Archive for May 2013

Menulis; antara Ladang Amal dan Lahan Bisnis


Bismillahirrahmanirrahim

Tulisan ini saya buat dua tahun lalu. Saat membaca tulisan ini yang terkungkung dalam salah satu folder tulisan, saya kembali merefleksi hati dan pikiran. Berharap refleksi ini bisa dirasakan teman-teman juga, maka tulisan ini saya publikasikan di blog sederhana ini. Have a nice read, Guys!

***


Menulis, bagi saya adalah lebih dari sekadar sebuah aktivitas menyampaikan menuangkan gagasan melalui rangkaian kata. Melaluinya saya bisa mengenal dunia, mengenal siapa saya, dan siapa orang-orang yang ada di sekitar saya. Pun dari menulis, saya tahu bagaimana sebuah wisdom diaplikasikan dalam segala lini kehidupan manusia.

Makna menulis yang terakhir itu saya dapatkan setelah beberapa tahun menyeriusi dunia literasi, yakni sejak saya mulai belajar bagaimana menulis yang baik hingga saya dipercayai guru-guru saya untuk menulis di media yang digarapnya.

Pada 2010 lalu, saat saya baru menyandang predikat sebagai mahasiswa Farmasi FKIK UIN merupakan cikal bakal saya mengenal dunia literasi secara formal. Di awal perkuliahan, saya mendaftarkan diri menjadi anggota baru FLP Ciputat yang kesekretariatannya sangat dekat dengan kampus. Di sinilah saya mengenal banyak penulis muda yang berbakat, penulis-penulis senior yang menginspirasi, dan teman-teman seperjuangan yang menginspirasi dalam menulis.

Selama satu tahun menjadi anggota sekaligus pengurus FLP Ciputat, saya lebih banyak menulis fiksi dan beberapa tulisan ringan yang biasa saya tulis di atas bus melalui hape dan saya kurung dalam blog pribadi atau catatan facebook saya. Selama bergabung dengan FLP Ciputat ini saya juga menjadi lebih sering mengikuti lomba-lomba menulis dan lebih sering berbincang dengan beberapa penulis yang sudah punya nama.

Sampai sekarang, meskipun sudah memiliki beberapa antologi bersama teman-teman FLP, saya masih belum memiliki keberanian untuk menerbitkan buku solo. Alasan yang selalu keluar dari mulut saya adalah saya belum berani menulis solo dengan ilmu yang sedikit ini. Cukup naif memang alasannya. Tapi memang itu alasan terkuat yang datang dari hati saya dan masih saya pegang hingga saat ini.

Berangkat dari alasan inilah saya selalu berhati-hati dalam menulis. Salah satu pemahaman yang saya pegang dari agama saya adalah semua ada pertanggungjawabannya. Pun itu dengan rangkaian kalimat yang saya sampaikan melalui tulisan. Nah, memasuki dunia kepenulisan yang lebih serius ini, saya –dan saya yakin semua penulis juga –mulai dihimpit oleh dua hal yang membuat saya harus berpikir ulang. Yakni dua hal besar yang berbeda; menulis untuk ladang amal atau untuk bisnis kepenulisan.

Tulisan ini saya buat karena saya sempat terkejut ketika beberapa hari lalu (17 Januari 2011) membaca tulisan penulis muda sekaligus senior saya yang cukup saya kenal. Tulisannya mejeng di salah satu koran lokal. Tema yang diusung penulis muda ini adalah “Berbisnis dalam Kepenulisan”. Saat membaca judul ini spontan saya langsung mengerutkan dahi.

Memang, yang saya ketahui organisasi kepenulisan yang saya ikuti ini memiliki literari agency yang bekerja sama dengan banyak penerbit di Indonesia. Beberapa teman penulis yang saya kenal dan bergabung dalam kelas perbukuan (dalam FLP Ciputat ada enam kelas kepenulisan, salah satunya adalah kelas perbukuan) menulis ketika ada “orderan” dari penerbit. Tentu saja siapa saja yang bergabung dalam kelas perbukuan bisa menulis untuk “orderan” ini. Ya, sekalipun yang menulis ini bukanlah orang yang ahli dalam bidangnya. Dan biasanya, mereka yang bergabung dalam “proyek” ini mengambil sumber dari banyak media terutama internet.

Melihat pola di atas, saya agak kurang sreg. Entahlah, kata orang saya perfeksionis sehingga apa yang saya kerjakan harus benar-benar benar dan terlihat sempurna. Tapi kali ini penekanannya bukan perihal sempurna atau tidaknya sebuah tulis, melainkan kebenaran dari apa yang saya tuliskan yang saya sebut sebagai prinsip kebenaran informasi.

Pernah seorang senior di FLP Ciputat meminta saya menulis sebuah buku nonfiksi yang sesuai dengan bidang saya, yakni farmasi. Buku itu sempat saya tulis hingga beberapa bab, tapi tulisan itu saya diamkan hingga sekarang. Sebenarnya, bukan karena pikiran saya buntu dan tidak mampu meneruskan. Hanya saja, saya yang masih kuliah merasakan ada keganjalan dengan hal-hal yang saya tulis. Saya masih merasa teramat sangat kurang ilmu untuk menuliskan buku kesehatan yang notabene memerlukan keakuran data. Apalagi tema yang saya angkat adalah kesehatan dan pengobatan dalam Islam. Dalam hal ini harus ada kesinkronan antara al-Qur’an, hadits, fakta, dan penelitian. Alhasil, prinsip kebenaran informasi ini membuat saya menghentikan “proyek” ini.

Karena “mogok” menulis, beberapa orang yang saya kenal sempat menyayangkan keputusan saya. Tapi saya tetap keukeuh pada pilihan saya, bahwa apa yang saya tulis harus hal yang benar, bukan sekadar “comot” dari apa yang saya baca. Saya bertekad bahwa apa yang saya tulis harus sesuatu yang sudah saya kuasai, agar nantinya tidak salah tulis dan malah menyesatkan pembacanya apalagi jika proses menulis ini hanya dijadikan alat merauk sejumlah keuntungan finansial.

Agama saya mengajarkan bahwa segala sesuatu bermula dari niat, demikian juga dalam hal menulis. Dan saya pun mulai memutar balik kronologi keterlibatan saya dalam dunia kepenulisan. Alasan pertama saya menulis adalah karena saya ingin menyampaikan apa-apa yang saya ketahui kepada banyak orang. Selain itu, karena saya sangat menyukai sastra, saya ingin mengekspresikan pikiran dan opini-opini saya kepada banyak orang melalui sastra (karena konsen saya selama di FLP Ciputat adalah di kelas Sastra dan Novel), persis seperti yang dilakukan Taufik Ismail dan Bunda Helvy Tiana Rosa. Karena dua alasan inilah kadang saya mulai ragu ketika ada yang menawari “proyek” tulisan dengan tujuan utama uang.

Memang munafik jika saya berkata saya tidak menginginkan uang atau honor dari tulisan saya, tapi honor bukan tujuan utama saya dalam menulis. Seperti yang diajarkan oleh agama saya, kata pertama yang disampaikan dalam proses turunnya al-quran adalah “Bacalah!” Bagi saya, sepenggal kata perintah ini bukan sekadar seruan untuk membaca, melainkan sebuah perintah edukasi dan pengembangan diri yang dimulai dengan membaca dan dilanjutkan melalui pena.

Semua orang tahu bahwa sebuah karya (tulisan atau apapun itu) memiliki umur yang lebih panjang dari pemilikinya. Nah, jika karya kita yang berupa tulisan atau buku itu bisa memberikan inspirasi positif dalam kebaikan, pasti sangat menyenangkan. Dan menjadi satu hal yang mengerikan ketika tulisan yang kita tinggalkan tak dapat kita pertanggungjawabkan isi dan dampaknya di akhirat kelak. Apalagi jika tulisan itu justru membawa perubahan buruk pada pembacanya. Na’udzubillah.

Untuk mengakhiri tulisan ini, himpitan antara ladang amal dan lahan bisnis dalam kepenulisan memang menjadi urusan personal penulis. Tapi, sebagai seorang yang masih belajar menulis, saya berharap agar saya tetap istiqomah dalam niat menulis saya, yakni menulis untuk berbagi ilmu yang bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan.

Semoga Allah mengistiqomahkan kita semua. Semoga semua tulisan kita, buku-buku yang nantinya kita terbitkan pun dapat memberi manfaat, mengispirasikan kebaikan, dan membawa keberkahan bagi kita dan bagi yang membacanya. Jika karya kita sudah berkah, insya Allah perihal honor dan embel-embel lainnya membuntuti dan mengerumuni. Amin. Insya Allah.

Salam literasi!
Semoga bermanfaatdan menginspirasi pada kebaikan! :) 
24 May 2013
Posted by Fatinah Munir

My First Step to Around The World :’)


Bismillahirrahmanirrahim

Maka lihatlah sekelilingmu, karena ada banyak hal yang dapat mengingatkanmu betapa berartinya dirimu saat ini. Maka pergilah sejauh yang kamu mampu, karena akan kamu temui betapa kerdil dirimu di atas tanah Tuhanmu. Maka bermimpilah, karena Tuhan akan Memeluk mimpi-mimpimu. Lalu hiduplah bersama kesyukuranmu atas nikmat yang senantiasa Tuhan kucurkan kepadamu meski tidak kamu minta.
(Lisfatul Fatinah Munir)





Bermimpi adalah satu aktivitas yang teramat saya senangi. Bagaimana tidak senang, bermimpi bukanlah hal terlarang, tidak juga berbayar. Lagi pula, dengan bermimpi saya bisa terus menatap dunia dengan semangat kehusnuzonan.  Tapi ada satu hal yang perlu dicatat tebal-tebal, bahwa senang bermimpi bukan berarti terus berangan-angan. Perlu ada keseimbangan antara mimpi, realitas, dan usaha di sini. Bahwa mimpi tidak ujug-ujug datang membangunkan untuk digenggam. Harus ada tindakan nyata sebagai bukti dari keikhtiaran dan keyakinan akan terwujudnya mimpi tersebut.

Sebagai seorang pemimpi, salah satu mimpi yang saya punya adalah keliling dunia. Entahlah, bagaimana pun caranya, saya percaya bahwa suatu hari nanti Tuhan Memperkenankan saya menginjakkan kaki di belahan bumi-Nya yang lain.

Mimpi berkeliling dunia ini semakin kuat, ketika satu setengah tahun lalu seorang senior saya di FIP UNJ menceritakan mimpinya pergi ke luar negeri dan itu terwujud saat beliau menduduki tahun kedua di kampus. Apa resepnya? Beliau berkata, dare your dream and action now! Berani bermimpi dan bergeraklah sejak saat ini!

Satu lagi yang saya ingat dari ucapan beliau adalah, “Buat paspor sejak sekarang, karena paspor menjadi kunci untuk membuka pintu keliling dunia!” Satu setengah tahun sudah kalimat itu ada dalam kepala saya tanpa ada kesempatan untuk melaksanakan saran –lebih tepatnya motivasi– dari beliau.

Selama hampir dua tahun ini saya habiskan waktu untuk meraih mimpi lain yang lebih sederhana, yang masih bisa saya  lakukan untuk sekeliling saya. Kini, saya pikir sudah saatnya untuk benar-benar melakukan langkah pertama menuju mimpi besar ini. So, awal bulan ini saya tekadkan diri membuat langkah pertama untuk mewujudkan mimpi keliling dunia; membuat paspor.

Yup! Tahun 2013 ini saya curahan seluruh semangat untuk keliling Indonesia dan dunia. Saya targetkan bulan ini saya harus memegang paspor, meskipun saya belum tahu kapan saya akan berangkat ke luar negeri dan negara apa yang pertama kali akan saya kunjungi. Akan tetapi, sebagai seorang yang selalu berusaha berprasangka baik pada Tuhan, saya percaya cepat atau lambat paspor ini pasti akan digunakan!

So, awal bulan Mei ini saya sisihkan uang tabungan untuk biaya administrasi. Semua berkas saya siapkan di dalam sebuah map sederhana seharga Rp2000,- dengan tulisan BIKIN PASPOR.

Berjuang Memijakkan Langkah Pertama

Selasa, 7 Mei 2013. Saya datang ke Kantor Imigrasi Jakarta Timur pukul 7.30 WIB. Saat itu dengan  PD-nya saya langsung masuk ke dalam gedung sambil mengingat-ingat prosedur pembuatan paspor yang sudah saya pelajari melalui internet.  Saat saya melewati meja receptionis, ternyata antrean nomor permohonan paspor sudah sampai ruang tunggu, sedangkan loket permohonan paspor ada di lantai 2 dengan jarak kurang lebih 100 meter dari tempat saya berdiri.

“Antrean dibuka hanya sampai nomor 150, setelah itu yang tidak kebagian nomor silahkan pulang dan kembali lagi besok,” teriak seorang petugas kantor pada antrean pemohon. Sejak itu, muncullah banyak kicauan dari depan belakang saya.

Meskipun katanya nomor permohonan sudah habis sebelum tiba giliran saya, tapi saya tetap optimis.  Wal hasil, saya menunggu hingga saya bisa menginjakkan kaki saya di lantai dua. Tapi, baru lima langkah dari anak tangga terakhir, seorang petugas berteriak dari dalam, “Nomor antrean habiiiiiis!” Then, hari pertama pulang dengan cengiran tidak jelas. Antara bingung dan kesal xD

Rabu, 8 Mei 2013. Di hari kedua ini saya datang lebih cepat satu jam dari sebelumnya. Pukul 6.30 WIB saya sudah turun dari Transjakarta di Shulter Imigrasi Jakarta Timur. Eng ing eng. Ternyata barisannya lebih mengejutkan dari hari sebelumnya. Saya ada dibarisan paling belakang, paling pojok, di parkiran mobil >,< Saat masuk barisan, saya tertawa sendiri. Agak stres juga melihat barisan yang “mengagumkan” ini. Ternyata, orang Indonesia banyak juga yang mau ke luar negeri :)

Yup! Saya bersama barisan orang yang ingin ke luar negeri ini pun menunggu satu setengah jam smapai pintu loket dibuka. Alhadulillah, pukul 8.00 WIB saya sudah ada di lantai atas, beberapa meter menuju loket pengambilan nomor permohonan. Senyuman saya pun mengembang. But, tarataraaaaaa, lima langkah lagi menuju loket pengambilan nomor permohonan muncul suara melengking, “Nomor antrean habiiiiiis!” Seketika itu juga kembang senyum di bibir saya layu! -,-“ Saya berbalik badan sambil senyum-senyum sendiri. Sabar, Lis! :)

Esok harinya saya tidak ke Kantor Imigrasi, karena tanggal merah dan kantornya libur. Hehe. Tapi, malam harinya saya membuat rencana berbeda, yakni mengambil nomor antrean via online. Malam itu juga semua berkas saya unggah. Alhamdulillah, malam itu juga saya dapat formulir online :)

Dua hari kemudian, Jumat, 10 Mei 2013. Dengan senyum sumbringah dan sengaja datang telat (karena sudah antre nomor via online), saya datang ke Kantor Imigrasi Jakarta Timur. Alhamdulillah, saya menjapat nomor antrean permohonan. Kabar baiknya, jika permohonan manual harus menunggu 3 hari lagi untuk foto dan wawancara, permohonan via online langsung melakukan foto dan wawancara di hari itu juga. Alhamdulillah ^_^

Well, satu hari penuh saya habiskan di Kantor Imigrasi Jakarta Timur untuk antre foto dan wawancara. Empat hari kerja setelahnya, saya pun memegang paspor saya. Alhamdulillah ‘alaa kulli ni’mah :)

Langkah Pertama yang Terjejak! :’)

Alhamdulillah, Kamis, 16 Mei 2013 saya sudah memegang paspor 48 halaman. Seperti yang saya tuliskan di awal catatan ini. Membuat paspor ini menjadi satu dari banyak ikhtiar untuk mengenggam mimpi saya. Ini adalah sebentuk usaha sederhana saya untuk menyeimbangkan antara mimpi dan realita yang saya punya.

Insya Allah, adanya paspor di genggaman saya menjadi bahan bakar semangat untuk bisa menginjakkan kaki di Tanah Haram, menghirup udara musim panas di Eropa, menggenggam dinginnya salju di Asia Timur, menyaksikan purnama di Amerika, dan melihat hamparan gurun di Afrika. Amin.

Dalam 48 lembaran paspor ini segera terisi cap imigrasi dari 24 negara berbeda (karena satu negara memberi dua kali cap). My first step to around the world, may blessed God and it give me more than experience, more than science. Amin :’)

Untuk teman-teman yang punya mimpi sama dengan saya, ayo segera membuat paspor! Kita memang tidak tahu kapan kita diberikan kesempatan menginjakkan kaki di negara lain. Tapi, sekali lagi, paspor adalah kunci untuk membuka pintu peluang menuju belahan lain dunia. Dan membuat paspor adalah salah satu usaha, prasangka baik, dan keoptimisan bahwa Tuhan pasti Memberikan kita kesempatan untuk mengunjungi tanah-Nya yang lain. ^_^

Teruslah berani bermimpi dan semangat mewujudkan mimpi. Sertakan Tuhan dalam mimpi-mimpi kita, niatkan segalanya semata untuk Tuhan juga untuk belajar lebih banyak lagi dari ciptaan-Nya, dan pastikan semua mimpi-mimpi kita untuk memuliakan kedua orang kita. Bismillah!

Terakhir, teringat sebuah kalimat dari Ali ibn Abi Thalib r.a. Kehormatan seseorang tergantung pada derajat cita-citanya. Cita-cita yang luhur menumbuhkan obsesi yang tinggi, obsesi yang tinggi menumbuhkan kesuksesan yang besar.” Semoga cita-cita kita membawa kita pada keluhuran dan keridhoan-Nya. Amin :)
Posted by Fatinah Munir

Komunikasi Anak dengan Autis


Komunikasi merupakan salah satu hal yang sangat dibuttuhkan manusia sebagai makhluk sosial. Melalui komunikasi, dua individu atau lebih bisa saling bertukar informasi, bertukar pikiran, dan saling memahami kemauan antar satu sama lainnya. Menurut Wilson (1987) dalam Kathleen Ann Quill (1995) dikatakan bahwa dalam komunikasi dibutuhkan lebih dari sekadar kemampuan untuk rangkai kata-kata dalam urutan yang tepat, tetapi dibutuhkan juga hubungan saling memahami apa yang dikomunikasikan.

Komunikasi dapat dikatakan sebagai kemampuan untuk membiarkan orang lain mengetahui apa yang diinginkan individu, menjelaskan tentang sesuatu kepada orang lain, serta untuk mengetahui sesuatu dari orang lain. Dengan kata lain, komunikasi merupakan suatu aktivitas sosial antar dua orang atau lebih untuk dapat saling bertukar informasi yang dilakukan  secara verbal dan nonverbal.

Bertolak pada pengertian komunikasi di atas, mari kita tengok pola atau karakteristik komunikasi anak autis. Dalam DSM IV (Diagnostic Statistical Manual 1994) dikatakan bahwa seorang anak dapat dikatakan menyandang keautistikan ketika perkembangan bicaranya lambat atau sama sekali tidak berkembang dan tidak ada usaha mengimbangi komunikasi dengan  cara lain; jika anak bisa berbicara, bicaranya bukan untuk komunikasi; sering menggunakan bahasa yang aneh dan berulang; pola bermain anak yang kurang variatif, kurang imajinatif, dan kurang bisa meniru.

Untuk menguatkan karakteristik komunikasi anak autis, Christopher Sunu (2012) menyatakan beberapa indikator perilaku komunikasi dan bahasa yang mungkin ada pada anak autis. Di antaranya adalah ekspresi wajah datar, ridak menggunakan bahasa atau isyarat tubuh, jarang memulai komunikasi, tidak meniru aksi atau suara, berbicara sedikit atau tidak ada sama sekali, membeo kata, intonasi bicara aneh, tampak tidak mengerti kata, serta mengerti dan menggunakan kata secara terbatas.

Dari sekian banyak ciri yang tertera di atas, membeo atau ekolalia merupakan ciri utama anak autis sebagai gangguan kualitatif dalam perkembangan komunikasi. Contoh dari ekolalia adalah seorang anak autis bisa secara terus menerus mengulang satu kata atau kalimat atau nyanyian tanpa dimengerti artinya. Ciri ekolalia ini biasanya dimiliki penyandang autis muda dengan kemampuan verbal. Akan tetapi, ciri ekolalia bukanlah satu ciri yang penting karena dalam perkembangan anak umum juga terdapat fase di mana anak mulai bisa meniru dan selalu mengulang kata yang baru dikenalnya. Untuk membedakannya dengan anak autis, orang tua dapat mengetahuinya dengan cara apakah anak menyerti arti kata yang didengar atau diucapkannya.

Selain ekolalia, ciri lain yang menonjol dan perlu diperhatikan lingkungan anak autis adalah anak autis memiliki keterbatasan memahami atau menggunakan kata dan hanya menggunakan atau memahami kata secara harfiah, dengan kata lain anak autis memiliki keterbatasan dalam memahami kiasan atau sindiran. Karena keterbatasan inilah, orang tua, guru, dan lingkungan anak autis hendaknya menggunakan kalimat yang to the point atau langsung pada apa yang dimaksud. Ketika berbicara dengan anak autis, hindari kalimat yang berbelit atau penuh dengan kiasan karena anak akan kebingungan mengartikan kalimat yang didengarnya.

Jika dalam suatu komunikasi dilakukan interaksi dua arah, pada komunikasi anak autis biasanya dilakukan hanya satu arah. Misalnya, dua orang berkomunikasi seperti biasa untuk dapat saling memberi dan menerima informasi, tetapi anak autis berkomunikasi hanya untuk menerima informasi atau memberi informasi. Untuk itu komunikasi anak autis bukanlah “berbicara dengan” yang melibatkan hubungan dua arah, melainkan satu arah.

Selain mengetahui beberapa ciri penting di atas, orang tua hendaknya memiliki pengetahuan perkembangan bahasa dan komunikasi yang dimiliki anak pada umumnya. Pengetahuan ini penting karena orang tua bisa membandingkan langsung perkembangan bahasa dan komunikasi yang dimiliki anak.

Beberapa ciri komunikasi anak autis di atas tidak melulu harus dimiliki oleh satu orang anak autis. Semua ciri ini hanya bersikap menyeluruh atau komprehensif. Mungkin saja seorang anak autis memiliki separuh ciri di atas, atau mungkin hanya sepertiganya. Kendati demikian, banyak atau tidaknya ciri yang ada dalam diri anak autis bukan penghalang orang tua untuk melakukan penanganan terbaik. Sedikit ataupun banyak ciri-ciri yang dimiliki anak autis tetap harus mendapatkan penanganan untuk mengurangi perilaku keautistikannya.


(*) Tulisan in i pernah diposting di kartunet.com dengan judul "Pola Komunikasi Anak Autis"

12 May 2013
Posted by Fatinah Munir
Tag :

Hardiknas bersama Kenangan, Keberagaman, dan Kesadaran



Di Indonesia, bulan Mei dikenal sebagai Bulan Pendidikan.  Seperti yang teman-teman semua ketahui, tepatnya setiap 2 Mei Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Ada yang berbeda di peringatan Hardiknas  tahun ini. Karena saya sudah tiga tahun menjadi mahasiswa, saya kangen sekali dengan Upacara Hardiknas yang biasanya dulu, semasa SD-SMA, dijadikan upacara wajib tahunan selain upacara rutin setiap Senin dan Upacara Hari Kemerdekaan.

Di kampus saya, Universitas Negeri Jakarta (UNJ), biasanya ada berbagai macam bentuk acara dalam memperingati Hardiknas. Misalnya saja upacara rutin di halaman gedung Perpustakaan Utama, Wisata Akbar UNJ a.k.a. aksi di depan Gedung Kemendikbud terkait kebijakan pendidikan satu tahun terakhir, rangkaian acara dari Lembaga Dakwah Kampus.

Tahun ini saya mendapatkan undangan Upacara Peringatan Hardiknas, bukan dari panitia upara tahunan, melainkan dari BEMJ PGSD FIP UNJ. Entah mengapa, meskipun baru kali ini mendapatkan undangan Upacara Peringatan Hardiknas, saya merasakan keantusiasan yang tinggi untuk ikut hadir. So, saya memutuskan untuk hadir di upacara ke gedung PGSD yang terpisah dari kampus utama :)

Well, singkat cerita saya bersama seorang teman di kelas menghadiri upacara ini, sekaligus mengatasnamakan BEMJ PLB FIP UNJ ^_^

Pagi hari dengan kostum kemeja putih dan rok hitam, saya pergi ke upacara. Upacara kami tidak hanya bernuansa hijau dengan almamater UNJ, ada warna merah-putih dari seragam anak-anak SD dari SD Laboratorium UNJ. Senang rasanya bisa berada di antara barisan mahasiswa PGSD. Meskipun saya dan teman saya seperti “bocah hilang” karena cuma kami berdua yang bukan mahasiswa PGSD, melainkan mahasiswa PLB :)

Bersama anak-anak SD Laboratorium UNJ ^^
Alright, akan membosankan kalau saya membicarakan bagaimana berjalannya upacara. So, kali ini saya akan membicarakan hal yang berbeda dari upacara-upacara seperti biasanya.
Upacara Peringatan Hardiknas ini bukan sekadar upacara hormat bendera, ada serangkaian acara “istimewa” yang membawa saya pribadi pada kenangan semasa SD. Selepas upacara masih ada pertunjukkan tarian dan paduan suara dari anak-anak SD Laboratorium UNJ dan para calon guru SD dari UNJ :)

Jujur, tarian dan paduan suara anak-anak SD ini membuat saya terharu mengingat betapa masa-masa SD itu sudah menjadi masa lalu yang tertinggal di belakang. Sambil menikmati pertunjukkan selepas upacara, saya ikut bernyanyi bersama anak-anak SD Laboratorium UNJ sambil mengibas-ngibaskan bendera plastik yang dibagikan panitia.

Bersama salah satu mahasiswi dari Papua
Oh iya, ada satu hal yang kontras dari keadaan mahasiswa PGSD UNJ dengan mahasiswa lainnya. Di PGSD UNJ ini banyak teman-teman perantau dari Papua, mereka adalah penerima beasiswa Pemda Papua yang kuliah di PGSD UNJ. Tidak hanya warna kulit mereka yang lebih gelap, tetapi dialek dan intonasi berbicara mereka juga membuat mereka menonjol di antara mahasiswa lainnya. But, that’s not barrier for me to know them. Justru perbedaan yang kontrasn ini yang membuat saya semakin berbinar-binar di tengah euphoria Hardiknas dan tidak mau pulang dari acara ini, karena saya menyukai keberagaman dan saya ingin mengenal teman-teman dari Papua ^_*

Dalam rangkaian peringatan Hardiknas ini, teman-teman dari Papua selalu menampilkan pertunjukkan khusus. Kali ini mereka menarikan tarian khas mereka dengan dandanan dan pakaian khas mereka. Saya kurang tahu nama tarian mereka ini apa. Tapi, saat menikmati tarian mereka yang diterjemahkan otak saya adalah tarian mereka menceritakan sepasang burung (Ratu dan Raja Burung) yang diburu oleh masyarakat Papua. Ini hanya terjemahan saya ya, entahlah benar atau salah.

Tarian persembahan teman-teman dari Papua
Euforia Hardiknas tidak berhenti sampai di sini saja. Masih ada karnaval seru bersama anak-anak SD
Laboratorium UNJ. Sebagian mahasiswa termasuk saya dan teman saya juga anak-anak SD, berkeliling kompleks Setia Budi membawa poster-poster semangat Hardiknas, membunyikan perkusi, mengibarkan bendera sepanjang jalan, dan menyanyikan lagu-lagu daerah dan anak-anak bersama. Duh, tidak terbayang senangnya bisa ada di tengah-tengah semangat ini. Sepanjang perjalanan saya merasakan kegembiraan yang sudah lama tidak saya rasakan lagi. Arak-arakan bersama-sama, tertawa bersama anak-anak SD, berbincang dengan teman-teman dari Papua, dan sesekali menyeletukkan “Udah lama gak kayak gini. Jadi terharu begini rasanya,” dengan teman PLB saya ^_^

Selepas menyaksikan pertunjukkan yang membuat saya “melayang” dan karnaval bersama anak-anak SD
yang membuat saya “terbang”, acaranya dilanjutkan dengan pameran kerajinan tangan mahasiswa dari matakuliah Seni dan lomba untuk anak-anak SD maupun mahasiswa.

***

Well, sebenarnya, ada satu hal menarik yang saya ambil dari kegiatan ini, bukan tentang konten upacara atau anak-anak yang mengikuti kegiatan ini, melainkan lebih pada satu pemahaman baru yang saya dapatkan. Seperti yang saya tulisakan sebelumnya, di PGSD UNJ banyak sekali mahasiswa dari Papua. Berbincang dan ikut berbaur bersama mereka, membuat saya berpikir berkali-kali tentang nasib pendidikan Indonesia yang lebih jauh lagi.

Mereka, teman-teman dari Papua mengingatkan saya pada semangat pemuda yang memudar. Apalagi pemuda-pemuda di Jakarta, yang seharusnya menjadi penggerak perubahan negara karena di Jakarta-lah inti kehidupan negara ini berlangsung. Karena di Jakarta-lah semua kebijakan dan fenomena negara dimulai, tidak hanya untuk dimulai tetapi juga untuk memengaruhi nasib negara ini bertahun-tahun ke depan.

Sebelumnya, saya pernah bertemu dengan guru-guru SLB dari Papua. Kami bertemu di SLB Negeri Semarang, saat saya mengisi liburan semester saya di SLB tersebut. Kendari saya hanya berkesempatan berbincag sebentar dengan guru-guru SLB dari Papua, tetapi semangat mereka begitu dahsyat menumbuk hati saya. Mereka, jauh-jauh datang ke Semarang dari Papua untuk mengetahui bagaimana cara guru-guru SLB di Tanah Jawa mengajar ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) dengan pengelolaan sekolah yang konon, menurut pemberitaan di media terus berkembang menjadi lebih dan lebih baik lagi.

Mereka, guru-guru SLB dari Papua, datang bukan untuk meneguk semangat guru-guru SLB di pulau Jawa, karena saya tahu betul semangat mereka jauh lebih tinggi dibandingkan dengan guru-guru SLB di Jawa. Kalian tahu mengapa mereka datang ke Jawa demi merauk ilmu di sini. “Karena di Papua hanya ada 1 SLB, sedangkan jumlah ABK di Papua tidak sedikit. Kami juga ingin seperti kalian di Jawa yang punya banyak SLB,” kata salah satu guru itu kepada saya.

Deg! Saat itu juga aliran darah saya terasa menderas, bulu kuduk bangkit, dan kantung airmata membuncahkan muatannya. Jujur saja, saya malu dengan jawaban guru ini. Jawa boleh jadi memiliki segalanya, termasuk perhatian lebih dari pemerintah pusat, tapi semangat untuk mempertahankan kepemilikan ini apalagi untuk memperbaiki jauh lebih miskin dibandingkan dimiliki guru-guru SLB dari Papua.

Sekarang, ketika berhadapan dengan teman-teman mahasiswa dari Papua, saya semakin malu pada diri saya, pada Tuhan saya. Mereka yang dibiayai Pemda Papua harus terpisah lautan dan puluhan atau bahkan ratusan pulau dengan tanah kelahiran dan orang tua.

Bersama teman-teman dari Papua ^_*
Meskipun kesempatan berbincang dengan guru dan mahasiswa dari Papua, tetap ada sentilan hebat pada hati saya terhadap apa yang telah dan akan saya lakukan. Saya sempat berpikir bahwa kita, pemuda-pemuda di daerah “nyaman”, khususnya Jawa, kebanyak kufur dan terlanjur nyaman dengan keadaan. Hasilnya, kenyamanan itu membuat kita hanya berdiam diri menikmati “kenyamanan di tempat” dan tidak ingin bergerak maju.

Dua pertemuan saya dengan guru dan mahasiswa dari Papua saya piker cukup memberikan gambaran seberapa kontrasnya makna pendidikan yang ada di tangan kita, para penduduk Jawa. Mereka yang diutus Pemda Papua sudah memiliki misi yang kuat untuk mencapai Papua yang lebih baik dari sekarang dan berusaha mengimbangi kemajuannya dengan Jawa. Mereka memiliki tujuan yang jelas dalam perjalanan pendidikan mereka; bahwa mereka ingin memajukan Papua yang kekurangan perhatian dari pemerintah pusat.

Lalu, saya bertanya pada diri saya sendiri. Apa visi misi yang saya bawa sejauh ini, selama kurang lebih 3 tahun merasakan kuliah di dua kampus yang berbeda? Jujur saja, saya tidak menemukan jawaban yang konkret dan spesifik selain jawaban abstrak berupa “Saya ingin memajukan pendidikan Indonesia”.

Berbeda dengan mereka yang sudah memiliki visi misi yang jelas dan spesifik bahwa mereka ingin membangun banyak SLB di Papua, mereka ingin membangun banyak sekolah untuk anak-anak di pelosok Papua. Saya pikir, kita –termasuk saya pastinya– yang  sudah di tanah yang kaya perhatian dan sumber daya terlanjur terkungkung dengan kenyamanan di negeri sendiri. Sehingga kita kehilangan pandangan untuk mau melangkah ke mana dan tidak tahu apa yang hendak kita perbuat. Pasti kebanyakan di antara sibuk dengan rutinitas linear; kuliah, mendapat gelar, ijazah kuliah, lalu mencari kerja.

Right, melihat kekontrasan visi misi yang kita genggam dengan para guru dan mahasiswa dari Papua, saya pikir kita yang ada di “tanah yang disayang” Pemerintah Pusat tanpa disadari telah didik menjadi robot pekerja, bukan penggerak, visioner, apalagi innovator. Berbeda jauh dengan teman-teman dari pelosok negeri ini yang datang ke Jawa untuk belajar dengan visi perubahan, menggerakkan tanah kelahiran yang ditinggalkan juga tertinggal, dan menciptakan hal baru untuk tanah kelahiran yang lebih baik.

Teman-teman Papua bersama Dekan FIP dan dosen :)

Yup, just a simple thing; vision and mission our study which make we are so different. Sebenarnya, kalau
dipikir-pikir, keengganan kita untuk keluar dari kotak kenyamanan inilah yang juga jadi pembeda antara kita dengan mereka yang dari Papua. Entahlah, masa iya harus diberi terus diberi kesusahan dulu baru kita sadar dan mau berubah menjadi lebih baik.

Over all, peringatan Hardiknas tahun ini sangat menyentil hati saya. Hardiknas tahun ini membuat saya berpikir berkali-kali tentang sudah seberapa bermanfaatnya saya pada tanah kelahiran saya, khususnya lingkungan saya. Teman-teman dari Papua telah membuat diri saya malu pada diri saya sendiri dan pada kenyamanan yang sudah saya terima sejak lahir, bahwa tidak banyak yang sudah saya lakukan untuk lingkungan saya bahkan untuk diri saya sendiri. Jadi, apa yang harus saya banggakan dibandingkan dengan semangat dan visi misi yang mereka genggam untuk tanah kelahiran mereka.

So, melalui semangat Hardiknas ini setidaknya semoga kita semua, khususnya pemuda di “tanah dimanja” Pemerintah Pusat untuk juga bergerak, mengemban visi misi, dan inovasi yang tidak sebatas pada “memajukan pendidikan Indonesia”. Tetapi kita juga harus bisa atau setidaknya berusaha mengubah sistem yang sampai saat ini masih carut-marut, termasuk mengubah pendidikan yang merobotkan manusia menjadi pendidikan yang memanusiakan manusia. Jangan sampai juga kita yang sekarang sudah menjadi robot pendidikan, di masa depan malah ikut menciptakan robot-robot pekerja yang baru.

Last, semoga pendidikan di Indonesia bisa menjadi pendidikan yang memanusiakan manusia dan berkeadilan. Yaitu pendidikan yang tak kenal bulu, yang mana setiap makhluk bernama manusia di negeri ini, baik muda-tua, miskin-kaya, “normal”-“cacat”, di kota-pelosok berhak mendapatkan pendidikannya. Amin.

Semangat meninspirasi dan bermanfaat tanpa batas! ^_^
08 May 2013
Posted by Lisfatul Fatinah

Belajar dari Negeri Penjinak Air


Kerajaan Tanah Rendah, begitulah sebutan negara adidaya yang satu ini. Berangkat dari kondisi negara yang hampir seluruhnya merupakan dataran rendah, ia tumbuh menjadi negara yang kuat dan unggul dalam berbagai teknologi terutama dalam hal menjinakkan air.

Adalah Belanda, negara yang dikenal sebagai Koninkrijk der Nederlanden (Kerajaan Tanah Rendah), negara yang sebagian besar datarannya lebih rendah dari permukaan laut. Tanah-tanah Belanda rata-rata berada 1-15 m dpl, hingga sangat memungkinkan negara yang tidak lebih luas dari Jawa Timur ini mengalami bencana banjir bandang dari lautan. Misalnya saja pada kejadian banjir pada 1953 menenggelamkan sebagian besar wilayah Belanda dan setidaknya 1.800 orang menjadi korban.

Kondisi alam seperti ini tanpa disadari menyulutkan api semangat Belanda untuk menciptakan sebuah sistem yang mampu menyelamatkan wilayahnya dari air bah. Dari tahun ke tahun Belanda terus membuat inovasi baru yang mampu menjinakkan air laut agar tidak menenggelamkan daratannya. Semangat ini tertuang dalam penemuan-penemuan mutakhir yang sampai saat ini diadopsi untuk menjinakkan air di negara-negara lainnya, termasuk Indonesia.

Pertama, upaya Belanda untuk menanggulangi banjir adalah “menciptakan” daratan dengan cara mengeringkan danau dan beberapa wilayah perairan. Hal ini pertama kali dilakukan pada 1612 dengan mengeringkan Danau Beemstar dan beberapa area perairan di bagian utara, barat, dan barat daya Belanda.

1. Dike
 Kedua, Belanda menjinakkan air laut dengan membangun dike. Dike atau dalam bahasa Belanda disebut Dijk merupakan sebuah tanggul batu yang dibangun untuk  mencegah banjir dengan cara menahan air yang hendak ke daratan. Sistem dike ini turut menginspirasi Indonesia dalam menangani banjir. Sampai saat ini puluhan dike atau tanggul dibangun di sepanjang bantaran sungai, khususnya pada sungai-sungai di Jakarta.

2. Model Terpen
Selanjutnya adalah bukit-bukit raksasa dari tanah yang disebut terpen. Terpen pertama kali dibangun di daerah Friesland sepanjang ribuan mil di pesisir pantai. Sejumlah literature menyebutkan bahwa terpen diciptakan pada 1200 yang kemudian dikembangkan menjadi dike. Oleh karena itu, terpen dan dike memiliki sistem yang serupa. Yaitu sistem buka tutup otomatis ketika air laut pasang atau surut.

3. Deltaworks
Kemudian, pada 1953 dibangunlah Deltaworks (Rencana Delta) yang merupakan dam semen raksasa di laut dengan posisi di antara pulau-pulau. Deltaworks dibangun setelah banjir yang menenggelamkan hampir seluruh bagian Belanda.

Satu lagi teknologi penjinak air yang diinisiasikan Belanda untuk dunia adalah dam atau bendungan. Bendungan merupakan konstruksi yang dibangun untuk menahan laju air menjadi waduk, danau, atau tempat rekreasi. Bendungan memiliki bagian yang disebut pintu air untuk membuang air yang tidak diinginkan secara bertahap atau berkelanjutan ke lautan. Sistem bendungan ini juga menjadi teknologi yang diadaptasi banyak negara dengan masalah banjir.

4. Kincir Angin
Terakhir adalah kincir angin. Selain dikenal sebagai pembangkit tenaga listrik, kincir angin di Belanda dimanfaatkan untuk mengalihkan, membendung air, serta menangkap dan mengalihkan angin dari daratan menuju lautan. Melalui sistem ini, air yang mengalir ke daratan dialihkan terus ke lautan. Dengan demikian aliran air yang menyebabkan banjir bisa terhalang.

Demikianlah rentetan teknologi penjinakan air dari Belanda yang dikenal dengan Teknologi Manajemen Air. Teknologi ini sampai sekarang terus diadaptasi berbagai negara di dunia, terutama Indonesia. Melalui teknologi “penyelamatan” dunia dari air bah, Belanda juga menjadikan teknologi ini sebagai warisan budaya mereka.

Referensi tulisan:

Referensi gambar: silakan klik pada masing-masing gambar

 (*) Tulisan ini diikutsertakan dalam Kompetisi Blog untuk Summer School ke Belanda :)
07 May 2013
Posted by Fatinah Munir

Jejak Pendidikan Belanda untuk Indonesia




Selama 350 tahun Indonesia dijajah oleh Belanda, mulai dari oleh perusahaan dagang bernama VOC hingga pada pemerintahannya sendiri yakni Hindia Belanda (Nederlands Indie). Sejumlah literasi menyebutkan bagaimana kejinya pemerintahan Belanda menjajah Indonesia. Tapi,pernahkah kita menyadari bahwa setidaknya ada beberapa hal positif yang diperoleh Indonesia melalui sisa-sisa penjajahan Belanda yang salah satunya adalah pendidikan?

Menilik kembali sejarah pendidikan Indonesia, pendidikan formal Indonesia dimulai pada awal abad ke-20. Pada awal 1900-an ini di kalangan Belanda muncul orang-orang yang ingin memberikan keuntungan kepada negara jajahan Belanda, termasuk Indonesia. Salah satu orang yang ada dalam kalangan ini adalah Van Deventer, yang pada 1899 menjabat sebagai Gubernur Hindia Belanda mencetuskan moto “Hutang Kehormatan” atau de Eereschuld. Moto ini dikenal sebagai Politik Etis (Etische Politiek) yang satu diantara tiga program Plotik Etis adalah upaya mencerdaskan negara jajahan melalui pendidikan berasaskan negara yang menjajah.

Di bawah jajahan Belanda, pada 1900 di Indonesia mulai banyak bermunculan sekolah-sekolah berbasis Barat yang bertujuan memperbaiki kehidupan pribumi melalui sistem Barat. Sebagai pencetus sekolah pribumi di masa penjajahan Belanda, Van Deventer menghimbau kepada pemerintahan Belanda bahwa pemeroleh pendidikan tidak sebatas pada pribumi golongan aristokrat. Akan tetapi, menurut Deventer, pribumi golongan bawah juga perlu memperoleh pendidikan.

Berdasarkan gagasan Van Deventer inilah, muncul sekolah-sekolah untuk rakyat biasa yang menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantarnya. Meskipun tidak sebaik pendidikan untuk kalangan pribumi aristokrat, pendidikan yang diterima rakyat biasa dapat dikatakan sangat layak. Dengan tujuan tersirat bahwa pendidikan yang dibangun Belanda di Indonesia guna mendapatkan tenaga kerja yang murah dan terlatih, Belanda tetap memberikan kontribusi besar pada perkembangan pendidikan dan ketenagaan Indonesia untuk tahun-tahun selanjutnya.

Hasil Komisi Pendidikan Indonesia Belanda (1928-1929), dari sekian banyak pribumi yang menerima pendidikan dari pemerintahan Belanda, 2 % di antaranya mampu berdiri sendiri dalam artian membuat usaha dan lapangan pekerjaan sendiri, lebih dari 83 % darinya menjadi tenaga bayaran, dan hanya sekitar 10-15 % sisanya yang menganggur. Berdasarkan data di atas dapat dikatakan bahwa pendidikan yang dicetuskan Belanda di Indonesia mampu membawa Indonesia pada dunia enterpreneur dan  ketenagakerjaan.

Berkat pendidikan yang rintis Belanda, para pemuda Indonesia mula membuka wawasan akan apa saja yang terjadi di luar. Dampaknya, pendidikan yang dirintis Belanda justru mengantar pemuda Indonesia pada pemikiran perlu adanya cita-cita kebebasan dari penjajahan menuju gerbang kemerdekaa. Melalui pendidikan yang dirintis Belanda, lahirnya pemuda-pemuda yang dikenal sebagai penggerak kemerdekaan nasional. Dengan demikian, pendidikan Indonesia yang dirintis Belanda secara tidak langsung sejatinya telah mengantarkan Indonesia pada kemajuan dan perubahan yang lebih baik. Semangat perubahan, belajar dan bekerja, kebebasan, dan terbukanya pemikiran pemuda Indonesia di bawah didikan Belanda menjadi salah satu dampak positif sekaligus pencetusan kemerdekaan nasional. Selain itu, sistem dan struktur pendidikan Indonesia sampai saat ini merupakan hasil dari adaptasi pendidikan Belanda.

Berdasarkan tulisan di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak semua yang dilakukan Belanda selama masa penjajahannya di Indonesia membawa dampak negatif. Dampak positif kebijakan Belanda di masa penjajahannya adalah pendidikan yang rintis Belanda mengantarkan Indonesia kepada keterbukaan pada wawasan dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian, terbuka pulalah pemikiran bangsa Indonesia untuk meraih kebebasan dan merdeka secara nasional.

Referensi tulisan:
http://suwardi.dosen.narotama.ac.id/2012/02/06/pengaruh-positif-belanda-dalam-eksistensinya-terhadap-sejarah-hukum-termasuk-pendidikannya-di-indonesia/
http://rifkysunandi.blogspot.com/p/blog-page.html
http://caesardemas.blogspot.com/2012/11/sejarah-pendidikan-indonesia-pada-zaman.html
http://ms.wikipedia.org/wiki/Perekaan_dan_penemuan_Belanda

Referensi gambar: di sini



 (*) Tulisan ini diikutsertakan dalam Kompetisi Blog untuk Summer School ke Belanda :)
04 May 2013
Posted by Fatinah Munir

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -