Archive for August 2012
Pengertian Autisme
Autis berasal dari bahasa Yunani, dari kata “autos” yang
berarti sendiri. Dalam kamus psikologi umum (1982), autisme berarti preokupasi
terhadap pikiran dan khayalan sendiri atau dengan kata lain lebih banyak
berorientasi kepada pikiran subyektifnya sendiri daripada melihat kenyataan
atau realita kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, penyandang autis sering
disebut orang yang hidup di “alamnya” sendiri.
Dulu anak-anak yang mengalami gangguan autis sering dideskripsikan
dalam berbagai istilah seperti chilhood schizophrenia (Bleuer),
sedangkan Margareth Mahler (1952) menyebutnya dengan symbiotic psychotic
children dengan gejala-gejala tidak dapat mengembangkan self-object
differentiation.
Belakangan istilah psikosis cenderung dihilangkan, dan dalam
Diagnostic and Statistical Maunal of Mental Disorder edisi IV (DSM-IV)
autis digolongkan sebagai gangguan perkembangan pervasif (pervasive
developmental dis-orders), secara khas gangguan yang termasuk dalam kategori
ini ditandai dengan distorsi perkembangan fungsi psikologis dasar majemuk yang
meliputi perkembangan keterampilan sosial dan bahasa, seperti perhatian,
persepsi, daya nilai terhadap realitas, dan gerakan-gerakan motorik.
Autis pertama kali dikemukakan oleh Dr. Leo Kanner 1943 seorang
psikiatris Amerika. Istilah autisme dipergunakan untuk menunjukkan suatu gejala
psikosis pada anak-anak yang unik dan menonjol yang sering disebut Sindrom
Kanner (untuk membedakan dengan sidrom Asperger atau autis Asperger). Ciri yang
menonjol pada sindrom Kanner antara lain ekspresi wajah yang kosong seolah-olah
sedang melamun, kehilangan pikiran dan sulit sekali bagi orang lain untuk
menarik perhatian mereka atau mengajak mereka berkomunikasi.
Dampak Gangguan Emosi dan Tingkah Laku bagi Anak dan Lingkungan
Gangguan
atau hambatan emosi dan tingkah laku yang dialami anak GETL mempunyai dampak
negative bagi dirinya sendiri maupun lingkungan sosialnya. Perasaan tidak
berguna bagi orang lain, perasaan rendah diri, tidak percaya diri, perasaan
bersalah, dan lain sebagainya menyebabkan anak GETL merasakan adanya jarak
dengan lingkungannya.
Salah
satu dampak serius yang dialami anak GETL adalah tekanan batin berkepanjangan
sehingga menimbulkan perasaan merusak diri sendiri. Apabila anak GETL kurang
mendapatkan perhatian dan penanganan dengan segera, anak GETL akan semakin
terperosok dan jarak yang memisahkan anak dari lingkungan sosialnya akan
semakin bertambah besar.
Terkait
tekanan batin yang berkepanjangan ini, Schloss (Kirk dan Gallagher, 1986)
disebabkan oleh ketidakberdayaan yang dipelajari dan tidak mampu merespon
dengan baik terhadap stimulasi sosial, keterampilan sosial yang minim, dan
konsekuensi paksaan yang berpengaruh pada tekanan batin yang berlarut-larut.
Untuk
menghadapi hal-hal di atas, kita hendaknya dapat memngaruhi lingkungan mereka,
mengajar, dan menguatkan keterampilan sosial antarpribadi yang lebih efektif,
serta menghindarkan mereka dari ketergantungan dan penguat ketidakberdayaan.
Faktor Penyebab Gangguan Emosi dan Tingkah Laku
Dinamika keadaan yang melatarbelakangi anak GETL beserta gejala-gejalanya perlu ditelusuri untuk memberikan pemahaman yang jelas tentang anak GETL. Dengan memahami hal itu akan mempermudah dalam usaha menanggulangi atau memberikan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan anak.
Dari
berbagai faktor yang berkaitan dengan masalah anak GETL, berikut dibahas
mengenai kondisi atau keadaan fisik, masalah perkembangan lingkungan keluarga,
sekolah, dan masyarakat.
a.
Faktor
Kondisi atau Keadaan Fisik
Beberapa
ahli meyakini bahwa disfungsi kelenjar endokrin dapat mempengaruhi timbulnya
gangguan tingkah laku atau dengan kata lain kelenjar endokrin berpengaruh
terhadap respon emosional seseorang. Bahkan dari hasil penelitiannya, Gunzburg
(Simanjuntak, 1947) menyimpulkan bahwa disfungsi kelenjar endokrin merupakan
salah satu penyebab timbulnya kejahatan. Kelenjar endokrin ini mengeluarkan
hormone yang memengaruhi tenaga seseorang. Bila secara terus menerus fungsinya
mengalami gangguan, maka dapat berakibat terganggunya perkembangan fisik dan
mental seseorang sehingga akan berpengaruh terhadap perkembangan wataknya.
Kondisi
fisik ini dapat pula berupa kelainan atau kecacatan baik tubuh maupun sensoris
yang dapat memengaruhi perilaku seseorang. Kecacatan yang dialami seseorang
mengakibatkan timbulnya keterbatasan dalam memenuhi kebutuhannya baik berupa
kebutuhan fisik-biologis maupun kebutuhan psikisnya.
Masalah
ini menjadi kompleks dengan adanya sikap atau perlakuan negative dari
lingkungannya. Sebagai akibatnya, timbul perasaan rendah diri, perasaan tidak
berdaya atau tidak mampu, mudah putus
asa, dan merasa tidak berguna sehingga menimbulkan kecenderungan menarik
diri dari lingkungan pergaulan atau sebaliknya, memperlihatkan tingkah laku
agresif, atau bahkan memanfaatkan kelainannya untuk menarik belas kasih
lingkungannya. Dengan demikian, jelaslah bahwa kondisi atau keadaan fisik yang
dinyatakan secara langsung dalam ciri-ciri kepribadian atau secara tidak
langsung dalam reaksi menghadapi kenyataan memiliki implikasi bagi penyesuaian
diri sesorang.
b.
Faktor
Masalah Perkembangan
Erikson
(Singgih D. Gunarsa, 1985: 107) menyatakan bahwa setiap memasuki fase
perkembangan baru, individu dihadapkan pada berbagai tantangan atau krisis
emosi. Anak biasanya dapat mengatasi krisis emosi ini jika pada dirinya tumbuh
kemampuan baru yang berasal dari adanya proses kematangan yang menyertai
perkembangan. Apabila ego anak dapat mengatasi krisis ini, keegoan yang matang
akan terjadi, sehingga individu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan
sosial dan masyarakatnya.
Adapun
ciri yang menonjol dari masa krisis individu adalah sikap menentang dan keras
kepala. Kecenderungan ini disebabkan karena anak sedang dalam proses menemukan
jati dirinya. Anak menjadi merasa tidak puas dengan otoritas lingkungan,
sehingga timbul gejolak emosi yang meledak-ledak seperti marah, menegang,
memberontak, dan keras kepala.
Sebagaimana
diuraikan di atas bahwa segala tindakan yang dilakukan anak pada masa kritis
bertujuan untuk menarik perhatian yang didorong oleh tuntutan pengakuan egonya.
Jika pada masa ini anak banyak mendapatkan rintangan dan tantangan, akan timbul
akibat yang dapat merugikan kelangsungan fungsi-fungsi dan psikis pada masa ini
dan dapat mengakibatkan kemunduran individu.
Pada
masa ini jiwa anak masih labil dan banyak mengandung risiko. Jika anak kurang
mendapatkan bimbingan dan pengarahan dari orang dewasa, anak akan mudah
terjerumus pada penyimpangan tertentu dan menjadikan anak termasuk dalam anak
GETL.
c.
Faktor
Lingkungan Keluarga
Dalam
pembahasan sosial, keluarga menjadi ruang sosial pertama bagi anak. Keluarga
pulalah yang memiliki pengaruh terbesar akan kelangsungan perkembangan anak.
Karena, dari keluargalah anak menadapatkan pengalaman pertama perasaan dan
sikap sosial. Lingkungan keluarga yang tidak mampu memberikan dasar perasaan
aman dan dasar untuk perkembangan sosial dapat menjadikan anak GETL. Dalam hal
ini, ada banyak aspek keluarga yang menyebabkan terjadinya anak GETL, seperti
faktor kasih sayang, keharmonisan keluarga, dan ekonomi keluarga.
Kurangnya
kasih sayang yang diterima anak dapat mengakibatkan anak mencari kasih sayang
dan perhatian di luar rumah. Dalam kasus lain, anak mugkin saja tidak mencari
kasih sayang di luar rumah, tetapi anak dengan sengaja melakukan tindakan yang
tidak sesuai norma untuk menarik perhatian lingkungan keluarganya.
Lain
halnya dengan kasus di atas, sebagian anak ada yang mendapatkan kasih sayang
yang berlebihan dari keluarga hingga anak tumbuh menjadi anak yang manja. Karena
perlakuan ini anak menjadi ketergantungan dan mudah menyerah, sehingga anak
tumbuh menjadi pribadi yang tidak percaya diri dan rendah diri.
Keharmonisan
dalam keluarga juga berpengaruh dalam perkembangan anak. Kondisi rumah yang
kacau dan keluarga yang terpecah sangat berpeluang menjadikan anak dalam
keluarga sebagai anak GETL.
Di
samping hal di atas, lemahnya kondisi ekonomi keluarga dapat pula menjadi salah
satu penyebab tidak terpenuhi kebutuhan anak.Padahal, hal seperti yang kita
ketahui bersama pada tingkat perkembnagan tertentu anak memiliki keinginan-keinginan
untuk menyamai teman yang lainnya.
Tidak
terpenuhinya kebutuhan anak dalam keluarga akibat ekonomi lemah mendorong anak
mencari jalan sendiri yang kadang mengarah pada tindakan antisosial. G.W.
Bawengan (1977) menyatakan bahwa kondisis-kondisi seperti kemiskinan atau
pengangguran secara relative dapat melengkapi rangsangan-rangsangan untuk
melakukan pencurian, penipuan, dan perilaku menyimpang lainnya.
d.
Faktor
Lingkungan Sekolah
Selain
sebagai tempat pendidikan, tak jarang sekolah menjadi tempat penyebab timbulnya
gangguan tingkah laku dan emosi pada anak. Hal ini seperti yang dikemukakan
Sofyan Willis (1978) bahwa dalam rangka pembinaan anak didik kea rah
kedewasaan, kadang-kadang sekolah juga menjadi penyebab dari timbulnya
kenakalan remaja.
e.
Faktor Lingkungan
Masyarakat
Bandura
(Kirk dan Gallagher, 1986) menyatakan bahwa salah satu hal yang nampak
memengaruhi pola perilaku anak dalam lingkungan sosial adalah keteladanan,
yaitu meniru perilaku orang lain. Di samping meniru hal-hal positif, di lingkungan
masyarakat juga terdapat banyak sumber yang merupakan pengaruh negative yang
dapat memicu munculnya perilaku menyimpang. Hal ini dapat terjadi lebih tinggi
lagi di kota-kota besar yang mana di dalamnya tersedia berbagai fasilitas
tontonan dan hiburan yang kurang tersaring oleh budaya lokal.
Masuknya
pengaruh kebudayaan asing yang kurang sesuai dengan tradisi yang dianut
masyarakat yang diterima begitu saja oleh kalangan remaja dapat menimbulkan
konflik yang bersifat negative. Di satu piahk para remaja menganggap kebudayaan
asih tersebut benar, sementara di pihak lain masyarakat masih memegang
norma-norma yang bersumber pada adat istiadat dan agama.
Selanjutnya,
konflik juga timbul pada diri anak sendiri yang disebabkan norma yang dianut di
rumah bertentangan dengan norma dan kenyataan yang ada dalam masyarakat.
Misalnya, seorang anak dalam keluarga ditekankan untuk bertingkah laku sopan
dan menghargai orang lain, akan tetapi ia menemukan kenyataan lain dalam
masyarakat di mana banyak ditemukan tindakan kekerasan dan tidak adanya sikap
saling menghargai.
Klasifikasi Anak dengan Gangguan Emosi dan Tingkah Laku
Sebagai
langkah penangan dan untuk memudahkan pelayanan pendidikannya anak GETL
diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok. S.A Bratanata (1975:69) menyatakan
bahwa anak GETL dicirikan oleh seberapa jauh anak itu terlihat dalam tingkat
kenalakan, tingkat kelainan emosi, dan status sosialnya.
Secara
geris besar anak GETL dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu anak dengan gangguan
emosi dan anak dengan gangguan tingkah laku. Tiap kelompok anak tersebut dibagi
lagi sesuai dengan tingkatan berat ringannya derajat gangguan dan hambatan
anak.
Sehubungan
dengan dua kelompok di atas, William M. Cruickshank (1975:567) mengemukakan
bahwa anak dengan gangguan tingkah laku sosial dapat diklasifikasikan ke dalam
kategori berikut:
a.
The
Semi-socialize Child
Anak
kelompook ini adalah anak yang dapat mengadakan hubungan sosial, tetapi
terbatas pada lingkungan tertentu, misalnya keluarga dan kelompoknya. Keadaan
in terjadi pada anak yang datang dari lingkungan yang menganut norma-norma
tersendiri, yang mana norma tersebut bertentangan dengan norma yang berlaku di
masyarakat. Di lingkungan sekolah, karena perilaku mereka sudah diarahkan oleh
kelompoknya, maka sering kali menunjukkan perilaku memberontak karena tidak mau
terikat oleh peratuaran di luar kelompoknya. Dengan demikianm anak selalu
merasakan ada suatu masalah dengan lingkungan di luar kelompoknya.
b.
Child
arrested at a primitive level of socialization
Anak
pada kelompok ini dalam perkembangan sosialnya berhenti pada level atau
tingkatan yang rendah. Mereka adalah anak yang tidak pernah mendapat bimbingan
ke arah sikap sosial dan terlantar dari pendidikan, sehingga ia melakukan apa
saja yang dikehendakinya. Hal ini disebabkan oleh tdak adanya perhatian dari
orang tua, yang berakibat pada perilaku anak. Kelompok ini cenderung dikuasai
oleh dorongan nafsu saja. Meskipun demikian, mereka masih dapat memberikan
respon kepada perlakuan yang ramah.
c.
Children
with minimum socialization capacity
Anak
kelompok ini tidak mempunyai kemampuan sama sekali untuk belajar sikap-sikap
sosial. Ini disebabkan oleh pembawaan atau kelainan atau anak tidak pernah
mengenal hubungan kasih sayang, sehinga anak pada golongan ini sering bersikap
apatis dan egois.
Untuk anak dengan gangguan emosi, mereka juga
memiliki derajat atau tingkatan gangguan. Anak dalam kelompok ini mengalami
hambatan dalam menyesuaikan tingkah laku sosial karena adanya gangguan dalam
diri sendiri. Adapun klasifikasi untuk anak dengan gangguan emosi adalah
sebagai berikut.
- Neurotic
Behavior (perilaku neurotik)
Anak
dalam klasifikasi ini masih bisa bergaul dengan orang lain, akan tetapi mereka
mempunyai permasalahan pribadi yang tidak mampu diselesaikan. Anak klasifikasi
ini sering dan mudah sekali dihinggapi perasaan sakit hati, perasaan marah,
cemas, dan agresif, serta rasa bersalah. Disamping itu, kerap kali mereka juga
melakukan tindakan lain seperti mencuri dan bermusuhan. Anak pada klasifikasi
ini dapat dibantu oleh terapi seorang konselor.
Keadaan
neuritik ini biasanya disebabkan oleh kondisi atau sikap keluarga yang menolak
atau terlalu memanjakan anak. Di samping itu, keadaan ini juga mungkin
dipengaruhi pola pendidikan yang salah atau adanya kesulitan belajar yang
berat.
- Children
with Psychotic Processes
Anak
GETL pada klasifikasi ini mengalami gangguan yang paling berat sehingga
memerlukan penanganan yang lebih khusus. Mereka sudah menyimpang dari kehidupan
pada umumnya. Anak pada klasifikasi ini umumnya tidak memiliki kesadaran diri
serta tidak memiliki identitas.
Ketidaksadaran diri pada anak GETL disebabkan oleh gangguan pada sistem syaraf sebagai akibat dari keracunan, misalnya karena minuman keras dan obat-obatan. Oleh karena itulah usaha penanggulangan lebih sulit karena anak tidak dapat berkomunikasi, sehingga layanan pendidikan harus disesuaikan dengan kemajuan terapi dan dilakukan pada setiap kesempatan yang memungkinkan.
Ketidaksadaran diri pada anak GETL disebabkan oleh gangguan pada sistem syaraf sebagai akibat dari keracunan, misalnya karena minuman keras dan obat-obatan. Oleh karena itulah usaha penanggulangan lebih sulit karena anak tidak dapat berkomunikasi, sehingga layanan pendidikan harus disesuaikan dengan kemajuan terapi dan dilakukan pada setiap kesempatan yang memungkinkan.
Kiranya
jelas bahwa pada kelompok neurotic, anak mengalami gangguan yang sifatnya
fungsional, sedangkan pada kelompok psikotis di samping mengalami gangguan
fungsional. Anak GETL juga mengalami gangguan yang sifatnya organis. Oleh
karena itu, anak-anak yang termasuk kelompok psikotis kadang-kadang memerlukan
perawatan medis.
Kurikulum Berdiferensiasi untuk Anak Berbakat
Kurikulum merupakan metode menyusun kegiatan-kegiatan
belajar mengajar untuk menghasilkan perkembangan kognitif, efektif, dan
psikomotorik anak. Menurut Sato (1982) kurikulum mencakup semua pengalaman yang
diperoleh siswa di sekolah, di rumah dan dalam masyarakat, dan yang membantunya
mewujudkan potensinya.
Berbeda dengan kurikulum umum yang bertujuan untuk dapat memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anak pada umumnya, maka kurikulum berdiferensiasi merupakan jawaban terhadap perbedaan-perbedan dalam minat dan kemampuan anak didik. Sehingga, dengna kurikulum berdiferensiasi setiap anak memiliki peluang besar untuk terus meningkatkan kemampuannya tanpa harus terikat oleh satu kurikulum umum yang menyamaratakan kemampuan seluruh anak.
Kendati demikian, pada dasarnya kurikulum berdiferensiasi tetap bertitik tolak pada kurikulum umum yang menjadi dasar bagi semua anak didik. Kurikulum berdiferensiasi juga memberikan pengalaman belajar berupa dasar-dasar keterampilan, pengetahuan, pemahaman, serta pembentukan sikap dan nilai yang memungkinkan anak didik berfungsi sesuai dengan tuntutan masyarakat atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Berbeda dengan kurikulum umum yang bertujuan untuk dapat memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anak pada umumnya, maka kurikulum berdiferensiasi merupakan jawaban terhadap perbedaan-perbedan dalam minat dan kemampuan anak didik. Sehingga, dengna kurikulum berdiferensiasi setiap anak memiliki peluang besar untuk terus meningkatkan kemampuannya tanpa harus terikat oleh satu kurikulum umum yang menyamaratakan kemampuan seluruh anak.
Kendati demikian, pada dasarnya kurikulum berdiferensiasi tetap bertitik tolak pada kurikulum umum yang menjadi dasar bagi semua anak didik. Kurikulum berdiferensiasi juga memberikan pengalaman belajar berupa dasar-dasar keterampilan, pengetahuan, pemahaman, serta pembentukan sikap dan nilai yang memungkinkan anak didik berfungsi sesuai dengan tuntutan masyarakat atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Berdasarkan penjelasan di atas, Semiawan (1983) menyatakan
bahwa bakat-bakat khusus baru dapat dikembangkan atas dasar kurikulum ini. Di
samping itu, untuk dapat mewujudkan bakat yang khusus diperlukan juga
pengalaman belajar yang khusus. Sehingga, pendidik juga dapat mengetahui
keberbakatan anak dan memantaunya sesuai dengan kurikulum yang telah
dideferensiasikan.
Lalu, Bagaimana Kurikulum Berdiferensiasi Dapat Dikembangkan? Menurut Kaplan (1977), perkembangan kurikulum dewasa ini
menekankan penggunaan kurikulum secara fleksibel sesuai dengan kebutuhan guru
dan siswa yang memungkinkan keragaman cara untuk mencapai sasaran belajar.
Bahkan dalam kurikulum semacam ini tidak tertutup kemungkinan bahwa siswa pada
saat-saat tertentu merumuskan sendiri sasaran-sasaran belajarnya.
Suatu kurikulum dapat berdiferensiasi melalui materi (konten
atau muatan), proses, dan produk belajar yang lebih maju dan majemuk, serta
dapat dirancang dengan cara sebagai berikut.
Kurikulum Berdiferensiasi Menyesuaikan dengan Kurikulum Umum
- Menambah hal-hal baru yang menarik dan menantang bagi anak berbakat. Misalnya dengan menambahkan muatan tugas yang dianggap menantang kemampuan yang dimiliki anak berbakat.
- Mengubah bagian-bagian tertentu yang kurang sesuai. Karena anak berbakat memiliki kemampuan memahami pelajaran dan pengetahuan yang melampaui anak pada umumnya, biasanya pemberian materi kepada anak berbakt lebih menyesuaika kemampuan anak. Sehingga, anada beberapa bagian yang diterima anak umum di kelas tetapi tidak diterima oleh anak berbakat.
- Mengurangi kegiatan-kegiatan yang terlalu rutin. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, anak berbakat memiliki tingkat kemampuan memahami pelajaran yang lebih tinggi dibandingkan anak umum, jadi beberapa kegiatan atau pelajaran yang dapat dikerjakan sendiri dan tanpa bantuan berarti dari pendidik sebaiknya dikurangi.
- Meluaskan dan mendalami materi. Karena sifat yang cenderung kurang puas dan mendetail, pemberian materi pembelajaran kepada anak berbakat sebaiknya lebih diluaskan dan mendalam.
Kurikulum Berdiferensiasi dengan Menggunakan Kurikulum yang Baru atau Khusus
Cara kedua ini adalah dengan menggunakan kurikulum yang
benar-benar berbeda dengan anak umum dan disesuaikan dengan keberbakatan anak.
Untuk menyusun sebuah kurikulum, pendidik harus mengetahui
beberapa asas kurikulum sebagai berikut:
- Berkaitan dengan mata pelajaran. Yaitu, kegiatan bekajar dikaitkan dengan mata pelajaran atau materi tertentu. Contohnya, ketika anak belajar bagian-bagian serangga, anak dapat mencari sendiri serangga-serangga yang akan dipelajarinya di lingkungan sekolah.
- Berorientasi dengan proses. Maksudnya, kegiatan belajar mengajar menekankan perkembangan keterampilan dan proses berpikir daripada hanya materi. Contohnya, ketika anak sudah mengenal bagian-bagian serangga, anak dapat menganalogikan bagian-bagian tersebut dengan bagian-bagian kendaraan.
- Berpusat pada kegiatan aktif. Yaitu kegiatan belajar sepenuhnya mengikutsertakan anak secara aktif. Sehingga, dapat menghidupkan suasana keilmuan yang penuh akan diskusi dan saling bertukar pikiran.
- Penerapan tugas berakhir terbuka.Dengan asas ini tidak ada istilah “benar” dan “salah” dalam hasil tugas siswa, tetapi seluruhnya berdasarkan pengalaman setiap anak.
- Memungkinkan anak memilih. Asas ini memberikan peluang kepada setiap anak sesuai dengan kebutuhan, minat, dan kemampuan masing-masing. Sehingga, sekolah seharusnya menyediakan sarana atas minat dan bakat anak.
- Konten. Muatan atau materi yang diberikan kepada anak berbekat berbeda-beda sesuai dengan minat dan kemampuan anak.
- Proses. Proses belajar anak berbakat, entah itu waktu maupun caranya, dibedakan dengan anak umumnya sesuai dengan tingkat kemampuan anak.
- Produk. Dalam hal penugasan, anak berbakat diberikan beban produk yang lebuh rumit dan kompleks daripada anak umum. Produk belajar itu sendiri dapat berupa lisan, tulisan, ataupun benda.
Ciri-Ciri Anak Berbakat Menurut Matinson (1974)
Seorang pakar pendidikan khusus bernama Matinson (1974) pernah mengemukakan bahwa setidaknya ada 14 ciri-ciri yang menjadikan seorang anak dapat dikategorikan sebagai Anak Berbakat. Keempat belas ciri tersebut adalah seperti di bawah ini.
- Mempunyai pengamatan yang tajam. Sesuatu yang biasa saja di mata orang-orang menjadi hal yang sangat menarik dan harus dianalisis oleh anak berbakat.
- Dapat berkonsentrasi untuk waktu yang panjang pada tugas dan minatnya.
- Berpikir kritis, bahkan terhadap diri sendiri. Anak berbakat lebih banyak bertanya terhadap apa yang ada di lingkungannya dan terhadap dirinya sendiri. Jika memilik masalah, anak berbakat tidak hanya menanyakan kenapa dirinya bisa seperti ini tapi juga menganalisa ke belakang dan dampaknya ke depan.
- Senang mencoba hal-hal baru. Anak berbakat cenderung penantang dalam mencari pengalaman. Keinginan anak berbakat atas segala hal yang menarik baginya diikuti oleh keinginan yang kuat dan kefokusan yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak normal pada umumnya.
- Mempunyai daya abstraksi, konseptualisasi, dan sintesis yang tinggi.
- Senang terhadap kegiatan intelektual dan pemecahan masalah.
- Cepat menangkap hubungan-hubungan sebab akibat.
- Berperilaku terarah pada tujuan. Anak berbakat memiliki tingkat kefokusan tinggi pada tujuan akhirnya.
- Mempunya daya imajinasi yang kuat.
- Memiliki banyak kegemaran. Mempunyai daya tarik pada banyak hal dan tetap fokus pada banyak hal tersebut.
- Mempunyai daya ingat yang kuat.
- Tidak cepat puas dnegan prestasinya.
- Peka (sensitif) dan menggunakan intuisi (firasat).
- Menginginkan kebebasan dalam gerakan dan tindakan.
Utami Munadar, pakar pendidikan Anak Berbakat, berperndapat bahwa sebenarnya ciri-ciri anak
berbakat tidak banyak berbeda dari anak pada umumnya, hanya saja anak
berbakat memiliki ciri-ciri di atas dalam derajat yang jauh lebih tinggi. Selain itu, tidak semua anak berbakat
memiliki semua ciri-ciri tersebut. Dengan kata lain, sebagian anak berbakat hanya memiliki beberapa ciri-ciri di atas.
Disabilitas Keturunan? Atau Menular?
Bismillahirrahmanirrahim
Setiap ada teman baru yang tahu bahwa saya berkecimpung di
dunia anak-anak disabiitas, pertanyaan-pertanyaan menarik kerap kali muncul
dari mereka. Beberapa pertanyaan sejenis yang sering muncul, terutama dari
teman-teman yang ingin menikah dan ibu-ibu yang ingin punya cucu, adalah Apakah
disabilitas adalah keturunan? Apakah disabilitas menular? Apakah disabilitas
dapat disembuhkan?
Jelas pertanyaan-pertanyaan di atas adalah bentuk ketakutan
mereka pada kemungkinan memiliki anak yang terlahir tidak ‘sempurna’. Biasanya,
dari pertanyaan-pertanyaan di atas perbincangan saya dan mereka akan merambat
pada kisah-kisah miris tentang pembuangan atau pembunuhan anak yang terlahir
dengan kekurangan (cacat). Nah, dari sinilah saya pikir ada baiknya juga
menuliskan sedikit apa yang saya tahu sebagai jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan di atas. Hal ini tidak lain agar teman-teman yang tidak
tahu bisa menjadi tahu, sehingga tidak ada lagi istilah-istilah ‘mengerikan’
yang dilabeli pada anak-anak disabiilitas.
Mungkin teman-teman juga pernah
pernah bertanya apakah disabilitas adalah keturunan. Jawabannya, disabilitas
sama sekali bukan keturunan karena setiap disabilitas memiliki penyebab medis
masing-masing yang tidak ada sangkut pautnya dengan gen atau sifat pembawa dari
orang tua ke anak.
Anak berkebutuhan khusus (ABK)
dibagi ke dalam kelompok disabilitas pengelihatan, disabilitas pendengaran,
disabilitas intelektual, disabilitas tubuh, gangguan emosi dan tingkah laku
(GETL), autis, ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorders), multidisabilitas (anak
dengan disabilitas lebih dari satu), dan anak berbakat. Dari sembilan kelompok
ABK ini, semuanya disebabkan oleh berbagai hal. Secara garis besar, semua kondisi
ABK disebabkan pada hal-hal yang terjadi pada tiga masa yang sangat rentan
keselamatannya. Tiga masa itu adalah Prenatal (sebelum melahirkan atau
saat kehamilan), Natal (saat melahirkan), dan Posnatal (setelah
melahirkan atau di masa pertumbuhan anak).
Prenatal (sebelum melahirkan
atau saat kehamilan). Di masa ini, ibu yang sedang hamil seharusnya
benar-benar menjaga kesehatan tubuh dan janinnya. Jika kesehatan ibu terganggu
risiko gangguan pada janin akan terjadi. Salah satu risikonya adalah janin
terlahir cacat.
Hal-hal yang terjadi pada ibu
hamil dan berisiko pada kecacatan janin adalah ibu terinfeksi bakteri Rubella,
keracunan, mengonsumsi obat-obatan yang terlalu keras untuk pertumbuhan janin,
dan keguguran.
Sebagai contoh, kakak perempuan
saya yang memiliki anak pertama autis disebabkan saat hamil tua (sekitar tujuh
bulan) terserang tifus dengan demam yang sangat tinggi dan harus diopname
beberapa minggu. Menurut pemeriksaan medis, demam dari kakak saya merambat pada
janin yang berada di puncak perkembangan. Dan, yang terserang adalah bagian
otak kiri (tepatnya bagian wernich, tempat sistem wicara diatur). Oleh karena
itu keponakan saya speech delay (telat bicara) dan didiagnosa autis pada
usia awal perkembangannya.
Berbagai kondisi berisiko di
atas bisa menyerang bagian-bagian tertentu dari otak janin yang masih
berkembang. Sehingga, kerusakan organ atau saraf bisa terjadi di bagian mana
saja dan bentuk kecacatan setelah lahirpun akan berbeda. Mungkin saja kerusakan
terjadi pada mata, telinga, hati, tulang, sel-sel otot, atau sistem syaraf
pusat di otak. Jadi, menjaga kesehatan dan kebersihan adalah hal penting bagi
ibu hamil agar terhindar dari risiko besar ini.
Natal (saat melahirkan). Proses
melahirkan menjadi fase paling rentan akan keselamatan ibu dan bayi, pun itu
yang menjadi penentu apakah bayi akan terlahir berkekurangan atau ‘sempurna’.
Hal-hal yang menjadi potensi
terlahirnya ABK pada proses melahirkan
adalah waktu melahirkan terlalu lama (pembukaan yang lama), penggunaan
alat-alat medis saat ibu kelelahan atau pingsan ( biasanya alat yang digunakan
adalah vacum atau tang untuk menarik bayi dari liang kelamin ibu), lahir
sungsang, bayi kekurangan oksigen (ditandai dengan bayi tidak menangis saat
lahir), dan pendarahan kecil di kepala bayi saat baru lahir.
Sebagai contoh, salah satu ABK
yang saya kenal didiagnosa medis karena terjadi kerusakan syaraf
pengelihatannya di otak akibat penggunaan vacum saat dilahirkan. Kondisi ibunya
yang lemah saat melahirkan menyebabkan dokter harus membantu menarik bayi yang
sudah ada di liang kelamin dengan vacum khusus bayi. Alhasil, di usia awal
perkembangannya anak ini tidak memiliki pengelihatan yang sama seperti anak
umum lainnya. Hingga kini, anak ini memiliki pengelihatan sangat minim atau dikenal dengan istilah low vision.
Terakhir, Posnatal (setelah
melahirkan atau di masa pertumbuhan anak). Setelah bayi lahir, bayi akan
mengalami pertumbuhan awal hingga usianya 5-6 tahun. Masa ini tidak kalah
penting untuk turut diperhatikan oleh para orang tua, karena ini adalah awal
perkembangan anak ditempa secara fisik dan psikis untuk tumbuh menjadi anak
yang sehat.
Beberapa hal yang kerap kali
menjadi penyebab kedisabilitasan pada masa ini adalah anak kekurangan gizi,
kekurangan vitamin, sakit parah, dan kecelakaan yang menyebabkan kerusakan
permanen.
Teman-teman masih ingat kisah
Sang Penulis? Nah, Sang Penulis adalah salah satu contoh dari bagian ini. Sang
Penulis lahir dengan pengelihatan yang sama dengan anak umumnya. Tetapi, pada
usianya beranjak 1.5 tahun, Sang Penulis terserang campak dan demam yang sangat
tinggi, sehingga menyebabkan syaraf pengelihatan pada otaknya terganggu dan
Sang Penulis tidak dapat melihat setelah sakit selama kurang lebih enam bulan.
Dari sini kita, terutama yang perempuan,
bisa belajar untuk lebih berhati-hati di tiga masa rentan ini. Menjaga
kesehatan dan kebersihan saat hamil, menghindari penggunaan alat-alat medis
saat melahirkan, dan menjaga kesehatan anak di awal perkembangannya adalah
poin-poin penting untuk menghindari anak dari hal-hal yang berpotensi
menyebabkan anak memiliki kedisabilitasan.
Nah, sudah cukup jelas bukan
bahwa disabilitas bukanlah sifat bawaan dari gen orang tua? Dengan demikian,
disabilitas bukanlah sebuah penyakit yang diturunkan, karena memang disabilitas
bukanlah penyakit yang disebabkan oleh virus atau bakteri dan dapat disembuhkan
dengan obat. Sekalipun pemicu awal disabilitas salah satunya adalah bakteri
Rubella, akan tetapi kedisabilitasan yang terjadi bukanlah disebabkan oleh
bakteri melainkan karena kerusakan permanen pada organ atau indera yang
diserang bakteri.
Jika kita sudah tahu bahwa
disabilitas bukanlah penyakit, berarti kita juga tahu bahwa disabilitas
bukanlah sesuatu yang ditularkan. Selain itu, disabilitas bukanlah kondisi yang
dapat disembuhkan. Kondisi disabilitas hanya bisa disesuaikan, misalnya yang
disabilitas pengelihatan menggunakan huruf Braille, dan disabilitas pendengaran
menggunakan bahasa isyarat. Di samping itu, kondisi disabilitas juga bisa
diminimalisir dampaknya, seperti pada anak autis biasanya diberi terapi balur
agar anak tidak mengamuk, memukul dan menyakiti diri sendiri.
Begitulah kira-kira sedikit
jawaban dari saya tentang apakah disabilitas adalah keturunan. Semoga catatan
singkat ini bermanfaat untuk menambah wawasan kita tentang dunia disabilitas.
Khususnya kepada teman-teman perempuan agar bisa memahami apa yang harus
diperhatikan pada tiga masa yang rentan
pada keselamatan anak.
Lebih dari itu, semoga catatan
ini bisa mengubah mindset bahwa ABK bukan sifat bawaan atau keturun. Dan, bisa
dipahami bahwa ABK adalah kondisi kerusakan permanen yang terjadi pada tiga
masa rentan.
Menjadi Tokoh Inspiratif dalam Rubrik 'Inspirasi' di Kartunet.com, Masya Allah ^^
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji bagi Allah yang telah Memberikan segala nikmat
atas diri yang fana ini. Segala puji bagi Allah yang senantiasa Mengiringi
setiap langkah ini. Semoga segala titik peluh yang menetes menjadi amal
kebaikan di sisi-Nya.
Sore itu saya mendapat sebuah sms dari seorang teman
sekaligus partner menulis di Redaksi Kartunet.com. Jika biasanya sms yang
dikirim adalah pemberitahuan rapat redaksi dan permintaan tulisan, kini teman
saya yang bernama Ramadhani meminta saya sebagai narasumber dalam salah satu
rubrik yang menurut saya cukup bergengsi. Yaitu rubri inspirasi yang memuat
sepenggal kisah hidup orang-orang hebat yang menginspirasi.
Singkat cerita, tibalah saat wawancara. Wallah, gugup sekali
saat diwawancara. Selain karena belum pernah diwawancarai secara formal, saya
rasa rubrik bergengsi ini tidak layak memuat profile saya.
Berikut ini saya kopi-tempel-kan tulisan di rubrik Inspirasi
Kartunet.com. Semoga isi di dalamnya dapat bermanfaat dan mengispirasi pada
kebaikan ^_^
***
“Kesadaran, bahwa aku punya keluarga yang disabilitas, lalu
kenapa aku nggak mengabdikan hidupku untuk keluargaku?” Itulah sebuah alasan
kuat yang akhirnya membuat Lisfa memutuskan untuk menerjunkan diri ke dunia
disabilitas. Meski sejak dulu ia amat mencintai dunia sains dan sempat menimba
ilmu di Jurusan Farmasi UIN pada tahun 2010, ternyata ia tidak merasa nyaman
dengan apa yang dijalaninya saat itu. Perlahan namun pasti, hati gadis 20 tahun
itu terpanggil untuk mempelajari seluk beluk kehidupan disabilitas. Tahun 2011,
Lisfa mulai menjalani hidup barunya sebagai mahasiswi jurusan Pendidikan
Luar Biasa UNJ, dan sepak terjangnya pun dimulai.
Keluarga memang selalu menjadi muara dari setiap kisah
kehidupan manusia. Keluarga yang pertama kali memperkenalkan kita dengan
lingkungan sosial di sekeliling kita. Oleh karena itu, dari keluarga juga Lisfa
mulai mengenal individu-individu dengan disabilitas. Sebut saja, Sulastri,
kakak kedua Lisfa yang kretin (kerdil). Meski usianya telah menginjak 28 tahun,
tubuhnya hanya setinggi pinggul orang dewasa. Tidak hanya itu, cara bicaranya
pun belum jelas, sikapnya masih seperti anak-anak, dan suka memainkan permainan
yang dimainkan oleh anak kecil.
“Waktu umur lima tahun, kakak panas tinggi sampai semua
rambutnya rontok. Lalu setelah sering berobat ke rumah sakit dan akhirnya
sembuh, pertumbuhan fisik dan mentalnya terhenti hingga sekarang.” Begitulah
penjelasan yang Lisfa dapatkan dari kedua orang tuanya ketika dulu ia
menanyakan kondisi Sulastri. Sejak kecil, bungsu dari tiga bersaudara ini
memang sudah mengerti dengan kondisi kakaknya itu. Menurut dia, tetangga dan
lingkungan sekitar tidak pernah memperlakukan Sulastri secara diskriminatif.
Namun tidak demikian halnya dengan Naufal, keponakan Lisfa dari kakak sulungnya
yang menyandang autistic dan hiperaktif sejak usia dua tahun.
Ya, Lisfa hidup bersama dua orang individu disabilitas di
dalam rumahnya. Dengan hambatan mental yang disandang oleh kedua anggota
keluarganya tersebut, Lisfa harus belajar untuk menghadapi mereka dengan penuh
kesabaran. Naufal yang hiperaktif sering kali tidak tidur selama berhari-hari
dan membuat gaduh suasana rumah di malam hari. Hal ini kerap kali mengundang
amarah seorang tetangga yang merasa terganggu. “Yah, mungkin nggak ngerti sama
kondisi Naufal,” ujar Lisfa, maklum.
Satu tahun menempuh studi di jurusan Farmasi UIN, rupanya
tidak membuat Lisfa nyaman. Ia merasa masih ada yang kurang dari hidup yang
tengah dijalaninya saat itu, hingga suatu hari ia menemukan jawaban. Seorang
kawan lama yang ternyata berkuliah di jurusan PLB tiba-tiba menghubunginya. Ia
bercerita tentang adiknya yang tunagrahita serta menanyakan keponakan Lisfa
yang autistik. Saat itulah Lisfa menyadari, bahwa meski telah hidup
bertahun-tahun bersama individu disabilitas, ternyata dirinya tidak mengetahui
apa-apa tentang disabilitas. Hatinya pun mulai terpanggil untuk mempelajari
dunia disabilitas lewat internet.
Semakin banyak tahu seluk beluk dunia luar
biasa yang telah dikenalnya sejak kecil, Lisfa pun semakin memantapkan
hati. Sebuah keputusan berat ketika ia harus meninggalkan dunia sains yang amat
dicintainya. Namun, toh nyatanya ia tetap melangkahkan kaki memasuki dunia
pendidikan luar biasa.
Banyak hal yang Lisfa pelajari selama menuntut ilmu di
jurusan PLB. Jika sebelumnya Lisfa kerap kali menghadapi Sulastri dan Naufal
dengan emosi, maka sekarang ia tak pernah lagi melakukannya. Lisfa mengakui,
belajar di PLB membuatnya lebih memahami bagaimana menstimulasi keluarganya
tersebut. Kondisi disabilitas yang disandang Sulastri dan Naufal pun sering
kali mengundang tatapan-tatapan aneh orang-orang di tempat umum. Dulu, Lisfa
selalu menghadapi situasi seperti ini dengan kekesalan. Namun kini, ia memahami
mengapa masyarakat bersikap demikian. “Mereka kayak gitu hanya karena mereka
nggak tahu,” tutur gadis yang juga merupakan ketua dari Komunitas Peduli Anak
Jalanan (KOPAJA) ini.
“Keluarga kita, baik dia disabilitas atau tidak, mereka
adalah titipan Allah,” ungkap Lisfa. Menurut dia, setiap keluarga harus
terlebih dahulu dapat menerima kondisi anggota keluarganya yang disabilitas,
kemudian bersikap terbuka untuk mencari jalan demi masa depan keluarganya
tersebut. Mereka harus memahami bahwa kondisi disabilitas bukanlah hal
memalukan yang perlu disembunyikan.
Dengan ilmu yang dipelajarinya, ia ingin mengubah pemikiran
masyarakat umum terhadap penyandang disabilitas. Lisfa ingin mengajak
orang-orang awam untuk melihat individu disabilitas dari sisi yang berbeda. Ia
tak pernah bosan membagi pengalaman-pengalaman uniknya berinteraksi dengan
penyandang disabilitas lewat catatan facebook-nya dengan akun Lisfatul Fatinah
Munir. “Tulisan-tulisan itu pengen aku kumpulkan untuk dijadikan buku,”
ujarnya.
Bagi Lisfa, dunia disabilitas adalah dunia yang sangat
menarik untuk dipelajari. Karena itulah, ia berharap lewat tulisan-tulisannya
akan semakin banyak orang yang tahu sisi lain dari dunia disabilitas.
Sebelum resmi menjadi seorang pendidik anak berkebutuhan
khusus (ABK) aku harus sudah bisa menjalankan proyek pribadiku: mengajarkan
keponakanku dan mendidiknya agar bisa hidup mandiri selayaknya anak normal pada
umumnya.
Itulah sepenggal kalimat yang tercantum pada blog Lisfa
di www.duniakuluarbiasa.blogspot.com.
Tampaknya gadis kelahiran 21 Februari itu sudah menetapkan targetnya. Bagi
Lisfa, tidak ada yang sulit jika segalanya dimulai dengan tekad yang kuat dan
niat yang lurus. Oleh karena itu, Lisfa mulai merenovasi cita-citanya. Jika
dulu ia ingin membangun apotek dan klinik pribadi, maka kini ia ingin
mendirikan yayasan pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang tidak
mampu, serta membangun badan training dan penyuluhan di daerah-daerah terpencil
yang di dalamnya terdapat ABK yang diperlakukan tidak manusiawi. Lebih dari
itu, sebagai orang yang tidak memiliki disabilitas, Lisfa menyimpan sebuah
mimpi yang sangat luar biasa terhadap dunia disabilitas sebagaimana yang ia
ungkapkan pula dalam blog-nya, “Aku juga ingin menjadi duta Indonesia untuk
internasional sebagai duta Pendidikan Khusus.”
Link website yang memuat tulisan ini di Kaertunet.com: http://www.kartunet.com/lisfa-terjun-ke-dunia-disabilitas-karena-keluarga-1423