Archive for 2013
O My God, You're So Romantic!
Tuhan selalu punya cara istimewa
untuk mengingatkan yang lupa, menegur yang salah, dan menyapa yang tenggelam
dalam lamun asa.
Saya selalu terpesona dengan
segala cara yang Tuhan lakukan pada diri saya. Setiap kejutan yang
dihadiahkan-Nya, selalu membuat saya kembali jatuh cinta pada-Nya.
Sejak menyadari berkotak-kotak
hadiah dari-Nya, saya semakin percaya bahwa cinta tidak selalu tentang indah.
Dan romantis tidak selalu tentang cokelat atau bunga.
Misalnya saja senja itu. Saat saya
hendak pulang menggunakan bus kota. Saya terdiam, menekuri sebongkah angan yang
menjejal dada dan mendesak ratap bersimbah. Tiba-tiba seorang lelaki paruh baya
menghampiri saya. Dia meminta izin untuk duduk di sebelah saya. Hanya sekulum
senyum dan anggukan kecil yang sebagai jawab saya. Lalu saya kembali melihat
keluar jendela. Menembus keramaian terminal pinggir kota.
Lalu sebuah suara memecah sepi yang
menyusup dalam keramaian. Satu dua tiga pertanyaan terlontar. Satu dua tiga
kata menjawab dengan singkat sambil beriring senyum dan anggukan.
Hingga pada pertanyaan keempat,
lima, enam. Saya perlu waktu untuk menjawab pertanyaan itu. Bukan ragu atau
tidak tahu jawabnya., melainkan terkejut pada tanya yang dilempar ke wajah
saya.
Kemudian lisan saya terbungkam. Senyuman
membuyar perlahan. Yang tersisa hanya anggukan. Kalian tahu? Empat, lima enam
pertanyaan selanjutnya adalah segala hal yang sedang mengganjal di dada saya. Empat, lima enam pertanyaan selanjutnya adalah sebongkah tanya yang sedari tadi
saya berbenturan dengannya.
“Berapa dinda punya usia?” tanya pria paruh baya.
“Duasatu, Pak,” jawab saya sambil sedikit menoleh.
“Ikhtiarkan dengan sikap dan ucap!” Nasihatnya singkat.
“Insya Allah,” jawab saya di akhir perbincangan kami.
Dalam jenak saya berpikir. Adakah ini kebetulan? Tapi,
bukankah tidak ada yang namanya kebetulan? Lalu, inikah takdir Tuhan? O, entah
berjawab apa benarnya.
Dalam jejak jenak dan denting air mata saya semakin percaya
bahwa Tuhan selalu dekat dengan saya.
Tuhan selalu tahu apa yang tersembunyi di hati saya. Tuhan juga tahu bagaimana
menyapa lamun yang nyaris putus dari asa.
Terima kasih atas perbincangan singkat di bus kota yang Kau
skenariokan.
Yuk Mengenal Ciri Komunikasi Anak Autis yang Unik! :)
Komunikasi merupakan
salah satu hal yang sangat dibuttuhkan manusia sebagai makhluk sosial. Melalui
komunikasi, dua individu atau lebih bisa saling bertukar informasi, bertukar
pikiran, dan saling memahami kemauan antar satu sama lainnya. Menurut Wilson
(1987) dalam Kathleen Ann Quill (1995) dikatakan bahwa dalam komunikasi
dibutuhkan lebih dari sekadar kemampuan untuk rangkai kata-kata dalam urutan
yang tepat, tetapi dibutuhkan juga hubungan saling memahami apa yang
dikomunikasikan.
Komunikasi dapat
dikatakan sebagai kemampuan untuk membiarkan orang lain mengetahui apa yang
diinginkan individu, menjelaskan tentang sesuatu kepada orang lain, serta untuk
mengetahui sesuatu dari orang lain. Dengan kata lain, komunikasi merupakan
suatu aktivitas sosial antar dua orang atau lebih untuk dapat saling bertukar
informasi yang dilakukan secara verbal
dan nonverbal.
Bertolak pada
pengertian komunikasi di atas, mari kita tengok pola atau karakteristik
komunikasi anak autis. Dalam DSM IV (Diagnostic Statistical Manual 1994)
dikatakan bahwa seorang anak dapat dikatakan menyandang keautistikan ketika perkembangan
bicaranya lambat atau sama sekali tidak berkembang dan tidak ada usaha
mengimbangi komunikasi dengan cara lain;
jika anak bisa berbicara, bicaranya bukan untuk komunikasi; sering menggunakan
bahasa yang aneh dan berulang; pola bermain anak yang kurang variatif, kurang
imajinatif, dan kurang bisa meniru.
Untuk menguatkan
karakteristik komunikasi anak autis, Christopher Sunu (2012) menyatakan
beberapa indikator perilaku komunikasi dan bahasa yang mungkin ada pada anak
autis. Di antaranya adalah ekspresi wajah datar, ridak menggunakan bahasa atau
isyarat tubuh, jarang memulai komunikasi, tidak meniru aksi atau suara,
berbicara sedikit atau tidak ada sama sekali, membeo kata, intonasi bicara
aneh, tampak tidak mengerti kata, serta mengerti dan menggunakan kata secara
terbatas.
Dari sekian banyak
ciri yang tertera di atas, membeo atau ekolalia merupakan ciri utama anak autis
sebagai gangguan kualitatif dalam perkembangan komunikasi. Contoh dari ekolalia
adalah seorang anak autis bisa secara terus menerus mengulang satu kata atau
kalimat atau nyanyian tanpa dimengerti artinya. Ciri ekolalia ini biasanya
dimiliki penyandang autis muda dengan kemampuan verbal. Akan tetapi, ciri
ekolalia bukanlah satu ciri yang penting karena dalam perkembangan anak umum
juga terdapat fase di mana anak mulai bisa meniru dan selalu mengulang kata
yang baru dikenalnya. Untuk membedakannya dengan anak autis, orang tua dapat
mengetahuinya dengan cara apakah anak menyerti arti kata yang didengar atau
diucapkannya.
Selain ekolalia, ciri
lain yang menonjol dan perlu diperhatikan lingkungan anak autis adalah anak
autis memiliki keterbatasan memahami atau menggunakan kata dan hanya
menggunakan atau memahami kata secara harfiah, dengan kata lain anak autis
memiliki keterbatasan dalam memahami kiasan atau sindiran. Karena keterbatasan
inilah, orang tua, guru, dan lingkungan anak autis hendaknya menggunakan
kalimat yang to the point atau langsung pada apa yang dimaksud. Ketika
berbicara dengan anak autis, hindari kalimat yang berbelit atau penuh dengan
kiasan karena anak akan kebingungan mengartikan kalimat yang didengarnya.
Jika dalam suatu
komunikasi dilakukan interaksi dua arah, pada komunikasi anak autis biasanya
dilakukan hanya satu arah. Misalnya, dua orang berkomunikasi seperti biasa
untuk dapat saling memberi dan menerima informasi, tetapi anak autis
berkomunikasi hanya untuk menerima informasi atau memberi informasi. Untuk itu
komunikasi anak autis bukanlah “berbicara dengan” yang melibatkan hubungan dua
arah, melainkan satu arah.
Selain mengetahui
beberapa ciri penting di atas, orang tua hendaknya memiliki pengetahuan
perkembangan bahasa dan komunikasi yang dimiliki anak pada umumnya. Pengetahuan
ini penting karena orang tua bisa membandingkan langsung perkembangan bahasa
dan komunikasi yang dimiliki anak.
Pendidikan Jasmani Anak Berkebutuhan Khusus yang Adaptif
Pendidikan Jasmani
merupakan salah satu matapelajaran yang biasa kita temui di sekolah umum. Pada
matapelajaran ini, murid dituntut untuk memahami sejumlah teori tentang
kesehatan jasmani dan aktif dalam program kegiatan jasmani di sekolah, seperti
atletik.
Bertolak pada hal di
atas, bagaimana pola penerapan matapelajaran pendidikan jasmani bagi murid
dengan kedisabilitasan? Mengingat adanya Permendiknas No. 70 Tahun 2009 tentang
Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki
Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, maka seluruh lini yang berhubungan
dengan persekolahan harus diinklusifkan. Misalnya saja dalam pelaksanaan
beberapa matapelajaran yang memang harus didiferensiasikan penerapannya untuk
murid-murid berkebutuhan khusus di sekolah tersebut.
Salah satu
matapelajaran yang membutuhkan pendiferensiasian untuk murid berkebutuhan
khusus adalah pendidikan jasmani. Dalam istilahnya, pendidikan jasmani yang
telah didiferensiasikan disebut dengan pendidikan jasmani adaptif.
Menurut Zeigler (1977)
dalam Sri Mulyati dan Murtadlo (2007) dikatakan bahwa pendidikan jasmani
adaptif adalah suatu program kegiatan jasmani yang aktif, bukan suatu program
alternatif yang tidak aktif. Hal ini mendukung pemerolehan manfaat kegiatan
jasmani dengan memenuhi kebutuhan para murid yang mungkin selain itu dialihkan
ke pengalaman pasif yang dikaitkan dengan pendidikan jasmani.
Pendidikan jasmani
adaptif pada umumnya dirancang untuk memenuhi kebutuhan khusus murid dalam
jangka panjang atau lebih dari 30 hari. Kebutuhan khusus tersebut mencakup
anak-anak berkebutuhan khusus sebagaimana yang dirincikan dalam UU Pendidikan
Individu Berkebutuhan Khusus atau Individuals with Disabilities Education Act
(IDEA). Mirip dengan pendiferensiasian pada matapelajaran lainnya, dalam
penerapannya pendidikan jasmani adaptif dirancang dalam bentuk PPI (Program
Pendidikan Individual) atau IEP (Individual Education Program). Seperti yang
dikemukakan Auxter D. P. J. dan Huetting (1993) dalam Sri Mulyati dan Murtadlo
(2007) berdasarkan IDEA dinyatakan bahwa murid berkebutuhan khusus (dengan
rentang usia 3-21 tahun) harus memiliki suatu program yang dibuat secara
individual.
Program individu yang
dirancang dalam pendidikan jasmani adaptif ini lebih menekankan pada apa
keterbatasan dan kekhususan murid dalam melakukan program kesehatan jasmani dan
bagaimana cara alternatif yang tepat agar murid bisa mengikuti pendidikan
jasmani seperti murid lainnya. Dalam membuat program-program pendidikan jasmani
adaptif ini hendaknya ada kerjasama antara orang tua murid, murid, guru,
administrator, dan profesional dalam berbegai disiplin, seperti dokter atau
psikolog. Proses penyelenggaraan pendidikan jasmani adaptif dapat dikembangkan
berdasarkan beberapa orientasi, misalnya berorientasi pada perkembangan murid,
berorientasi pada masyarakat sekitar sekolah atau sekitar anak, atau
berorientasi pada hal lainnya yang dapat diadopsi guru untuk mengajar.
Mari Mengenal Pola Perilaku Anak Autis
Sebagai makhluk
sosial, perilaku menjadi salah satu aspek yang penting bagi individu dalam
berhubungan dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sama halnya dengan semua
individu pada umumnya, anak autis –kendati memiliki keterbatasan utama dalam
komunikasi dan interaksi– juga memerlukan interaksi dan berhubungan dengan
lingkungannya guna mendapatkan pengalaman untuk perkembangan sosialnya.
Terkait perilaku anak
autis, banyak orang yang mengira seorang anak dapat dikatakan menyandang autisme jika anak diam dan tampak memiliki
“dunianya sendiri”. Padahal, ada banyak indikasi yang dapat membantu orang tua
atau guru untuk mengetahui apakah anak menyandang autisme atau tidak.
Secara garis besar,
DSM IV memberikan empat indikasi yang menunjukkan perilaku keautistikan dan
seorang anak dapat dikatakan menyandang autisme jika memiliki minimal satu
perilaku dari empat perilaku tersebut. Empat perilaku tersebut adalah (1)
mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan
berlebihan; (2) terpaku pada satu kegiatan rutinitas yang tidak ada gunanya,
seperti selalu mencium makanan sebelum dimakan; (3) ada gerakan-gerakan aneh
yang khas dan diulang; dan (4) seringkali sangat terpukau pada benda atau
bagian-bagian benda.
Christopher Sunu
(2012) menjelaskan bahwa selain empat karakteristik perilaku di atas, ada
beberapa perilaku lainnya yang secara umum ada pada anak autis. Perilaku
tersebut adalah perilaku destruktif, perilaku hiperaktif atau hipoaktif, tantrum,
dan beberapa perilaku khusus lainnya.
Perilaku destruktif
adalah semua jenis perilaku anak yang bisa menyakiti atau melukai dirinya
sendiri atau orang lain. Contoh dari perilaku destruktif adalah anak mencakar,
menjambak, menggigit, meludah ke orang atau ke sembarang tempat, memukul,
menarik dengan kuat, mencekik, menendang, merobek lembar tugas, melempar benda
apa saja di dekatnya, dan banyak perilaku lainnya.
Selanjutnya, sebagian
anak autis bisa menjadi hiperaktif atau hipoaktif. Anak autis dikatakan hiperaktif
apabila anak banyak melakukan aktivitas tanpa anak mengetahui apa manfaat dari
aktivitasnya. Misalnya saja, anak naik-turun meja, berlarian, mondar-mandir,
keluar-masuk kelas, dan berpindah-pindah tempat duduk dalam jangka waktu yang
sangat singkat tanpa mengetahui apa tujuan dari perilakunya.
Selain itu ada pula
perilaku stereotip atau perilaku rutinitas. Anak autis cenderung kaku dalam
melakukan aktivitasnya, salah satunya dalam beberapa kasus anak autis memiliki
jadwal harian yang tidak bisa diubah. Perilaku stereotip ini terlihat ketika
meletakkan sekumpulan benda, anak autis cenderung meletakkan benda-benda
tersebut berdasarkan warna, bentuk, atau ukurannya. Contoh lainnya adalah anak
memiliki gerakan-gerakan aneh seperti mengepak-kepakan tangan, mengayunkan
tangan, menggoyangkan badan ke depan dan ke belakang, atau anak selalu
mengulang kata yang sama dan tidak memiliki arti.
Perilaku lainnya yang
mungkin ada pada anak autis adalah anak memiliki keterpukauan berlebihan pada
benda atau bagian tertentu dari benda, anak memiliki benda yang selalu
dibawanya kemana-mana, anak sensitif terhadap suara, anak menarik diri saat
disentuh, anak merespon berlebihan atau tidak sama sekali saat diberi stimulus,
anak menangis tanpa sebab, atau anak mampu menggambar dengan detail-detail yang
baik tetapi tidak mampu mengancingkan bajunya sendiri. Perilaku lain yang
menunjukkan anak menyandang autisme adalah anak marah atau menangis tanpa sebab
dan tantrum (marah berlebihan atau mengamuk).
Tidak ada teori atau
draf khusus yang menyantumkan indikasi pasti tentang karakteristik perilaku
keautistikan. Hal ini dikarenakan, pola perilaku anak autis sangat beragam.
Perilaku keautistikan yang disebutkan di atas sangat mungkin tidak semuanya ada
pada seorang anak autis. Perilaku keautistikkan tertentu bisa saja ada pada
satu anak autis tetapi tidak ada pada anak autis lainnya. Untuk itu, orang tua
atau guru harus benar-benar cermat dalam melihat perilaku anak autis. Dalam
pengamatan perilaku, orang tua atau guru setidaknya mengamati perilaku anak
selama tiga bulan berturut-turut.
Untuk saat ini,
perkembangan perilaku anak autis kadang cenderung dihambat oleh kalangan yang
menganggap bahwa anak autis hanya bisa ada “di dunianya sendiri”. Dampaknya, ketika anak autis sudah
menunjukkan perilaku keautistikannya sebagian orang tua malah membiarkan dan
menganggapnya sebagai hal yang wajar bagi anak autis. Perilaku-perilaku di atas
memang wajar ada pada anak autis, karena itu semua adalah signal yang
menunjukkan bahwa anak menyandang autisme. Akan tetapi, perilaku tersebut
hendaknya diarahkan kepada hal-hal yang lebih positif. Atau, perilaku tersebut
hendaknya diminimalisir bahkan dihilangkan dari anak.
Cerita di Balik Kacamata
Bismillahirrahmanirrahim
Ada kisah di setiap langkah kakimu dan di tiap dentang waktu. Pun itu selalu ada cerita dari setiap benda yang kamu punya. Seperti saya punya cerita tetang kacamata yang setia membantu saya melihat dunia :)
Sejak pertama kali menggunakan kacamata di kelas VI SD, kacamata saya tidak pernah berumur panjang. Baru beberapa bulan, kacamata saya pasti akan beregenerasi alias diganti. Kacamata saya sering hilang, pecah karena jatuh, bahkan pernah patah terbelah dua karena saya duduki. Nah, karena itu selama hampir sepuluh tahun bersama dua kaca ajaib ini, kacamata saya sudah sampai di generasi ke-17. Alias, saya sudah ganti kacamata sebanyak 17 kali -,-"
But, this post will not talking about how pathetic my glasses's fate. Postingan saya kali ini akan bercerita tentang hal spesial di balik kacamata saya. Berharap cerita ini bisa betmanfaat dan menginspirasi pembaca semuanya :)
Alright. Banyak yang bilang saya adalah orang yang perfeksionis dan selalu ingin semuanya detail. Tapi, di balik semua itu saya juga orang yang ceroboh dan super duper pelupa. Ditambah lagi, saya orang yang gampang tidur di mana saja a.k.a pelor, nempel-molor :D
Kebiasaan pelor ini sering sekali muncul kalau sedang belajar. Jadi, sudah biasa bagi saya saat belajar tiba-tiba ngangguk-ngangguk ngantuk. Apalagi saat saya duduk di bangku SMA, saya jarang tidur di kasur. Biasanya saya tidur di meja belajar masih dengan posisi buku terbuka, pulpen di tangan, dan kacamata masih dipakai.
Uniknya, saat bangun tidur tidak ada yang berubah dari posisi tubuh saya dan benda di atas meja kecuali kacamata. Setiap bangun tidur, kacamata saya pasti sudah terlipat rapi di sudut meja, di dalam lemari, atau bahkan di dalam kotak kacamata di dalam tas.
Do you know who did it? Ibu atau Bapak saya. Yap, sejak pertama kali pakai kacamata sampai saat ini saya punya kebiasaan tidak mencopot kacamata saat tidur-tiduran. Apalagi kalau ditambah kebiasaan saya baca sebelum tidur, pasti kacamata tetap menempel di batang hidung saya yang seiprit ini dan baru akan aman kalau dipindahkan Ibu atau Bapak.
Dua hari lalu Ibu kembali menceramahi saya untuk membuka kacamata sebelum tidur, diam-diam ada hal berbeda yang saya rasakan. Entahlah, mungkin pengaruh sisi melankolis atau juga karena faktor diri yang semakin menyadari betapa sudah "tua"nya diri saya sebagai anak. Ketika saya heboh kehilangan kacamata yang ternyata dibenahi Ibu saat saya terlelap, sejenak terlintas dalam pikiran "saya belum berubah di usia yang sudah berinduk dua".
Melepaskan kacamata saat seseorang tertidur memang hal yang teramat simpel. Tapi bagi saya, itu seperti sebuah sweet moment di sela-sela kehidupan saya. Ketika seorang anak lelah dan terlelap dengan kacamatanya, lalu sang Ibu Bapak melepaskannya, saya pikir itu sudah cukup menunjukkan cinta kasih orang tua saya. Sayangnya, saya baru menyadari itu semua beberapa hari ini.
Kalau dipikir-pikir, apa yang dilakukan Ibu Bapak saya memang hal biasa dan teramat sederhana. Tapi dari benda dan hal sederhana inilah saya mulai belajar memahami makna cinta kasih kedua orang tua dalam bentuk sederhana. Bahwa cinta kasih orang tua tidak selalu ditunjukkan dengan hal-hal besar dan mewah. Bahwa kadang, atau bahkan lebih sering kasih dan sayang dapat dicurahkan melalui perilaku-perilaku kecil dan teramat sederhana.
Ini baru kacamata, satu benda kecil yang secara kasat mata hanya berfungsi sebagai alat bantu pengelihatan saya. Bagaimana dengan benda-benda sederhana lainnya atau dengan tindakan-tindakan kecil lainnya yang orang tua berikan kepada kita seperti menyiapkan makan setiap pagi, menelpon atau sms saat kita pulang terlambat, mengingatkan kita agar tidak terlalu banyak beraktivitas dan memikirkan istirahat, dan banyak lainnya?
Kenyataannya, apa yang dilakukan Ibu Bapak kita memang lumrah dilakukan sebagai orang tua dan sudah teramat biasa. Tapi di balik itu semua, ada cinta, kasih, dan sayang yang tiada dua.
Sekarang, mari kita hampiri kedua makhluk mulia itu. Cium kening dan tangannya. Lalu ucapkan, "Ibu, Bapak, terima kasih atas cinta kalian selama ini".
Semoga Tuhan selalu menjaga kedua orang tua kita dan menjadikan kita anak yang senantiasa berbakti pada keduanya. Amin.
-Fatinah Munir-
Gerbong Lima, 30 Agustus 2013
Cita-Citaku
Bismillahirrahmanirrahim
Dulu, saat saya masih sangat belia dan hanya mengenal sebuah kesenangan, ada satu kebiasaan unik yang sampai sekarang saya belum paham untuk apa kebiasaan itu dilakuka . Kebiasaan ini tidak hanya dilakukan oleb saya, tetapi juga oleh teman-teman sebaya saya. Sampai-sampai kebiasaan ini menjadi sebuah "musim" yang membanjiri pedagang kecil mengantungi sejumlah rupiah.
Menulis biodata, itulah kebiasaan saya duli bersama teman-teman yang -saya yakin- juga menjadi kebiasaan anak-anak lain seusia kami. Ya, biodata ini biasanya saya tulos di kertas warna-warni dengan berbagai gambar.
Apa yang di tulis dalam Biodata itu biasanya tidak jauh-jauh dari nama lengkap, tanggal lahir, zodiak, dan banyak hal lainnya. Akan tetapi, yang paling saya ingat dari bagian biodata itu adalah baris yang tertulis "cita-cita".
Dulu, saat saya masih sangat belia dan baru mengenal makna cita-cita, yang tertulis mengiringi kata itu adalah sebuah frase berbunyi "berbakti kepada kedua orang tua dan berguna bagi nusa bangsa". Ya, frase ini pun kadang tertulis di lembar Biodata teman-teman saya, meskipun beberapa teman lainnya menuliskan kata guru, dokter, insinyur, bahkan artis.
Kemudian, saat saya beranjak usia dan memasuki sekolah dasar, seorang guru berkata di depan kelas, "Kalian punya cita-cita? Kalau punya, tulis cita-citanya yang jelas mau jadi guru, dokter, atau apa". Saat mendengar kalimat itu, saya seperti tersihir dan langsung mengganti cita-cita saya menjadi dokter.
Lambat laun, saat usia saya semakin beranjak ke kepala dua, saat pemahaman akan hidup sedikit demi sedikit tertabung, saya tahu apa yang harus saya lakukan di balik kata cita-cita.
Entah apa arti cita-cita yang sesungguhnya. Apakah itu sebuah keinginan atau tujuan yang sempurna seperti termaktub dalam KBBI. Atau..., sebuah gelar dan profesi seperti kenyataan dan kebanyakan yang terjadi. Yang jelas, apapun itu cita-cita sepertinya merupakan barometer kesuksesan seseorang dalam bentuk keprofesian, seperti guru, dokter, arsitek, dan ssbagainya.
Lambat laun, seiring terkumpulnya pundi-pundi pemahaman akan makna kehidupan yang sesungguhnya, saya semakin memahami betapa kepolosan di masa belia adalah sebuah kesungguhan dari kehidupan itu sendiri. Misalnya saja pada cita-cita tadi. Saya tak habis berpikir, mungkin kita semua punya cita-cita untuk menduduki sebuah profesi bergengsi. Tapi lantas apa arti dari keprofesian tersebut?
Ketika kita hendak menjadi seorang guru, cukupkah dengan berseragam biru pekat dan berlantang di depan kelas menyampaikan pelajaran? Cukupkah demikian? Lantas adakah cita-cita dalam cita-cita itu sendiri yang membuat kita tak hanya mengejar posisi sebagai PNS, terima upah besar, dan mendapat sejumlah tunjangan? Adakah untuk menjadikan profesi sebagai sebentuk pengabdian pada Tanah dan Air yang telah sekian tahun menjadi tempat bernaung? Adakah teebersit keinginan membalas kebaikan Pertiwi yang telah menjadi pijakan selama ini?
Lebih jauh lagi, kadang saya terpekur melihat arti kehidupan ke belakang dan ke depan. Adakah apa yang saya lakukan ini bisa membalas segala kebaikan kedua orang tua saya? Adakah prestasi dan profesi bergengsi yang saya duduki turut memberi implikasi pada kedua oranf tua?
Entahlah. Setelah berpikir lama bersama makna-makna kearifan hidup saya temukan satu nilai cita-cita yang sesungguhnya. Yang dulu, saat di bangku sekolah dasar sempat diprotes seorang guru saya. Sebuah cita-cita di atas cita-cita yang niscaya menjadi lebih mulia dibandigkan kedudukan atau keprofesian apapun juga. Sebuah cita-cita yang sangat berarti meski apapun itu nanti profesinya. Cita-cita untuk menjadi insan yang senantiasa berbakti kepada kedua orang tua dan berguna bagi Indonesia.
Karena apapun dan semulia apapun kedudukan, prestasi, dan profesi saya, itu tiada arti jika saya meninggalkan bakti pada ibu bapak dan tidak berguna bagi sekitar saya. (nir)
-Fatinah Munir-
Perjalanan menuju Tanah Merah
Dalam perenungan panjang tentang arti kehidupan saya saat ini
Perjalanan menuju Tanah Merah
Dalam perenungan panjang tentang arti kehidupan saya saat ini
Alarm Perjalanan Mimpi
Bismillahirrahmanirrahim
Ketika aktivitas membawa kita pada lingkar kesibukan yang berporos pada lupa
Maka siklus kehidupan adalah dentang pengingat
Bahwa saya, kamu, dan kita, kini sudah berdirj di waktu yang berbeda
Di titik yang tak sama
Dua tahun sudah saya berkutat dengan dunia bernama Pendidikan Luar Biasa. Dunia membawa saya pada sudut-sudut tak duga, yang senantiasa membuat saya tercengang, ternganga, bahkan menitikkan air mata.
Seperti nyenyak dalam tidur, saya pun terhanyut dalam dunia ini. Khusyuk bersama anak-anak berkebutuhan khusus dengan ribuan cerita, bersama temen-teman disabilitas dengan sejuta semangat, membuat saya lupa pada salah satu alasan mengapa saya ada di antara mereka. Saya lupa kalau saya adalah calon guru untuk mereka.
Tapi, beberapa hari lalu, saat kuluman senyum terlempar dari wajah-wajah baru, saya baru menyadari bahwa saya sudah separuh perjalanan menuju mimpi menjadi guru pendidikan khusus. Bahwa tinggal menunggu dua putaran bumi lagi, saya akan benar-benar menjadi guru pendidikan khusus.
Um, kalau saja wajah-wajah baru itu tidak ada, mungkin saya sudah asyik masyuk dengan dunia ini dan amnesia sejenak pada alasan yang membuat saya ada di dunia pendidikan khusus ini. Kalau saja di kampus ini adik kedua saya tidak ada, mungkin saya akan lupa bahwa perjalanan menuju akhir tinggal separuh lagi.
So, I just wanna say welcome in special word that I believe you can have incredible experiences here. And thank you so much to be here and be cap as my dream.
Tiada pengalaman yang lebih berharga selama duapuluh satu tahun ini, kecuali ketika saya bersibuk ria di dunia pendidikan khusus bersama anak-anak surga yang menggelitik pikiran dan hati saya. Bahwa saya, kamu, dan kita yang ada di dunia luar biasa ini adalah manusia-manusia yang Allah pilih menjadi bagian istimewa dari kehidupan istimewa, yang menjadi bagian dari kisah-kisah menggugah bersama anak-anak surga.
Aaaaah, semangat menikmati perjalanan luar biasa ini (lagi).
Fatinah Munir,
Selasa semangat, 27/8/2013
Perjalanan menuju kelas penuh kejutan ^_^
Selasa semangat, 27/8/2013
Perjalanan menuju kelas penuh kejutan ^_^
Menjadi Pemimpin Seperti Abah Rete
Bismillahirrahmanirrahim
Kami memanggil beliau dengan
sebutan Abah, bukan karena beliau ayahanda kami. Kami memanggil beliau dengan
sebutan Abah, juga bukan karena beliau seorang lelaki tua dengan rambut putih
atau yang sering berkopiah haji. Kami, saya dan warga di sekitar rumah saya,
memanggilnya abah sebagai bentuk penghormatan kami pada beliau.
Abah Rete, begitulah sebutan beliau
sebagai Ketua RT 004 di kawasan Jati Pulo. Usia Abah Rete sebaya dengan kakak
pertama saya, sekitar 30an, masih sangat muda dibandingkan pengurus-pengurus
kebanyakan.
Kalau di rumah, Abah Rete bersikap
amat sangat biasa dengan warganya. Kahidupan Abah Rete juga amat sangat
sederhana, dengan rumah yang teramat biasa dibandingkan dengan rumah-rumah
warganya. Abah Rete bergaul layaknya warga biasa. Beliau berkumpul, main catur,
main karambol, dan mengikuti pengajian seperti warga pada umumnya. Aih, tiada
istimewa diri Abah Rete jika dilihat dari kesehariannya. Ya, kendati beliau
berlebelkan Ketua RT.
Tapi ada sisi lain Abah Rete yang
saya pikir pasti tidak banyak diketahui warganya. Di balik kewibawaan dan
kehumanistikkannya, Abah Rete punya bagian kehidupan yang bertolak belakang
dari jabatannya sebagai pemimpin sekaligus pengayom kami, warganya.
Jadi, sepagian di setiap hari, saat
saya dan warga lainnya sibuk dengan masing-masing aktivitas di rumah menuju
sekolah, kampus, kantor dan lainnya, Abah Rete sudah tidak ada di rumah. Saya
yakin, kecuali istrinya dan Allah SWT, tiada yang tahu persis kemana gerangan
beliau pergi sepagi buta itu. Dan, begitulah seterusnya. Abah Rete tidak ada di
rumah sepagian buta hingga terik siang menerpa.
Hingga pada suatu pagi yang dingin,
saat langit-langit bumi bocor dan membasahi Jakarta, saat saya duduk di sisi
jendela bus sambil menatap titik-titik air jatuh ke jalanan, saya melihat sosok
yang tak asing lagi di mata saya sedang duduk menekuk lutut di atas terotoar
yang ada di sepanjang jalan Kebon Sirih. Sosok itu bersandar pada sebatang
pohon besar, berkumpul bersama pria-pria berbaju hijau dengan perkakas
kebersihan di tangan mereka.
Saya tegaskan lagi mata saya untuk
meyakini apa yang sedang saya lihat. Sampai-sampai saya berkali-kali membasuh
embun yanh melekat di kaca jendela untuk memastikan bahwa mata saya tidak salah
melihat.
Berkali-kali, hampir setiap pagi,
saya kembali memusatkan pengelihatan ke sepanjang jalan Kebon Sirih, mencari
sosok yang mengejutkan mata dan hati. Berkali-kali saya memusatkan pengelihatan
ke arah jalan, berkali-ali juga saya melihat sosok berbaju hijau dengan
perkakas kebersihan jalanan.
Betul saja. Sosok itu adalah sosok
yang sangat saya kenal, sosok yang penuh dengan kewibawaan dan pembawaannya
yang merakyat. Kemunculan beliau di antara pria-pria berbaju hijau menjadi
jawaban atas menghilangnya beliau di sepagian buta hingga terik siang menerpa.
Sosok itu adalah Abah Rete, pemimpin kami, Ketua RT kami yang akrab dengan
sikapnya yang hangat.
Keesok-esokanan harinya, ketika
saya yakin bahwa saya tidak salah melihat, saya bertanya pada kakak perempuan
saya, "Abah Rete kerja apa selain jadi Ketua RT?". Jawab kakak saya,
"Gak tahu." Pun itu jawabnya ketika saya bertanya pada orang lain.
"Abah Rete jadi tukang sapu
jalanan," ucap saya suatu hari, menghantar kabar pada orang rumah.
"Ah, masa? Gak mungkin. Kamu
salah lihat, kali," sangkal siapapun yang mendengar kabar dari saya.
"Beneran. Setiap pagi, kalau
mau berangkat kuliah, Lis lihat Abah Rete di Kebon Sirih," jelas saya.
Siapapun yang mendengar kabar ini
tetiba terdiam. Mungkin sekejut menyisakan berjuta tanya di benak mereka.
Benarkah? Masa iya?
Begitulah ternyata sisi lain
kehidupan Abah Rete yang mungkin masih jarang diketahui warga kebanyakan.
Kendati menjabat sebagai pemimpin dan pengayom kami, warganya, Abah Rete
ternyata punya pekerjaan yang (maaf) bisa dibilang rendah dibandingkan
posisinya di lingkungan warga. Bahkan, pekerjaan Abah mungkin jauh tidak
berkelas dibandingkan warga yang diayominya, seperti kepala pemadam kebakaran
DKI Jakarta, juragan sate, juragan kontrakan, dokter, dosen, dan banyak lagi
yang berprofesi tinggi di masyarakat.
Menjadi seorang tukang sapu jalanan
di balik jas kepemimpinan di tingkat RT, mungkin terlihat rendah dan hina. Itu
jika dilihat sepintas, sekilas pandang. Tapi, ada satu sisi mulia yang
setidaknya telah Abah Rete ajarkan diam-diam kepada banyak orang, termasuk
saya. Ya, terlepas dari alasan apapun itu mengapa Abah Rete memilih menjadi
tukang sapu jalanan, ada banyak hal yang bisa diteladani dari sosok beliau.
Abah Rete, seperti apapun posisinya
sebagai pemimpin sekaligus pengayom warga dengan segala sisi kehumanistikkannya,
beliau mengajarkan untuk tetap menjadi pengayom, penjaga, meski keadaannya
justru mungkin lebih buruk atau lebih rendah dibandingkan warganya sendiri.
Tiada alasan bagi Abah Rete untuk bersikap gengsi dengan statusnya sebagai
tukang sapu jalanan di balik posisinya sebagai Ketua RT.
Abah Rete mengajarkan untuk tidak
menjadikan posisi atau jabatan sebagai pembenaran untuk bisa memanfaatkannya
demi perut keluarga sendiri. Dengan menjadi tukang sapu jalanan, setidaknya
Abah Rete mengajarkan bagaimana caranya tetap bertahan dalam ruang bernama
kejujuran.
Seperti Abah Rete pula, dulu
Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin pun mengajarkan bagaimana memepertahankan
kejujuran dalam jabatan, pun itu untuk tidak mengambil keuntungan peribadi.
Banyak buku-buku sirah nabawiyah yang menceritakan kepada kita bagaimana
sederhananya kehidupan Rasulullah dan para sahabat di tengah kepemimpinan
mereka. Bahkan, kalaupun ada di antara mereka yang kaya raya, mereka tidak
segan menyerahkan harta mereka untuk kesejahteraan orang-orang yang
dipimpinnya.
Terinspirasi dari sepanjang kisah
ini, ada hal penting yang perlu ditanamkan bersama-bersama dalam hati. Yaitu
tetap menjadikan Allah SWT sebagai tujuan dari segala tujuan, mematrikan dalam
hati bahwa apapun amanah yang diberikan-Nya akan ada perhitungannya di suatu
hari kelak, serta tetap belajar menjadi seorang yang merendahkan hati, meski
label apapun melekat pada diri.
Semoga bermanfaat dan menginspirasi
pada kebaikan. Amin. (nir)
Ketahui Kemampuan Membaca pada Murid Sejak Dini
Membaca
merupakan kegiatan yang secara tidak langsung dibutuhkan oleh semua orang.
Selain karena semua informasi berkembang melalui tulisan dan bacaan, membaca
memiliki dampak yang cukup besar pada kehidupan seseorang. Dalam Gerakan Pemasyarakatan Budaya Baca (Edi
Santono, dkk, 2005) membaca bermanfaat mengembangkan pola pikir kreatif dan
rasa kebahasaan murid, memperkaya wawasan dan cita-cita murid, serta
menghindari murid dari rasa tidak percaya diri dan prestasi.
Manfaat
membaca seperti yang disebutkan di atas, dapat diperoleh ketika murid tidak
hanya bisa membaca tetapi juga memahami apa yang dibacanya. Konteks membaca
seperti ini disebut membaca pemahaman. Joyee S. Choate dkk (1995)
mendefinisikan membaca pemahaman sebagai tujuan dari membaca itu sendiri.
Banyak
murid yang tidak gemar membaca kerap menjadi pembahasan utama antar guru dan
menjadikan murid tersebut berlabel “murid yang malas membaca”. Sebenarnya, ada
beberapa faktor yang menjadi alasan mengapa murid tidak ingin membaca, salah
satunya adalah murid tersebut memiliki hambatan dalam membaca pemahaman.
Sehingga, hambatan tersebut membawa murid pada rasa tidak percaya diri dan
memutuskan untuk lebih baik tidak membaca. Bagaimmuridah cara mengetahui
kandala membaca yang dimiliki murid? Untuk menjawab pertanyaan ini, hendaknya
terlebih dahulu kita memahami apa itu membaca pemahaman dan komponen-komponen
apa saja yang ada di dalam membaca pemahaman.
Dalam Choate dkk (1995) dikatakan
menurut Heilman dkk (1994) bahwa membaca pemahaman merupakan proses konstruktif
yang mana melalui bacaan tersebut pembaca mampu menghubungkan pengetahuan dan
pengalamannya untuk membangun atau mengonstruksi sebuah pemahaman baru. Choate
dkk (1995), membagi membaca pemahaman ke dalam empat kelompok, yakni (1) pemahaman
literal, (2) pemahaman interpretasi, (3) pemahaman kritis, dan (4) pemahaman
makna kata dalam konteks bacaan atau kalimat.
Membaca
pemahaman literal. Kemampuan membaca pemahaman literal umumnya dianggap
sebagai kemampuan memahami yang paling dasar.
Murid dianggap menguasai tahap ini apabila murid dapat membaca dan
mengerti kalimat untuk membangun rincian fakta dan rangkaian kejadian dalam
bacaan. Pada tahap ini murid harus mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan
eksplisit yang jawabannya terdapat dalam teks bacaan. Umumnya, murid sudah
mampu mambaca pemahaman literal sejak pertama kali murid bisa membaca, yakni
pada kelas 2 SD.
Untuk
mengetahui kemampuan murid pada tahap ini, guru bisa memberikan murid suatu
bacaan sederhana yang di dalamnya mengandung kalimat sederhana. Setelah itu
guru memberikan pertanyaan yang jawabannya tersurat (eksplisit) atau dapat
ditemukan hanya dengan membaca bacaan tersebut yang berupa detail fakta dan
urutan kejadian. Apabila murid mampu menjawab pertanyaan berdasarkan teks
bacaan yang dibacanya, artinya murid memiliki kemampuan membaca pemahaman
literal.
Membaca pemahaman interpretasi. Kemampuan membaca pemahaman interpretasi disebut sebagai membaca
di antara bacaan (between the lines)
yang mana melibatkan kemampuan berpikir murid yang lebih tinggi dibandingkan
kemampuan membaca literal. Maksudnya, pada tahap ini murid tidak hanya mampu
memahami informasi yang tersurat dalam teks bacaan, tetapi murid juga mampu
memahami informasi atau arti yang tersirat dalam teks bacaan. Dengan demikian,
pada tahap ini hendaknya murid sudah mampu memahami ide utama, hubungan
sebab-akibat, kesimpulan, serta menyintesis informasi dari pengalaman dan
pengetahuan yang telah diperoleh murid sebelumnya.
Guru dapat mengetahui kemampuan
murid pada tahap ini dengan memberikan murid sebuah teks bacaan. Setelah itu,
guru memberikan pertanyaan yang berhubungan dengan ide utama bacaan, hubungan
sebab-akibat yang tersirat (implisit) dalam bacaan, serta kesimpulan yang dapat
murid ambil dari bacaan tersebut. Sama seperti kemampuan membaca literal,
kemampuan membaca interpretasi ini hendaknya sudah dimiliki murid sejak kelas 2
SD. Hanya saja, semakin tinggi tingkat kelas seorang murid, tingkat kemampuan
intrepretasinya semakin tinggi pula.
Membaca
pemahaman kritis. Kemampuan membaca pemahaman kritis merupakan hasil dari
membaca di balik dan di luar bacaan (behind
and beyond the lines) salah satu tindakan dari membaca dan untuk
mengevaluasi teks bacaan. Kemampuan membaca kritis lebih mengarah pada
kemampuan murid mengevaluasi atau mengometari sudut pandang penulis, memahami
bacaan dengan menyortir informasi yang relevan dan tidak relevan, pendapat, dan
memahami teknik propaganda yang digunakan penulis dalam tulisannya. Dengan kata
lain, kemampuan mambaca pemahaman kritis ditekankan untuk mengembangkan
kemampuan murid dalam membaca dan bertanya.
Untuk mengatahui kemampuan murid
pada tahap ini, guru dapat memberikan murid teks bacaan dan memberikan sejumlah
pertanyaan yang dapat menstimulus kekritisan murid. Misalnya saja pertanyaan
“Apakah kamu setuju dengan yang dituliskan penulis?”, atau “Mengapa kamu setuju
dengan yang dikatakan penulis?”, atau “Apa alasanmu tidak setuju dengan yang
dikatakan penulis?”, dan pertanyaan lainnya yang membuat murid menyampaikan
pendapatkan mengenai apa yang dibacanya.
Membaca
pemahaman makna kata dalam konteks bacaan atau kalimat. Kemampuan membaca
pemahaman makna kata dalam konteks merupakan tingkat terakhir dalam membaca
pemahaman. Membaca pemahaman makna dalam konteks masuk ke dalam membaca
pemahaman karena kemampuan ini merupakan lanjutan dari kemampuan murid mengenal
kata yang secara langsubg membantu murid memahami apa yang dibacanya.
Seorang murid mungkin bisa memahami
kata yang tidak disandingkan dengan kata lain. Akan tetapi, murid akan
menemukan rangkaian kata yang menjadi kalimat dalam sebuh teks bacaan.
Rangkaian kata inilah yang harus dimengerti murid dalam membaca, sehingga murid
dapat menerima informasi dari teks bacaan secara utuh. Tanpa kemampuan ini,
murid tidak akan mampu memahami konteks bacaan secara keseluruhan dan murid
dapat dikatakan memiliki keterbatasan yang pada pemahamannya.
Demikianlah kemampuan membaca
pemahaman terbagi ke dalam empat bagian yang cukup kompleks, sehingga seorang
murid dapat dikatakan mampu mambaca tidak hanya dengan kemampu membaca tulisan
atau sebuah teks bacaan. Akan tetapi, murid dapat dikatakan bisa membaca
apabila murid mampu memahami apa yang dibacanya, mulai dari memahami secara
eksplisit (tersurat), kemampuan memahami hal-hal implisit (tersirat), hubungan
sebab-akibat, menyimpulkan isi teks bacaan, hingga mampu memberikan kritik pada
isi teks bacaan.
Berdasarkan
penjelasan tentang kemampuan membaca
pemahaman ini guru hendaknya memahami setiap tingkatan pada kemampuan
membaca pemahaman. Hal ini agar guru mengetahui apakah murid malas membaca atau
memang tidak bisa memahami bacaannya dan guru bisa memberikan penanganan yang
tepat pada murid.
(*) Tulisan ini pernah dipublikasikan di Kartunet.com
Merefleksikan Cita-Cita
Bismillahirrahmanirrahim
Dulu, saat saya masih sangat belia dan hanya mengenal sebuah kesenangan, ada satu kebiasaan unik yang sampai sekarang saya belum paham untuk apa kebiasaan itu dilakukan. Kebiasaan ini tidak hanya dilakukan olehsaya, tetapi juga oleh teman-teman sebaya saya. Sampai-sampai kebiasaan ini menjadi sebuah "musim" yang membanjiri pedagang kecil mengantungi sejumlah rupiah.
Menulis biodata, itulah kebiasaan saya dulu bersama teman-teman yang -saya yakin- juga menjadi kebiasaan anak-anak lain seusia kami. Ya, biodata ini biasanya saya tulis di kertas warna-warni dengan berbagai gambar.
Apa yang di tulis dalam Biodata itu biasanya tidak jauh-jauh dari nama lengkap, tanggal lahir, zodiak, dan banyak hal lainnya. Akan tetapi, yang paling saya ingat dari bagian biodata itu adalah baris yang tertulis "cita-cita".
Dulu, saat saya masih sangat belia dan baru mengenal makna cita-cita, yang tertulis mengiringi kata itu adalah sebuah frase berbunyi "berbakti kepada kedua orang tua dan berguna bagi nusa bangsa". Ya, frase ini pun kadang tertulis di lembar Biodata teman-teman saya, meskipun beberapa teman lainnya menuliskan kata guru, dokter, insinyur, bahkan artis.
Kemudian, saat saya beranjak usia dan memasuki sekolah dasar, seorang guru berkata di depan kelas, "Kalian punya cita-cita? Kalau punya, tulis cita-citanya yang jelas mau jadi guru, dokter, atau apa". Saat mendengar kalimat itu, saya seperti tersihir dan langsung mengganti cita-cita saya menjadi dokter. Lambat laun, saat usia saya semakin beranjak ke kepala dua, saat pemahaman akan hidup sedikit demi sedikit tertabung, saya tahu apa yang harus saya lakukan di balik kata cita-cita.
Entah apa arti cita-cita yang sesungguhnya. Apakah itu sebuah keinginan atau tujuan yang sempurna seperti termaktub dalam KBBI. Atau..., sebuah gelar dan profesi seperti kenyataan dan kebanyakan yang terjadi. Yang jelas, apapun itu cita-cita sepertinya merupakan barometer kesuksesan seseorang dalam bentuk keprofesian, seperti guru, dokter, arsitek, dan sebagainya.
Lambat laun, seiring terkumpulnya pundi-pundi pemahaman akan makna kehidupan yang sesungguhnya, saya semakin memahami betapa kepolosan di masa belia adalah sebuah kesungguhan dari kehidupan itu sendiri. Misalnya saja pada cita-cita tadi. Saya tak habis berpikir, mungkin kita semua punya cita-cita untuk menduduki sebuah profesi bergengsi, tapi lantas apa arti dari keprofesian tersebut?
Ketika hendak menjadi seorang guru, cukupkah dengan berseragam biru pekat dan berlantang di depan kelas menyampaikan pelajaran? Cukupkah demikian? Lantas adakah cita-cita dalam cita-cita itu sendiri yang tak hanya mengejar posisi sebagai PNS, terima upah besar, dan mendapat sejumlah tunjangan? Adakah untuk menjadikan profesi sebagai sebentuk pengabdian pada Tanah dan Air yang telah sekian tahun menjadi tempat bernaung? Adakah teebersit keinginan membalas kebaikan Pertiwi yang telah menjadi pijakan selama ini?
Lebih jauh lagi, kadang saya terpekur melihat arti kehidupan ke belakang dan ke depan. Adakah apa yang saya lakukan ini bisa membalas segala kebaikan kedua orang tua saya? Adakah prestasi dan profesi bergengsi yang saya duduki turut memberi implikasi pada kedua orang tua? Atau adakah Allah dalam setiap langkah menuju cita-cita?
Entahlah. Setelah berpikir lama bersama makna-makna kearifan hidup yang terus tumbuh di kepala, saya temukan satu nilai cita-cita yang sesungguhnya. Yang dulu, saat di bangku sekolah dasar sempat diprotes seorang guru saya. Sebuah cita-cita di atas cita-cita yang niscaya menjadi lebih mulia dibandingkan kedudukan atau keprofesian apapun juga. Sebuah cita-cita yang sangat berarti meski apapun itu nanti profesinya. Cita-cita yang bernafskan ibadah pada-Nya, untuk menjadi insan yang senantiasa berbakti kepada kedua orang tua dan berguna bagi Indonesia.
Karena apapun dan semulia apapun kedudukan, prestasi, dan profesi saya, itu tiada arti jika saya meninggalkan bakti pada ibu bapak dan tidak berguna bagi sekitar saya. Wallahu a'lam.
Semoga Allah senantiasa berada dalam dekapan, Menguatkan setiap langkah, Menaungi setiap usaha, Memberkahi setiap yang didapatkan. Amin. (nir)
Menulis; antara Ladang Amal dan Lahan Bisnis
Bismillahirrahmanirrahim
Tulisan ini saya buat dua tahun lalu. Saat membaca
tulisan ini yang terkungkung dalam salah satu folder tulisan, saya kembali
merefleksi hati dan pikiran. Berharap refleksi ini bisa dirasakan teman-teman
juga, maka tulisan ini saya publikasikan di blog sederhana ini. Have a nice read, Guys!
***
Menulis, bagi saya adalah lebih dari sekadar sebuah
aktivitas menyampaikan menuangkan gagasan melalui rangkaian kata. Melaluinya
saya bisa mengenal dunia, mengenal siapa saya, dan siapa orang-orang yang ada
di sekitar saya. Pun dari menulis, saya tahu bagaimana sebuah wisdom diaplikasikan dalam segala lini
kehidupan manusia.
Makna menulis yang terakhir itu saya dapatkan setelah
beberapa tahun menyeriusi dunia literasi, yakni sejak saya mulai belajar
bagaimana menulis yang baik hingga saya dipercayai guru-guru saya untuk menulis
di media yang digarapnya.
Pada 2010 lalu, saat saya baru menyandang predikat
sebagai mahasiswa Farmasi FKIK UIN merupakan cikal bakal saya mengenal dunia
literasi secara formal. Di awal perkuliahan, saya mendaftarkan diri menjadi
anggota baru FLP Ciputat yang kesekretariatannya sangat dekat dengan kampus. Di
sinilah saya mengenal banyak penulis muda yang berbakat, penulis-penulis senior
yang menginspirasi, dan teman-teman seperjuangan yang menginspirasi dalam
menulis.
Selama satu tahun menjadi anggota sekaligus pengurus
FLP Ciputat, saya lebih banyak menulis fiksi dan beberapa tulisan ringan yang biasa
saya tulis di atas bus melalui hape dan saya kurung dalam blog pribadi atau
catatan facebook saya. Selama bergabung dengan FLP Ciputat ini saya juga
menjadi lebih sering mengikuti lomba-lomba menulis dan lebih sering berbincang
dengan beberapa penulis yang sudah punya nama.
Sampai sekarang, meskipun sudah memiliki beberapa
antologi bersama teman-teman FLP, saya masih belum memiliki keberanian untuk
menerbitkan buku solo. Alasan yang selalu keluar dari mulut saya adalah saya
belum berani menulis solo dengan ilmu yang sedikit ini. Cukup naif memang
alasannya. Tapi memang itu alasan terkuat yang datang dari hati saya dan masih
saya pegang hingga saat ini.
Berangkat dari alasan inilah saya selalu berhati-hati
dalam menulis. Salah satu pemahaman yang saya pegang dari agama saya adalah semua ada pertanggungjawabannya. Pun itu
dengan rangkaian kalimat yang saya sampaikan melalui tulisan. Nah, memasuki
dunia kepenulisan yang lebih serius ini, saya –dan saya yakin semua penulis
juga –mulai dihimpit oleh dua hal yang membuat saya harus berpikir ulang. Yakni
dua hal besar yang berbeda; menulis untuk ladang amal atau untuk bisnis
kepenulisan.
Tulisan ini saya buat karena saya sempat terkejut
ketika beberapa hari lalu (17 Januari 2011) membaca tulisan penulis muda
sekaligus senior saya yang cukup saya kenal. Tulisannya mejeng di salah satu koran lokal. Tema yang diusung penulis muda
ini adalah “Berbisnis dalam Kepenulisan”. Saat membaca judul ini spontan saya
langsung mengerutkan dahi.
Memang, yang saya ketahui organisasi kepenulisan yang
saya ikuti ini memiliki literari agency
yang bekerja sama dengan banyak penerbit di Indonesia. Beberapa teman penulis
yang saya kenal dan bergabung dalam kelas perbukuan (dalam FLP Ciputat ada enam
kelas kepenulisan, salah satunya adalah kelas perbukuan) menulis ketika ada
“orderan” dari penerbit. Tentu saja siapa saja yang bergabung dalam kelas perbukuan
bisa menulis untuk “orderan” ini. Ya, sekalipun yang menulis ini bukanlah orang
yang ahli dalam bidangnya. Dan biasanya, mereka yang bergabung dalam “proyek”
ini mengambil sumber dari banyak media terutama internet.
Melihat pola di atas, saya agak kurang sreg. Entahlah, kata orang saya
perfeksionis sehingga apa yang saya kerjakan harus benar-benar benar dan
terlihat sempurna. Tapi kali ini penekanannya bukan perihal sempurna atau
tidaknya sebuah tulis, melainkan kebenaran dari apa yang saya tuliskan yang
saya sebut sebagai prinsip kebenaran informasi.
Pernah seorang senior di FLP Ciputat meminta saya
menulis sebuah buku nonfiksi yang sesuai dengan bidang saya, yakni farmasi.
Buku itu sempat saya tulis hingga beberapa bab, tapi tulisan itu saya diamkan
hingga sekarang. Sebenarnya, bukan karena pikiran saya buntu dan tidak mampu
meneruskan. Hanya saja, saya yang masih kuliah merasakan ada keganjalan dengan
hal-hal yang saya tulis. Saya masih merasa teramat sangat kurang ilmu untuk
menuliskan buku kesehatan yang notabene memerlukan keakuran data. Apalagi tema
yang saya angkat adalah kesehatan dan pengobatan dalam Islam. Dalam hal ini
harus ada kesinkronan antara al-Qur’an, hadits, fakta, dan penelitian. Alhasil,
prinsip kebenaran informasi ini membuat saya menghentikan “proyek” ini.
Karena “mogok” menulis, beberapa orang yang saya
kenal sempat menyayangkan keputusan saya. Tapi saya tetap keukeuh pada pilihan saya, bahwa apa yang saya tulis harus hal yang
benar, bukan sekadar “comot” dari apa yang saya baca. Saya bertekad bahwa apa
yang saya tulis harus sesuatu yang sudah saya kuasai, agar nantinya tidak salah
tulis dan malah menyesatkan pembacanya apalagi jika proses menulis ini hanya dijadikan
alat merauk sejumlah keuntungan finansial.
Agama saya mengajarkan bahwa segala sesuatu bermula
dari niat, demikian juga dalam hal menulis. Dan saya pun mulai memutar balik
kronologi keterlibatan saya dalam dunia kepenulisan. Alasan pertama saya
menulis adalah karena saya ingin menyampaikan apa-apa yang saya ketahui kepada
banyak orang. Selain itu, karena saya sangat menyukai sastra, saya ingin
mengekspresikan pikiran dan opini-opini saya kepada banyak orang melalui sastra
(karena konsen saya selama di FLP Ciputat adalah di kelas Sastra dan Novel),
persis seperti yang dilakukan Taufik Ismail dan Bunda Helvy Tiana Rosa. Karena
dua alasan inilah kadang saya mulai ragu ketika ada yang menawari “proyek”
tulisan dengan tujuan utama uang.
Memang munafik jika saya berkata saya tidak
menginginkan uang atau honor dari tulisan saya, tapi honor bukan tujuan utama
saya dalam menulis. Seperti yang diajarkan oleh agama saya, kata pertama yang
disampaikan dalam proses turunnya al-quran adalah “Bacalah!” Bagi saya, sepenggal
kata perintah ini bukan sekadar seruan untuk membaca, melainkan sebuah perintah
edukasi dan pengembangan diri yang dimulai dengan membaca dan dilanjutkan
melalui pena.
Semua orang tahu bahwa sebuah karya (tulisan atau
apapun itu) memiliki umur yang lebih panjang dari pemilikinya. Nah, jika karya
kita yang berupa tulisan atau buku itu bisa memberikan inspirasi positif dalam
kebaikan, pasti sangat menyenangkan. Dan menjadi satu hal yang mengerikan
ketika tulisan yang kita tinggalkan tak dapat kita pertanggungjawabkan isi dan
dampaknya di akhirat kelak. Apalagi jika tulisan itu justru membawa perubahan
buruk pada pembacanya. Na’udzubillah.
Untuk mengakhiri tulisan ini, himpitan antara ladang
amal dan lahan bisnis dalam kepenulisan memang menjadi urusan personal penulis.
Tapi, sebagai seorang yang masih belajar menulis, saya berharap agar saya tetap
istiqomah dalam niat menulis saya, yakni menulis untuk berbagi ilmu yang
bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan.
Semoga Allah mengistiqomahkan kita semua. Semoga semua
tulisan kita, buku-buku yang nantinya kita terbitkan pun dapat memberi manfaat,
mengispirasikan kebaikan, dan membawa keberkahan bagi kita dan bagi yang membacanya.
Jika karya kita sudah berkah, insya Allah perihal honor dan embel-embel
lainnya membuntuti dan mengerumuni. Amin. Insya Allah.
Salam literasi!
Semoga bermanfaatdan menginspirasi pada kebaikan! :)
My First Step to Around The World :’)
Bismillahirrahmanirrahim
Maka lihatlah sekelilingmu, karena ada banyak hal yang dapat
mengingatkanmu betapa berartinya dirimu saat ini. Maka pergilah sejauh yang
kamu mampu, karena akan kamu temui betapa kerdil dirimu di atas tanah Tuhanmu. Maka
bermimpilah, karena Tuhan akan Memeluk mimpi-mimpimu. Lalu hiduplah bersama
kesyukuranmu atas nikmat yang senantiasa Tuhan kucurkan kepadamu meski tidak
kamu minta.
Bermimpi adalah satu aktivitas yang teramat saya senangi.
Bagaimana tidak senang, bermimpi bukanlah hal terlarang, tidak juga berbayar. Lagi
pula, dengan bermimpi saya bisa terus menatap dunia dengan semangat kehusnuzonan. Tapi ada satu hal yang perlu dicatat
tebal-tebal, bahwa senang bermimpi bukan berarti terus berangan-angan. Perlu ada
keseimbangan antara mimpi, realitas, dan usaha di sini. Bahwa mimpi tidak
ujug-ujug datang membangunkan untuk digenggam. Harus ada tindakan nyata sebagai
bukti dari keikhtiaran dan keyakinan akan terwujudnya mimpi tersebut.
Sebagai seorang pemimpi, salah satu mimpi yang saya punya adalah
keliling dunia. Entahlah, bagaimana pun caranya, saya percaya bahwa suatu hari
nanti Tuhan Memperkenankan saya menginjakkan kaki di belahan bumi-Nya yang
lain.
Mimpi berkeliling dunia ini semakin kuat, ketika satu setengah
tahun lalu seorang senior saya di FIP UNJ menceritakan mimpinya pergi ke luar
negeri dan itu terwujud saat beliau menduduki tahun kedua di kampus. Apa resepnya?
Beliau berkata, dare your dream and action
now! Berani bermimpi dan bergeraklah sejak saat ini!
Satu lagi yang saya ingat dari ucapan beliau adalah, “Buat
paspor sejak sekarang, karena paspor menjadi kunci untuk membuka pintu keliling
dunia!” Satu setengah tahun sudah kalimat itu ada dalam kepala saya tanpa ada
kesempatan untuk melaksanakan saran –lebih tepatnya motivasi– dari beliau.
Selama hampir dua tahun ini saya habiskan waktu untuk meraih
mimpi lain yang lebih sederhana, yang masih bisa saya lakukan untuk sekeliling saya. Kini, saya
pikir sudah saatnya untuk benar-benar melakukan langkah pertama menuju mimpi
besar ini. So, awal bulan ini saya tekadkan diri membuat langkah pertama untuk
mewujudkan mimpi keliling dunia; membuat paspor.
Yup! Tahun 2013 ini saya curahan seluruh semangat untuk
keliling Indonesia dan dunia. Saya targetkan bulan ini saya harus memegang
paspor, meskipun saya belum tahu kapan saya akan berangkat ke luar negeri dan negara
apa yang pertama kali akan saya kunjungi. Akan tetapi, sebagai seorang yang
selalu berusaha berprasangka baik pada Tuhan, saya percaya cepat atau lambat paspor
ini pasti akan digunakan!
So, awal bulan Mei ini saya sisihkan uang tabungan untuk
biaya administrasi. Semua berkas saya siapkan di dalam sebuah map sederhana seharga
Rp2000,- dengan tulisan BIKIN PASPOR.
Berjuang Memijakkan
Langkah Pertama
Selasa, 7 Mei 2013. Saya datang
ke Kantor Imigrasi Jakarta Timur pukul 7.30 WIB. Saat itu dengan PD-nya saya langsung masuk ke dalam gedung
sambil mengingat-ingat prosedur pembuatan paspor yang sudah saya pelajari
melalui internet. Saat saya melewati
meja receptionis, ternyata antrean
nomor permohonan paspor sudah sampai ruang tunggu, sedangkan loket permohonan
paspor ada di lantai 2 dengan jarak kurang lebih 100 meter dari tempat saya
berdiri.
“Antrean dibuka hanya sampai
nomor 150, setelah itu yang tidak kebagian nomor silahkan pulang dan kembali
lagi besok,” teriak seorang petugas kantor pada antrean pemohon. Sejak itu,
muncullah banyak kicauan dari depan belakang saya.
Meskipun katanya nomor permohonan
sudah habis sebelum tiba giliran saya, tapi saya tetap optimis. Wal hasil, saya menunggu hingga saya bisa
menginjakkan kaki saya di lantai dua. Tapi, baru lima langkah dari anak tangga
terakhir, seorang petugas berteriak dari dalam, “Nomor antrean habiiiiiis!” Then, hari pertama pulang dengan
cengiran tidak jelas. Antara bingung dan kesal xD
Rabu, 8 Mei 2013. Di hari kedua
ini saya datang lebih cepat satu jam dari sebelumnya. Pukul 6.30 WIB saya sudah
turun dari Transjakarta di Shulter Imigrasi Jakarta Timur. Eng ing eng. Ternyata barisannya lebih mengejutkan dari hari sebelumnya. Saya ada dibarisan paling
belakang, paling pojok, di parkiran mobil >,< Saat masuk barisan, saya
tertawa sendiri. Agak stres juga melihat barisan yang “mengagumkan” ini.
Ternyata, orang Indonesia banyak juga yang mau ke luar negeri :)
Yup! Saya bersama barisan orang
yang ingin ke luar negeri ini pun menunggu satu setengah jam smapai pintu loket
dibuka. Alhadulillah, pukul 8.00 WIB saya sudah ada di lantai atas, beberapa meter
menuju loket pengambilan nomor permohonan. Senyuman saya pun mengembang. But,
tarataraaaaaa, lima langkah lagi menuju loket pengambilan nomor permohonan muncul
suara melengking, “Nomor antrean habiiiiiis!” Seketika itu juga kembang senyum
di bibir saya layu! -,-“ Saya berbalik badan sambil senyum-senyum sendiri.
Sabar, Lis! :)
Esok harinya saya tidak ke Kantor
Imigrasi, karena tanggal merah dan kantornya libur. Hehe. Tapi, malam harinya
saya membuat rencana berbeda, yakni mengambil nomor antrean via online. Malam
itu juga semua berkas saya unggah. Alhamdulillah,
malam itu juga saya dapat formulir online :)
Dua hari kemudian, Jumat, 10 Mei
2013. Dengan senyum sumbringah dan sengaja datang telat (karena sudah antre
nomor via online), saya datang ke Kantor Imigrasi Jakarta Timur. Alhamdulillah, saya menjapat nomor antrean
permohonan. Kabar baiknya, jika permohonan manual harus menunggu 3 hari lagi
untuk foto dan wawancara, permohonan via online langsung melakukan foto dan
wawancara di hari itu juga. Alhamdulillah
^_^
Well, satu hari penuh saya
habiskan di Kantor Imigrasi Jakarta Timur untuk antre foto dan wawancara. Empat
hari kerja setelahnya, saya pun memegang paspor saya. Alhamdulillah ‘alaa kulli ni’mah :)
Langkah Pertama yang Terjejak! :’)
Alhamdulillah, Kamis, 16 Mei 2013 saya sudah memegang paspor 48
halaman. Seperti yang saya tuliskan di awal catatan ini. Membuat paspor ini
menjadi satu dari banyak ikhtiar untuk mengenggam mimpi saya. Ini adalah
sebentuk usaha sederhana saya untuk menyeimbangkan antara mimpi dan realita
yang saya punya.
Insya Allah, adanya paspor di
genggaman saya menjadi bahan bakar semangat untuk bisa menginjakkan kaki di
Tanah Haram, menghirup udara musim panas di Eropa, menggenggam dinginnya salju
di Asia Timur, menyaksikan purnama di Amerika, dan melihat hamparan gurun di
Afrika. Amin.
Dalam 48 lembaran paspor ini
segera terisi cap imigrasi dari 24 negara berbeda (karena satu negara memberi dua
kali cap). My first step to around the world, may blessed God and it give me more
than experience, more than science. Amin :’)
Untuk teman-teman yang punya
mimpi sama dengan saya, ayo segera membuat paspor! Kita memang tidak tahu kapan
kita diberikan kesempatan menginjakkan kaki di negara lain. Tapi, sekali lagi, paspor
adalah kunci untuk membuka pintu peluang menuju belahan lain dunia. Dan membuat
paspor adalah salah satu usaha, prasangka baik, dan keoptimisan bahwa Tuhan
pasti Memberikan kita kesempatan untuk mengunjungi tanah-Nya yang lain. ^_^
Teruslah berani bermimpi dan semangat
mewujudkan mimpi. Sertakan Tuhan dalam mimpi-mimpi kita, niatkan segalanya
semata untuk Tuhan juga untuk belajar lebih banyak lagi dari ciptaan-Nya, dan pastikan semua
mimpi-mimpi kita untuk memuliakan kedua orang kita. Bismillah!
Terakhir, teringat sebuah kalimat
dari Ali ibn Abi Thalib r.a. “Kehormatan seseorang tergantung pada derajat
cita-citanya. Cita-cita yang luhur menumbuhkan obsesi yang tinggi, obsesi yang
tinggi menumbuhkan kesuksesan yang besar.” Semoga cita-cita kita membawa
kita pada keluhuran dan keridhoan-Nya. Amin :)
Komunikasi Anak dengan Autis
Komunikasi merupakan salah satu hal yang sangat dibuttuhkan manusia sebagai makhluk sosial. Melalui komunikasi, dua individu atau lebih bisa saling bertukar informasi, bertukar pikiran, dan saling memahami kemauan antar satu sama lainnya. Menurut Wilson (1987) dalam Kathleen Ann Quill (1995) dikatakan bahwa dalam komunikasi dibutuhkan lebih dari sekadar kemampuan untuk rangkai kata-kata dalam urutan yang tepat, tetapi dibutuhkan juga hubungan saling memahami apa yang dikomunikasikan.
Komunikasi dapat
dikatakan sebagai kemampuan untuk membiarkan orang lain mengetahui apa yang
diinginkan individu, menjelaskan tentang sesuatu kepada orang lain, serta untuk
mengetahui sesuatu dari orang lain. Dengan kata lain, komunikasi merupakan
suatu aktivitas sosial antar dua orang atau lebih untuk dapat saling bertukar
informasi yang dilakukan secara verbal
dan nonverbal.
Bertolak pada
pengertian komunikasi di atas, mari kita tengok pola atau karakteristik
komunikasi anak autis. Dalam DSM IV (Diagnostic Statistical Manual 1994)
dikatakan bahwa seorang anak dapat dikatakan menyandang keautistikan ketika perkembangan
bicaranya lambat atau sama sekali tidak berkembang dan tidak ada usaha
mengimbangi komunikasi dengan cara lain;
jika anak bisa berbicara, bicaranya bukan untuk komunikasi; sering menggunakan
bahasa yang aneh dan berulang; pola bermain anak yang kurang variatif, kurang
imajinatif, dan kurang bisa meniru.
Untuk menguatkan
karakteristik komunikasi anak autis, Christopher Sunu (2012) menyatakan
beberapa indikator perilaku komunikasi dan bahasa yang mungkin ada pada anak
autis. Di antaranya adalah ekspresi wajah datar, ridak menggunakan bahasa atau
isyarat tubuh, jarang memulai komunikasi, tidak meniru aksi atau suara,
berbicara sedikit atau tidak ada sama sekali, membeo kata, intonasi bicara
aneh, tampak tidak mengerti kata, serta mengerti dan menggunakan kata secara
terbatas.
Dari sekian banyak
ciri yang tertera di atas, membeo atau ekolalia merupakan ciri utama anak autis
sebagai gangguan kualitatif dalam perkembangan komunikasi. Contoh dari ekolalia
adalah seorang anak autis bisa secara terus menerus mengulang satu kata atau
kalimat atau nyanyian tanpa dimengerti artinya. Ciri ekolalia ini biasanya
dimiliki penyandang autis muda dengan kemampuan verbal. Akan tetapi, ciri
ekolalia bukanlah satu ciri yang penting karena dalam perkembangan anak umum
juga terdapat fase di mana anak mulai bisa meniru dan selalu mengulang kata
yang baru dikenalnya. Untuk membedakannya dengan anak autis, orang tua dapat
mengetahuinya dengan cara apakah anak menyerti arti kata yang didengar atau
diucapkannya.
Selain ekolalia, ciri
lain yang menonjol dan perlu diperhatikan lingkungan anak autis adalah anak
autis memiliki keterbatasan memahami atau menggunakan kata dan hanya
menggunakan atau memahami kata secara harfiah, dengan kata lain anak autis
memiliki keterbatasan dalam memahami kiasan atau sindiran. Karena keterbatasan
inilah, orang tua, guru, dan lingkungan anak autis hendaknya menggunakan
kalimat yang to the point atau langsung pada apa yang dimaksud. Ketika
berbicara dengan anak autis, hindari kalimat yang berbelit atau penuh dengan
kiasan karena anak akan kebingungan mengartikan kalimat yang didengarnya.
Jika dalam suatu
komunikasi dilakukan interaksi dua arah, pada komunikasi anak autis biasanya
dilakukan hanya satu arah. Misalnya, dua orang berkomunikasi seperti biasa
untuk dapat saling memberi dan menerima informasi, tetapi anak autis
berkomunikasi hanya untuk menerima informasi atau memberi informasi. Untuk itu
komunikasi anak autis bukanlah “berbicara dengan” yang melibatkan hubungan dua
arah, melainkan satu arah.
Selain mengetahui
beberapa ciri penting di atas, orang tua hendaknya memiliki pengetahuan
perkembangan bahasa dan komunikasi yang dimiliki anak pada umumnya. Pengetahuan
ini penting karena orang tua bisa membandingkan langsung perkembangan bahasa
dan komunikasi yang dimiliki anak.
(*) Tulisan in i pernah diposting di kartunet.com dengan judul "Pola Komunikasi Anak Autis"