku saat menginjakkan kaki di Kandnag Badak.

Kami bergegas ke tenda. Dari jauh tampak Kak Tiwi sedang menyiapkan makan siang untuk kami dan Bang Edi sedang berdiri di depan tenda.

“Yang lain mana, Kak Ais?” tanya Kak Tiwi.

“Kita kepisah, Tiw. Gak tau yang lain di mana,” Kak Lina menjawab dengan suara kekhawatirannya.

“Kayaknya lewat jalur lain deh. Ada Dhika ini. Tenang aja. Tapi salah kita juga sih jalan duluan,” sahut Shofi.

"Salah gue. Karena gue jalan duluan," sahutku.

“Dhika nyasar?” tanya Bang Edi sambil menghampiri kami.

“Nggak. Mudah-mudahan nggak nyasar. Mereka cuma lewat jalur yang beda,” sontak aku menyahut. Lalu aku melanjutkan cerita tentang suara aliran air yang deras, jalur yang berbeda dengan jalur yang kami lewati saat naik, hingga pada aliran air dan tali hitam yang membawa kami naik sekaligus memisahkan kami bertiga dengan yang lainnya hingga saat ini.

Kak Tiwi dan Bang Edi meyakinkan kami bahwa mereka pasti baik-baik saja dan akan tiba tak lama lagi. Karena itu kami memutuskan untuk membantu Kak Tiwi menyiapkan sup sayur yang baru setengah matang.

Sambil menunggu sup sayur matang, kami makan dengan sisa makanan semalam. Aku makan sepiring berdua dengan Kak Lina. Kak Tiwi dan Shofi, makan sendiri-sendiri. Aku hanya makan sedikit. Nyaris dibilang tidak makan sama sekali, karena hanya memakan seujung sendok nasi dan ayam semur sisa semalam yang sangat manis.

“Udahan ah. Tiw, minta nasinya dong. Sayurnya udah mateng? Bagi dong,” kata Shofi.

“Udahan, kenapa ditambahin lagi, Mon?” tanya Kak Lina.

“Biasa dia mah, Kak Ais. Didaur ulang. Parah deh!” timpal Kak Tiwi.

“Hahaha, habisnya sayang. Ini nasi gue gak habis. Gue tambahin nasi aja lagi, timpa pake sayur baru deh. Noh, gak kelihatan sisaan gue kan? Hahaha,” sahut Shofi.

“Nanti kasih Dhika aja tuh,” kata Kak Tiwi.

“Ebuset. Seriusan itu orang dikasih sisa? Kasihan loooh,” aku yang sedari tadi mengamati saja langsung menimpali.

“Biarin Dhika ini,” kata Shofi sambil tertawa.

“Gak ada semur ayamnya kan? Cuma sayur? Sini gue aja yang makan,” kataku.

“Nah, Lisfa pas tuh. Gak ada ayamnya. Tadi kan makannya cuma seupil. Lagian dia udah biasa nampung sisaan gue sama Erni kok kalo makan,” Kak Lina menyahut.

“Hadoooh. Bocor! Bocor!” kataku dalam hati. Memang sih setiap kali makan dengan Kak Lina, Erni, atau teman yang lainnya, aku terbiasa menampung separuh porsi dari makanan yang mereka pesan. Eh, bukan karena makanku banyak ya, tapi karena memang porsi makan mereka yang sedikit. *ngeles*

“Gak apa-apa nih, Tin? Habisin ya!” kata Shofi sambil menyerahkan sepiring nasi yang sudah didaur ulang olehnya.

“Gak apa-apa. Udah biasa kok ngabisin nasi sisa Kak Lina,” kataku awkwardly.

Selepas makan, kami shalat berjamaah di dalam tenda. Hanya aku, Kak Lina, dan Kak Tiwi yang shalat bersama. Shofi memilih shalat belakangan karena ingin buang air terlebih dahulu.

Usai shalat, aku mengungkapkan hanmpir semua ketidaknyamanan yang aku rasakan selama pendakian ini. Termasuk rasa bersalahku telah meninggalkan yang lainnya hanya karena kejengkelanku pada Dhika saat disuruh berjalan duluan dan sendirian.

“Yaudah. Insya Allah mereka gak apa-apa. Dhika udah sering naik. Dia pahamlah apa yang bakal dilakuin kalau dia nyasar,” Kak Tiwi menanggapi.

“Udah mau dua jam loh, Kak Tiw. Mereka belum datang juga. Aku takut mereka kenapa-kenapa,” Kak Lina kembali khawatir. Matanya memerah. Kak Lina menangis.

“Udah, Kak, gak usah nangis. Nanti malah makin gak karuan ini pikiran kemana-kemana,” sahutku sambil mengusap pundaknya.

Kami semua menunggu dengan harap-harap cemas.

Bersambung ...,
07 October 2014
Posted by Fatinah Munir

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -