Archive for August 2013

Cerita di Balik Kacamata


Bismillahirrahmanirrahim

Ada kisah di setiap langkah kakimu dan di tiap dentang waktu. Pun itu selalu ada cerita dari setiap benda yang kamu punya. Seperti saya punya cerita tetang kacamata yang setia membantu saya melihat dunia :)

Sejak pertama kali menggunakan kacamata di kelas VI SD, kacamata saya tidak pernah berumur panjang. Baru beberapa bulan, kacamata saya pasti akan beregenerasi alias diganti. Kacamata saya sering hilang, pecah karena jatuh, bahkan pernah patah terbelah dua karena saya duduki. Nah, karena itu selama hampir sepuluh tahun bersama dua kaca ajaib ini, kacamata saya sudah sampai di generasi ke-17. Alias, saya sudah ganti kacamata sebanyak 17 kali -,-"

But, this post will not talking about how pathetic my glasses's fate. Postingan saya kali ini akan bercerita tentang hal spesial di balik kacamata saya. Berharap cerita ini bisa betmanfaat dan menginspirasi pembaca semuanya :)

Alright. Banyak yang bilang saya adalah orang yang perfeksionis dan selalu ingin semuanya detail. Tapi, di balik semua itu saya juga orang yang ceroboh dan super duper pelupa. Ditambah lagi, saya orang yang gampang tidur di mana saja a.k.a pelor, nempel-molor :D

Kebiasaan pelor ini sering sekali muncul kalau sedang belajar. Jadi, sudah biasa bagi saya saat belajar tiba-tiba ngangguk-ngangguk ngantuk. Apalagi saat saya duduk di bangku SMA, saya jarang tidur di kasur. Biasanya saya tidur di meja belajar masih dengan posisi buku terbuka, pulpen di tangan, dan kacamata masih dipakai.

Uniknya, saat bangun tidur tidak ada yang berubah dari posisi tubuh saya dan benda di atas meja kecuali kacamata. Setiap bangun tidur, kacamata saya pasti sudah terlipat rapi di sudut meja, di dalam lemari, atau bahkan di dalam kotak kacamata di dalam tas.

Do you know who did it? Ibu atau Bapak saya. Yap, sejak pertama kali pakai kacamata sampai saat ini saya punya kebiasaan tidak mencopot kacamata saat tidur-tiduran. Apalagi kalau ditambah kebiasaan saya baca sebelum tidur, pasti kacamata tetap menempel di batang hidung saya yang seiprit ini dan baru akan aman kalau dipindahkan Ibu atau Bapak.

Dua hari lalu Ibu kembali menceramahi saya untuk membuka kacamata sebelum tidur, diam-diam ada hal berbeda yang saya rasakan. Entahlah, mungkin pengaruh sisi melankolis atau juga karena faktor diri yang semakin menyadari betapa sudah "tua"nya diri saya sebagai anak. Ketika saya heboh kehilangan kacamata yang ternyata dibenahi Ibu saat saya terlelap, sejenak terlintas dalam pikiran "saya belum berubah di usia yang sudah berinduk dua".

Melepaskan kacamata saat seseorang tertidur memang hal yang teramat simpel. Tapi bagi saya, itu seperti sebuah sweet moment di sela-sela kehidupan saya. Ketika seorang anak lelah dan terlelap dengan kacamatanya, lalu sang Ibu Bapak melepaskannya, saya pikir itu sudah cukup menunjukkan cinta kasih orang tua saya. Sayangnya, saya baru menyadari itu semua beberapa hari ini.

Kalau dipikir-pikir, apa yang dilakukan Ibu Bapak saya memang hal biasa dan teramat sederhana. Tapi dari benda dan hal sederhana inilah saya mulai belajar memahami makna cinta kasih kedua orang tua dalam bentuk sederhana. Bahwa cinta kasih orang tua tidak selalu ditunjukkan dengan hal-hal besar dan mewah. Bahwa kadang, atau bahkan lebih sering kasih dan sayang dapat dicurahkan melalui perilaku-perilaku kecil dan teramat sederhana.

Ini baru kacamata, satu benda kecil yang secara kasat mata hanya berfungsi sebagai alat bantu pengelihatan saya. Bagaimana dengan benda-benda sederhana lainnya atau dengan tindakan-tindakan kecil lainnya yang orang tua berikan kepada kita seperti menyiapkan makan setiap pagi, menelpon atau sms saat kita pulang terlambat, mengingatkan kita agar tidak terlalu banyak beraktivitas dan memikirkan istirahat, dan banyak lainnya?

Kenyataannya, apa yang dilakukan Ibu Bapak kita memang lumrah dilakukan sebagai orang tua dan sudah teramat biasa. Tapi di balik itu semua, ada cinta, kasih, dan sayang yang tiada dua.
Sekarang, mari kita hampiri kedua makhluk mulia itu. Cium kening dan tangannya. Lalu ucapkan, "Ibu, Bapak, terima kasih atas cinta kalian selama ini".
Semoga Tuhan selalu menjaga kedua orang tua kita dan menjadikan kita anak yang senantiasa berbakti pada keduanya. Amin.

-Fatinah Munir-
Gerbong Lima, 30 Agustus 2013
30 August 2013
Posted by Fatinah Munir

Cita-Citaku

Bismillahirrahmanirrahim

Dulu, saat saya masih sangat belia dan hanya mengenal sebuah kesenangan, ada satu kebiasaan unik yang sampai sekarang saya belum paham untuk apa kebiasaan itu dilakuka . Kebiasaan ini tidak hanya dilakukan oleb saya, tetapi juga oleh teman-teman sebaya saya. Sampai-sampai kebiasaan ini menjadi sebuah "musim" yang membanjiri pedagang kecil mengantungi sejumlah rupiah.

Menulis biodata, itulah kebiasaan saya duli bersama teman-teman yang -saya yakin- juga menjadi kebiasaan anak-anak lain seusia kami. Ya, biodata ini biasanya saya tulos di kertas warna-warni dengan berbagai gambar.

Apa yang di tulis dalam Biodata itu biasanya tidak jauh-jauh dari nama lengkap, tanggal lahir, zodiak, dan banyak hal lainnya. Akan tetapi, yang paling saya ingat dari bagian biodata itu adalah baris yang tertulis "cita-cita".

Dulu, saat saya masih sangat belia dan baru mengenal makna cita-cita, yang tertulis mengiringi kata itu adalah sebuah frase berbunyi "berbakti kepada kedua orang tua dan berguna bagi nusa bangsa". Ya, frase ini pun kadang tertulis di lembar Biodata teman-teman saya, meskipun beberapa teman lainnya menuliskan kata guru, dokter, insinyur, bahkan artis.

Kemudian, saat saya beranjak usia dan memasuki sekolah dasar, seorang guru berkata di depan kelas, "Kalian punya cita-cita? Kalau punya, tulis cita-citanya yang jelas mau jadi guru, dokter, atau apa". Saat mendengar kalimat itu, saya seperti tersihir dan langsung mengganti cita-cita saya menjadi dokter.
Lambat laun, saat usia saya semakin beranjak ke kepala dua, saat pemahaman akan hidup sedikit demi sedikit tertabung, saya tahu apa yang harus saya lakukan di balik kata cita-cita.

Entah apa arti cita-cita yang sesungguhnya. Apakah itu sebuah keinginan atau tujuan yang sempurna seperti termaktub dalam KBBI. Atau..., sebuah gelar dan profesi seperti kenyataan dan kebanyakan yang terjadi. Yang jelas, apapun itu cita-cita sepertinya merupakan barometer kesuksesan seseorang dalam bentuk keprofesian, seperti guru, dokter, arsitek, dan ssbagainya.

Lambat laun, seiring terkumpulnya pundi-pundi pemahaman akan makna kehidupan yang sesungguhnya, saya semakin memahami betapa kepolosan di masa belia adalah sebuah kesungguhan dari kehidupan itu sendiri. Misalnya saja pada cita-cita tadi. Saya tak habis berpikir, mungkin kita semua punya cita-cita untuk menduduki sebuah profesi bergengsi. Tapi lantas apa arti dari keprofesian tersebut?

Ketika kita hendak menjadi seorang guru, cukupkah dengan berseragam biru pekat dan berlantang di depan kelas menyampaikan pelajaran? Cukupkah demikian? Lantas adakah cita-cita dalam cita-cita itu sendiri yang membuat kita tak hanya mengejar posisi sebagai PNS, terima upah besar, dan mendapat sejumlah tunjangan? Adakah untuk menjadikan profesi sebagai sebentuk pengabdian pada Tanah dan Air yang telah sekian tahun menjadi tempat bernaung? Adakah teebersit keinginan membalas kebaikan Pertiwi yang telah menjadi pijakan selama ini?

Lebih jauh lagi, kadang saya terpekur melihat arti kehidupan ke belakang dan ke depan. Adakah apa yang saya lakukan ini bisa membalas segala kebaikan kedua orang tua saya? Adakah prestasi dan profesi bergengsi yang saya duduki turut memberi implikasi pada kedua oranf tua?

Entahlah. Setelah berpikir lama bersama makna-makna kearifan hidup saya temukan satu nilai cita-cita yang sesungguhnya. Yang dulu, saat di bangku sekolah dasar sempat diprotes seorang guru saya. Sebuah cita-cita di atas cita-cita yang niscaya menjadi lebih mulia dibandigkan kedudukan atau keprofesian apapun juga. Sebuah cita-cita yang sangat berarti meski apapun itu nanti profesinya. Cita-cita untuk menjadi insan yang senantiasa berbakti kepada kedua orang tua dan berguna bagi Indonesia.

Karena apapun dan semulia apapun kedudukan, prestasi, dan profesi saya, itu tiada arti jika saya meninggalkan bakti pada ibu bapak dan tidak berguna bagi sekitar saya. (nir)

-Fatinah Munir-
Perjalanan menuju Tanah Merah
Dalam perenungan panjang tentang arti kehidupan saya saat ini
29 August 2013
Posted by Fatinah Munir

Alarm Perjalanan Mimpi

Bismillahirrahmanirrahim

Ketika aktivitas membawa kita pada lingkar kesibukan yang berporos pada lupa
Maka siklus kehidupan adalah dentang pengingat
Bahwa saya, kamu, dan kita, kini sudah berdirj di waktu yang berbeda
Di titik yang tak sama


Dua tahun sudah saya berkutat dengan dunia bernama Pendidikan Luar Biasa. Dunia membawa saya pada sudut-sudut tak duga, yang senantiasa membuat saya tercengang, ternganga, bahkan menitikkan air mata.

Seperti nyenyak dalam tidur, saya pun terhanyut dalam dunia ini. Khusyuk bersama anak-anak berkebutuhan khusus dengan ribuan cerita, bersama temen-teman disabilitas dengan sejuta semangat, membuat saya lupa pada salah satu alasan mengapa saya ada di antara mereka. Saya lupa kalau saya adalah calon guru untuk mereka.

Tapi, beberapa hari lalu, saat kuluman senyum terlempar dari wajah-wajah baru, saya baru menyadari bahwa saya sudah separuh perjalanan menuju mimpi menjadi guru pendidikan khusus. Bahwa tinggal menunggu dua putaran bumi lagi, saya akan benar-benar menjadi guru pendidikan khusus.

Um, kalau saja wajah-wajah baru itu tidak ada, mungkin saya sudah asyik masyuk dengan dunia ini dan amnesia sejenak pada alasan yang membuat saya ada di dunia pendidikan khusus ini. Kalau saja di kampus ini adik kedua saya tidak ada, mungkin saya akan lupa bahwa perjalanan menuju akhir tinggal separuh lagi.
So, I just wanna say welcome in special word that I believe you can have incredible experiences here. And thank you so much to be here and be cap as my dream.

Tiada pengalaman yang lebih berharga selama duapuluh satu tahun ini, kecuali ketika saya bersibuk ria di dunia pendidikan khusus bersama anak-anak surga yang menggelitik pikiran dan hati saya. Bahwa saya, kamu, dan kita yang ada di dunia luar biasa ini adalah manusia-manusia yang Allah pilih menjadi bagian istimewa dari kehidupan istimewa, yang menjadi bagian dari kisah-kisah menggugah bersama anak-anak surga.

Aaaaah, semangat menikmati perjalanan luar biasa ini (lagi).

Fatinah Munir,
Selasa semangat, 27/8/2013
Perjalanan menuju kelas penuh kejutan ^_^
27 August 2013
Posted by Fatinah Munir

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -