Archive for 2013

O My God, You're So Romantic!

Tuhan selalu punya cara istimewa untuk mengingatkan yang lupa, menegur yang salah, dan menyapa yang tenggelam dalam lamun asa.

Saya selalu terpesona dengan segala cara yang Tuhan lakukan pada diri saya. Setiap kejutan yang dihadiahkan-Nya, selalu membuat saya kembali jatuh cinta pada-Nya.

Sejak menyadari berkotak-kotak hadiah dari-Nya, saya semakin percaya bahwa cinta tidak selalu tentang indah. Dan romantis tidak selalu tentang cokelat atau bunga.

Misalnya saja senja itu. Saat saya hendak pulang menggunakan bus kota. Saya terdiam, menekuri sebongkah angan yang menjejal dada dan mendesak ratap bersimbah. Tiba-tiba seorang lelaki paruh baya menghampiri saya. Dia meminta izin untuk duduk di sebelah saya. Hanya sekulum senyum dan anggukan kecil yang sebagai jawab saya. Lalu saya kembali melihat keluar jendela. Menembus keramaian terminal pinggir kota.

Lalu sebuah suara memecah sepi yang menyusup dalam keramaian. Satu dua tiga pertanyaan terlontar. Satu dua tiga kata menjawab dengan singkat sambil beriring senyum dan anggukan.

Hingga pada pertanyaan keempat, lima, enam. Saya perlu waktu untuk menjawab pertanyaan itu. Bukan ragu atau tidak tahu jawabnya., melainkan terkejut pada tanya yang dilempar ke wajah saya.

Kemudian lisan saya terbungkam. Senyuman membuyar perlahan. Yang tersisa hanya anggukan. Kalian tahu? Empat, lima enam pertanyaan selanjutnya adalah segala hal yang sedang mengganjal di dada saya. Empat, lima enam pertanyaan selanjutnya adalah sebongkah tanya yang sedari tadi saya berbenturan dengannya.

“Berapa dinda punya usia?” tanya pria paruh baya.

“Duasatu, Pak,” jawab saya sambil sedikit menoleh.

“Ikhtiarkan dengan sikap dan ucap!” Nasihatnya singkat.

“Insya Allah,” jawab saya di akhir perbincangan kami.

Dalam jenak saya berpikir. Adakah ini kebetulan? Tapi, bukankah tidak ada yang namanya kebetulan? Lalu, inikah takdir Tuhan? O, entah berjawab apa benarnya.

Dalam jejak jenak dan denting air mata saya semakin percaya bahwa Tuhan selalu  dekat dengan saya. Tuhan selalu tahu apa yang tersembunyi di hati saya. Tuhan juga tahu bagaimana menyapa lamun yang nyaris putus dari asa.

Terima kasih atas perbincangan singkat di bus kota yang Kau skenariokan.
17 October 2013
Posted by Lisfatul Fatinah

Yuk Mengenal Ciri Komunikasi Anak Autis yang Unik! :)

Komunikasi merupakan salah satu hal yang sangat dibuttuhkan manusia sebagai makhluk sosial. Melalui komunikasi, dua individu atau lebih bisa saling bertukar informasi, bertukar pikiran, dan saling memahami kemauan antar satu sama lainnya. Menurut Wilson (1987) dalam Kathleen Ann Quill (1995) dikatakan bahwa dalam komunikasi dibutuhkan lebih dari sekadar kemampuan untuk rangkai kata-kata dalam urutan yang tepat, tetapi dibutuhkan juga hubungan saling memahami apa yang dikomunikasikan.

Komunikasi dapat dikatakan sebagai kemampuan untuk membiarkan orang lain mengetahui apa yang diinginkan individu, menjelaskan tentang sesuatu kepada orang lain, serta untuk mengetahui sesuatu dari orang lain. Dengan kata lain, komunikasi merupakan suatu aktivitas sosial antar dua orang atau lebih untuk dapat saling bertukar informasi yang dilakukan  secara verbal dan nonverbal.

Bertolak pada pengertian komunikasi di atas, mari kita tengok pola atau karakteristik komunikasi anak autis. Dalam DSM IV (Diagnostic Statistical Manual 1994) dikatakan bahwa seorang anak dapat dikatakan menyandang keautistikan ketika perkembangan bicaranya lambat atau sama sekali tidak berkembang dan tidak ada usaha mengimbangi komunikasi dengan  cara lain; jika anak bisa berbicara, bicaranya bukan untuk komunikasi; sering menggunakan bahasa yang aneh dan berulang; pola bermain anak yang kurang variatif, kurang imajinatif, dan kurang bisa meniru.

Untuk menguatkan karakteristik komunikasi anak autis, Christopher Sunu (2012) menyatakan beberapa indikator perilaku komunikasi dan bahasa yang mungkin ada pada anak autis. Di antaranya adalah ekspresi wajah datar, ridak menggunakan bahasa atau isyarat tubuh, jarang memulai komunikasi, tidak meniru aksi atau suara, berbicara sedikit atau tidak ada sama sekali, membeo kata, intonasi bicara aneh, tampak tidak mengerti kata, serta mengerti dan menggunakan kata secara terbatas.

Dari sekian banyak ciri yang tertera di atas, membeo atau ekolalia merupakan ciri utama anak autis sebagai gangguan kualitatif dalam perkembangan komunikasi. Contoh dari ekolalia adalah seorang anak autis bisa secara terus menerus mengulang satu kata atau kalimat atau nyanyian tanpa dimengerti artinya. Ciri ekolalia ini biasanya dimiliki penyandang autis muda dengan kemampuan verbal. Akan tetapi, ciri ekolalia bukanlah satu ciri yang penting karena dalam perkembangan anak umum juga terdapat fase di mana anak mulai bisa meniru dan selalu mengulang kata yang baru dikenalnya. Untuk membedakannya dengan anak autis, orang tua dapat mengetahuinya dengan cara apakah anak menyerti arti kata yang didengar atau diucapkannya.

Selain ekolalia, ciri lain yang menonjol dan perlu diperhatikan lingkungan anak autis adalah anak autis memiliki keterbatasan memahami atau menggunakan kata dan hanya menggunakan atau memahami kata secara harfiah, dengan kata lain anak autis memiliki keterbatasan dalam memahami kiasan atau sindiran. Karena keterbatasan inilah, orang tua, guru, dan lingkungan anak autis hendaknya menggunakan kalimat yang to the point atau langsung pada apa yang dimaksud. Ketika berbicara dengan anak autis, hindari kalimat yang berbelit atau penuh dengan kiasan karena anak akan kebingungan mengartikan kalimat yang didengarnya.

Jika dalam suatu komunikasi dilakukan interaksi dua arah, pada komunikasi anak autis biasanya dilakukan hanya satu arah. Misalnya, dua orang berkomunikasi seperti biasa untuk dapat saling memberi dan menerima informasi, tetapi anak autis berkomunikasi hanya untuk menerima informasi atau memberi informasi. Untuk itu komunikasi anak autis bukanlah “berbicara dengan” yang melibatkan hubungan dua arah, melainkan satu arah.

Selain mengetahui beberapa ciri penting di atas, orang tua hendaknya memiliki pengetahuan perkembangan bahasa dan komunikasi yang dimiliki anak pada umumnya. Pengetahuan ini penting karena orang tua bisa membandingkan langsung perkembangan bahasa dan komunikasi yang dimiliki anak.

Beberapa ciri komunikasi anak autis di atas tidak melulu harus dimiliki oleh satu orang anak autis. Semua ciri ini hanya bersikap menyeluruh atau komprehensif. Mungkin saja seorang anak autis memiliki separuh ciri di atas, atau mungkin hanya sepertiganya. Kendati demikian, banyak atau tidaknya ciri yang ada dalam diri anak autis bukan penghalang orang tua untuk melakukan penanganan terbaik. Sedikit ataupun banyak ciri-ciri yang dimiliki anak autis tetap harus mendapatkan penanganan untuk mengurangi perilaku keautistikannya. 
11 October 2013
Posted by Fatinah Munir
Tag :

Pendidikan Jasmani Anak Berkebutuhan Khusus yang Adaptif


Pendidikan Jasmani merupakan salah satu matapelajaran yang biasa kita temui di sekolah umum. Pada matapelajaran ini, murid dituntut untuk memahami sejumlah teori tentang kesehatan jasmani dan aktif dalam program kegiatan jasmani di sekolah, seperti atletik.

Bertolak pada hal di atas, bagaimana pola penerapan matapelajaran pendidikan jasmani bagi murid dengan kedisabilitasan? Mengingat adanya Permendiknas No. 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, maka seluruh lini yang berhubungan dengan persekolahan harus diinklusifkan. Misalnya saja dalam pelaksanaan beberapa matapelajaran yang memang harus didiferensiasikan penerapannya untuk murid-murid berkebutuhan khusus di sekolah tersebut.

Salah satu matapelajaran yang membutuhkan pendiferensiasian untuk murid berkebutuhan khusus adalah pendidikan jasmani. Dalam istilahnya, pendidikan jasmani yang telah didiferensiasikan disebut dengan pendidikan jasmani adaptif.

Menurut Zeigler (1977) dalam Sri Mulyati dan Murtadlo (2007) dikatakan bahwa pendidikan jasmani adaptif adalah suatu program kegiatan jasmani yang aktif, bukan suatu program alternatif yang tidak aktif. Hal ini mendukung pemerolehan manfaat kegiatan jasmani dengan memenuhi kebutuhan para murid yang mungkin selain itu dialihkan ke pengalaman pasif yang dikaitkan dengan pendidikan jasmani.

Pendidikan jasmani adaptif pada umumnya dirancang untuk memenuhi kebutuhan khusus murid dalam jangka panjang atau lebih dari 30 hari. Kebutuhan khusus tersebut mencakup anak-anak berkebutuhan khusus sebagaimana yang dirincikan dalam UU Pendidikan Individu Berkebutuhan Khusus atau Individuals with Disabilities Education Act (IDEA). Mirip dengan pendiferensiasian pada matapelajaran lainnya, dalam penerapannya pendidikan jasmani adaptif dirancang dalam bentuk PPI (Program Pendidikan Individual) atau IEP (Individual Education Program). Seperti yang dikemukakan Auxter D. P. J. dan Huetting (1993) dalam Sri Mulyati dan Murtadlo (2007) berdasarkan IDEA dinyatakan bahwa murid berkebutuhan khusus (dengan rentang usia 3-21 tahun) harus memiliki suatu program yang dibuat secara individual.

Program individu yang dirancang dalam pendidikan jasmani adaptif ini lebih menekankan pada apa keterbatasan dan kekhususan murid dalam melakukan program kesehatan jasmani dan bagaimana cara alternatif yang tepat agar murid bisa mengikuti pendidikan jasmani seperti murid lainnya. Dalam membuat program-program pendidikan jasmani adaptif ini hendaknya ada kerjasama antara orang tua murid, murid, guru, administrator, dan profesional dalam berbegai disiplin, seperti dokter atau psikolog. Proses penyelenggaraan pendidikan jasmani adaptif dapat dikembangkan berdasarkan beberapa orientasi, misalnya berorientasi pada perkembangan murid, berorientasi pada masyarakat sekitar sekolah atau sekitar anak, atau berorientasi pada hal lainnya yang dapat diadopsi guru untuk mengajar.

Dengan dibuatkan dan dijalankannya program khusus atau IEP (Individual Education Programm) pendidikan jasmani untuk murid berkebutuhan khusus di sekolah, diharapkan dapat membantu murid memperbaiki ataupun mengembangkan kemampuannya. Satu hal yang perlu ditekankan dalam pelaksanaan pendidikan jasmani adaptif adalah walaupun waktu yang digunakan untuk program pendidikan jasmani adaptif ini melebihi waktu yang disyaratkan oleh kebijakan-kebijakan atau hukum, program ini tidak boleh digantikan oleh pelayanan yang terkait. Misalnya saja kegiatan intramarual, hari olahraga, atletik, atau pengalaman lain yang terutama tidak bersifat memberi pengajaran. 
Posted by Fatinah Munir

Mari Mengenal Pola Perilaku Anak Autis


Sebagai makhluk sosial, perilaku menjadi salah satu aspek yang penting bagi individu dalam berhubungan dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sama halnya dengan semua individu pada umumnya, anak autis –kendati memiliki keterbatasan utama dalam komunikasi dan interaksi– juga  memerlukan interaksi dan berhubungan dengan lingkungannya guna mendapatkan pengalaman untuk perkembangan sosialnya.

Terkait perilaku anak autis, banyak orang yang mengira seorang anak dapat dikatakan menyandang  autisme jika anak diam dan tampak memiliki “dunianya sendiri”. Padahal, ada banyak indikasi yang dapat membantu orang tua atau guru untuk mengetahui apakah anak menyandang autisme atau tidak.

Secara garis besar, DSM IV memberikan empat indikasi yang menunjukkan perilaku keautistikan dan seorang anak dapat dikatakan menyandang autisme jika memiliki minimal satu perilaku dari empat perilaku tersebut. Empat perilaku tersebut adalah (1) mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebihan; (2) terpaku pada satu kegiatan rutinitas yang tidak ada gunanya, seperti selalu mencium makanan sebelum dimakan; (3) ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulang; dan (4) seringkali sangat terpukau pada benda atau bagian-bagian benda.

Christopher Sunu (2012) menjelaskan bahwa selain empat karakteristik perilaku di atas, ada beberapa perilaku lainnya yang secara umum ada pada anak autis. Perilaku tersebut adalah perilaku destruktif, perilaku hiperaktif atau hipoaktif, tantrum, dan beberapa perilaku khusus lainnya.

Perilaku destruktif adalah semua jenis perilaku anak yang bisa menyakiti atau melukai dirinya sendiri atau orang lain. Contoh dari perilaku destruktif adalah anak mencakar, menjambak, menggigit, meludah ke orang atau ke sembarang tempat, memukul, menarik dengan kuat, mencekik, menendang, merobek lembar tugas, melempar benda apa saja di dekatnya, dan banyak perilaku lainnya.

Selanjutnya, sebagian anak autis bisa menjadi hiperaktif atau hipoaktif. Anak autis dikatakan hiperaktif apabila anak banyak melakukan aktivitas tanpa anak mengetahui apa manfaat dari aktivitasnya. Misalnya saja, anak naik-turun meja, berlarian, mondar-mandir, keluar-masuk kelas, dan berpindah-pindah tempat duduk dalam jangka waktu yang sangat singkat tanpa mengetahui apa tujuan dari perilakunya.

Selain itu ada pula perilaku stereotip atau perilaku rutinitas. Anak autis cenderung kaku dalam melakukan aktivitasnya, salah satunya dalam beberapa kasus anak autis memiliki jadwal harian yang tidak bisa diubah. Perilaku stereotip ini terlihat ketika meletakkan sekumpulan benda, anak autis cenderung meletakkan benda-benda tersebut berdasarkan warna, bentuk, atau ukurannya. Contoh lainnya adalah anak memiliki gerakan-gerakan aneh seperti mengepak-kepakan tangan, mengayunkan tangan, menggoyangkan badan ke depan dan ke belakang, atau anak selalu mengulang kata yang sama dan tidak memiliki arti.

Perilaku lainnya yang mungkin ada pada anak autis adalah anak memiliki keterpukauan berlebihan pada benda atau bagian tertentu dari benda, anak memiliki benda yang selalu dibawanya kemana-mana, anak sensitif terhadap suara, anak menarik diri saat disentuh, anak merespon berlebihan atau tidak sama sekali saat diberi stimulus, anak menangis tanpa sebab, atau anak mampu menggambar dengan detail-detail yang baik tetapi tidak mampu mengancingkan bajunya sendiri. Perilaku lain yang menunjukkan anak menyandang autisme adalah anak marah atau menangis tanpa sebab dan tantrum (marah berlebihan atau mengamuk).

Tidak ada teori atau draf khusus yang menyantumkan indikasi pasti tentang karakteristik perilaku keautistikan. Hal ini dikarenakan, pola perilaku anak autis sangat beragam. Perilaku keautistikan yang disebutkan di atas sangat mungkin tidak semuanya ada pada seorang anak autis. Perilaku keautistikkan tertentu bisa saja ada pada satu anak autis tetapi tidak ada pada anak autis lainnya. Untuk itu, orang tua atau guru harus benar-benar cermat dalam melihat perilaku anak autis. Dalam pengamatan perilaku, orang tua atau guru setidaknya mengamati perilaku anak selama tiga bulan berturut-turut.

Untuk saat ini, perkembangan perilaku anak autis kadang cenderung dihambat oleh kalangan yang menganggap bahwa anak autis hanya bisa ada “di dunianya sendiri”.  Dampaknya, ketika anak autis sudah menunjukkan perilaku keautistikannya sebagian orang tua malah membiarkan dan menganggapnya sebagai hal yang wajar bagi anak autis. Perilaku-perilaku di atas memang wajar ada pada anak autis, karena itu semua adalah signal yang menunjukkan bahwa anak menyandang autisme. Akan tetapi, perilaku tersebut hendaknya diarahkan kepada hal-hal yang lebih positif. Atau, perilaku tersebut hendaknya diminimalisir bahkan dihilangkan dari anak.

Hal utama yang harus diantisipasi orang tua dan guru adalah perubahan lingkungan. Anak autis yang cenderung terikat pada rutinitas biasanya akan mengalami “shock” pada sebuah perubahan, sehingga menyebabkan anak marah atau tantrum dan perkembangannya tiba-tiba kembali pada angka nol. Dengan demikian, orang tua dan guru hendaknya menyisipkan satu atau dua aktivitas harian yang fleksibel atau berubah-ubah bentuknya dari hari ke hari. Hal ini ditujukan agar anak bisa beradaptasi secara perlahan dengan kehidupan individu pada umumnya yang tidak selalu terikat pada rutinitas. 
Posted by Fatinah Munir
Tag :

Cerita di Balik Kacamata


Bismillahirrahmanirrahim

Ada kisah di setiap langkah kakimu dan di tiap dentang waktu. Pun itu selalu ada cerita dari setiap benda yang kamu punya. Seperti saya punya cerita tetang kacamata yang setia membantu saya melihat dunia :)

Sejak pertama kali menggunakan kacamata di kelas VI SD, kacamata saya tidak pernah berumur panjang. Baru beberapa bulan, kacamata saya pasti akan beregenerasi alias diganti. Kacamata saya sering hilang, pecah karena jatuh, bahkan pernah patah terbelah dua karena saya duduki. Nah, karena itu selama hampir sepuluh tahun bersama dua kaca ajaib ini, kacamata saya sudah sampai di generasi ke-17. Alias, saya sudah ganti kacamata sebanyak 17 kali -,-"

But, this post will not talking about how pathetic my glasses's fate. Postingan saya kali ini akan bercerita tentang hal spesial di balik kacamata saya. Berharap cerita ini bisa betmanfaat dan menginspirasi pembaca semuanya :)

Alright. Banyak yang bilang saya adalah orang yang perfeksionis dan selalu ingin semuanya detail. Tapi, di balik semua itu saya juga orang yang ceroboh dan super duper pelupa. Ditambah lagi, saya orang yang gampang tidur di mana saja a.k.a pelor, nempel-molor :D

Kebiasaan pelor ini sering sekali muncul kalau sedang belajar. Jadi, sudah biasa bagi saya saat belajar tiba-tiba ngangguk-ngangguk ngantuk. Apalagi saat saya duduk di bangku SMA, saya jarang tidur di kasur. Biasanya saya tidur di meja belajar masih dengan posisi buku terbuka, pulpen di tangan, dan kacamata masih dipakai.

Uniknya, saat bangun tidur tidak ada yang berubah dari posisi tubuh saya dan benda di atas meja kecuali kacamata. Setiap bangun tidur, kacamata saya pasti sudah terlipat rapi di sudut meja, di dalam lemari, atau bahkan di dalam kotak kacamata di dalam tas.

Do you know who did it? Ibu atau Bapak saya. Yap, sejak pertama kali pakai kacamata sampai saat ini saya punya kebiasaan tidak mencopot kacamata saat tidur-tiduran. Apalagi kalau ditambah kebiasaan saya baca sebelum tidur, pasti kacamata tetap menempel di batang hidung saya yang seiprit ini dan baru akan aman kalau dipindahkan Ibu atau Bapak.

Dua hari lalu Ibu kembali menceramahi saya untuk membuka kacamata sebelum tidur, diam-diam ada hal berbeda yang saya rasakan. Entahlah, mungkin pengaruh sisi melankolis atau juga karena faktor diri yang semakin menyadari betapa sudah "tua"nya diri saya sebagai anak. Ketika saya heboh kehilangan kacamata yang ternyata dibenahi Ibu saat saya terlelap, sejenak terlintas dalam pikiran "saya belum berubah di usia yang sudah berinduk dua".

Melepaskan kacamata saat seseorang tertidur memang hal yang teramat simpel. Tapi bagi saya, itu seperti sebuah sweet moment di sela-sela kehidupan saya. Ketika seorang anak lelah dan terlelap dengan kacamatanya, lalu sang Ibu Bapak melepaskannya, saya pikir itu sudah cukup menunjukkan cinta kasih orang tua saya. Sayangnya, saya baru menyadari itu semua beberapa hari ini.

Kalau dipikir-pikir, apa yang dilakukan Ibu Bapak saya memang hal biasa dan teramat sederhana. Tapi dari benda dan hal sederhana inilah saya mulai belajar memahami makna cinta kasih kedua orang tua dalam bentuk sederhana. Bahwa cinta kasih orang tua tidak selalu ditunjukkan dengan hal-hal besar dan mewah. Bahwa kadang, atau bahkan lebih sering kasih dan sayang dapat dicurahkan melalui perilaku-perilaku kecil dan teramat sederhana.

Ini baru kacamata, satu benda kecil yang secara kasat mata hanya berfungsi sebagai alat bantu pengelihatan saya. Bagaimana dengan benda-benda sederhana lainnya atau dengan tindakan-tindakan kecil lainnya yang orang tua berikan kepada kita seperti menyiapkan makan setiap pagi, menelpon atau sms saat kita pulang terlambat, mengingatkan kita agar tidak terlalu banyak beraktivitas dan memikirkan istirahat, dan banyak lainnya?

Kenyataannya, apa yang dilakukan Ibu Bapak kita memang lumrah dilakukan sebagai orang tua dan sudah teramat biasa. Tapi di balik itu semua, ada cinta, kasih, dan sayang yang tiada dua.
Sekarang, mari kita hampiri kedua makhluk mulia itu. Cium kening dan tangannya. Lalu ucapkan, "Ibu, Bapak, terima kasih atas cinta kalian selama ini".
Semoga Tuhan selalu menjaga kedua orang tua kita dan menjadikan kita anak yang senantiasa berbakti pada keduanya. Amin.

-Fatinah Munir-
Gerbong Lima, 30 Agustus 2013
30 August 2013
Posted by Fatinah Munir

Cita-Citaku

Bismillahirrahmanirrahim

Dulu, saat saya masih sangat belia dan hanya mengenal sebuah kesenangan, ada satu kebiasaan unik yang sampai sekarang saya belum paham untuk apa kebiasaan itu dilakuka . Kebiasaan ini tidak hanya dilakukan oleb saya, tetapi juga oleh teman-teman sebaya saya. Sampai-sampai kebiasaan ini menjadi sebuah "musim" yang membanjiri pedagang kecil mengantungi sejumlah rupiah.

Menulis biodata, itulah kebiasaan saya duli bersama teman-teman yang -saya yakin- juga menjadi kebiasaan anak-anak lain seusia kami. Ya, biodata ini biasanya saya tulos di kertas warna-warni dengan berbagai gambar.

Apa yang di tulis dalam Biodata itu biasanya tidak jauh-jauh dari nama lengkap, tanggal lahir, zodiak, dan banyak hal lainnya. Akan tetapi, yang paling saya ingat dari bagian biodata itu adalah baris yang tertulis "cita-cita".

Dulu, saat saya masih sangat belia dan baru mengenal makna cita-cita, yang tertulis mengiringi kata itu adalah sebuah frase berbunyi "berbakti kepada kedua orang tua dan berguna bagi nusa bangsa". Ya, frase ini pun kadang tertulis di lembar Biodata teman-teman saya, meskipun beberapa teman lainnya menuliskan kata guru, dokter, insinyur, bahkan artis.

Kemudian, saat saya beranjak usia dan memasuki sekolah dasar, seorang guru berkata di depan kelas, "Kalian punya cita-cita? Kalau punya, tulis cita-citanya yang jelas mau jadi guru, dokter, atau apa". Saat mendengar kalimat itu, saya seperti tersihir dan langsung mengganti cita-cita saya menjadi dokter.
Lambat laun, saat usia saya semakin beranjak ke kepala dua, saat pemahaman akan hidup sedikit demi sedikit tertabung, saya tahu apa yang harus saya lakukan di balik kata cita-cita.

Entah apa arti cita-cita yang sesungguhnya. Apakah itu sebuah keinginan atau tujuan yang sempurna seperti termaktub dalam KBBI. Atau..., sebuah gelar dan profesi seperti kenyataan dan kebanyakan yang terjadi. Yang jelas, apapun itu cita-cita sepertinya merupakan barometer kesuksesan seseorang dalam bentuk keprofesian, seperti guru, dokter, arsitek, dan ssbagainya.

Lambat laun, seiring terkumpulnya pundi-pundi pemahaman akan makna kehidupan yang sesungguhnya, saya semakin memahami betapa kepolosan di masa belia adalah sebuah kesungguhan dari kehidupan itu sendiri. Misalnya saja pada cita-cita tadi. Saya tak habis berpikir, mungkin kita semua punya cita-cita untuk menduduki sebuah profesi bergengsi. Tapi lantas apa arti dari keprofesian tersebut?

Ketika kita hendak menjadi seorang guru, cukupkah dengan berseragam biru pekat dan berlantang di depan kelas menyampaikan pelajaran? Cukupkah demikian? Lantas adakah cita-cita dalam cita-cita itu sendiri yang membuat kita tak hanya mengejar posisi sebagai PNS, terima upah besar, dan mendapat sejumlah tunjangan? Adakah untuk menjadikan profesi sebagai sebentuk pengabdian pada Tanah dan Air yang telah sekian tahun menjadi tempat bernaung? Adakah teebersit keinginan membalas kebaikan Pertiwi yang telah menjadi pijakan selama ini?

Lebih jauh lagi, kadang saya terpekur melihat arti kehidupan ke belakang dan ke depan. Adakah apa yang saya lakukan ini bisa membalas segala kebaikan kedua orang tua saya? Adakah prestasi dan profesi bergengsi yang saya duduki turut memberi implikasi pada kedua oranf tua?

Entahlah. Setelah berpikir lama bersama makna-makna kearifan hidup saya temukan satu nilai cita-cita yang sesungguhnya. Yang dulu, saat di bangku sekolah dasar sempat diprotes seorang guru saya. Sebuah cita-cita di atas cita-cita yang niscaya menjadi lebih mulia dibandigkan kedudukan atau keprofesian apapun juga. Sebuah cita-cita yang sangat berarti meski apapun itu nanti profesinya. Cita-cita untuk menjadi insan yang senantiasa berbakti kepada kedua orang tua dan berguna bagi Indonesia.

Karena apapun dan semulia apapun kedudukan, prestasi, dan profesi saya, itu tiada arti jika saya meninggalkan bakti pada ibu bapak dan tidak berguna bagi sekitar saya. (nir)

-Fatinah Munir-
Perjalanan menuju Tanah Merah
Dalam perenungan panjang tentang arti kehidupan saya saat ini
29 August 2013
Posted by Fatinah Munir

Alarm Perjalanan Mimpi

Bismillahirrahmanirrahim

Ketika aktivitas membawa kita pada lingkar kesibukan yang berporos pada lupa
Maka siklus kehidupan adalah dentang pengingat
Bahwa saya, kamu, dan kita, kini sudah berdirj di waktu yang berbeda
Di titik yang tak sama


Dua tahun sudah saya berkutat dengan dunia bernama Pendidikan Luar Biasa. Dunia membawa saya pada sudut-sudut tak duga, yang senantiasa membuat saya tercengang, ternganga, bahkan menitikkan air mata.

Seperti nyenyak dalam tidur, saya pun terhanyut dalam dunia ini. Khusyuk bersama anak-anak berkebutuhan khusus dengan ribuan cerita, bersama temen-teman disabilitas dengan sejuta semangat, membuat saya lupa pada salah satu alasan mengapa saya ada di antara mereka. Saya lupa kalau saya adalah calon guru untuk mereka.

Tapi, beberapa hari lalu, saat kuluman senyum terlempar dari wajah-wajah baru, saya baru menyadari bahwa saya sudah separuh perjalanan menuju mimpi menjadi guru pendidikan khusus. Bahwa tinggal menunggu dua putaran bumi lagi, saya akan benar-benar menjadi guru pendidikan khusus.

Um, kalau saja wajah-wajah baru itu tidak ada, mungkin saya sudah asyik masyuk dengan dunia ini dan amnesia sejenak pada alasan yang membuat saya ada di dunia pendidikan khusus ini. Kalau saja di kampus ini adik kedua saya tidak ada, mungkin saya akan lupa bahwa perjalanan menuju akhir tinggal separuh lagi.
So, I just wanna say welcome in special word that I believe you can have incredible experiences here. And thank you so much to be here and be cap as my dream.

Tiada pengalaman yang lebih berharga selama duapuluh satu tahun ini, kecuali ketika saya bersibuk ria di dunia pendidikan khusus bersama anak-anak surga yang menggelitik pikiran dan hati saya. Bahwa saya, kamu, dan kita yang ada di dunia luar biasa ini adalah manusia-manusia yang Allah pilih menjadi bagian istimewa dari kehidupan istimewa, yang menjadi bagian dari kisah-kisah menggugah bersama anak-anak surga.

Aaaaah, semangat menikmati perjalanan luar biasa ini (lagi).

Fatinah Munir,
Selasa semangat, 27/8/2013
Perjalanan menuju kelas penuh kejutan ^_^
27 August 2013
Posted by Fatinah Munir

Menjadi Pemimpin Seperti Abah Rete

Bismillahirrahmanirrahim



Kami memanggil beliau dengan sebutan Abah, bukan karena beliau ayahanda kami. Kami memanggil beliau dengan sebutan Abah, juga bukan karena beliau seorang lelaki tua dengan rambut putih atau yang sering berkopiah haji. Kami, saya dan warga di sekitar rumah saya, memanggilnya abah sebagai bentuk penghormatan kami pada beliau.

Abah Rete, begitulah sebutan beliau sebagai Ketua RT 004 di kawasan Jati Pulo. Usia Abah Rete sebaya dengan kakak pertama saya, sekitar 30an, masih sangat muda dibandingkan pengurus-pengurus kebanyakan.

Kalau di rumah, Abah Rete bersikap amat sangat biasa dengan warganya. Kahidupan Abah Rete juga amat sangat sederhana, dengan rumah yang teramat biasa dibandingkan dengan rumah-rumah warganya. Abah Rete bergaul layaknya warga biasa. Beliau berkumpul, main catur, main karambol, dan mengikuti pengajian seperti warga pada umumnya. Aih, tiada istimewa diri Abah Rete jika dilihat dari kesehariannya. Ya, kendati beliau berlebelkan Ketua RT.

Tapi ada sisi lain Abah Rete yang saya pikir pasti tidak banyak diketahui warganya. Di balik kewibawaan dan kehumanistikkannya, Abah Rete punya bagian kehidupan yang bertolak belakang dari jabatannya sebagai pemimpin sekaligus pengayom kami, warganya.

Jadi, sepagian di setiap hari, saat saya dan warga lainnya sibuk dengan masing-masing aktivitas di rumah menuju sekolah, kampus, kantor dan lainnya, Abah Rete sudah tidak ada di rumah. Saya yakin, kecuali istrinya dan Allah SWT, tiada yang tahu persis kemana gerangan beliau pergi sepagi buta itu. Dan, begitulah seterusnya. Abah Rete tidak ada di rumah sepagian buta hingga terik siang menerpa.

Hingga pada suatu pagi yang dingin, saat langit-langit bumi bocor dan membasahi Jakarta, saat saya duduk di sisi jendela bus sambil menatap titik-titik air jatuh ke jalanan, saya melihat sosok yang tak asing lagi di mata saya sedang duduk menekuk lutut di atas terotoar yang ada di sepanjang jalan Kebon Sirih. Sosok itu bersandar pada sebatang pohon besar, berkumpul bersama pria-pria berbaju hijau dengan perkakas kebersihan di tangan mereka.

Saya tegaskan lagi mata saya untuk meyakini apa yang sedang saya lihat. Sampai-sampai saya berkali-kali membasuh embun yanh melekat di kaca jendela untuk memastikan bahwa mata saya tidak salah melihat.
Berkali-kali, hampir setiap pagi, saya kembali memusatkan pengelihatan ke sepanjang jalan Kebon Sirih, mencari sosok yang mengejutkan mata dan hati. Berkali-kali saya memusatkan pengelihatan ke arah jalan, berkali-ali juga saya melihat sosok berbaju hijau dengan perkakas kebersihan jalanan.

Betul saja. Sosok itu adalah sosok yang sangat saya kenal, sosok yang penuh dengan kewibawaan dan pembawaannya yang merakyat. Kemunculan beliau di antara pria-pria berbaju hijau menjadi jawaban atas menghilangnya beliau di sepagian buta hingga terik siang menerpa. Sosok itu adalah Abah Rete, pemimpin kami, Ketua RT kami yang akrab dengan sikapnya yang hangat.

Keesok-esokanan harinya, ketika saya yakin bahwa saya tidak salah melihat, saya bertanya pada kakak perempuan saya, "Abah Rete kerja apa selain jadi Ketua RT?". Jawab kakak saya, "Gak tahu." Pun itu jawabnya ketika saya bertanya pada orang lain.

"Abah Rete jadi tukang sapu jalanan," ucap saya suatu hari, menghantar kabar pada orang rumah.

"Ah, masa? Gak mungkin. Kamu salah lihat, kali," sangkal siapapun yang mendengar kabar dari saya.

"Beneran. Setiap pagi, kalau mau berangkat kuliah, Lis lihat Abah Rete di Kebon Sirih," jelas saya.

Siapapun yang mendengar kabar ini tetiba terdiam. Mungkin sekejut menyisakan berjuta tanya di benak mereka. Benarkah? Masa iya?

Begitulah ternyata sisi lain kehidupan Abah Rete yang mungkin masih jarang diketahui warga kebanyakan. Kendati menjabat sebagai pemimpin dan pengayom kami, warganya, Abah Rete ternyata punya pekerjaan yang (maaf) bisa dibilang rendah dibandingkan posisinya di lingkungan warga. Bahkan, pekerjaan Abah mungkin jauh tidak berkelas dibandingkan warga yang diayominya, seperti kepala pemadam kebakaran DKI Jakarta, juragan sate, juragan kontrakan, dokter, dosen, dan banyak lagi yang berprofesi tinggi di masyarakat.

Menjadi seorang tukang sapu jalanan di balik jas kepemimpinan di tingkat RT, mungkin terlihat rendah dan hina. Itu jika dilihat sepintas, sekilas pandang. Tapi, ada satu sisi mulia yang setidaknya telah Abah Rete ajarkan diam-diam kepada banyak orang, termasuk saya. Ya, terlepas dari alasan apapun itu mengapa Abah Rete memilih menjadi tukang sapu jalanan, ada banyak hal yang bisa diteladani dari sosok beliau.

Abah Rete, seperti apapun posisinya sebagai pemimpin sekaligus pengayom warga dengan segala sisi kehumanistikkannya, beliau mengajarkan untuk tetap menjadi pengayom, penjaga, meski keadaannya justru mungkin lebih buruk atau lebih rendah dibandingkan warganya sendiri. Tiada alasan bagi Abah Rete untuk bersikap gengsi dengan statusnya sebagai tukang sapu jalanan di balik posisinya sebagai Ketua RT.

Abah Rete mengajarkan untuk tidak menjadikan posisi atau jabatan sebagai pembenaran untuk bisa memanfaatkannya demi perut keluarga sendiri. Dengan menjadi tukang sapu jalanan, setidaknya Abah Rete mengajarkan bagaimana caranya tetap bertahan dalam ruang bernama kejujuran.

Seperti Abah Rete pula, dulu Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin pun mengajarkan bagaimana memepertahankan kejujuran dalam jabatan, pun itu untuk tidak mengambil keuntungan peribadi. Banyak buku-buku sirah nabawiyah yang menceritakan kepada kita bagaimana sederhananya kehidupan Rasulullah dan para sahabat di tengah kepemimpinan mereka. Bahkan, kalaupun ada di antara mereka yang kaya raya, mereka tidak segan menyerahkan harta mereka untuk kesejahteraan orang-orang yang dipimpinnya.

Terinspirasi dari sepanjang kisah ini, ada hal penting yang perlu ditanamkan bersama-bersama dalam hati. Yaitu tetap menjadikan Allah SWT sebagai tujuan dari segala tujuan, mematrikan dalam hati bahwa apapun amanah yang diberikan-Nya akan ada perhitungannya di suatu hari kelak, serta tetap belajar menjadi seorang yang merendahkan hati, meski label apapun melekat pada diri.

Semoga bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Amin. (nir)
17 July 2013
Posted by Fatinah Munir

Ketahui Kemampuan Membaca pada Murid Sejak Dini


Membaca merupakan kegiatan yang secara tidak langsung dibutuhkan oleh semua orang. Selain karena semua informasi berkembang melalui tulisan dan bacaan, membaca memiliki dampak yang cukup besar pada kehidupan seseorang. Dalam Gerakan Pemasyarakatan Budaya Baca (Edi Santono, dkk, 2005) membaca bermanfaat mengembangkan pola pikir kreatif dan rasa kebahasaan murid, memperkaya wawasan dan cita-cita murid, serta menghindari murid dari rasa tidak percaya diri dan prestasi.

Manfaat membaca seperti yang disebutkan di atas, dapat diperoleh ketika murid tidak hanya bisa membaca tetapi juga memahami apa yang dibacanya. Konteks membaca seperti ini disebut membaca pemahaman. Joyee S. Choate dkk (1995) mendefinisikan membaca pemahaman sebagai tujuan dari membaca itu sendiri.

Banyak murid yang tidak gemar membaca kerap menjadi pembahasan utama antar guru dan menjadikan murid tersebut berlabel “murid yang malas membaca”. Sebenarnya, ada beberapa faktor yang menjadi alasan mengapa murid tidak ingin membaca, salah satunya adalah murid tersebut memiliki hambatan dalam membaca pemahaman. Sehingga, hambatan tersebut membawa murid pada rasa tidak percaya diri dan memutuskan untuk lebih baik tidak membaca. Bagaimmuridah cara mengetahui kandala membaca yang dimiliki murid? Untuk menjawab pertanyaan ini, hendaknya terlebih dahulu kita memahami apa itu membaca pemahaman dan komponen-komponen apa saja yang ada di dalam membaca pemahaman.

            Dalam Choate dkk (1995) dikatakan menurut Heilman dkk (1994) bahwa membaca pemahaman merupakan proses konstruktif yang mana melalui bacaan tersebut pembaca mampu menghubungkan pengetahuan dan pengalamannya untuk membangun atau mengonstruksi sebuah pemahaman baru. Choate dkk (1995), membagi membaca pemahaman ke dalam empat kelompok, yakni (1) pemahaman literal, (2) pemahaman interpretasi, (3) pemahaman kritis, dan (4) pemahaman makna kata dalam konteks bacaan atau kalimat.

            Membaca pemahaman literal. Kemampuan membaca pemahaman literal umumnya dianggap sebagai kemampuan memahami yang paling dasar.  Murid dianggap menguasai tahap ini apabila murid dapat membaca dan mengerti kalimat untuk membangun rincian fakta dan rangkaian kejadian dalam bacaan. Pada tahap ini murid harus mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan eksplisit yang jawabannya terdapat dalam teks bacaan. Umumnya, murid sudah mampu mambaca pemahaman literal sejak pertama kali murid bisa membaca, yakni pada kelas 2 SD.

Untuk mengetahui kemampuan murid pada tahap ini, guru bisa memberikan murid suatu bacaan sederhana yang di dalamnya mengandung kalimat sederhana. Setelah itu guru memberikan pertanyaan yang jawabannya tersurat (eksplisit) atau dapat ditemukan hanya dengan membaca bacaan tersebut yang berupa detail fakta dan urutan kejadian. Apabila murid mampu menjawab pertanyaan berdasarkan teks bacaan yang dibacanya, artinya murid memiliki kemampuan membaca pemahaman literal.

Membaca pemahaman interpretasi. Kemampuan membaca pemahaman interpretasi disebut sebagai membaca di antara bacaan (between the lines) yang mana melibatkan kemampuan berpikir murid yang lebih tinggi dibandingkan kemampuan membaca literal. Maksudnya, pada tahap ini murid tidak hanya mampu memahami informasi yang tersurat dalam teks bacaan, tetapi murid juga mampu memahami informasi atau arti yang tersirat dalam teks bacaan. Dengan demikian, pada tahap ini hendaknya murid sudah mampu memahami ide utama, hubungan sebab-akibat, kesimpulan, serta menyintesis informasi dari pengalaman dan pengetahuan yang telah diperoleh murid sebelumnya.

            Guru dapat mengetahui kemampuan murid pada tahap ini dengan memberikan murid sebuah teks bacaan. Setelah itu, guru memberikan pertanyaan yang berhubungan dengan ide utama bacaan, hubungan sebab-akibat yang tersirat (implisit) dalam bacaan, serta kesimpulan yang dapat murid ambil dari bacaan tersebut. Sama seperti kemampuan membaca literal, kemampuan membaca interpretasi ini hendaknya sudah dimiliki murid sejak kelas 2 SD. Hanya saja, semakin tinggi tingkat kelas seorang murid, tingkat kemampuan intrepretasinya semakin tinggi pula.

            Membaca pemahaman kritis. Kemampuan membaca pemahaman kritis merupakan hasil dari membaca di balik dan di luar bacaan (behind and beyond the lines) salah satu tindakan dari membaca dan untuk mengevaluasi teks bacaan. Kemampuan membaca kritis lebih mengarah pada kemampuan murid mengevaluasi atau mengometari sudut pandang penulis, memahami bacaan dengan menyortir informasi yang relevan dan tidak relevan, pendapat, dan memahami teknik propaganda yang digunakan penulis dalam tulisannya. Dengan kata lain, kemampuan mambaca pemahaman kritis ditekankan untuk mengembangkan kemampuan murid dalam membaca dan bertanya.

            Untuk mengatahui kemampuan murid pada tahap ini, guru dapat memberikan murid teks bacaan dan memberikan sejumlah pertanyaan yang dapat menstimulus kekritisan murid. Misalnya saja pertanyaan “Apakah kamu setuju dengan yang dituliskan penulis?”, atau “Mengapa kamu setuju dengan yang dikatakan penulis?”, atau “Apa alasanmu tidak setuju dengan yang dikatakan penulis?”, dan pertanyaan lainnya yang membuat murid menyampaikan pendapatkan mengenai apa yang dibacanya.

            Membaca pemahaman makna kata dalam konteks bacaan atau kalimat. Kemampuan membaca pemahaman makna kata dalam konteks merupakan tingkat terakhir dalam membaca pemahaman. Membaca pemahaman makna dalam konteks masuk ke dalam membaca pemahaman karena kemampuan ini merupakan lanjutan dari kemampuan murid mengenal kata yang secara langsubg membantu murid memahami apa yang dibacanya.

            Seorang murid mungkin bisa memahami kata yang tidak disandingkan dengan kata lain. Akan tetapi, murid akan menemukan rangkaian kata yang menjadi kalimat dalam sebuh teks bacaan. Rangkaian kata inilah yang harus dimengerti murid dalam membaca, sehingga murid dapat menerima informasi dari teks bacaan secara utuh. Tanpa kemampuan ini, murid tidak akan mampu memahami konteks bacaan secara keseluruhan dan murid dapat dikatakan memiliki keterbatasan yang pada pemahamannya.

            Demikianlah kemampuan membaca pemahaman terbagi ke dalam empat bagian yang cukup kompleks, sehingga seorang murid dapat dikatakan mampu mambaca tidak hanya dengan kemampu membaca tulisan atau sebuah teks bacaan. Akan tetapi, murid dapat dikatakan bisa membaca apabila murid mampu memahami apa yang dibacanya, mulai dari memahami secara eksplisit (tersurat), kemampuan memahami hal-hal implisit (tersirat), hubungan sebab-akibat, menyimpulkan isi teks bacaan, hingga mampu memberikan kritik pada isi teks bacaan.

Berdasarkan penjelasan tentang kemampuan membaca  pemahaman ini guru hendaknya memahami setiap tingkatan pada kemampuan membaca pemahaman. Hal ini agar guru mengetahui apakah murid malas membaca atau memang tidak bisa memahami bacaannya dan guru bisa memberikan penanganan yang tepat pada murid.


(*) Tulisan ini pernah dipublikasikan di Kartunet.com
25 June 2013
Posted by Fatinah Munir

Merefleksikan Cita-Cita

Bismillahirrahmanirrahim

Dulu, saat saya masih sangat belia dan hanya mengenal sebuah kesenangan, ada satu kebiasaan unik yang sampai sekarang saya belum paham untuk apa kebiasaan itu dilakukan. Kebiasaan ini tidak hanya dilakukan olehsaya, tetapi juga oleh teman-teman sebaya saya. Sampai-sampai kebiasaan ini menjadi sebuah "musim" yang membanjiri pedagang kecil mengantungi sejumlah rupiah.

Menulis biodata, itulah kebiasaan saya dulu bersama teman-teman yang -saya yakin- juga menjadi kebiasaan anak-anak lain seusia kami. Ya, biodata ini biasanya saya tulis di kertas warna-warni dengan berbagai gambar.
Apa yang di tulis dalam Biodata itu biasanya tidak jauh-jauh dari nama lengkap, tanggal lahir, zodiak, dan banyak hal lainnya. Akan tetapi, yang paling saya ingat dari bagian biodata itu adalah baris yang tertulis "cita-cita".

Dulu, saat saya masih sangat belia dan baru mengenal makna cita-cita, yang tertulis mengiringi kata itu adalah sebuah frase berbunyi "berbakti kepada kedua orang tua dan berguna bagi nusa bangsa". Ya, frase ini pun kadang tertulis di lembar Biodata teman-teman saya, meskipun beberapa teman lainnya menuliskan kata guru, dokter, insinyur, bahkan artis.

Kemudian, saat saya beranjak usia dan memasuki sekolah dasar, seorang guru berkata di depan kelas, "Kalian punya cita-cita? Kalau punya, tulis cita-citanya yang jelas mau jadi guru, dokter, atau apa". Saat mendengar kalimat itu, saya seperti tersihir dan langsung mengganti cita-cita saya menjadi dokter. Lambat laun, saat usia saya semakin beranjak ke kepala dua, saat pemahaman akan hidup sedikit demi sedikit tertabung, saya tahu apa yang harus saya lakukan di balik kata cita-cita.

Entah apa arti cita-cita yang sesungguhnya. Apakah itu sebuah keinginan atau tujuan yang sempurna seperti termaktub dalam KBBI. Atau..., sebuah gelar dan profesi seperti kenyataan dan kebanyakan yang terjadi. Yang jelas, apapun itu cita-cita sepertinya merupakan barometer kesuksesan seseorang dalam bentuk keprofesian, seperti guru, dokter, arsitek, dan sebagainya.

Lambat laun, seiring terkumpulnya pundi-pundi pemahaman akan makna kehidupan yang sesungguhnya, saya semakin memahami betapa kepolosan di masa belia adalah sebuah kesungguhan dari kehidupan itu sendiri. Misalnya saja pada cita-cita tadi. Saya tak habis berpikir, mungkin kita semua punya cita-cita untuk menduduki sebuah profesi bergengsi, tapi lantas apa arti dari keprofesian tersebut?

Ketika hendak menjadi seorang guru, cukupkah dengan berseragam biru pekat dan berlantang di depan kelas menyampaikan pelajaran? Cukupkah demikian? Lantas adakah cita-cita dalam cita-cita itu sendiri yang tak hanya mengejar posisi sebagai PNS, terima upah besar, dan mendapat sejumlah tunjangan? Adakah untuk menjadikan profesi sebagai sebentuk pengabdian pada Tanah dan Air yang telah sekian tahun menjadi tempat bernaung? Adakah teebersit keinginan membalas kebaikan Pertiwi yang telah menjadi pijakan selama ini? 

Lebih jauh lagi, kadang saya terpekur melihat arti kehidupan ke belakang dan ke depan. Adakah apa yang saya lakukan ini bisa membalas segala kebaikan kedua orang tua saya? Adakah prestasi dan profesi bergengsi yang saya duduki turut memberi implikasi pada kedua orang tua? Atau adakah Allah dalam setiap langkah menuju cita-cita?

Entahlah. Setelah berpikir lama bersama makna-makna kearifan hidup yang terus tumbuh di kepala, saya temukan satu nilai cita-cita yang sesungguhnya. Yang dulu, saat di bangku sekolah dasar sempat diprotes seorang guru saya. Sebuah cita-cita di atas cita-cita yang niscaya menjadi lebih mulia dibandingkan kedudukan atau keprofesian apapun juga. Sebuah cita-cita yang sangat berarti meski apapun itu nanti profesinya. Cita-cita yang bernafskan ibadah pada-Nya, untuk menjadi insan yang senantiasa berbakti kepada kedua orang tua dan berguna bagi Indonesia.

Karena apapun dan semulia apapun kedudukan, prestasi, dan profesi saya, itu tiada arti jika saya meninggalkan bakti pada ibu bapak dan tidak berguna bagi sekitar saya. Wallahu a'lam.

Semoga Allah senantiasa berada dalam dekapan, Menguatkan setiap langkah, Menaungi setiap usaha, Memberkahi setiap yang didapatkan. Amin. (nir) 
19 June 2013
Posted by Fatinah Munir

Menulis; antara Ladang Amal dan Lahan Bisnis


Bismillahirrahmanirrahim

Tulisan ini saya buat dua tahun lalu. Saat membaca tulisan ini yang terkungkung dalam salah satu folder tulisan, saya kembali merefleksi hati dan pikiran. Berharap refleksi ini bisa dirasakan teman-teman juga, maka tulisan ini saya publikasikan di blog sederhana ini. Have a nice read, Guys!

***


Menulis, bagi saya adalah lebih dari sekadar sebuah aktivitas menyampaikan menuangkan gagasan melalui rangkaian kata. Melaluinya saya bisa mengenal dunia, mengenal siapa saya, dan siapa orang-orang yang ada di sekitar saya. Pun dari menulis, saya tahu bagaimana sebuah wisdom diaplikasikan dalam segala lini kehidupan manusia.

Makna menulis yang terakhir itu saya dapatkan setelah beberapa tahun menyeriusi dunia literasi, yakni sejak saya mulai belajar bagaimana menulis yang baik hingga saya dipercayai guru-guru saya untuk menulis di media yang digarapnya.

Pada 2010 lalu, saat saya baru menyandang predikat sebagai mahasiswa Farmasi FKIK UIN merupakan cikal bakal saya mengenal dunia literasi secara formal. Di awal perkuliahan, saya mendaftarkan diri menjadi anggota baru FLP Ciputat yang kesekretariatannya sangat dekat dengan kampus. Di sinilah saya mengenal banyak penulis muda yang berbakat, penulis-penulis senior yang menginspirasi, dan teman-teman seperjuangan yang menginspirasi dalam menulis.

Selama satu tahun menjadi anggota sekaligus pengurus FLP Ciputat, saya lebih banyak menulis fiksi dan beberapa tulisan ringan yang biasa saya tulis di atas bus melalui hape dan saya kurung dalam blog pribadi atau catatan facebook saya. Selama bergabung dengan FLP Ciputat ini saya juga menjadi lebih sering mengikuti lomba-lomba menulis dan lebih sering berbincang dengan beberapa penulis yang sudah punya nama.

Sampai sekarang, meskipun sudah memiliki beberapa antologi bersama teman-teman FLP, saya masih belum memiliki keberanian untuk menerbitkan buku solo. Alasan yang selalu keluar dari mulut saya adalah saya belum berani menulis solo dengan ilmu yang sedikit ini. Cukup naif memang alasannya. Tapi memang itu alasan terkuat yang datang dari hati saya dan masih saya pegang hingga saat ini.

Berangkat dari alasan inilah saya selalu berhati-hati dalam menulis. Salah satu pemahaman yang saya pegang dari agama saya adalah semua ada pertanggungjawabannya. Pun itu dengan rangkaian kalimat yang saya sampaikan melalui tulisan. Nah, memasuki dunia kepenulisan yang lebih serius ini, saya –dan saya yakin semua penulis juga –mulai dihimpit oleh dua hal yang membuat saya harus berpikir ulang. Yakni dua hal besar yang berbeda; menulis untuk ladang amal atau untuk bisnis kepenulisan.

Tulisan ini saya buat karena saya sempat terkejut ketika beberapa hari lalu (17 Januari 2011) membaca tulisan penulis muda sekaligus senior saya yang cukup saya kenal. Tulisannya mejeng di salah satu koran lokal. Tema yang diusung penulis muda ini adalah “Berbisnis dalam Kepenulisan”. Saat membaca judul ini spontan saya langsung mengerutkan dahi.

Memang, yang saya ketahui organisasi kepenulisan yang saya ikuti ini memiliki literari agency yang bekerja sama dengan banyak penerbit di Indonesia. Beberapa teman penulis yang saya kenal dan bergabung dalam kelas perbukuan (dalam FLP Ciputat ada enam kelas kepenulisan, salah satunya adalah kelas perbukuan) menulis ketika ada “orderan” dari penerbit. Tentu saja siapa saja yang bergabung dalam kelas perbukuan bisa menulis untuk “orderan” ini. Ya, sekalipun yang menulis ini bukanlah orang yang ahli dalam bidangnya. Dan biasanya, mereka yang bergabung dalam “proyek” ini mengambil sumber dari banyak media terutama internet.

Melihat pola di atas, saya agak kurang sreg. Entahlah, kata orang saya perfeksionis sehingga apa yang saya kerjakan harus benar-benar benar dan terlihat sempurna. Tapi kali ini penekanannya bukan perihal sempurna atau tidaknya sebuah tulis, melainkan kebenaran dari apa yang saya tuliskan yang saya sebut sebagai prinsip kebenaran informasi.

Pernah seorang senior di FLP Ciputat meminta saya menulis sebuah buku nonfiksi yang sesuai dengan bidang saya, yakni farmasi. Buku itu sempat saya tulis hingga beberapa bab, tapi tulisan itu saya diamkan hingga sekarang. Sebenarnya, bukan karena pikiran saya buntu dan tidak mampu meneruskan. Hanya saja, saya yang masih kuliah merasakan ada keganjalan dengan hal-hal yang saya tulis. Saya masih merasa teramat sangat kurang ilmu untuk menuliskan buku kesehatan yang notabene memerlukan keakuran data. Apalagi tema yang saya angkat adalah kesehatan dan pengobatan dalam Islam. Dalam hal ini harus ada kesinkronan antara al-Qur’an, hadits, fakta, dan penelitian. Alhasil, prinsip kebenaran informasi ini membuat saya menghentikan “proyek” ini.

Karena “mogok” menulis, beberapa orang yang saya kenal sempat menyayangkan keputusan saya. Tapi saya tetap keukeuh pada pilihan saya, bahwa apa yang saya tulis harus hal yang benar, bukan sekadar “comot” dari apa yang saya baca. Saya bertekad bahwa apa yang saya tulis harus sesuatu yang sudah saya kuasai, agar nantinya tidak salah tulis dan malah menyesatkan pembacanya apalagi jika proses menulis ini hanya dijadikan alat merauk sejumlah keuntungan finansial.

Agama saya mengajarkan bahwa segala sesuatu bermula dari niat, demikian juga dalam hal menulis. Dan saya pun mulai memutar balik kronologi keterlibatan saya dalam dunia kepenulisan. Alasan pertama saya menulis adalah karena saya ingin menyampaikan apa-apa yang saya ketahui kepada banyak orang. Selain itu, karena saya sangat menyukai sastra, saya ingin mengekspresikan pikiran dan opini-opini saya kepada banyak orang melalui sastra (karena konsen saya selama di FLP Ciputat adalah di kelas Sastra dan Novel), persis seperti yang dilakukan Taufik Ismail dan Bunda Helvy Tiana Rosa. Karena dua alasan inilah kadang saya mulai ragu ketika ada yang menawari “proyek” tulisan dengan tujuan utama uang.

Memang munafik jika saya berkata saya tidak menginginkan uang atau honor dari tulisan saya, tapi honor bukan tujuan utama saya dalam menulis. Seperti yang diajarkan oleh agama saya, kata pertama yang disampaikan dalam proses turunnya al-quran adalah “Bacalah!” Bagi saya, sepenggal kata perintah ini bukan sekadar seruan untuk membaca, melainkan sebuah perintah edukasi dan pengembangan diri yang dimulai dengan membaca dan dilanjutkan melalui pena.

Semua orang tahu bahwa sebuah karya (tulisan atau apapun itu) memiliki umur yang lebih panjang dari pemilikinya. Nah, jika karya kita yang berupa tulisan atau buku itu bisa memberikan inspirasi positif dalam kebaikan, pasti sangat menyenangkan. Dan menjadi satu hal yang mengerikan ketika tulisan yang kita tinggalkan tak dapat kita pertanggungjawabkan isi dan dampaknya di akhirat kelak. Apalagi jika tulisan itu justru membawa perubahan buruk pada pembacanya. Na’udzubillah.

Untuk mengakhiri tulisan ini, himpitan antara ladang amal dan lahan bisnis dalam kepenulisan memang menjadi urusan personal penulis. Tapi, sebagai seorang yang masih belajar menulis, saya berharap agar saya tetap istiqomah dalam niat menulis saya, yakni menulis untuk berbagi ilmu yang bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan.

Semoga Allah mengistiqomahkan kita semua. Semoga semua tulisan kita, buku-buku yang nantinya kita terbitkan pun dapat memberi manfaat, mengispirasikan kebaikan, dan membawa keberkahan bagi kita dan bagi yang membacanya. Jika karya kita sudah berkah, insya Allah perihal honor dan embel-embel lainnya membuntuti dan mengerumuni. Amin. Insya Allah.

Salam literasi!
Semoga bermanfaatdan menginspirasi pada kebaikan! :) 
24 May 2013
Posted by Fatinah Munir

My First Step to Around The World :’)


Bismillahirrahmanirrahim

Maka lihatlah sekelilingmu, karena ada banyak hal yang dapat mengingatkanmu betapa berartinya dirimu saat ini. Maka pergilah sejauh yang kamu mampu, karena akan kamu temui betapa kerdil dirimu di atas tanah Tuhanmu. Maka bermimpilah, karena Tuhan akan Memeluk mimpi-mimpimu. Lalu hiduplah bersama kesyukuranmu atas nikmat yang senantiasa Tuhan kucurkan kepadamu meski tidak kamu minta.
(Lisfatul Fatinah Munir)





Bermimpi adalah satu aktivitas yang teramat saya senangi. Bagaimana tidak senang, bermimpi bukanlah hal terlarang, tidak juga berbayar. Lagi pula, dengan bermimpi saya bisa terus menatap dunia dengan semangat kehusnuzonan.  Tapi ada satu hal yang perlu dicatat tebal-tebal, bahwa senang bermimpi bukan berarti terus berangan-angan. Perlu ada keseimbangan antara mimpi, realitas, dan usaha di sini. Bahwa mimpi tidak ujug-ujug datang membangunkan untuk digenggam. Harus ada tindakan nyata sebagai bukti dari keikhtiaran dan keyakinan akan terwujudnya mimpi tersebut.

Sebagai seorang pemimpi, salah satu mimpi yang saya punya adalah keliling dunia. Entahlah, bagaimana pun caranya, saya percaya bahwa suatu hari nanti Tuhan Memperkenankan saya menginjakkan kaki di belahan bumi-Nya yang lain.

Mimpi berkeliling dunia ini semakin kuat, ketika satu setengah tahun lalu seorang senior saya di FIP UNJ menceritakan mimpinya pergi ke luar negeri dan itu terwujud saat beliau menduduki tahun kedua di kampus. Apa resepnya? Beliau berkata, dare your dream and action now! Berani bermimpi dan bergeraklah sejak saat ini!

Satu lagi yang saya ingat dari ucapan beliau adalah, “Buat paspor sejak sekarang, karena paspor menjadi kunci untuk membuka pintu keliling dunia!” Satu setengah tahun sudah kalimat itu ada dalam kepala saya tanpa ada kesempatan untuk melaksanakan saran –lebih tepatnya motivasi– dari beliau.

Selama hampir dua tahun ini saya habiskan waktu untuk meraih mimpi lain yang lebih sederhana, yang masih bisa saya  lakukan untuk sekeliling saya. Kini, saya pikir sudah saatnya untuk benar-benar melakukan langkah pertama menuju mimpi besar ini. So, awal bulan ini saya tekadkan diri membuat langkah pertama untuk mewujudkan mimpi keliling dunia; membuat paspor.

Yup! Tahun 2013 ini saya curahan seluruh semangat untuk keliling Indonesia dan dunia. Saya targetkan bulan ini saya harus memegang paspor, meskipun saya belum tahu kapan saya akan berangkat ke luar negeri dan negara apa yang pertama kali akan saya kunjungi. Akan tetapi, sebagai seorang yang selalu berusaha berprasangka baik pada Tuhan, saya percaya cepat atau lambat paspor ini pasti akan digunakan!

So, awal bulan Mei ini saya sisihkan uang tabungan untuk biaya administrasi. Semua berkas saya siapkan di dalam sebuah map sederhana seharga Rp2000,- dengan tulisan BIKIN PASPOR.

Berjuang Memijakkan Langkah Pertama

Selasa, 7 Mei 2013. Saya datang ke Kantor Imigrasi Jakarta Timur pukul 7.30 WIB. Saat itu dengan  PD-nya saya langsung masuk ke dalam gedung sambil mengingat-ingat prosedur pembuatan paspor yang sudah saya pelajari melalui internet.  Saat saya melewati meja receptionis, ternyata antrean nomor permohonan paspor sudah sampai ruang tunggu, sedangkan loket permohonan paspor ada di lantai 2 dengan jarak kurang lebih 100 meter dari tempat saya berdiri.

“Antrean dibuka hanya sampai nomor 150, setelah itu yang tidak kebagian nomor silahkan pulang dan kembali lagi besok,” teriak seorang petugas kantor pada antrean pemohon. Sejak itu, muncullah banyak kicauan dari depan belakang saya.

Meskipun katanya nomor permohonan sudah habis sebelum tiba giliran saya, tapi saya tetap optimis.  Wal hasil, saya menunggu hingga saya bisa menginjakkan kaki saya di lantai dua. Tapi, baru lima langkah dari anak tangga terakhir, seorang petugas berteriak dari dalam, “Nomor antrean habiiiiiis!” Then, hari pertama pulang dengan cengiran tidak jelas. Antara bingung dan kesal xD

Rabu, 8 Mei 2013. Di hari kedua ini saya datang lebih cepat satu jam dari sebelumnya. Pukul 6.30 WIB saya sudah turun dari Transjakarta di Shulter Imigrasi Jakarta Timur. Eng ing eng. Ternyata barisannya lebih mengejutkan dari hari sebelumnya. Saya ada dibarisan paling belakang, paling pojok, di parkiran mobil >,< Saat masuk barisan, saya tertawa sendiri. Agak stres juga melihat barisan yang “mengagumkan” ini. Ternyata, orang Indonesia banyak juga yang mau ke luar negeri :)

Yup! Saya bersama barisan orang yang ingin ke luar negeri ini pun menunggu satu setengah jam smapai pintu loket dibuka. Alhadulillah, pukul 8.00 WIB saya sudah ada di lantai atas, beberapa meter menuju loket pengambilan nomor permohonan. Senyuman saya pun mengembang. But, tarataraaaaaa, lima langkah lagi menuju loket pengambilan nomor permohonan muncul suara melengking, “Nomor antrean habiiiiiis!” Seketika itu juga kembang senyum di bibir saya layu! -,-“ Saya berbalik badan sambil senyum-senyum sendiri. Sabar, Lis! :)

Esok harinya saya tidak ke Kantor Imigrasi, karena tanggal merah dan kantornya libur. Hehe. Tapi, malam harinya saya membuat rencana berbeda, yakni mengambil nomor antrean via online. Malam itu juga semua berkas saya unggah. Alhamdulillah, malam itu juga saya dapat formulir online :)

Dua hari kemudian, Jumat, 10 Mei 2013. Dengan senyum sumbringah dan sengaja datang telat (karena sudah antre nomor via online), saya datang ke Kantor Imigrasi Jakarta Timur. Alhamdulillah, saya menjapat nomor antrean permohonan. Kabar baiknya, jika permohonan manual harus menunggu 3 hari lagi untuk foto dan wawancara, permohonan via online langsung melakukan foto dan wawancara di hari itu juga. Alhamdulillah ^_^

Well, satu hari penuh saya habiskan di Kantor Imigrasi Jakarta Timur untuk antre foto dan wawancara. Empat hari kerja setelahnya, saya pun memegang paspor saya. Alhamdulillah ‘alaa kulli ni’mah :)

Langkah Pertama yang Terjejak! :’)

Alhamdulillah, Kamis, 16 Mei 2013 saya sudah memegang paspor 48 halaman. Seperti yang saya tuliskan di awal catatan ini. Membuat paspor ini menjadi satu dari banyak ikhtiar untuk mengenggam mimpi saya. Ini adalah sebentuk usaha sederhana saya untuk menyeimbangkan antara mimpi dan realita yang saya punya.

Insya Allah, adanya paspor di genggaman saya menjadi bahan bakar semangat untuk bisa menginjakkan kaki di Tanah Haram, menghirup udara musim panas di Eropa, menggenggam dinginnya salju di Asia Timur, menyaksikan purnama di Amerika, dan melihat hamparan gurun di Afrika. Amin.

Dalam 48 lembaran paspor ini segera terisi cap imigrasi dari 24 negara berbeda (karena satu negara memberi dua kali cap). My first step to around the world, may blessed God and it give me more than experience, more than science. Amin :’)

Untuk teman-teman yang punya mimpi sama dengan saya, ayo segera membuat paspor! Kita memang tidak tahu kapan kita diberikan kesempatan menginjakkan kaki di negara lain. Tapi, sekali lagi, paspor adalah kunci untuk membuka pintu peluang menuju belahan lain dunia. Dan membuat paspor adalah salah satu usaha, prasangka baik, dan keoptimisan bahwa Tuhan pasti Memberikan kita kesempatan untuk mengunjungi tanah-Nya yang lain. ^_^

Teruslah berani bermimpi dan semangat mewujudkan mimpi. Sertakan Tuhan dalam mimpi-mimpi kita, niatkan segalanya semata untuk Tuhan juga untuk belajar lebih banyak lagi dari ciptaan-Nya, dan pastikan semua mimpi-mimpi kita untuk memuliakan kedua orang kita. Bismillah!

Terakhir, teringat sebuah kalimat dari Ali ibn Abi Thalib r.a. Kehormatan seseorang tergantung pada derajat cita-citanya. Cita-cita yang luhur menumbuhkan obsesi yang tinggi, obsesi yang tinggi menumbuhkan kesuksesan yang besar.” Semoga cita-cita kita membawa kita pada keluhuran dan keridhoan-Nya. Amin :)
Posted by Fatinah Munir

Komunikasi Anak dengan Autis


Komunikasi merupakan salah satu hal yang sangat dibuttuhkan manusia sebagai makhluk sosial. Melalui komunikasi, dua individu atau lebih bisa saling bertukar informasi, bertukar pikiran, dan saling memahami kemauan antar satu sama lainnya. Menurut Wilson (1987) dalam Kathleen Ann Quill (1995) dikatakan bahwa dalam komunikasi dibutuhkan lebih dari sekadar kemampuan untuk rangkai kata-kata dalam urutan yang tepat, tetapi dibutuhkan juga hubungan saling memahami apa yang dikomunikasikan.

Komunikasi dapat dikatakan sebagai kemampuan untuk membiarkan orang lain mengetahui apa yang diinginkan individu, menjelaskan tentang sesuatu kepada orang lain, serta untuk mengetahui sesuatu dari orang lain. Dengan kata lain, komunikasi merupakan suatu aktivitas sosial antar dua orang atau lebih untuk dapat saling bertukar informasi yang dilakukan  secara verbal dan nonverbal.

Bertolak pada pengertian komunikasi di atas, mari kita tengok pola atau karakteristik komunikasi anak autis. Dalam DSM IV (Diagnostic Statistical Manual 1994) dikatakan bahwa seorang anak dapat dikatakan menyandang keautistikan ketika perkembangan bicaranya lambat atau sama sekali tidak berkembang dan tidak ada usaha mengimbangi komunikasi dengan  cara lain; jika anak bisa berbicara, bicaranya bukan untuk komunikasi; sering menggunakan bahasa yang aneh dan berulang; pola bermain anak yang kurang variatif, kurang imajinatif, dan kurang bisa meniru.

Untuk menguatkan karakteristik komunikasi anak autis, Christopher Sunu (2012) menyatakan beberapa indikator perilaku komunikasi dan bahasa yang mungkin ada pada anak autis. Di antaranya adalah ekspresi wajah datar, ridak menggunakan bahasa atau isyarat tubuh, jarang memulai komunikasi, tidak meniru aksi atau suara, berbicara sedikit atau tidak ada sama sekali, membeo kata, intonasi bicara aneh, tampak tidak mengerti kata, serta mengerti dan menggunakan kata secara terbatas.

Dari sekian banyak ciri yang tertera di atas, membeo atau ekolalia merupakan ciri utama anak autis sebagai gangguan kualitatif dalam perkembangan komunikasi. Contoh dari ekolalia adalah seorang anak autis bisa secara terus menerus mengulang satu kata atau kalimat atau nyanyian tanpa dimengerti artinya. Ciri ekolalia ini biasanya dimiliki penyandang autis muda dengan kemampuan verbal. Akan tetapi, ciri ekolalia bukanlah satu ciri yang penting karena dalam perkembangan anak umum juga terdapat fase di mana anak mulai bisa meniru dan selalu mengulang kata yang baru dikenalnya. Untuk membedakannya dengan anak autis, orang tua dapat mengetahuinya dengan cara apakah anak menyerti arti kata yang didengar atau diucapkannya.

Selain ekolalia, ciri lain yang menonjol dan perlu diperhatikan lingkungan anak autis adalah anak autis memiliki keterbatasan memahami atau menggunakan kata dan hanya menggunakan atau memahami kata secara harfiah, dengan kata lain anak autis memiliki keterbatasan dalam memahami kiasan atau sindiran. Karena keterbatasan inilah, orang tua, guru, dan lingkungan anak autis hendaknya menggunakan kalimat yang to the point atau langsung pada apa yang dimaksud. Ketika berbicara dengan anak autis, hindari kalimat yang berbelit atau penuh dengan kiasan karena anak akan kebingungan mengartikan kalimat yang didengarnya.

Jika dalam suatu komunikasi dilakukan interaksi dua arah, pada komunikasi anak autis biasanya dilakukan hanya satu arah. Misalnya, dua orang berkomunikasi seperti biasa untuk dapat saling memberi dan menerima informasi, tetapi anak autis berkomunikasi hanya untuk menerima informasi atau memberi informasi. Untuk itu komunikasi anak autis bukanlah “berbicara dengan” yang melibatkan hubungan dua arah, melainkan satu arah.

Selain mengetahui beberapa ciri penting di atas, orang tua hendaknya memiliki pengetahuan perkembangan bahasa dan komunikasi yang dimiliki anak pada umumnya. Pengetahuan ini penting karena orang tua bisa membandingkan langsung perkembangan bahasa dan komunikasi yang dimiliki anak.

Beberapa ciri komunikasi anak autis di atas tidak melulu harus dimiliki oleh satu orang anak autis. Semua ciri ini hanya bersikap menyeluruh atau komprehensif. Mungkin saja seorang anak autis memiliki separuh ciri di atas, atau mungkin hanya sepertiganya. Kendati demikian, banyak atau tidaknya ciri yang ada dalam diri anak autis bukan penghalang orang tua untuk melakukan penanganan terbaik. Sedikit ataupun banyak ciri-ciri yang dimiliki anak autis tetap harus mendapatkan penanganan untuk mengurangi perilaku keautistikannya.


(*) Tulisan in i pernah diposting di kartunet.com dengan judul "Pola Komunikasi Anak Autis"

12 May 2013
Posted by Fatinah Munir
Tag :

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -