Archive for March 2013
Pendidikan Berbasis Hak*
Wacana Pendidikan Berbasis Hak
seharusnya tidak menjadi hal baru dalam dunia pendidikan Indonesia. Karena, sejak
2002 lalu Katarina Tomasevski telah mengangkat hal ini dalam
makalahnya yang bertajuk Universalizing the Right to Education of Good
Quality: A Rights-based Approach to Achieving Education for All dalam
Workshop Regional UNESCO di Manila, Filipina. Dan, segala hal yang dikemukakan
Tomasevski merupakan dasar universal dari pendidikan yang seharusnya
dilaksanakan oleh seluruh negara di dunia. Pada artikel kali ini, kita akan
mengenal secara umum apa yang dikemukakan oleh Tomasevski mengenai Pendidikan
Berbasis Hak.
Pendidikan Berbasis Hak adalah satu dasar pelaksanaan pendidikan
yang berasaskan hak-hak asasi manusia untuk mendapatkan pendidikan. Dalam
pengantarnya, Tomasevski menyatakan bahwa pemenuhan hak
atas pendidikan merupakan proses yang sedang berjalan, demikian juga dengan
upaya penyatuan berbagai komitmen global untuk mencapai pendidikan untuk semua.
Oleh karena itu, pelaksanaan Pendidikan Berbasis Hak merupakan langkah untuk
mewujudkan pendidikan yang adil, kesamarataan pelayanan berdasarkan kebutuhan
setiap peserta didik.
Untuk lebih mengukuhkan pelaksanaan Pendidikan Berbasis Hak,
Tomasevski mengaitkan pemikiran ini dengan bidang hukum, yang mana setiap
negara, termasuk Indonesia, menjadikan pendidikan sebagai hak setiap warga
negaranya. Dalam hal ini, terdapat skema A4 sebagai acuan terwujudnya
Pendidikan Berbasis Hak. Skema tersebut merupakan; Availability (ketersediaan), Accessibility
(keterjangkauan), Acceptability (keberterimaan), dan Adaptability
(kebersesuaian). Berdasarkan teks asli makalah yang disusun oleh Tomasevski,
berikut ini adalah penjelasan mengenai Skema A4 yang menjadi acuan pelaksanaan
Pendidikan Berbasis Hak.
Availability (ketersediaan),
mengacu pada tiga macam kewajiban pemerintah yaitu: (1) pendidikan sebagai hak
sipil dan politik mensyaratkan pemerintah untuk mengizinkan pendirian
sekolah-sekolah yang menghargai kebebasan terhadap pendidikan dan dalam
pendidikan; (2) pendidikan sebagai hak sosial dan ekonomi mensyaratkan
pemerintah untuk menjamin pendidikan wajib dan tanpa biaya bagi anak usia
sekolah; dan (3) pendidikan sebagai hak budaya mensyaratkan dihargainya
keragaman, khususnya hak-hak bagi kelompok minoritas dan penduduk asli.
Hak Ketersediaan lebih menekankan pada adanya sarana dan fasilitas
sekolah bagi berbagai macam murid. Mulai dari kondisi murid yang
berketerbatasan secara finansial, fisik, hingga kelompok minoritas dalam
masyarakat. Untuk murid disabilitas, bangunan sekolah yang disediakan hendaknya
mampu menyediakan fasilitas yang memudahkan gerak para murid disabilitas tubuh,
membantu penunjangan informasi disabilitas pengelihatan dengan fasilitas
informasi suara dan braile, serta mempermudah penerimaan informasi disabilitas
pendengaran menggunakan tulisan.
Accessibility (keterjangkauan),
berarti pemerintah harus menghapuskan praktik-praktik diskriminasi jender dan
rasial dan menjamin pelaksanaan hak asasi manusia secara merata, dan pemerintah
tidak sekadar puas dengan hanya pelarangan diskriminasi secara formal.
Keterjangkauan itu berkenaan dengan jenjang pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan tinggi; pemerintah berkewajiban untuk menyelenggarakan
pendidikan wajib dan tanpa biaya bagi seluruh anak usia sekolah. Hak atas
pendidikan seyogianya diwujudkan secara progresif agar pendidikan wajib dan
tanpa biaya dapat dilaksanakan sesegera mungkin, dan mempermudah akses untuk
melanjutkan pendidikan setelah wajib belajar.
Hak Keterjangkauan yang digagaskan Tomasevsky lebih menekankan
pada keterjangkauan pendidikan oleh semua masyarakat guna mencapai wajib
belajar dua belas tahun. Keterjangkauan ini mengarah pada aspek finansial,
dimana setiap warga negara memiliki hak memperoleh pendidikan sekalipun
berketerbatasan finansial. Demikian pula untuk murid-murid disabilitas, jika
hak ini terlaksana tidak ada lagi alasan adanya seorang disabilitas yang tidak
mengecap pendidikan karena ketidakmampuan untuk membiayai sekolah.
Acceptability (keberterimaan), mempersyaratkan
penjaminan minimal mengenai mutu pendidikan, misalnya persyaratan kesehatan dan
keselamatan atau profesionalisme bagi guru, tetapi cakupan yang sesungguhnya
jauh lebih luas dari yang dicontohkan tersebut. Penjaminan tersebut harus
ditetapkan, dimonitor, dan dipertegas oleh pemerintah melalui sistem pendidikan,
baik pada institusi pemerintah maupun swasta.
Keberterimaan
dapat diperluas melalui pemberdayaan peraturan perundang-undangan tentang hak
asasi manusia; penduduk asli dan mintoritas berhak memprioritaskan penggunaan
bahasa ibu sebagai bahasa pengantar dalam proses belajar mengajar. Sementara
itu, pelarangan terhadap hukuman fisik harus dilakukan dengan mengubah
metode-metode pembelajaran dan penerapan disiplin sekolah. Persepsi yang muncul
tentang anak-anak sebagai subjek yang berhak atas pendidikan dan berhak dalam
pendidikan telah diperluas batasannya dalam hal keberterimaannya yang
mencakup isi kurikulum dan buku pelajaran, yang sekarang ini lebih dipertimbangkan
dalam perspektif hak asasi manusia.
Hak
Keberterimaan menuntut praktisi pendidikan dan masyarakat luas untuk membuka jalan bagi murid-murid
disabilitas. Keberterimaan ini bisa terleksana jika dua hak pertama, Hak
Ketersediaan dan Hak Keterjangkauan terpenuhi.
Keberterimaan murid disabilitas bisa diwujudkan melalui program inklusi
di seluruh jenjang pendidikan dan kehidupan masyarakat. Dengan demikian,
perbedaan-perbedaan yang ada di antara murid bukanlah sebuah penghalang
terlaksananya pendidikan. Justru,
perbedaan antar murid dapat menjadi keberagaman dan mempererat persaudaraan
antar murid.
Adaptability
(kebersesuaian), mempersyaratkan sekolah untuk tanggap terhadap
kebutuhan setiap anak, agar tetap sesuai dengan Konvensi tentang Hak-hak Anak.
Hal ini mengubah pendekatan tradisional, yakni sekolah yang mengharapkan bahwa
anak-anaklah yang harus dapat menyesuaikan terhadap berbagai bentuk pendidikan
yang diberikan kepada mereka. Karena HAM tidak berdiri sendiri, kesesuaian
menjamin diterapkannya hak asasi manusia dalam pendidikan dan memberdayakan HAM
tersebut melalui pendidikan. Hal ini memerlukan analisis lintas sektoral atas
dampak pendidikan terhadap hak asasi manusia, misalnya, memonitor tersedianya
pekerjaan bagi lulusan dengan cara melakukan perencanaan terpadu antarsektor
terkait.
Hak Kebersesuaian merupakan hak lanjutan dari tiga hak pertama
dalam Pendidikan Berbasis Hak. Hak ini menuntut adanya penyesuaian
berkelanjutan dari sekolah atas kebutuhan murid-muridnya. Dalam penerapannya,
Hak Kebersesuaian menciptakan tradisi dimana bukan murid yang harus
menyesuaikan diri dengan sekolah, melainkan sekolahlah yang harus menyesuaikan
dirinya dengan keadaan murid-muridnya. Dengan demikian, melalui pendidikan Hak
Berkesesuaian para murid yang tadinya bukan seorang disabilitas dan karena satu
hal menjadi disabilitas, misalnya karena kecelakaan harus menggunakan kursi
roda selama hidupnya, tidak harus pindah sekolah untuk menyesuaikan
kebutuhannya yang baru, sekolahlah yang harus menyesuaikan sarana dan fasilitasnya
untuk memenuhi kebutuhan ruang gerak yang lebih terjangkau untu k murid
berkursi roda ini.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hak-hak atas
pendidikan pada prinsipnya melibatkan tiga pelaku utama; pemerintah sebagai
pengada dan/atau badan penyandang dana untuk sekolah-sekolah negeri; anak-anak
sebagai pemegang hak-hak atas pendidikan dan terkait dengan syarat-syarat wajib
belajar; dan orang tua anak yang sesungguhnya adalah “pendidik pertama.”
Keberadan tiga pelaku pendidikan ini
seharusnya dapat bersinergi guna mencapai pendidikan yang sesuai dengan hak-hak
anak. Dengan kata lain, kerja sama antar
pihak merupakan satu kunci kesuksesan pendidikan suatu negara di luar dari
segala teori yang ada. Dengan demikian, Pendidikan Berbasis Hak sebagai
landasan guna mencapai pendidikan yang merata dan sesuai hak anak adalah
pendidikan yang mampu bertindak secara adil kepada setiap pelaku pendidikan.
Terakhir, yang perlu ditekankan adalah bahwa penerapan keadilan bukanlah
kesamaan kuantitatif. Keadilan dalam pendidikan yang berbasis hak adalah kesamaan pelayanan pendidikan sesuai
dengan hak-hak anak yang bersangkutan,
entah itu terhadap anak pada umumnya maupun pada anak berkebutuhan khusus.
(*) tulisan ini pernah dimuat di Kartunet.com
Kesalahpahaman Program Pendidikan Inklusif di Indonesia*
Dewasa ini, sudah cukup
banyak sekolah-sekolah di Indonesia yang menyuarakan pengadaan “Kelas
Inklusif”, sehingga terjadi kerancuan mengenai makna “inklusif” di dunia
pendidikan. Dampaknya, program pendidikan inklusif berada di antara dua sisi
yang masih samar-samar, yakni antara tren pendidikan dan hakikat pendidikan
yang sesungguhnya. Sebelum membahas lebih jauh lagi, sebaiknya terlebih dahulu
kita ketahui pengertian inklusi.
Sapon-Shevin(1994) berpendapat bahwa pendidikan inklusif
adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus
belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman
seusianya.
Sedikit berbeda pendapat dengan Sapon-Shevin, Stainback (1980)
mengemukakan bahwa sekolah penyelenggara pendidikan inklusif adalah sekolah
yang menampung semua murid di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program
pendidikan yang layak, menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan
kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan
oleh para guru agar murid-murid berhasil.
Berdasarkan pengertian yang dikemukakan Sapon-Shevin,
setidaknya pembaca dapat menyimpulkan bahwa program pendidikan inklusif hanya
bisa terlaksana jika dalam sekolah regular terdapat anak berkebutuhan khusus. Melalui
pengertian ini penulis menilai pendapat Sapon-Shevin kurang tepat. Sebab,
secara filosofis program pendidikan inklusif merupakan program pendidikan
berlandaskan hak yang mana setiap murid seperti yang dikemukakan oleh
Stainback. Sehingga, baik berkebutuhan khusus atau pun tidak dapat menerima
pelayanan sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Kenyataannya di lapangan, program inklusif didefinisikan
seperti pengertian Sapon-Shevin. Sehingga, apabila sekolah tertentu ingin
disebut sebagai sekolah inklusif maka sekolah tersebut harus menerima anak
berkebutuhan khusus di sekolah regular. Pengertian inilah yang menyebabkan
kesalahpahaman. Karena, secara garis besar pendidikan inklusif bukan terletak
pada sekolahnya, melainkan pada program sekolahnya. Oleh sebab itu, dalam dunia
ortopedagogik tidak dikenal istilah sekolah inklusif, tetapi yang ada
adalah program pendidikan inklusif.
Kesalahpahaman ini pada dasarnya dikarenakan minimnya
landasan kelimuan para pendidik. Padahal, kecukupan pemahaman yang tepat yang
dimiliki seorang pendidik menjadi faktor kunci dalam pelayanan penyelenggaraan
pendidikan inklusif.
Seperti yang kita ketahui bersama, kegiatan keilmuan selalu
menghasilkan teori yang kebenarannya disesuaikan dengan realita, sehingga hasil
kajian ilmu adalah ditemukannya berbagai ilmu yang bermanfaat guna
menyelesaikan permasalahan keseharian, termasuk di dalamnya permasalahan
pendidikan. Dengan begini, landasan keilmuan menjadi penting demi
penyelenggaraan pendidikan. Dan, dengan adanya landasan keilmuan ini kekeliruan
seperti yang terjadi pada sistem pendidikan inklusif dapat dihindari.
Kayanya keilmuan pendidik akan pendidikan inklusif ini
berkaitan dengan efektifitas dan efisiensi layanan penyelenggaraan pendidikan inklusif.
Berkaca pada fenomena yang terjadi
beberapa tahun ini dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di
Indonesia, dapat dikatakan bahwa Indonesia belum cukup siap untuk memulainya.
Semua ini dikarenakan belum cukupnya pengetahuan yang tepat di dalam personalia
kependidikan.
Bertolak pada pembahasan ini, disimpulkan bahwa program
pendidikan inklusif seharusnya tidak hanya berjalan pada sekolah-sekolah yang
terdapat anak berkebutuhan khusus, tetapi berjalan di setiap sekolah yang ada.
Lebih dari itu, sekolah juga harus menyediakan berbagai fasilitas dan tenaga
pengajar yang dapat mengakomodir kemampuan setiap murid yang berbeda. Jika
hal-hal di atas terpenuhi, sekolah sudah dapat dikatakan sebagai sekolah
berprogram inklusif.
(*) tulisan ini pernah dimuat di Kartunet.com
Filosofi Pendidikan Inklusif sebagai Pendidikan Berkeadilan*
Pendidikan inklusif sedang menjadi
pembicaraan hangat di dunia pendidikan kita saat ini. Dampaknya, banyak sekolah
yang berlomba-lomba untuk mendirikan kelas inklusif. Akan tetapi, sudah
dapatkah kita memahami makna dari inklusi itu sendiri?
Berbicara
tentang filosofis pendidkan inklusif di Indonesia, tidak luput dari filosofi
bangsa Indonesia itu sendiri. Sebagai bangsa yang berlandaskan Pancasila, kita
dituntut untuk dapat mengusung tinggi norma Bhinneka Tunggal Ika, baik
secara tekstual maupun kontekstual.
Adapun
kaitan antara filosofi Indonesia dan pendidikan inklusif adalah landasan negara
menuntut kita untuk dapat mengemban tugas sebagai khalifah Tuhan dalam bidang
pendidikan inklusif. Sebagai sesama makhluk di dunia, manusia harus saling
menolong, mendorong, dan memberi motivasi kepada semua potensi kemanusiaan yang
ada pada diri setiap peserta didik, termasuk anak berkebutuhan khusus (ABK).
Hal ini dilakukan agar ABK dapat mengembangkan potensinya dengan optimal dan
mampu meningkatkan kualitas kemandiriannya. Suasana tolong menolong seperti yang
dikemukakan di atas dapat diciptakan melalui suasana belajar dan kerjasama yang
silih asah, silih asih, dan silih asuh (saling
mencerdaskan, saling mencinta, dan saling tenggang rasa).
Filosofi
Bhinneka Tunggal Ika mengajak kita untuk meyakini bahwa di dalam diri manusia
bersemayam potensi kemanusiaan yang bila dikembangkan melalui pendidikan yang
baik dan benar dapat berkembang tak terbatas.[1]
Dan, perlu diyakini pula bahwa potensi itu pun ada pada diri setiap ABK.
Karena, seperti halnya ras, suku, dan agama di tanah Indonesia, keterbatasan
pada ABK maupun keunggulan pada anak pada umumnya memiliki kedudukan yang sejajar.
Berdasarkan
penjelasan di atas, jelas bahwa keterbatasan ABK tidak dapat dijadikan alasan
untuk menjadikan pendidikan bersifat segregatif dan eksklusif, sehingga pendidikan
untuk ABK harus dipisahkan dengan anak pada umumnya. Karena dengan adanya pendidikan
inklusif yang terintegrasi, peserta didik dapat saling bergaul dan memungkinkan
terjadinya saling belajar tentang perilaku dan pengalaman masing-masing.
Sebagai
bangsa beragama, penyelenggaraan pendidikan juga tidak dapat dipisahkan dengan
nilai keagamaan. Terlebih, interaksi yang terjadi dalam lingkup pendidikan
tidak dapat dipisahkan dari hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Keberadaan
manusia sebagai mankhuk sosial ini disinggung dalam Al-Quran yang mengatakan
bahwa Tuhan menciptakan manusia berbeda satu sama lain agar dapat saling
berhubungan dalam rangka saling membutuhkan.[2]
Keberadaan
peserta didik yang membutuhkan layanan khusus adalah manifestasi hakikat
manusia sebagai individu yang harus berinteraksi dengan tujuan berbuat
kebaikan. Kembali pada kaliamat di awal paragraf ini, dapat kita temukan bahwa
terdapat kesamaan antara pandangan filosofis dan agama tentang hakikat manusia.
Hal ini dikarenakan keduanya merujuk pada kebenaran yang hakiki, yakni Tuhan
Yang Maha Esa. Oleh karena itu, dengan adanya titik temu antara landasan
filosofi dan landasan religi diharapkan dapat menjadi landasan dalam pemanfaat
penyelenggaraan pendidikan, khususnya pendidikan inklusif.
Landasan Yuridis
Berdasarkan
kesepakatan UNESCO di Salamanca, Spanyol, pada 1994, ditetapkan bahwa
pendidikan di seluruh dunia harus dilaksanakan secara kekhususan atau inklusif.
Dalam kesepakatan tersebut dikatakan bahwa pendidikan adalah hak untuk semua
(education for all). Dengan ini dapat kita simpulkan bahwa hak individu dalam
menerima pendidikan tidak dibatasi oleh perbedaan warna kulit, ras, suku, dan
agama. Pun itu hak pendidikan untuk diterima oleh individu berkebutuhan khusus
maupun individu yang normal pada umumnya.
Dengan
diselenggarakannya pelayanan pendidikan inklusif, pendidikan bagi individu
berkebutuhan khusus dapat diintegrasikan untuk keperluan pendidikan
(education), bukan untuk keperluan pembelajaran (instruction). Melalui cara
inilah, para individu berkebutuhan khusus dapat dipergaulkan dengan individu
normal pada umumnya.
Bertolak
belakang dengan kesepakatan UNESCO 1994 mengenai keharusan pelaksanaan
pendidikan inklusif, pada Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 yang belum
direvisi, terdapat berbagai jenis layanan Pendidikan Luar Biasa (PLB) yang
segregatif. Namun pada 2011, Direktur PLB berinisiatif untuk memulai
pelaksanaan pendidikan inklusif. Setelah itu, menyusullah Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi untuk mengikuti dan mendukung inisiatif Direktur PLB,
terutama dalam penyelenggaraan LPTK.
Dikarenakan
keterlambatan perubahan perundang-undangan pendidikan di Indonesia,
perkembangan pendidikan di Indonesia pun berjalan dengan lambat. Dengan
demikian, kesepakatan UNESCO 1994 tentang keharusan pelaksanaan pendidikan inklusif
dapat mendukung landasan filosofis, religi, dan keilmuan diharapkan dapat
mengubah arah pendidikan yang segregatif menjadi inklusif (dengan kekhususan).
Berdasarkan
landasan-landasan di atas, pendidikan inklusif adalah pendidikan yang didasari
oleh semangat merangkul semua kalangan peserta didik. Dengan kata lain,
pendidikan inklusif mengedepankan sikap menghargai setiap individu peserta
didik untuk mendapatkan layanan pendidikan yang sesuai dengan setiap karakter,
kemampuan, dan keterbatasannya. Sehingga, pendidikan inklusif menjadi jembatan
dari perbedaan yang ada di antara setiap individu peserta didik.
Stainback
(1980) mengemukakan bahwa sekolah penyelenggara pendidikan inklusif adalah
sekolah yang menampung semua murid di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan
program pendidikan yang layak, menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan
dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat
diberikan oleh para guru, agar anak-anak berhasil.
Sebagai
penutup artikel ini, dapat dipahami bahwa pendidikan inklusif adalah suatu
sistem yang mengedepankan pemberian perhatian menyeluruh kepada peserta didik,
baik dari segi fasilitas, proses belajar, konten pembelajaran, dan cara guru
mendidik sesuai dengan kapasitas, kemampuan, dan ketidakmampuan yang dimiliki
peserta didik. Dengan demikian, secara sederhana pendidikan inklusif dapat
dikatakan sebagai program pendidikan berkeadilan, bukan penyamarataan.
(*) tulisan ini pernah dimuat di Kartunet.com
Belajar dari Si Idiot (I am Sam: Love is All You Need)
"Mengapa
Ayah berbeda?"
"Apa
maksudmu?"
"Mengapa
Ayah tidak seperti yang lain?"
"Yeah,
tapi apa maksudmu?"
"Iya,
mengapa Ayah berbeda dengan yang lainnya? Apakah terjadi ini takdir Tuhan? Atau
sebuah kecelakaan?"
"Maaf,
maafkan aku. Maafkan aku."
"Ayah
tidak perlu begitu. Aku beruntung memiliki Ayah sepertimu, karena tidak ada
Ayah lain yang mengajak anaknya ke taman hampir setiap sore."
Pembuka
catatan ini adalah satu dialog antara orangtua dan anaknya yang berusia tujuh
tahun dalam sebuah film drama berjudul I am Sam (Love is All You Need) yang pernah saya tonton. Um,
sebenarnya saya lebih sering mengonsumsi film kolosal (perang, sejarah, dan
action), tapi berhubung ini adalah film drama yang pertama kali saya tonton
dengan "sadar" dan kandungan film ini sangat bagus, maka saya ingin
berbagi tentang film ini kepada teman-teman.
Film
ini dibuka dengan adegan Sam yang sedang bekerja di Starbucks Coffee. Di awal
film ini, penonton disajikan keautistikan Sam yang meletakan seluruh barang
dengan jarak dan posisi yang sama. Selain itu, Sam juga meletakkan bubuk krim
kopi berdasarkan warna yang sama sekalipun dia sedang menyapa para pelanggan
yang datang.
Di
saat Sam sedang menikmati pekerjaannya, atasan Sam yang bernama George (Bobby
Cooper) memberitahukan bahwa Rebecca (Caroline Keenan), wanita tunawisma yang
tinggal bersama Sam dan sedang mengandung anak Sam, sedang dalam proses
melahirkan. Dengan penuh antusias sekaligus khawatir, Sam meninggalkan tempat
kerjanya dan menemui Rebecca.
Tak
lama setelah Sam datang, Rebecca melahirkan seorang anak perempuan. Lucy Diamon
Dawson adalah nama yang diberikan Sam kepada anaknya. Nama ini diambil dari
lagu Lucy in The Sky With Diamons yang dipopulerkan oleh The Beatles,
grup musik rock pop kesukaan Sam. Kisah ini dilanjutkan dengan perginya Rebecca
setelah melahirkan. Di scene berbeda, Sam mengatakan bahwa Becca,
begitulah panggilan Rebecca, tidak ingin memiliki anak dari Sam dan dia hanya
membutuhkan tempat untuk tidur.
Kepergian
Becca menjadikan Sam sebagai single parent di tegah keterbatasannya. Sam tidak
bisa mengenakan popok Lucy dengan benar dan kebingungan ketika Lucy kecil
selalu terjaga dari tidurnya dan menangis di tengah malam. Yang ada di pikiran
Sam hanya satu, semua nampak sangat kecil.
Beruntung
Sam memiliki seorang tetangga bernama Annie (Dianne Wiest). Wanita paruh baya
yang sering mendengarkan tangisan Lucy. Annie mengajarkan Sam bagaimana caranya
merawat bayi. Annie yang memahami keterbatasan Sam mengajarkan bagaimana Sam
harus mengatur pemberian susu untuk Lucy. Untuk memudahkan Sam, Annie
memberitahu bahwa Sam harus memberi susu kepada Lucy berdasarkan jam tayang
kartun-kartun yang ada di Nickelodeon.
Lucy
tumbuh menjadi anak yang sehat. Sam selalu membawanya bekerja. Namun, Lucy
menjadi kendala ketika ia semakin besar. Hingga akhirnya Sam memohon kepada
Annie untuk dapat menjaga Lucy selama ia bekerja.
Dalam
drama ini, tidak hanya Sam yang digambarkan sebagai tokoh dengan disabilitas.
Masih ada empat orang teman Sam yang memiliki disabilitas, yakni Robert, Joe,
Wali, dan Brad. Keautistikan kelima sahabat ini digambarkan dengan kebiasan
mereka yang tak pernah berubah selama bertahun-tahun. Setiap hari Rabu adalah
hari mereka makan di IHOP, menonton video di setiap Kamis malam, dan pergi
berkaraoke bersama setiap Jumat. Dan kebiasaan ini pun masih dilakukan meski
sudah ada Lucy di antara mereka.
Selain
hal di atas, setiap malam Sam juga selalu membacakan Lucy sebuah cerita anak
berjudul Telur Hijau dan Ham (Green Egg dan
Ham). Berulang kali buku itu dibacakan oleh Sam dengan penuh
semangat. Saya sendiri menilai bahwa muatan kata dalam buku tersebut masih
dalam kategori mudah dan Sam dapat dengan mudah menguasainya–mungkin juga sudah
menghapalnya di luar kepala.
Tak
hanya kasih sayang dari Sam, Lucy juga menerima limpahan kasih sayang dari
keempat sahabat Sam. Mereka pergi bersama untuk membeli sepatu sekolah Lucy.
Saat ingin membayar bill-nya, ternyata Sam
kekurangan uang. Selayaknya orang yang normal pada umumnya, dengan sigap
sahabat-sahabat Sam mengumpulkan uang yang mereka punya untuk membantu Sam
membayar sepatu yang diinginkan Lucy.
Di
sekolah barunya, Lucy tumbuh menjadi anak yang cerdas. Hal inilah yang mejadi
masalah dalam kisah ini. Lucy yang memiliki kemampuan intelejensi di atas
rata-rata anak seusianya, membuat banyak orang meragukan Sam yang memiliki
kemampuan intelejensi tidak lebih dari anak tujuh tahun untuk tetap merawat
Lucy.
Melalui
lukisan karya Lucy yang di dalamnya terdapat gambar Lucy yang jauh lebih besar
dari Sam, guru Lucy melihat sikap pembatasan diri Lucy di kelas. Bermula dari
sinilah, banyak orang yang mengkhawatirkan kelangsungan hidup, lebih tepatnya
proses tumbuh kembang kecerdasan Lucy, jika Lucy tetap tinggal bersama Sam.
Untuk menindaklanjuti masalah ini, hak asuh Lucy pun dimasukkan ke dalam
pengadilan. Dan selama kasus ini berlangsung, Lucy tinggal di Departemen
Layanan Anak dan Keluarga. Sam hanya diperbolehkan bertemu dengan Lucy dua kali
seminggu dengan intensitas waktu dua jam di setiap pertemuan.
Melalui
kasus ini Sam bertemu dengan Rita Harrison (Michelle Pfeiffer), seorang
pengacara terkenal yang sombong dan angkuh. Mulanya Rita tidak ingin menolong
Sam karena ketidakmampuan Sam untuk membayar Rita. Tapi karena terjebak oleh
kesombongannya sendiri, Rita akhirnya melakukan pro
bonno (membantu
atau gratis) untuk kasus Sam.
Banyak
sekali hambatan yang dialami Sam dan Rita untuk menjalankan sidang hak asuh
Lucy. Salah satunya adalah tidak adanya saksi yang layak untuk mengatakan di
hadapan hakim dan negara bahwa Sam layak merawat Lucy meski dia seorang
berketerbelakangan mental.
Di
tengah keputusasaannya menunggu sidang akhir, Sam mengurung diri di kamar dan
tidak ingin bertemu dengan Rita. Karena kesal dengan sikap kekanak-anakan Sam,
Rita mencaci maki Sam bahwa Sam tidak bisa menghargai dirinya sebagai pengacara
yang sudah membantunya tanpa bayaran. Dengan lugu Sam menjawab cacian Rita
bahwa Rita tidak mungkin mengerti kesedihan Sam karena nasib Rita tidak seburuk
Sam. Mendengar jawaban Sam, Rita menangis karena Sam tidak mengetahui kehidupan
Rita yang sebenarnya.
Rita
memang pengacara dan ibu muda yang sukses. Rumah Rita sangat besar dan memiliki
barang-barang mewah. Akan tetapi, semua itu tidak berarti bagi Rita karena
suaminya adalah seorang lelaki yang suka selingkuh dan anaknya, Willy,
membencinya karena dia terlalu sibuk di luar dan tidak pernah memerhatikan
Willy.
Selama
menonton film ini, emosi penonton dibuat meletup-letup karena kepolosan seorang
ayah berketerbelakangan mental dan keangkuhan orang-orang "normal"
yang menganggap seorang disabilitas tidak layak menjadi orang tua. Selama saya
menonton film ini, tanpa terasa saya menangis dan kadang tertawa oleh
percakapan Sam dan Lucy yang lebih mirip percakapan anak sesama tujuh tahun
dibandingkan dengan percakapan antara ayah dan anak.
Dari
film ini, saya menilai betapa bijak dan dewasanya Lucy kecil di tengah
kehidupannya yang berbeda dengan teman sebayanya. Lucy enggan membacakan sebuah
buku yang di dalamnya memuat kata “different”. Lucy mengerti bahwa isi buku
tersebut menceritakan tentang perbedaan yang terjadi dalam kehidupan manusia,
termasuk tentang keadaan ayahnya yang seorang penyandang disabilitas.
Seperti
yang sudah saya paparkan di awal bahwa Sam memiliki empat sahabat sesama
penyandang disabilitas dan Lucy pun ikut bersahabat dengan mereka. Begitu menyentuh
ketika sahabat-sahabat Sam datang ke pengadilan dan membawa poster bertuliskan
“Free Lucy Dawson” untuk mendukung Sam. Salah satu di antara mereka berkata
bahwa mereka menyayangi Lucy. Adegan ini seakan ingin memberitahukan penonton
bahwa penyandang disabilitas juga memiliki rasa kasih sayang dan mengerti
mengenai hak-hak mereka.
Yang
membuat film ini begitu menyentuh hati saya adalah ketika penonton disajikan
kehidupan "Si Cacat" Sam dan "Si Normal" Rita yang saling
bertolak belakang. Dari sini saya belajar bahwa kebahagiaan tidaklah sebatas
harta dan tahta, tapi bagaimana kita menyikapi kasih sayang keluarga sederhana
dan "berkekurangan" menjadi hal yang istimewa dan berharga.
Sisi
lain dari film ini juga menjelaskan bahwa betapa perlunya para orang tua
melimpahkan perhatian kepada anak mereka. Limpahan kasih sayang orang tua ini
berimbas pada sikap anak kepada orang tua, seperti Lucy yang begitu menyayangi
Sam dan keterbatasannya. Dan Willy, anak Rita, justru membenci Rita yang selalu
lembur di kantor. Sam mengajarkan banyak hal kepada Rita dan penonton bahwa
kasih sayang adalah hal terbesar yang harus dimiliki seorang anak. Sama seperti
subjudul film ini, Love is All Need. Cinta
adalah kebutuhan semua orang, terutama seorang anak.
Saya
tidak ingin menikmati keindahan film ini sendirian. Saya ingin memberitahukan
kepada teman-teman saya bahwa film I am Sam (Love is All Need) sangat
menginspirasi siapapun yang menontonnya. Di samping itu, dengan film ini saya
ingin memperkenalkan sekaligus menjadikannya cerminan atas kehidupan seorang
disabilitas.
Film
berdurasi 139 menit ini tak sekadar mengajak penontonnya tertawa dan menangis.
I am Sam (Love is All You Need) juga menyisipkan pesan yang luar biasa kepada
penontonnya, sehingga film ini patut ditonton oleh seluruh kalangan, baik
pendidik, orang tua, anak, dan masyarakat awam untuk mengetahui arti cinta yang
sesungguhnya.
“Menjadi
orang tua adalah tentang kesetiaan, tentang kesabaran, dan tentang
mendengarkan. Dan tentang berpura-pura mendengar, bahkan ketika kau tidak bisa
mendengar lagi. Dan juga tentang cinta.”[SAM]