Archive for May 2014

Lara Renjana (Bag. 1)

Karena di balik pintu itu adalah sedu, maka tertutup saja adalah pilihannya. Lalu buang saja kuncinya hingga jatuh ke paling lembah agar tak ada carauntuk terbuka walau secelah.




“Kapan kamu menikah?” Mama menyentak pagi dengan pertanyaan itu lagi.

Aku hanya menjawab dengan seulas senyum hambar. Lagi-lagi, pembahasan pernikahan menghilangkan seleraku untuk menyantap sepotong roti yang sudah dibaluri selai strawberi.

“Masih terlalu pagi untuk membicarakan itu, Ma,” Jawabku sekenanya sambil beralih pada tab putih di sisi lain meja makan.

Sebenarnya, itu hanya alasanku saja untuk menghindari pertanyaan Mama. Sepagi ini, di atas meja makan, tak ada yang menarik bagiku selain sejumlah rencana pertemuan dengan teman-teman dan rekan kerja.

“Kamu kalau ditanya, jawabnya begitu terus, Nak.”

Lalu Mama selalu menanyakan hal  yang sama setiap pagi. Masih banyak hal  yang lebih penting untuk aku pikirkan sepagi ini, kupikir. Pertemuan dengan “penggila” properti interior, meng-update desain interior di web, dan sejumlah pertemuan penting lainnya yang lebih menyenangkan dari pada membahas cinta dan pernikahan.

Aku memeriksa to do list di tab. Pergi ke rumah Anggun, adikku, adalah kegiatan pertama yang harus aku lakukan pagi ini. Sambil memberi check list pada agenda pertama,  aku memperhatikan Mama yang terlihat lelah sepagi ini. Di sofa panjang yang tak jauh dari meja makan, Mama hanya terpejam.

“Mama tidak sarapan?” mataku tertuju pada piring Mama yang masih tertelungkup.

Tak ada jawaban. Mama bangkit dari sofa dan berjalan lunglai ke arah meja makan. Mata Mama sembab. Wajahnya pucat. Di tangannya tergenggam beberapa kantung teh yang sudah direndam.

“Mama menangis lagi?” aku sontak meletakkan tab yang sedari tadi kupegang.

“Tidak. Alergi debu Mama kambuh lagi.” Mama berbohong.

“Mama, kalau ditanya jawabnya begitu terus.” Aku memerhatikan tangan lemah Mama yang sibuk mengompres sembab di matanya. Sedih. “Mama dipukul lagi?”

“Tidak apa-apa. Papamu sudah berangkat ke bandara jam 6 pagi tadi. Dia ada meeting di Singapura.”

“Saya tidak menanyakan Papa. Saya menanyakan Mama,” suaraku merendah. Miris. Ikut merasakan sakit yang Mama rasakan, meski Mama tak pernah mau mengakuinya.

“Hampir jam 7, kamu tidak telat?” Mama kembali mengalihkan pembicaraan.

Mama menutupi kesedihannya, lagi. Aku hanya menatapnya, berusaha menembus ruang hatinya yang selalu berusaha kuat, meski jelas-jelas tersakiti. Semakin dalam aku menatap Mama, aku semakin ikut sakit.

Teng! Teng! Detak jam antik di ruang tengah mengaburkan tatapanku.

“Saya mau ke rumah Anggun, Ma. Kemarin dia minta saya ke sana. Mama mau titip sesuatu untuk dia?”

“Tidak.” Mama manjawab dingin, sedingin embun yang biasa menyentuh kakiku di subuh hari sebelum aku beraktivitas.

Aku menghabiskan teh susu yang mulai dingin, mengeluarkan kunci mobil dari tas, lalu bangkit menghampiri Mama sebelum pergi ke rumah Anggun.

“I love you, Ma. Assalamulaikum.” bisikku saat mencium keningnya.

Mama diam. Aku melangkah meninggalkan Mama dengan segumpal duka dan amarah.

“Jangan ceritakan ini pada Anggun, Nak,” suara Mama tertahan, nyaris tak terdengar.

Aku terus menjauh dari Mama yang isaknya mulai terdengar.

***

Semalam Papa pulang. Hanya itu yang aku tahu. Suara mobil Papa menderu halus saat memasuki pekarangan rumah. Tak ada keinginan sedikitpun bagiku untuk keluar kamar dan menyambut kedatangan Papa.

Setiap terdengar deru mobil Papa, selalu terdengar langkah kaki Mama yang letih dan sapaan rindu seorang istri pada sang suami. Tapi, tak ada jawaban hangat dari Papa yang dirindukan orang rumah. Suara dan tatapan Papa selalu dingin, dan Mama selalu bertahan dalam kebekuan itu.

Jika suara Papa sudah terdengar, I’m Not Write The Sins milik Panic at The Disco siap berputar keras-keras di kamarku, disusul dengan The Mocking Bird yang dilantuntan Eminem. Keduanya berputar berulang-ulang, hingga aku terpejam dan terjaga sebelum subuh datang.

“Siang ini kamu ada agenda?” suara Arya di seberang sana menghamburkan kesedihan pagi ini.

“Nggak,” jawabku sekenanya.

“Kita ketemu di tempat biasa ya, ada yang ingin aku bicarakan.”

“Bicara apa?,” 

"Nanti kalau ketemu juga tahu,"

"Kamu mau bicara apa?" aku mengulang tanya.

"Kamu datang saja. Nanti pasti juga tahu," jawabannya hendak bermain tebak bersamaku.

Kumatikan hape saat mendengar jawaban absurtnya.


Masih pagi kenapa nona yang satu ini galak sekali? 

Arya mengirim pesan singkat, mengomentari  sikapku yang tak bersahabat sepagi ini.

I don’t care, Dude! Aku melempar handphone ke bangku belakang.

***

Mobilku memasuki pekarangan sebuah rumah besar yang bernuansa coklat . Deretan bunga bougenvile menyambut kedatangan mobil merah yang kukendarai ketika pintu gerbang otomatis itu mulai terbuka. Kuparkirkan mobil beberapa meter tepat di depan pintu rumah. Belum sempat aku melangkahkan kaki di teras rumah ini, tiba-tiba seorang wanita berlari dari balik pintu dan menghambur ke arahku.

“Hei?” tubuhku nyaris jatuh saat Anggun menubruk dengan pelukannya.

“Kakak,” suaranya serak. Tangisnya tumpah dalam pundakku.

“Kukun…,” aku menggantungkan suara, tak mengerti mengapa Anggun, Si Kukun yang selalu cerita menjadi begitu melankolis seperti ini.

Anggun terus menangis. Ia tak menghiraukan keheranan yang menggantung di pikiranku.

“Boleh Kakak masuk dulu, Kun?” aku berbisik di telinganya.

Tanpa suara, Anggun melepas pelukannya. Sambil berangkulan kami berjalan melewati pintu besar yang penuh dengan ukiran.

Kami duduk di ruang tamu yang didominasi warna putih gading. Di atas sofa panjang, Anggun menenggelamkan wajahnya di pangkuanku. Tak ada kata-kata selama sepuluh menit pertama kami bersama.

“Kukun, kalau kamu terus menangis seperti ini, Kakak tidak akan tahu kenapa kamu meminta kakak datang sepagi ini,” tangan saya mengelus rambut panjangnya.

Anggun terisak, berusaha menyudahi tangisnya. Tanganku, hanya bisa terus mengelus rambut dan pundaknya sambil merajuk dalam hati, berhentilah menangis adik terkasih.

“Aku mohon, jangan katakan apapun kepada Mama tentang apa yang akan aku ceritakan, Kak,” Anggun mulai bersuara, meski belum mau mengangkat wajahnya dari pangkuanku.

“Ya, ceritakanlah,”

“Aku gak tahu apakah ini karma atas apa yang aku lakukan dulu kepada Kakak,” Anggun memulai ceritanya. “Dulu, aku memang sering heran dan marah dengan sikap Kakak. Kakak tahu kan kalau aku sayang sekali sama Kakak, tapi aku juga sangat membenci sikap Kakak yang menurutkan sangat diluar logika wanita normal. Aku…, aku minta maaf, Kak, atas semua sikapku yang arogan. Maafin Kukun yang selama ini menganggap Kakak terlalu aneh. Kukun…,”

Suara Anggun terputus. Mata sembabnya bersitumbuk dengan kecemasan di mataku. Dia kembali memelukku, untuk kedua kalinya di pagi ini. Aku hanya mematung, belum mengerti apa yang ingin disampaikannya sejak aku tiba di sini.

“Kukun minta maaf karena kadang Kukun sangat membenci sikap Kakak.”

Aku mengangguk kecil, mengulaskan senyum tipis, dan mengusap air matanya yang mengalir tenang. “Kakak selalu sayang kamu dan akan tetap sayang kamu, meski kamu membenci sisi lain dari diri kakakmu ini.”

“Kak…, aku ingin pulang,” suara Anggun terhenti lagi, berganti dengan tangis yang ditungkannya dalam pelukanku.

“Dear, tenangkan diri kamu dulu,”

“Kakak, selama ini aku tidak pernah tahu bagaimana perasaan kakak. Tapi …,”

Kata demi kata keluar dari mulutnya dengan penuh tenaga. Setiap kalimat yang diucapkannya membuatku semakin tegang, semakin tercekat, dan kehilangan kata untuk mengomentarinya. Anggun terus meluncurkan rahasianya, berbicara dengan terburu-buru, seakan dikejar-kejar masa lalu yang siap menyeretkan kembali ke dunia kelam. Suaranya naik turun, kadang terhenti dan berganti air mata, kadang terhenti dan tak ada kata-kata di antara kami.

“Aku benci ini ...,” Anggun menutup wajahnya dengan jari-jarinya yang terluka. Ia menangis, berharap air mata yang terus tumpah bisa menghapus masa lalunya. []


Bersambung…,
30 May 2014
Posted by Lisfatul Fatinah
Tag :

Kalau Kamu Sayang Bapak


Sore itu saya telat berbenah rumah. Usai shalat Ashar, saya tidak langsung berbenah seperti menyapu dan mengepel. Kalau saya tidak salah ingat, saya malah asik menonton acara di televisi dan akhirnya saya baru mulai menyapu pukul 17.00.

Menyapu rumah dengan ukuran yang cukup besar ditambah membenah segala barang-barang keponakan yang berceceran menghabiskan waktu setengah jam untuk saya menyapu dan mengembalikan semua barang pada tempatnya. Kurang lebih pukul 17.30 saya baru selesai menyapu dan dilanjutkan mengepel. Itu pun saya sambil menonton kontes memasak untuk anak-anak di televisi.

Kala saya sudah mengepel lebih dari separuh rumah, azan maghrib di televise berkumandang. Ibu yang saat itu tahu saya masih mengepel langsung berteriak dari kamarnya, “Taro itu kain pel. Shalat dulu. Dari tadi bukannya ngepel malah mantengin tipi. Kebiasaan banget sih kamu!”

Mendengar ibu mengomel, saya hanya menjawab, “Iya.” Tapi dengan badungnya seusai azan maghrib saya tidak langsung berwudhu, malahan saya melanjutkan mengepel sampai pukul 18.15.

Seusai mengepel, saya pergi ke atas. Mengambil air wudhu di kamar mandi atas lalu mengerjakan shalat maghrib di kamar atas. Saat saya hendak takbir, jam di kamar sudah menunjukkan pukul 18.30. Saya shalat seperti biasa. Lalu saya tadarus sebentar, kemudian keluar kamar dilanjutkan dengan menyalakan laptop, bersiap mengerjakan tugas.

Baru saja jemari saya menekan tuts-tuts pada keyboard laptop, tetiba bapak mendatangi saya dan bertanya, “Tadi shalat apa?”

“Shalat maghrib,” saya menjawab dengan wajah tetap mengarap pada layar laptop.

“Dari tadi ngapain?” nada bicara bapak sudah mulai marah, meskipun suara bapak tidak meninggi.

“Ngepel dulu. Tanggung udah mau selesai,” jawab saya.

“Kan udah bapak bilangin, kalau sudah azan semua aktivitas berhenti. Ngepel itu habis ashar, bukan pas mau maghrib. Bapak gak suka kamu berbenah rumah tapi shalatnya ngakhirin begitu. Shalat itu bukan asal shalat. Yang diitung Allah itu bukan shalat atau nggaknya aja. Kamu shalat di awal atau di akhir waktu juga diitung saya Gusti Pangeran. Inget orang tua, Nak. Orang tua ini juga kena tanggung jawab di akhirat. Kalo kamu sayang sama bapak, sayang sama orang tua, ya shalat dibenerin, awal waktu. Kerjain apa diajarin Allah sama Rasul! Jangan mentingin berbenah aja.”

“Iya, Pak,” jawab saya dengan suara yang rendah. Selama bapak berbicara panjang, saya terdiam dan hanya bisa mendengarkan.

“Iya, dijalanin. Dilaksanain!” kata bapak sambil pergi meninggalkan saya.

“Hu’um,” jawab saya sambil menahan air mata menyadari bahwa diri saya sudah bersalah. Tidak hanya bersalah pada bapak, tapi juga pada Allah SWT.

Sudah hampir sebulan peristiwa ini terjadi. Tapi semua ucapan bapak masih terdengar jelas di telinga saya. Berkali-kali saya merasa takut dan bersalah atas kelalaian saya dalam beribadah yang pernah saya lakukan sebelumnya. Sejak saat itu sampai sekarang, tak ada yang dapat saya lakukan kecual memperbaiki ibadah saya sambil bermunajat agar Tuhan senantiasa mengalirkan pahala dari amal ibadah saya kepada kedua orang tua saya.


24 May 2014
Posted by Fatinah Munir

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -