Archive for January 2013

Wisata Hati 1 Januari; Nuraniku Goes to Cipir (Bag. 3)

(Lanjutan Bagian 1 dan Bagian 2)

Ahlan wa Sahlan yaa ‘Aly Nuraniku^^

 Pintu masuk Pulau Cipir

Lewat pukul 11.30 WIB, Pulau Cipir yang sempat digunakan sebagai tempat karantina calon haji ini sudah terlihat jelas di pelupuk mata. Mungkin karena bertepatan dengan pergantian tahun masehi, maka dari kejauhan sudah tampak banyak pengunjung yang tiba lebih dahulu daripada kami. Oh iya, saat berbincang dengan Pak Waris, Beliau juga sempat berkata kalau Pulau Cipir sudah ramai sejak satu hari sebelum pergantian tahun masehi. Bahkan, Pak Waris sempat mengantarkan beberapa muda-mudi tepat malam hari perhantian tahun masehi. Masya Allah, semangatnya!

Yup. Alhamdulillahirabbil ‘aalamin. Akhirnya, kami tiba di Pulau Cipir. Dermaga yang belum tuntas direnovasi menjadi pijakan pertama kami di pulau ini. Ada satu syair karya Kak Chai yang menjadi pembuka kedatangan kami di pulau ini; Bu Kumkum lagi nyupir, assalamu’alaikum Pulau  Cipir ^_^

Berdasarkan arahan The Big Abah dan Abah (Kak Udin dan Kak Hakim), kami berjalan menuju salah satu tepian pulau yang masih lumayan sepi. Di jalan menuju salah satu sisi pantai ini saya sebenarnya agak risih. Bagaimana tidak, banyak sekali orang yang berkemah di sini. Tidak hanya sampah bertebaran yang membuat gusar, tapi perut-perut bertelanjang alias tak berbaju juga membuat risih >,<

Tapi alhamdulillah,  pantai tempat kami beristirahat jauh dari pemandangan merisihkan di atas. Setiba di pantai, saya sendiri langsung menceburkan diri ke air laut. Menghirup udara pantai Pulau Cipir dalam-dalam, membiarkannya menyusup ke paru-paru saya yang selama ini menghirup udara pekat Jakarta. Senyak, saya juga menikmati deburan ombak yang selalu mengagumkan, indah sekaligus menyeramkan.

Sedangkan yang lainnya duduk-duduk di bangku tepi pantai atau ada juga yang langsung makan di bibir pantai. Oh iya, ada satu spot yang menarik perhatian saya, yaitu potongan batang pohon yang terdampar begitu saja di bibir pantai. Indah. Itu yang muncul di benak saya. Keindahan potongan batang pohon ini semakin mengagumkan ketika gelombang ombak menghantamnya. A, masya Allah, subhanallah karya-Nya. Satu dua jepretan saya ambil dengan angle potongan batang pohon dan kakak-kakak perempuan yang sedang duduk di atasnya.

Pantai dan Sejuta Kenangan

Setelah asik beberapa menit menikmati pantai, kami makan siang dan shalat Zuhur berjemaah (bagi yang sedang shalat) di mushalah yang tak jauh dari tempat kami beristirahat. Setelah shalat selesai, saya sendiri memilih duduk menyendiri di salah satu batu menghadap pantai sambil membaca novel yang saya bawa. Entah mengapa, dari tepi pantai ini sekali lagi saya terpana pada hamparan pasir yang bertemu dengan gelombang air. Truthfully, mata ini tidak pernah bosan pada ciptaan-Nya yang Mahaindah. Dan untuk kesekian kalinya dalam setiap perjalanan menelusuri alam-Nya, saya merasa bahwa Indonesia benar-benar secuil tepian surga yang Allah lemparkan ke bumi yang saya pijak :’)

"Sepotong Surga"
My favorite landscape in Cipir Island

Saat menyendiri bersama novel yang saya baca, sesekali pandangan saya tertuju pada kumpulan bocah-bocah yang bermain. Satu dua kali saya tertawa sendiri melihat mereka berlarian, berteriak, dan bercanda di hadapan saya. Hehe, sekilas saya teringat gambaran masa kecil saya yang senang bermain-main di air sampai pernah tenggelam atau mengalami hal-hal mistik yang sampai sekarang belum bisa saya tanggap secara logika. Sempat teringat juga kenangan beberapa tahun lalu saat pertama kali ke Kepulauan Seribu. Saat itu saya masih duduk di bangku SMA, saya beserta beberapa murid pilihan lainnya mendapatkan hadiah jalan-jalan ke Kepulauan Seribu ini bersama para mahasiswa dan saya harus menunggu hampir satu jam di dermaga karena salah naik kapal :D

“Asik banget baca novel di pinggir pantai,” suara Kak Shumi membuyarkan pikiran saya. Hanya tawa kecil yang menjadi jawab saya. Ya, selalu asik jika kita bisa menyatu dengan alam, entah itu di pantai ataupun pegunungan, batin saya menjawab :)

Narsis Time!

Yeach, selayaknya banyak perjalanan. Perjalanan kami juga diwarnai dengan aneka kenarsisan di mata kamera. Maka, beberapa menit sebelum acara yang ditunggu-tunggu (oleh saya), kami berpose di depan dua kamera.


Mimpi Kami dan Debur Ombak yang Mengamini :’)

Ada satu agenda yang beberapa kali saya tagih ke Kak Izzah, yakni acara inti kami ke pulau ini. Entah apapun itu nama acaranya, tapi menurut saya satu dua patah kata yang saling terlontar dalam acara di tepi pantai ini insya Allah bisa menguatkan ukhuwah kami.

Dibuka dengan bacaan ayat-ayat Allah, saya semakin merasakan keindahan kebersamaan bersama orang-orang luar biasa ini. Hampir saja sebulir air mata menggelinding di pipi, tapi sengaja saya tahan agar kebersamaan ini tidak terlalu melankolis.

Well, sesi selanjutnya, satu per satu dari kami berbagi kabar dan mimpi untuk satu tahun ke depan. Saya, sebagai orang yang pertama kali datang di perjalanan ini pun mendapatkan giliran pertama. Agak kikuk memang. Selain karena menjadi yang paling cupu di antara mereka, saya juga bukan siapa-siapa di antara mereka yang terlalu menginspirasi saya. Beberapa menit di giliran saya. Saya mengucapkan beberapa keingin besar saya di tahun ini; menerbitkan novel psikologi Tiga Tubuh,  belajar di SLBN Semarang, backpacker-an ke Semeru dan Rinjani, Lombok, dan mengajak Bapak saya menonton tinju di sasana pertarungan.

Tiba ke giliran yang lainnya yang notabene adalah senior-senior saya di UNJ. Masya Allah, dahsyatnya mimpi mereka. Ada yang ingin melanjutkan usaha atau bisnis sambil kuliah, ada yang ingin meneruskan hafalan Qur’an, bahkan ada yang ingin punya anak di tahun ini (padahal belum menikah) ^_* Pastinya, berhubung mereka sudah di semester atas, dominan dari mereka ingin lulus kuliah di tahun ini, entah pada Maret atau September nanti.

Begitulah satu per satu di antara kami merapalkan mimpi. Sedangkan kami yang mendengarkan, desir angin, deru ombak, dan ikan-ikan kecil sibuk mengamini. Ya, semoga kalian bisa lulus dengan mudah, dengan nilai yang memuaskan dan ilmu yang berkah. Doakan saya juga ya, semoga 2015 nanti bisa lulus segera, mengajar bocah-bocah surga, anak-anak berkebutuhan khusus, selama satu atau dua tahun. Lalu merantau ke luar Jakarta atau keluar Jawa, membangun peradaban pendidikan yang baru, khususnya untuk anak-anak istimewa di pelosok negeri tercinta. Kemudian, sesekali menyatukan diri dengan alam Indonesia melalui hobi backpacker dan travelling :)
  
Selesai berbagi dan saling mengamini mimpi, tiba saatnya bertukar kado. Ini sesi yang lucu. Kami bertukar kado tapi hanya beberapa yang membawa kado. But that’s not a big problem, karena saya senang masih tetap melihat mereka tertawa juga karena melihat tingkah yang lainnya.


Abah and The Big Abah with their gift

Kebersamaan di Antara Pasir dan Lautan

Matahari sudah merangkak perlahan ke Barat bumi. Teriknya sudah mulai pudar, berganti sepoi angin yang lamat-lamat membuat saya ingin terpejam di bibir pantai ini. Kami, akhirnya memutuskan menuju sisi pantai yang lain, yang mulai sepi dari pengunjung.

Di sinilah sesi kami berbasah-basahan. Kendati saya dan perempuan yang lainnya hanya bisa berbasah-basahan sebatas lutut, tapi kami tetap senang. Karena di sini lagi-lagi alam mengeratkan ukhuwah kami. Di antara pasir dan lautan, kami berpose dengan semangat. Hingga di penghujung keasyikan ini, entah siapa yang memulai idenya, kami membentuk kata “nuraniku” dengan tubuh kami.



Tak terasa, waktunya shalat Ashar. Ini pertanda kami harus segera meninggalkan Pulau Cipir. Kami pun bergegas membersihkan diri dan shalat Ashar berjemaah sebelum menuju dermaga dan kembali ke Jakarta.

Pulang dan Hujan Pelengkap Kebersamaan

Perjalanan pulang. Kami kembali menaiki perahu Pak Waris. Sebelum menaiki perahu, Kak Chai sempat bersyair lagi; di sana senja di sini pasir, sampai jumpa yaa Pulau Cipir :)

Di perjalanan pulang ini kami tak banyak berbincang, mungkin karena terlalu lelah. Beberapa kakak-kakak menenggelamkan diri dalam lautan kalam Illahi. Saya juga mulai menikmati angin senja sambil merapalkan zikir al-ma’tsurat di ujung perahu, tempat favorit saya sejak perjalanan ini. Lantas sesekali berbicara dengan Pak Waris.

Tiba di Muara Kamal, hujan menyambut kedatangan kami. Alhamdulillah. Bagi saya, hujan selalu pertanda nikmat dari Allah. Hujan juga selalu indah, di manapun ia turun membasahi bumi-Nya. Dan kali ini, hujan penyambut kepulangan perjalanan kami, memiliki arti khusus bagi saya; hujan ini adalah keberkahan yang Allah kirimkan atas kebersamaan kami sekaligus pelengkap kehangatan ukhuwah ini.

Hujan yang “mencegat” kami tetap turun hingga kami tiba di Rawa Buaya. Kami memutuskan menyantap bakso sambil menunggu azan Maghrib di salah satu tempat sederhana di dekat Rawa Buaya. Hingga azan Maghrib berkumandang, itu pertanda kami harus segera memenuhi kebutuhan rukhiyah dan juga pertanda perjalanan hari ini akan segera berakhir.

Alhamdulillah. Pukul 19.30 saya tiba di rumah. Berhubung rumah saya ada di kawasan Tomang, sekitar enam shulter dari shulter transjakarta Rawa Buaya, sepertinya saya yang pertama kali sampai rumah dibandingkan yang lainnya.

Yes, We are The Big Family of NURANIKU ^^

Lelah, memang begitulah adanya setiap satu perjalanan terlaksana. Tapi selalu ada kenangan indah yang selalu mengiringi lelah. Selalu ada syukur yang tak terukur di setiap akhir perjalanan. Begitu pula dengan akhir perjalanan ini. Ada banyak kenangan dan syukur yang membayar lelahnya perjalanan ini. Hanya satu harapan saya, semoga perjalanan ini mempererat persaudaraan kami, menjadi pemicu mimpi dan angan-angan masa depan kami, serta menjadi sepotong keberkahan untuk keluarga sederhana ini. Amin.

-Belum  Selesai-
(Karena ada banyak kisah perjalanan luar biasa yang masih menjadi rahasia-Nya)
13 January 2013
Posted by Lisfatul Fatinah

Wisata Hati 1 Januari; Nuraniku Goes to Cipir (Bag. 2)

(Lanjutan Bagian 1)

Our Trip is Begin! ^_^

Yup. Perjalanan yang sesungguhnya menuju gugusan pulau di seberang sana baru saja dimulai! Kami semua menempati posisi yang nyaman menurut masing-masing dari kami. Di dalam perahu ini, jujur saja saya tiba-tiba menjadi orang yang autis dan hiperaktif -,- entah kenapa rasanya tempat duduk saya bukanlah angel yang tepat untuk menikmati hamparan air yang meluas. Dampaknya, saya harus pindah tempat duduk hingga beberapa kali. Akhirnya, saya mendapatkan posisi ternyaman setelah hampir separuh perjalanan di atas air, yaitu di ujung perahu, dekat dengan pengemudi perahu.

Dari posisi ini, pemandangannya terasa sangat berbeda. Entah apa yang membedakan, padahal semua yang dipandang sama; sama-sama air laut yang beriak perlahan dan langit biru yang membentang, hanya posisi memandangnya saja yang berbeda. Nah, dari sinilah sebenarnya satu pelajaran baru telah saya terima.

Adalah diri kita sendiri yang membuat diri kita nyaman adanya. Karena setiap sudut pasti akan menangkap hal berbeda dari objek yang sama. Seperti saya yang menatap lautan luas dari sudut-sudut berbeda hingga saya menemukan sudut ternyaman, di ujung perahu tepat dekat pengemudi perahu.

Kami semakin jauh kami daratan. Lautan yang  ada di bawah kami semakin dalam dan cahaya yang terpantul dari air lautan semakin biru. Dari ujung perahu ini, pandangan saya terus tertuju pada hamparan air dan langit yang terlihat menyatu. ^^

Hitam, Hijau, Biru; Arti Ilmu dan Kehidupan

Gradasi warna hitam, hijau, dan biru air laut yang kami arungi, entah bagaimana caranya, mengingatkan saya pada salah satu syair terkenal milik Imam Syafi’I tentang menuntu ilmu atau merantau. Bahwa air yag diam pasti akan terlihat keruh dan air yang mengalir akan terlihat jernih. Right, that is mean kedalaman ilmu yang dimiliki seseorang tak pernah menipu. Kegusaran dan kepanikan seseorang dalam menghadapi kehidupan ini cukup mengartikan dangkalnya ilmu yang dimiliki. Sebaliknya, ketenangan dan keteduhan seseorang kerap kali menandakan luasnya ilmu yang melekat di pikiran dan hati.  Seperti air laut yang bergradasi dari hitam menuju biru kukuh. Air-air yang menggenang di dermaga, hitam keruh dan berbau anyir. Tapi semakin jauh kita menuju lautan, semakin jernih dan biru air laut yang tampak.
  
Lalu, biru laut yang semakin pekat seakan menunjukkan kerahasiaannya dengan jemawa. Ya. Biru selalu membuat saya terkagum-kagum dengan maknanya. Laut biru yang semakin tua warnanya, bagi saya menandakan kerahasiaan dan pelajaran besar yang tersembunyi ribuan kilometer di bawahnya. Seperti setiap kali melihat warna biru, di pikiran saya hanya ada satu konklusi bahwa biru selalu indah dengan segenap kekukuhan dan kemisteriusannya, begitu pula setiap kali saya melihat segala sisi kehidupan. Bahwa kehidupan bukan hanya tentang yang ada di depan mata, tapi tentang banyak hal yang tersembunyi dari mati, tentang mimpi, masa depan, perasaan, dan janji-janji Allah.

Pak Waris; Teladan di Tengah Lautan

Setelah asik menikmati air laut, seperti biasa, saya kembali selalu ingin bergerak. (Duh, dasar autis/hiperaktif -,-) Well, sambil menengok kanan kiri, menatap air laut dan Kakak-Kakak Nuraniku yang asik dengan aktivitasnya sendiri, saya akhirnya menemukan satu sosok yang membuat saya penasaran. Dialah lelaki paruh baya yang sedari tadi menjaga kami, sejak dari dermaga hingga nanti kami tiba di Pulau Cipir. Pak Waris, itulah nama lelaki paruh baya ini yang sekejap membuat saya terkagum-kagum pada sosoknya. Peringai Beliau sederhana, tak ada setitikpun keistimewaan yang terlihat dari pembawaannya. Tapi, lagi-lagi, pembawaan seorang Bapak selalu berbeda dan membuat saya bangga pada Beliau.

Mulanya, saya hanya bertanya hal-hal kecil yang ada di sekeliling kami, di atas lautan ini. Saya bertanya tentang bangunan dari bambu yang tersebar di atas lautan ini. Menurut penuturan Pak Waris, bangunan bambu-bambu itu adalah Bangkang, tempat nelayan memasang jaring atau sejenis jebakan untuk menangkap ikan. Selain itu, dari bambu-bambu bangkang itu nelayan bisa mendapatkan kerang hijau yang memang suka menempel di bambu.

Bangkang yang tersebar di lautan 

Pertanyaan saya berlanjut pada banyak hal dan saya semakin nyaman dengan perbincangan singkat dan sederhana ini.

Usia Pak Waris hampir setengah abad. Hampir 30 tahun lalu Pak Waris mengenal kehidupan lautan. Itu berarti sudah hampir 30 tahun juga hidupnya dihabiskan di atas laut sebagai pengemudi perahu.

“Orangtua Bapak juga tukang perahu. Bapak udah belajar narik perahu dari SMP,” Pak Waris mengenal masa kecilnya.

Kalian tahu apa yang saya rasakan saat itu. Betapa lugunya Pak Waris saat menceritakan masa lalunya, tak ada sedikitpun keluh kesah dalam garis wajahnya. Meski hanya sebagai pengemudi perahu, Pak Waris terlihat bangga dengan profesinya dan seakan tak pernah bilang, “Saya hanya tukang perahu.” Tapi dengan bangga berseru, “Sejak SMP saya sudah narik perahu.”

Pembicaraan kami mengalir begitu saja, hingga Pak Waris menceritakan tentang anak-anaknya. Dan, sesi pembicaraan tentang anak-anaknya inilah yang paling saya suka.

Pak Waris dengan penampilan sederhananya duduk di sisi mesin perahu :')

Pak Waris memiliki tiga orang anak. Ketiga anaknya perempuan. Semuanya bersekolah. Yang mengejutkan saya, ketiga anaknya tidak hanya “asal” sekolah. Anak pertama Pak Waris sudah lulus sekolah keperawatan, kini sedang bekerja sebagai perawat di Ciledug. Anak kedua Pak Waris kuliah jurusan Akuntansi BSI, sedangkan anak ketiga Pak Waris baru akan lulus sekolah. Subhanallah, masya Allah, laa haulaa wa laa quwwata illa billah. Tiada daya dan upaya kecuali atas kehendak Allah swt.

Siapa kira, seorang pengemudi perahu yang berpenghasilan tidak tetap bisa menghasilkan anak-anak yang (insya Allah) sukses di akademiknya. Meskipun–menurut Pak Waris–hasil menarik perahu hanya lumayan di hari libur, penghasilannya selalu cukup untuk kebutuhan sekolah anak-anaknya. Bahkan, hingga salah satu anaknya benar-benar “jadi” :’)

Betapa nyata janji Allah seperti yang dikatakan-Nya, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS. 5:3]

CUKUP! Itu yang Allah janjikan kepada kita selaku hamba-Nya. Cukup. Hanya itu. Allah memang tidak pernah menjanjikan kelebihan harta atau nikmat, tapi sebatas pada kata “cukup”. Begitulah Allah Mahacinta yang tercinta mengajarkan kita bahwa hidup ini sebatas pada “cukup”. Pak Waris dan anak-anaknyalah contohnya; tak perlu berlebihan harta atau menjadi nahkodah kapal mewah, tapi “cukup” menjadi pengemudi perahu sederhana, Pak Waris sudah bisa menciptakan anak-anak yang sukses. Satu lagi, mungkin berkat “kepolosan” Pak Waris dalam menerima qodratullah, maka hartanya yang “cukup” itu menjadi berkah dan bermanfaat banyak untuk keluarga dan anak-anaknya. Satu doa saya untuk Pak Waris, semoga Allah senantiasa memberkahi rizkinya dan meridhoi kehidupannya. Amin. :’)

Perahu yang Menepi dan Keindahan Cipir yang Menanti ^^

Yup. Perbincangan saya dengan Pak Waris berakhir seiring dengan semakin dekatnya kami dengan Pulau Cipir. Ada sekumpulan rasa yang beremulsi dalam dada saya. Entah apa itu namanya. Bahagia karena bisa berbincang dengan Pak Waris yang luar biasa menginspirasi saya, bahagia karena sekali lagi saya menyadari bahwa saya benar-benar ada di antara orang luar biasa lainnya; Keluarga Nuraniku, dan syukur tak terkira karena kami tiba di dermaga Pulau Cipir dengan selamat :)

Baru tiba di Pulau Cipir ^_^

(bersambung ke Bagian 3…,)
Posted by Lisfatul Fatinah

Wisata Hati 1 Januari, Nuraniku Goes to Cipir (Bag.1)


Bismillahirrahmanirrahim

Setiap hari adalah istimewa. Ia datang bersama mentari tanpa sekalipun diminta. Ritme kehidupan, itulah namanya. Setiap detik bergulir, maka satu ritme terlaksana sudah dan kita harus siap menuju ritme berikutnya. Putaran 24 jam yang bergelinding membentuk kenangan hari-hari dan berkulum menjadi sekumpulan kisah berjumlah 355. Inilah hidup kita, hidup kamu juga hidup saya.
Kini, satu ritme terlaksana lagi. Satu hari baru dibuka lagi, di tahun baru masehi. Satu satu, adalah deretan angka pembuka cerita untuk setiap waktu yang merekah bersama bahagia, menuju 355 hari selanjutnya. Bismillah, inilah sebuah cerita pembuka untuk 2013.

Sebuah Pengantar Cerita

Hari pertama di 2013. Pagi ini, semua cerita bermula dari satu keluarga kecil yang mau menerima saya; Nuraniku. Who’s Nuraniku?

Tak perlu deskriptif ilmiah atau teoritik untuk menjelaskan satu keluarga kecil yang mau menerima saya selama satu tahun ini. Nuraniku, adalah rumah sederhana yang terselip di antara rumah-rumah kreatif dan profokatif di negeri bernama UNJ.

Di rumah sederhana bernama Nuraniku ini saya bertemu (bukan menemukan) keluarga kecil yang penuh dengan keunikan. Mereka adalah orang-orang luar biasa yang memberi banyak inspirasi pada saya. Ya, di hari pertama di angka 2013 ini, saya menghabiskan putaran mentari bersama mereka di Pulau Cipir, Kepulauan Seribu.

Sebelum melanjutkan cerita, saya ingin memperkenalkan anggota dari rumah sederhana ini yang ikut ke Pulau Cipir berdasarkan perspektif saya. So, let’s check them out! ^_^
  
First. The Best One Leader, Ahmad Khairudin, Si Udin yang Baik kalau kata Udin Sedunia :) Beliau adalah The Big Abah di rumah sederhana ini. Biarpun secara fisik paling kecil, tapi dari dalam he is the biggest and awesome. The Big Abah ini cenderung pendiam, tapi ide-idenya amazing dan kadang suka melontarkan humor-humor yang bisa membuat semuanya tertawa.

Abah Hakim. He is the second Abah on our trip :) Abah Hakim adalah panggilan yang diciptakan Ummi Izzah. Abah Hakim adalah leader saya di bagian redaksi. Beliau adalah sosok yang –menurut saya– penuh guyonan, suka melucu meski sepertinya beliau tidak merasa apa yang dikatakan atau dilakukannya adalah hal yang lucu bagi orang lain. Selama di rumah sederhana ini, baru sekali saya melihat Abah Hakim serius.

Om Aris. Om yang satu ini kurang saya kenal, karena memang hampir tidak pernah berinteraksi secara lisan ataupun tulisan. Tapi, di perjalanan ini saya melihat Om Aris adalah Om yang kalem dan humoris, kadang plagmatis. (Um, this is just my opinion)

Izzah Rabbaniyah, Super Ummi yang menjadi peretas leader-leader di rumah sederhana kami ini. Kak Izzah adalah orang yang pertama kali saya kenal di rumah sederhana ini. Beliau orang yang ekstrinsik, energik, dan tegas. Yang saya kagumi dari beliau adalah, keterbukaannya tidak menutupi dirinya yang senantiasa menjaga rukhiyah. Kenapa saya berpendapat demikian? Karena ketika kebanyakan orang ekstrinsik cenderung lemah dalam urusan ilmu apalagi ilmu agama, Kak Izzah malah tetap menjaga keseimbangan dunia dan akhiratnya. Strengthering of this statement is setiap kali saya bertemu dengan beliau, hampir selalu beliau sedang menghapal al-Qur’an. Masya Allah :’)

Kak Shumi. Wanita yang berposisi sebagai ahli dalam surat menyurat dan kesekretariatan ini adalah anggota keluarga yang sangat murah senyum. Dari pembawaannya, sepertinya Kak Shumi adalah pecinta pink. Di balik sisi kekalemannya, ternyata Kak Shumi suka narsis dengan pose yang tak terduga.

Bundadari (Bunda Bidadari) a.k.a Kak Chai. Wanita ini mempunyai wajah yang mirip dengan salah satu adik saya. Wanita yang menjuluki dirinya sebagai Pengamat Langit ini adalah orang yang paling ceria di antara kami selama perjalanan ini berlangsung –sepertinya di mana pun itu Kak Chai akan tetap menjadi orang yang paling ceria. Dalam perjalanan ini, saya baru tahu ternyata Kak Chai pandai berpantun dan bersyair. Hehe, ini mengingatkan saya pada tokoh Arai di Tetralogi Laskar Pelangi dan Zafran di 5 cm ^^

Kak Amel. Kakak yang satu ini adalah salah satu keluarga kami yang cukup pendiam. Sebenarnya, tidak banyak yang saya tahu tentang beliau, karena memang beliau tidak banyak bicara di perjalanan ini dan saya hanya beberapa kali bertemu selama satu tahun ini. Saya suka senyum Kak Amel, garisnya menunjukkan beliau adalah orang yang ramah dan lembut di balik peringainya yang pendiam.

Teh Euis. Teteh berbadan mungil ini adalah anggota keluarga yang penuh kejutan. Kenapa bisa begitu? Karena, di balik sosoknya yang pendiam, Teh Euis menyimpan kepribadian yang luar biasa. Beliau memang tak banyak bicara, bahkan mungkin hanya akan bicara kalau diajak bicara. Tapi, kalau sudah berbincang dengan beliau, ternyata beliau asik. Beliau juga penikmat novel –sama seperti saya, jadi saya nyaman sekali jika berbicara tentang novel dengan beliau. Apalagi, ternyata beliau pembaca novel-novel Dan Brown yang cenderung tidak disukai oleh hijabers :)

The Last, saya sendiri, Lisfatul Fatinah. Wanita biasa yang selalu mencoba menjadi luar biasa. Di rumah sederhana bernama Nuraniku, sayalah yang paling cupu, tidak tahu apa-apa, dan selalu mengagumi mereka dalam diam :)

Yup, merekalah anggota keluarga kami yang ada dalam perjalanan kali ini. Next, this time to enjoy the story of our trip. ^_^





Senin, 1 Januari 2013 Masehi

Ini adalah perjalanan pertama saya bersama orang-orang luar biasa ini.  Sesuai dengan schedule yang saya terima melalui sms, kami harus berkumpul di Shulter Transjakarta Matraman pukul 7.00 WIB Malam sebelum perjalanan kami, saya sebenarnya tidur pukul 2.00 WIB dini hari. Selain tidak bisa terlelap karena bunyi “duar dor” dari seluruh penjuru langit, saya juga harus menyelesaikan beberapa tugas.

Pukul 4.30 WIB mata saya sudah terjaga, meski hanya terpejam dua setengah jam. Segala keperluar pergi sudah saya siapkan sejak malam. Sebelum berangkat, tugas kewanitaan alias ngebenah dan memasak harus tetap dilakukan. Hehe.

Yup. Jam tangan saya menunjukkan pukul 6.45 WIB dan saya dipastikan terlambat tiba di shulter transjakarta karena tidak ada yang bisa mengantar saya. Sekitar pukul 7.00 WIB, sambil meminum susu kedelai di dalam bus 502 jurusan Tanah Abang-Kampung Melayu, saya mengirim sms ke Kak Izzah.

“Kak, I’m late. 15minutes again, I’m there. Insya Allah.” Message sent.

Beberapa menit kemudian, saya menerima sebuah balasan dari Kak Izzah. “Aku juga masih di jalan, Fatul. Hehe.”

Deuh, -,- ßbeginilah ekpresi saya saat menerima sms dari Kak Izzah. Saat itu juga saya mulai berprasangka, jangan-jangan saya orang yang pertama kali datang.

Then, pukul 7.15 WIB saya sudah turun dari bus dan –sekali lagi– berlari menuju shulter transjakarta. Dan benar saja, ternyata memang saya yang datang pertama. Saat itu saya hanya duduk di bangku shulter sambil membaca novel Negeri Para Bedebah karya Tere Liye hingga Kak Izzah datang.

Singkat cerita, satu per satu dari kami mulai datang. Kurang lebih pukul 8.30 WIB saya, Kak Izzah, Kak Chai,  Kak Amel, Kak Euis, Kak Hakim, dan Kak Aris berangkat menuju shulter transjakarta Harmoni. Saat itu Kak Shumi sudah menunggu di Harmoni. Sisanya? Kak Udin yang paling telat. Beliau langsung menyusul ke Harmoni dan kami menunggu Beliau sebelum melanjutkan perjalanan ke Muara Kamal.

Lewat pukul 9.00 WIB, Kak Udin datang, kami pun melanjutkan perjalanan menuju Rawa Buaya menggunakan transjakarta tujuan Kali Bata. Kami tiba di shulter transjakarta Rawa Buaya kurang lebih tigapuluh menit kemudian. Di sini, kami berhenti sejenak, karena beberapa di antara kami membeli makanan untuk makan siang.

Perjalanan kami lanjutkan menggunakan sebuah mobil angkutan yang mirip elf. Mobil elf inilah yang akan mengantarkan kami menuju Muara Kamal. Tarif angkutan ini di atas rata-rata tarif angkutan mikrolet. Untuk mencapai Muara Kamal dari Rawa Buaya menggunakan elf diperlukan uang Rp5.000,- per orang.

Kami turun elf di sebuah jalanan setapak yang bersisian langsung dengan laut. Dari sini, kami harus berjalan kaki menuju dermaga. 

Potret kesibukan Muara Kamal

Di sepanjang jalan menuju dermaga Muara Kamal ini, pemandangan sontak berubah drastis. Jika sebelumnya gedung-gedung tinggi dan mobil yang berlalu lalang menjadi santapan mata kami, kini jejeran bak ikan, deretan perahu, dan bau anyir menjadi spot utama di perjalanan ini. Bagi saya, sayang sekali jika pemandangan sosial yang unik ini tidak diabadikan. Maka, satu dua jepretan saya ambil dengan spot kegiatan warga sekitar. Ini bisa jadi kenang-kenangan sekaligus potongan gambar yang akan mengingatkan saya bahwa ada sisi kehidupan yang berbeda di sekitar saya :)


Dermaga Muara Kamal

Lanjut kepada cerita perjalanan kami. Akhirnya kami tiba di bibir dermaga dan bersiap menaiki perahu yang akan mengantarkan kami ke potongan indah lainnya dari negeri ini ^^

(bersambung ke bagian 2 dan bagian 3...,)
10 January 2013
Posted by Lisfatul Fatinah

Kurikulum Komunikatif atau Lintas Bahasa untuk Anak Disabilitas Pendengaran


Kurikulum Komunikatif

Belajar bagi anak pada umumnya adalah suatu proses yang alamiah,tetapi tidak bagi anak yang menyandang ketunarunguan dengan adanya hambatan pada pendengarannya, dan terjadi pula pada hambatan dalam perkembangan bicara dan bahasanya. Adanya hambatan tersebut ternyata menjadikan komunikasi anak dengan oranglain tidak lancar. Ketidak lancaran dalam berkomunikasi pada anak tunarungu berpengaruh pada proses belajar dan proses pendidikan nya.

Agar proses belajar mengajar pada anak tunarungu dapat berjalan dengan baik dan hasilnya baik,diperlukan metode khusus. Untuk itu kita diharapkan melaksanakan proses belajar dengan metode maternal reflektif (MMR). Pengajaran bahasa yang menggunakan pendekatan percakapan sejalan dengan konsep, language accros the curicullum/kurikulum lintas bahasa, yang memiliki filosofi tujuan kurikulum akan dapat dicapai jika didahului dengan keterampilan dan penguasaan bahasa yang tinggi (Depdiknas, 2002;25). Kurikulum lintas bahasa ini disebut juga dengan kurikulum komunikatif.

Tiga tahapan dalam kurikulum komunikatif adalah:
1. Conversation (untuk kelas awal)
2. Task Oriented Learning, untuk belajar tugas-tugas tertentu (aturan bahasa dan pengetahuan umum sekitar anak (untuk kelas rendah)
3. Spesific Teaching, punguasaan bahasa untuk mempelajari bidang-bidang studi lainnya.

Metode yang tepat untuk mengimplementasi kan kurikulum diatas adalah Metode Maternal Reflektif . MMR merupakan metode belajar yang dikembangakan oleh A. Van Uden dari lembaga pendidikan anak tunarungu. Secara harfiah Maternal berarti keibuan, dan reflektif berarti memantulkan atau meninjau kembali. Metode Maternal Reflektif ini sering disebut dengan metode percakapan antara ibu dan anak.

Adapun ciri-ciri Metode Maternal Reflektif adalah sebagai berikut :
1.     Mengikuti cara-cara anak mendengar sampai pada penguasaan bahasa ibu (metode tongue) dengan tekanan pada berlangsungnya percakapan antara ibu dan anak sejak bayi.
2.     Bertolak pada minat dan kebutuhan komunikasi anak dan bukan pada program tentang aturan bahasa yang perlu di drill.
3.     Menyajikan bahasa yang sewajar mungkin pada anak, baik secara ekspresif maupun reseptif.
4.     Menuntun anak secara bertahap agar mampu menemukan sendiri aturan atau bentuk bahsa melalui refleksi terhadap segala pengalaman berbahasanya.

Pada setiap akhir kegiatan belajar mengajar diharapkan anak dapat mengkomunikasikan secara aktif pokok materi percakapan yang telah dikuasai (sebagai taraf perkembangan bahsanya), karena selama percakapan berlangsung anak sudah melalui proses sebagai berikut :
  1. Belajar untuk bersikap spontan untuk mengungkapan isi hati, mengatakan keinginan, maksud, keheranan, kegembiraan, kesedihan, permintaan, dan keingintahuan.
  2. Belajar untuk bersikap reaktif terhadapa ungkapan isi hati lawan bicara dengan menyanggah, membenarkan, dan menjawab pertanyaan.
  3. Belajar berempati masuk ke dalam perasaan orang lain. 

Kurikulum Lintas Bahasa

Pengajaran bahasa yang menggunakan pendekatan percakapan sejalan dengan konsep Language Accros the Curiculum/Kurikuium lintas bahasa, yang memiliki filosofi, tujuan kurikulum akan dapat dicapai jika didahului dengan ketrampilan dan penguasaan bahasa yang tinggi (Depdiknas, 2002 : 25). Bentuk lain dari kurikulum lintas bahasa ini Des Power dan Merv Hide disebut kurikulum komunikatif (Depdiknas, 2005 : 25).

Tiga tahapan dalam kurikulum komunikatif ini adalah :
a.     Conversation untuk kelas awal
b.     Task Oriented Learning, untuk belajar tugas -tugas tertentu (aturan bahasa dan pengetahuan umum sekitar anak) untuk kelas dasar rendah.
c.      Spesific teaching, penguasaan bahasa untuk mempelajari bidang- bidang studi lainnya.
d.     Metode yang tepat untuk mengimplementasikan prinsip kurikulum di atas adalah Metode Maternal Reflektif (Depdiknas, 2005 :25).

Metode Maternal Reflektif (MMR) merupakan metode mengajar yang dikembangkan o!eh A. Van Uden dari lembaga pendidikan anak tunarungu St. Michielgesta Belanda (Cecilia dan Lani Bunawan, 2000 : 11). Secara harfiah Maternal berarti keibuan, dan reflektif berarti memantulkan atau meninjau kembali. Metode Maternal Reflektif 'ini sering disebut dengan metode percakapan antara ibu dan anak (bayi).

Adapun ciri - ciri Metode Maternal Reflektif adalah sebagai berikut:
  1. Mengikuti cara - cara anak mendengar sampai pada penguasaan bahasa Ibu (Metode tongue) dengan tekanan pada berlangsungnya percakapan antara ibu dan anak sejak bayi.
  2. Bertolak pada minat dan kebutuhan komunikasi anak dan bukan pada program tentang aturan bahasa yang perlu di drill.
  3. Menyajikan bahasa yang sewajar mungkin pada anak, baik secara ekspresif maupun reseptif.
  4. Menuntun anak secara bertahap mampu menemukan sendiri aturan atau bentuk bahasa melalui refleksi terhadap segala pengalaman berbahasanya (discovery learning).

Pada setiap akhir kegiatan belajar mengajar diharapkan anak dapat mengkomunikasikan secara aktif pokok materi percakapan yang telah dikuasai (sebagai taraf perkembangan bahasanya), karena selama percakapan berlangsung anak sudah melalui proses sebagai berikut:
  1. Belajar untuk bersikap spontan untuk mengungkapkan isi hati, mengatakan keinginan, maksud, keheranan, kegembiraan, kesedihan, permintaan, dan keingintahuan.
  2. Belajar untuk bersikap reaktif terhadap ungkapan isi hati lawan bicara dengan menyanggah, membenarkan, dan menjawab pertanyaan.
  3. Belajar berempati (masuk ke dalam perasaan orang Iain).

09 January 2013
Posted by Lisfatul Fatinah

Bahasa untuk Anak Disabilitas Pendengaran


Bahasa adalah kebutuhan utama manusia untuk dapat berkomunikasi dengan dunia luar. Tanpa bahasa seseorang tidak akan mengerti apa yang disampaikan orang lain dan tak akan bisa mengutarakan apa yang ingin disampaikannya. Dalam hal ini, anak dengan gangguan pendengaran tidak hanya memiliki hambatan dalam pendengarannya.

Ketidakmampuan mendengar yang dialami anak gangguan pendengaran menyebab anak tidak tahu bahasa. Akibatnya, anak tidak mengenal bahasa dan anak tumbuh menjadi orang yang miskin bahasa.
Jika anak dengar pada umumnya mampu merespon orang lain di awal perkembangannya dengan tawa dan tangis, anak gangguan pendengaran tidak bisa merespon karena anak tidak tahu bahasa. Untuk mengembangkan kemampuan bahasa anak gangguan pendengaran, dicontohlah pola perkembangan anak dengar dan diterapkan di dunia pendidikan.

Perilaku Lahiriah Anak dalam Belajar Bahasa

Perkembangan anak menggunakan behasa sebenarnya terjadi sejak anak lahir. Ketika anak atau bayi menangis saat dilahirkan, itu adalah sebuah komunikasi awal bayi  dengan dunia luarnya.  Reaksi bayi menangis kemudian berubah sampai beberapa pekan pertama. Di beberapa bulan pertama inilah bayi berkomunikasi dengan tangisan dan tawa. Tahapan ini adalah tahapan prapemerolehan bahasa, di mana bayi dapat merespon dunia luarnya dan mengutarakan apa yang diinginkannya dengan tangisan dan tawa.

Selanjutnya, sehubungan dengan tahap pemerolahan bahasa, sikap atau kemampuan anak berkeomunikasiadalah mempersepsi atau memahami wajah orang (keterarahwajahan) dan menyimak ujaran (keterahsuaraan) yang sedang berinteraksi dengannya. Dalam tahapan ini, biasanya ibu akan membalas reaksi anak dengan ujaran  atau gerakan tertentu, sehingga timbullah komunikasi antara bayi dan ibu.

Pada usia ketiga bulan, secara jelas bayi  akan menunjukkan suatu sikap mengharapkan reaksi dari ibu. apabila ibu tidak meresponnya, biasanya bayi akan menunjukkan sikap kurang senang, menarik diri, dan kekhawatiran dengan tangisan. Dengan demikian, sebelum bayi dapat benar-benar  mengatakan satu kata, bayi  telah melakukan suatu peran dalam tindak komunikasi.

Kira-kira pada usia keempat bulan, perhatian bayi  yang tadinya hanya tertuju pada orang yang berinteraksi dengannya  kini beralih pada benda-benda yang ada di lingkungannya. Hal ini juga menyebabkan perubahan pola interaksi atau komunikasi anatara ibu dan bayi. Misalnya, apabila ibu sedang bersama bayinya dan si bayi memerhatikan sesuatu, secara otomatis ibu akan mengikuti arah pandang si bayi dan berbicara mengenai apa yang sedang diamati  si bayi.

Hal di atas kemudian berkembang, ibu akan menjelaskan benda-benda yang ada di sekitarnya dan secara otomatis bayi akan mengikuti arah pandangan mata ibu dan memerhatikan apa yang ditunjuk dan dibicarakan ibu. Oleh karena itu, dalam kondisi ini secara  bersamaan  ibu dan bayi akan memerhatikan hal yang sama, sehingga semakin besarlah kemungkinan bahwa si bayi akan menemukan hubungan antara kata-kata dengan benda atau kejadian.

Pada usia 10 bulan, bayi  mulai dapat mengintegrasikan dunia orang dengan dunia objek. Dengan demikian, bayi dapat menghubungkan antara objek atau benda dengan ibunya. Hingga pada tahun pertama perkembangan anak, ibu dapat merespon atau menanggapi apa yang ingin disampaikan oleh anak.

Selanjutnya, perkembangan bahasa anak bertambah maju melalui tanggapan orang tua yang menyambung atau menerjemahkan apa yang diungkapkan anak. Lalu, ibu berusaha mengarahkan anak bahwa apa yang ingin dikatakan anak seharusnya  dikatakan begini, dan seterusnya.

Perilaku ibu dan anak seperti di atas dapat diterapkan dalam pembelejaran anak gangguan pendengaran. Model pembelajaran anak gangguan pendengaran yang dapat diterapkan dengan mencontoh perilaku lahiriah anak dan ibu adalah metode tangkap dengan kurikulim komunikatif  dan lintas bahasa.

Implikasi Perilaku Lahiriah Anak dalam Belajar Bahasa pada Metode Pengajaran Bahasa

Metode tanggap dan peran ganda seperti yang dilakukan ibu kepada anak dengar sejak dini harus diterapkan pula  pada pendidikan anak gangguan pendnegaran. Hal ini berarti bahwa pengenalan pada banyak benda melalui pengalaman sehari-hari.

Sebagai implikasinya dalam pengajaran bahasa, perilaku lahiriah yang natural dan menciptakan suasana komunikasi yang nyaman dan intraktif sangat dibutuhkan. Sehingga, metode ini tidak menitikberatkan pada pembendaharaan kata yang dimiliki anak, melainkan untuk membangkitkan situasi dan minat anak untuk berkomunikasi.

Posted by Lisfatul Fatinah

Melancong Dadakan ke Pantai Impian


Bismillahirrahmanirrahim

Penghujung tahun masehi lalu, sebenarnya saya tidak ada niatan untuk pergi ke mana-mana. Apalagi untuk melancong jauh-jauh. Alasannya simpel, penghujung tahun lalu masalah-masalah yang datang perlahan menguap dan saya hanya ingin menikmatinya dengan berkumpul bersama keluarga. Tapi, saat di tempat kerja, tepatnya saat selesai shalat ashar berjemaah dan bersiap menulis lagi, tiba-tiba salah salah satu penghuni kantor yang terdiri dari sekumpulan sahabat super ajaib ini mengajak ke Ancol.

O Allah, selalu saja begitu, menceletuki rencana bepergiaan saat itu juga tanpa ada persiapan. Dan, parahnya semua langsung mengiayakan. Ya, karena semuanya mengiyakan saya akhirnya mengikuti suara terbanyak. Lumayan, hitung-hitung refreshing setelah menekuk wajah selama lebih dari sebulan. Yup. Sore itu juga, untuk kesekian kalinya dengan dadakan, kami semuanya berangkat ke Ancol.

Seperti biasa, perjalanan ini saya lakukan bersama tiga sahabat super ajaib yang satu kantor ^^


Perjalanan kami lakukan menggunakan motor dari kantor kami di kawasan Mampang-Ancol. Di tengah perjalanan, perut kami semua keroncongan. Awalnya kami berniat untuk membeli makanan, tapi enggan karena khawatir akan semakin macet. Yup, ini seperti problem tak berkesudahan di Jakarta.

So, kami melanjutkan perjalanan. Melewati kawasan Monas dan Kota Tua. Setibanya kami di kawasan Mangga Dua, saya dan Erny melihat potongan mangga merekah di gerobak penjual rujak. Saya dan Erny langsung berseru, “Mangganya….” Hehe, kompak :D tanpa berpikir panjang, Erny menepikan motor dan motor yang lainnya ikut menepi.

“Mangganya empat, Pak,” saya langsung memesan kepada Bapak penjual mangga.

“Ini, Mbak,” kata penjual mangga sambil menyodorkan satu kantung mangga.

“Berapa, Pak?” Erny menanyakan harga mangga yang kami beli.

“28ribu, Mbak,” Bapak penjual mangga menjawab apa adanya.

“28ribu?” Erny terkejut. BERLEBIHAN!

Mangganya mahal banget sih? Mendingan beli makanan aja tadi. Mana kita belum makan nasi lagi. Masa langsung makan rujak? Erny menggerutu di belakang si Bapak, setelah membayar mangga. Saya pun menimpalinya :P Iya, nanti magg-nya kambuh gara-gara makan rujak belum makan nasi. ß bagian tidak penting.

Singkat cerita. Kami semua tiba di Ancol :D

Kami menuju Pantai Timur a.k.a Pantai Karnaval yang biasanya lebih sepi dibandingkan pantai lainnya. Ya, seperti biasa, bukan jalan-jalan namanya kalau tidak nyasar. Dari pintu masuk Ancol menuju Pantai Karnaval, kami masih saja menyempatkan diri untuk nyasar :D

Yup. Tiba di Pantai Karnaval. Perahu yang warna-warni menghiasi bibir pantai. Subhanallah indahnya. Um, saya sempat heran mengapa saya selalu terpukau setiap kali menyaksikkan pemandangan dari atas gunung atau dari tepi pantai. Padahal, apa yang saya saksikan sama, gunung yang sama dan pantai yang sama. Tapi selalu saja mata ini terbelalak terpana. Maha Suci Allah dengan segala ciptaan-Nya yang tak pernah membosankan di pandang mata :)




Beberapa menit kami mengabiskan waktu untuk saling diam dan menikmati pantai dari balik deretan perahu, sedangkan Kakek Tiro sibuk mengambil spot-spot terbaik yang ada di depan kami.

Perjalanan kami lanjutkan menelusuri Dermaga Hati yang di tengahnya terdapat sekumpulan gembok tanda cinta muda-mudi Jakarta. Ehem :P Konon, pasangan muda-mudi yang menaruh “gembok cinta” di dermaga ini hubungannya akan langgeng. Tapi, saya heran. Katanya gembok cinta, tapi saya lihat-lihat gembok-gemboknya lebih mirip dengan gembok kamar kos teman saya, bahkan ada yang mirip gembok sel karena ukurannya yang segede gaban :D

Lanjut. Perjalanan di Dermaga Hati ini lumaya lama. Karena Kakek Tiro jalannya lambat, maklum sudah tua. Hehe, bukan. Kakek lama mencari nice spot dari atas dermaga ini. Tapi, lebih dari satu jam menelusuri dermaga hati ini tidak sia-sia karena ada hasil yang sangat memuaskan. Kakek berhasil mengambil satu objek dengan teknik fotografi yang cukup sulit. Selamat, Kakek! ^^




Matahari sudah merangkak malas-malas ke peristirahatannya di ufuk Barat. Tapi sayang, wajahnya tidak bisa kami lihat karena cuaca yang mendung :(


But, don’t worry. Kami tetap semangat dan asik menghayati suasana pantai yang menenangkan sambil melihat kesibukan orang-orang di tepai pantai dan menikmati Le’ Bridge Restorant yang sangat romantis dengan cahaya redupnya ^_*




Menjelang Maghrib, kami memutuskan untuk berjalan menuju pantai dan mencari mushalah untuk sejenak mengisi rohani dengan pertemuan dengan Ilahi.

Shalat Maghrib selesai. Kami semua menelusuri pantai yang sedang dipasang pengaman karena air pasang. Di sini saya teringat tulisan Tere Liye dalam Sunset Bersama Rose yang berbunyi, “Hanya orang bodoh yang jalan-jalan di pantai tapi menggunakan sepatu atau sandal.” Saat itu juga saya membuka sepatu sambil mengulang kalimat Tere Liye yang saya ingat.  Ternyata benar, jalan-jalan di pantai lebih menyenangkan dengan bertelanjang kaki (meski tetap mengenakan kaos kaki ^^). Dan inilah pernyataan sebenarnya dari  apa yang dikatakan Tere Liye. Buliran pasir yang berdesakan memenuhi sela-sela jari adalah sensasi tak bertepi saat kita berjalan-jalan di pantai ^_^

Seperti kebanyakan orang yang berjalan-jalan ke pantai, kami juga mengukir nama kami di atas pasir dengan konsep trevelling. Ini dia oleh-olehnya :)



Setelah letih berlari-larian di atas pasir dan tertawa bersama tiga sahabat saya, kami memutuskan untuk beristirahat dan menyantap perbekalan kami, yaitu MANGGA! :)

Sudah hampir Isya, kami memutuskan pulang. Tapi sebelum pulang ada dua insiden penting di perjalanan kami.

Pertama, Erny kakinya terkilir setelah nekad loncat dari atas pagar tembok. Duh, memang wanita ajaib yang satu ini sangat ekstrem. Pakai rok, jilbab panjang, tapi tetap saja loncat sana loncat sini, teriak sana teriak sini. Hasilnya, kami terjadilah inseden pertolongan pertama dengan mengurut kaki Erny.

Kedua, kepulang kami disambut oleh kembang api yang bermekaran di langit malam Pantai Karnaval Ancol. Kaki kami pun terpaku dan mata kami semua terfokus pada warna-warni yang bertebaran di atas langit. Masya Allah indahnya :)

Yup. Pulang! Kami pun pulang ke rumah masing-masing. Sebelum pulang, kami mampir dulu ke Kota Tua untuk mengisi perut. Oh iya, ini perjalanan saya yang terakhir bersama tiga sahabat ajaib saya di 2012 ini. Pada 30 Desember 2012, sebenarnya kami mempunya planing travelling ke Cikaret, Bogor. Sayangnya, saya tidak bisa ikut karena ada urusan lain pada 31 Desember 2012 yang tidak bisa ditinggal.

 Tapi, saya jamin, perjalanan ini bukanlah perjalanan terakhir saya bersama tiga sahabat ajaib ini. ^^

Potret kebersamaan di atas pasir pantai :)
Posted by Lisfatul Fatinah

Lelaki Saya yang Tersayang


"Tulisan ini saya dedikasikan untuk lelaki kedua yang saya cintai setelah Nabi Muhammad saw. Untuk lelaki yang tak banyak bicara, yang selalu mengajarkan saya dalamnya makna keindahan diam. Untuk lelaki yang selalu bekerja keras, merelakan setiap titik peluhnya untuk kehidupan yang lainnya. Untuk lelaki yang selalu teduh tatapannya, yang selalu menatap saya lamat-lamat setiap kali ingin mengucapkan nasihat. Untuk lelaki yang mengajarkan saya arti gigih dalam setiap langkah tangguh tanpa mengeluh. Untuk lelaki tersayang yang menyinari kehidupan saya,  yang saya panggil Bapak."




Bismillahirrahmanirrahim

Mungkin benar apa yang banyak dikatakan orang, bahwa anak lelaki cenderung lebih dekat dengan Ibu dibandingkan dengan Bapaknya. Sebaliknya, anak perempuan justru lebih dekat dengan Bapak dibandingkan dengan Ibunya. Hal ini pun terjadi kepada saya, sebagai anak perempuan bungsu di rumah. Ya, saya lebih dekat dengan Bapak dibandingkan dengan Ibu saya. Kendati demikian, percayalah sayang dan cinta yang saya  miliki tidak membedakan keduanya.

Sejak kecil, saya memang selalu dekat dengan Bapak. Mulai dari bangun pagi hingga ingin tertidur lagi, saya lebih banyak menghabiskan waktu dengan Bapak. Bangun tidur, bukannya dimandikan Ibu, saya malah dimandikan Bapak. Saat hendak berangkat kemana-mana, yang saya tanyakan selalu saja Bapak.

Sampai sekarang saya masih ingat begitu banyak kenangan manis bersama Bapak. Setiap ba’da Ashar, saya selalu memijat kaki Bapak. Lalu membersihkan kulit kaki Bapak yang sering berganti kulit. Sambil menunggu Maghrib, sampai usia saya memasuki angka tujuh, saya selalu bergelantung di kaki Bapak yang asik duduk di sofa. Saya menikmati naik turun ayunan kaki Bapak sambil mendengarkan shalawat yang dialunkan Beliau.

Masih tergambar di pelupuk mata saya gaya Bapak bercengkrama dengan saya. Bapak selalu membuat saya tergeli-geli karena jenggotnya yang digosokan ke pipi saya. Atau, ketika Bapak memonyongkan bibirnya, menekuk kelopak matanya untuk menakut-nakuti saya. Lalu saya menjerit dan tertawa di balik selimut.

Masih teringat juga saat hampir setiap malam saya dan Bapak duduk berdua, menggelar karpet di depan televisi. Saat Ibu dan kakak-kakak saya sudah tidur, saya dan Bapak malah sibuk di dapur memasak indomie ala Bapak yang tidak ada tandingannya. Setelah itu, saya dan Bapak duduk berkulum sarung siap menyaksikkan pertandingan tinju.

Kenangan lainnya. Hampir setiap malam saya menyaksikkan Bapak berlatih silat bersapa Paman. Saat itu pula saya yang sedang memegang boneka langsung mengikuti gerakan Bapak dan Paman. Tertawa lepas saat memainkan kayu panjang berlagak seorang pendekar.

Kenangan yang jelas juga di memori. Jika awamnya anak perempuan pergi berbelanja bersama Ibunya, maka saya adalah anak perempuan yang berbelanja bersama Bapaknya.  Hampir setiap kali membeli keperluan, saya selalu bersama Bapak. Pergi ke pasar Tanah Abang, membeli sepatu, seragam, alat tulis, tas, bahkan pakaian sehari-hari bersama Bapak. Bahkan, Bapak sudah seperti tempat pelarian saya. Setiap kali permintaan saya tidak dikabulkan Ibu, saya akan meminta ke Bapak. Bapak selalu mengabulkan keinginan saya meski tak pernah berkata “Ya”. Meski tak pernah mengiyakan atau menyahuti permintaan saya, setiap kali saya hampir lupa dengan permintaan saya, Bapak tiba-tiba berkata, "Masih mau yang itu? Besok ke Tanah Abang ya."

Begitulah kenangan manis betapa dekatnya saya dengan Bapak. Saking dekatnya, sampai-sampai saya dan Bapak punya kebiasaan dan selera yang sama; kami suka sekali masak indomie atau nasi goreng lepas tengah malam, sama-sama tidak suka manis, dan sama-sama peka dengan makanan yang ditambahi gula atau tidak.

A, semua kenangan itu terjadi dulu. Sampai usia saya di angka tujuh. Kini usia saya sudah hampir tiga kali lipat dari itu. Sudah hampir tidak pernah ada lagi kejadian-kejadian merindukan seperti di atas, kecuali kebiasaan menonton tinju di tengah malam atau saat liburan dan memasak indomie bersama :’)

Sekarang saya sudah tidak bisa lagi bergelayut di kaki Bapak. Selain karena saya sudah terlalu besar untuk duduk di kaki Bapak, sepertinya kaki Bapak juga sudah terlalu tua untuk dijadikan tempat bergelayut saya yang sudah tidak anak-anak lagi.

Saya juga sudah jarang memijit kaki Bapak apalagi bercanda dengan Bapak di depan televisi. Entahlah, semua kebiasaan manis itu perlahan-lahan terhenti dengan bertambahnya usia saya. Sekarang saya malah sok sibuk di luar rumah. Kuliah, kerja, mengajar, mengurus organisasi ini itu, dan lain-lain.

Kadang, saat ada waktu beberapa jenak untuk beristirahat dari aktivitas sok sibuk di luar rumah, kenangan-kenangan indah, kebiasaan manis, dan tawa renyah Bapak berputar lagi di kepala. Sejurus saya merindukan masa-masa itu lagi. Masa-masa bersama Bapak. Masak bersama, makan bersama, ke pasar bersama, jalan-jalan bersama, dan menonton tinju bersama.

Biasanya saya melampiaskan kerinduan itu dengan selalu menyempatkan shalat berjamaah bersama Bapak. Suara Bapak saat membaca surat-surat Suci Allah tak jarang membuat hati saya bergetar. Dan, entah mengapa setiap menjadi makmum Bapak, mulai dari takbiratur ihram sampai salam, airmata saya selalu mengalir diringi sesegukan. Lalu, Bapak selalu berkata, "Minum inza, supaya besok bisa kuliah. Makanya, janganminum es terus." Duh, Bapak seperti tak tahu kalau saya sedang menangisi masa anak-anak saya saat bersamanya, bukan sedang terkena flu atau demam.

Akhir-akhir ini, rekaman kenangan masa kecil bersama Bapak semakin jelas tergambarkan. Terlebih lagi beberapa hari ini waktu saya untuk berdiam diri di rumah sedikit bertambah dan Bapak sedang di rumah.

Beberapa pekan ini, saya selalu menatap Bapak lamat-lamat saat Bapak tidur dalam lelah dan sakitnya. Semakin saya menyelami wajahnya, semakin dalam kerinduan yang saya rasa. Sungguh, semakin bergerumuh kenangan masa lalu itu hingga memecahkan kantung airmata saya. Diam-diam tangis ini membuncah. Entah perasaan ini apa namanya.

Wajah Bapak mulai yang menua, garis-garis tangan Bapak juga sudah mengeriput. Bapak semain tua dan –menurut Bapak– saya sudah dewasa. Dua qodratullah ini berjalan sejalan, seiring berputarnya waktu yang saya lalui. Kini, dalam pikiran saya hanya terbersit satu pertanyaan. Apakah yang sudah saya berikan kepada Bapak sebagai anaknya?

Pertanyaan ini tak pernah saya ucapkan di depan Bapak. Tapi entah mengapa, beberapa hari lalu saat saya sedang menemani Bapak yang hanya bisa berbaring, tiba-tiba Bapak berkata, “Jadi orang hidup jangan pernah menganggap harta sebagai hal terpenting. Iman sama Allah yang penting. Kalau iman sudah kuat, orang pasti shaleh. Kalau sudah shaleh, harta tanpa diminta juga akan datang,” sejenak Bapak terdiam. “Kamu juga. Jangan pernah mengutamakan harta, jangan anggap harta bisa bawa bahagia buat kamu juga buat Bapak. Yang penting hati kamu tetap sama Allah, yang penting kamu tetap berbuat baik sama orang tua.” Bapak terdiam lagi. Memejamkan mata. Entah karena menahan sakitnya atau karena lelah berbicara. Saya tak menjawab apa-apa. Hanya anggukan dan airmata yang menanggapi Bapak.

Sejak Bapak berkata demikian hingga sekarang, saya semakin merasakan betapa Bapak sudah tua dan saya semakin dewasa. Akan ada banyak hal yang berubah –dan harus berubah.

Jika dulu saya selalu mengadu kepada Bapak, ini saatnya saya menjadi pendengar untuk segala kisah yang ingin Bapak tinggalkan. Jika dulu saya selalu minta dibuatkan indomie ala Bapak, kini saatnya saya memasak makanan-makanan kesukaan Bapak.

Sudah hampir sebulan ini Bapak hanya bisa berbaring di rumah karena sakitnya. Sejak sebulan terakhir ini pula segala pemikiran saya akan masa depan semakin berubah dan bertambah matang.

Meski masa anak-anak itu telah berlalu, tapi kenangan dan pengalaman manis bersama Bapak, saat Bapak masih sehat, tetap melekat di hati saya. Biar semua cerita manis itu ada di hati dan kepala saya, supaya bisa mejadi cerita untuk suami dan anak-anak saya :')

Kini, saat Bapak semakin tua dan saya semakin dewasa, saya bertekad untuk suatu hal. Apapun yang saya lakukan saat ini hingga akhir hayat nanti, itu semua hanya untuk kedua orangtua saya. Masa depan saya juga untuk orangtua. Segala amal ibadah saya untuk Bapak dan Ibu saya. Dosa-dosa saya, bisar saya yang menanggungnya.

Dan, satu hal besar yang selalu saya penjatkan. Semoga Allah Memperkenankan Bapak tetap ada di samping saya hingga Bapak bisa menjadi wali nikah saya dan Bapak bisa melihat cucu-cucunya yang lahir dari rahim saya.

Terakhir, untuk Bapak, satu-satunya lelaki yang saya sayangi setelah Nabi Muhammad, semoga Allah menjadikan sakitmu sebagai pengugur dosa-dosa, sebagai pensucian jiwa raga. Semoga sakit yang Bapak derita tak berlambat-lambat ada, tetapi lekas diangkat-Nya. Semoga Bapak, cahaya di atas cahaya hati saya, selalu dilindungi Allah.

Sungguh, tiada apapun yang pantas untuk membayar setiap peluh yang Bapak teteskan untuk saya kecuali doa saya, amal kebaikan saya, dan surga-Nya.

Saya Lis, anak Bapak Munir yang kangen sekali masa kecilnya bersama Beliau :')

Posted by Lisfatul Fatinah

Belajar Matematika Ala Anak Gangguan Emosi dan Tingkah Laku


Beberapa pekan lalu, saya melakukan kunjungan ke SLB E Handayani, sebuah SLB di bawah naungan dinas sosial yang mendidik anak-anak Gangguan Emosi dan Tingkah Laku (GETL). Tujuan saya ke SLB E ini untuk mengamati proses pembelajaran matematika untuk anak GETL. Sebagai bentuk sharing, berikut ini saya cantumkan apa saja yang telah saya amati di SLB E Handayani ini 

***

Pada studi lapangan yang saya lakukan di SLB E Handayani saya dapati bahwa pembelajaran matematika di SLB E Handayani tidak jauh berbeda dengan sekolah regular. Hanya saja, memang ada beberapa hal yang perlu diperhatikan guru pada saat mengajar matematika, di antaranya adalah strategi dan media belajar.

Dalam pembelajaran guru SLB E Handayani biasanya estimasi waktu pelaksanaannya kurang tidak sesuai dengan RPP. Jika di RPP suatu materi direncanakan tercapai dengan tiga kali pertemuan, dalam pelaksanaanya di SLB E Handayani satu materi matematika bisa tercapai dengan lima kali pertemuan. Hal ini bukan dikarenakan murid-murid SLB E Handayani tidak memahami pelajaran, melainkan karena murid-murid  terlalu malas berpikir.

Untuk mengantisipasi hal ini, biasanya guru matematika SLB E Handayani mengurangi tingkat pencapaian murid dalam memahami suatu materi. Jadi, estimasi waktu yang terlaksana sesuai dengan rancangan yang dibuat. Selain itu, yang perlu diperhatikan adalah media pembelajaran. Untuk media pembelajaran matematika, khususnya bangun datang dan bangun ruang, guru menggunakan media nyata yang terbuat dari kardus atau kayu.

Media yang dibuat guru harus besar dan mudah dilihat murid jika guru memeganggnya di depan kelas. Media yang dibuat juga harus aman untuk kelas, karena jika murid melempar-lempar media dapat dipastikan bahwa media aman dan tidak melukai murid lainnya.

Strategi pembelajaran yang diterapkan tidak jauh berbeda dengan anak-anak pada umumnya, Hanya saja, guru harus bertindak lebih keras dan tegas agar murid-murid mau mengerjakan tugas dengan baik dan benar.

Di SLB E Handayani juga diterapkan sistem peer teaching atau tutur sebaya. Murid dengan kemampuan memahami yang lebih lamban daripada murid yang lain akan dibantu oleh murid lain yang sudah terlebih dahulu memahami  atau yang memiliki kemampuan menangkap pelajaran yang lebih baik dari yang lainnya. Akan tetapi, sebagaimana umumnya murid SLB E, tutur kata dan penyampaian yang lakukan murid SLB E Handayani kepada temannya cukup  kasar dan dan frontal.

Ada satu hal unik yang disistem pembelajaran matematika di SLB E Handayani ini, yang mungkin juga akan kita temukan di SLB E lainnya. Yaitu, setiap pelajaran matematika entah itu sistem penguranga, penambahan, perkalian, dan pembagian hampir selalu dianalogikan dengan benda-benda yang berhubungan dengan dunia anak GETL. Misalnya, anak diberi ilustrasi cerita dalam proses membeli rokok atau minuman keras. Atau, anak diberi sebuah soal cerita tentang proses diskon sebuah perusahaan rokok.

Analogi ini tidak secara kontinyu. Analogi ini hanya dilakukan ketika anak kehilangan semangat atau ketika anak mulai "nyeleneh" di dalam kelas. Jadi, analogi ini bisa disesuaikan dengan situasi. Cara penyampaiannya pun bisa dimodifikasi guru sesuai kebutuhannya di kelas.


Selebihnya tidak ada yang berbeda dalam pembelajaran matematika anak GETL dengan anak umum. Hal ini dikarenakan kemampuan intelektual  mereka sama dengan anak umum, hanya saja motivasi dari dalam diri mereka kurang.

Dari hasil observasi di SLB E Handayani ini tidak jauh berbeda dengan beberapa teori yang sudah diteliti oleh para ahli. Seperti pada karakteristik belajar anak tunalaras yang dikemukakan Cruickshank (1980) bahwa ada kesenjangan antara kemampuan potensial mereka dengan kemampuan yang aktual, atau dengan istilah sederhana cenderung berprestasi dibawah potensinya dikarenakan manifestasi dari problem emosionalnya. Hal ini berarti bahwa problem belajar merupakan faktor akibat dari adanya problem emosional. Murid di sini juga banyak yang malas belajar, terutama dalam pelajaran matematika sehingga prestasi mereka kurang baik, bukan karena kemampuan intelektual mereka kurang tetapi karena emosionalnya yang kurang baik.

Pembelajaran yang dilakukan guru di SLB E Handayani juga sudah cukup  sesuai dengan teori (Weiss dalam Hallahan dan Kauffmann, 2006), dimana guru sudah menerapkan strategi khusus agar siswa mau mempelajari suatu pelajaran terutama pelajaran matematika yang menurut mereka membosankan. 





04 January 2013
Posted by Lisfatul Fatinah

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -