Archive for December 2012

Ekspedisi Negeri di Atas Awan (Bag. 2)


Selamat datang lagi di catatan perjalanan luar biasa saya. Setelah membaca Ekspedisi Negeri di Atas Awan (Bag. 1), ini saatnya mengikuti kisah selanjutnya :)




Cabe Dieng

Trip selanjutnya adalah sejauh 3 Km dan kami melakukannya dengan berjalan kaki. Selama berjalan, mata ini serasa tidak ingin berkedip. Pemandangannya, subhanallah, indah nian. Di sebelah kiri kami berjejer penginapan-penginapan untuk para back packer dengan beragam variasi di selingi dengan hamparan pohon yang membentuk hutan. Sedangkan di sebelah kanan kami, puncak-puncak bukit, hamparan ladang, gagahnya tebing, dan awan yang bergerombol menjadi santapan mata kami di pagi ini.

Sekitar pukul 7.30 kami tiba di pintu gerbang Situs Wisata Telaga Warna. Sambil menunggu loket buka, kami singgah sejenak di salah satu warung makan yang sudah buka.

`Warung makan di Dieng tidak jauh berbeda dengan warteg di Jakarta, hanya saja menunya agak berbeda. Di warung makan yang kami singgahi ini, sistem makannya prasmanan atau ambil sendiri dan langsung bayar. Lauknya ada sayur daun singkong dengan kuah santan yang agak bening, sambal kentang balado, tahu goreng, ikan kembung goreng, ayam bumbu kuning yang semuanya adalah bagian paha dengan ceker yang masih menyatu, lalu terakhir ada makanan yang mirip dengan tempe orek tapi bukan tempe orek.

Saat makan, kebanyakan teman mengambil “tempe orek” yang belum kami ketahui bahwa namanya cabe dieng.  Mungkin karena kenampakannya awam di Jakarta. Tapi, ternyata ada yang berbeda. “Tempe orek” ala Dieng ini menggunakan cabai yang ada di Dieng. Rasanya? Pedaaaaaas minta ampun tapi nikmatnya luar biasa.

Meskipun kenampakannya sama seperti cabai hijau besar, rasanya lima kali lipat bakhan lebih dari cabai rawit. Bagi penikmat makanan pedas, cabe dieng adalah makanan yang harus coba saat ke Dieng. Tapi jangan mencoba Cabe Dieng saat sarapan pagi seperti rombongan saya.

Oke. Makan pagi dengan cabe Dieng selesai. Perus sudah cukup kenyang, alhamdulillah. Saatnya melanjutkan perjalanan ke Telaga Warna :D

Kenangan Luar Biasa Bersama Kaki yang Berubah Warna ^_^

Inilah waktunya memanjakan mata lagi. Melangkah dengan penuh kekaguman pada-Nya lagi. Dan menasbihkan puja-puji pada mahakarya-Nya berkali-kali lagi.

Semak-semak yang tumbuh rendah dengan bebungaan menyambut kedatangan kami. Beberapa meter dari pintu masuk loket, kubangan air dengan warna toska terhampar membuat setiap dari kami yang ada di sana berseru memuja Allah. Telaga Warna terbentang di depan mata, dikelilingi lumpur yang menggempur, batang-batang pohon yang menjuntai ke tanah, dan semak yang menghijau indah.  Telaga Warna masih sepi. Jadi, kami masih bisa berpose sepuasnya dengan angel apa saja.

Bersama dua sahabat; Mbah Lina dan Kembaran saya ^^ 


Sesi foto-foto pertama di Telaga Warna selesai. Saatnya berjalan mengunjungi bagian lain dari Telaga Warna. Saat mata ini tak ingin berpaling dari hamparan mahakarya-Nya, tiba-tiba salah seorang teman kampus mengirim sms.

“Lis, sibuk gak? Mau tanya dong, tentang sesi sharing guru dan orangtua di SEOC itu bagaimana maksudnya? Ada usulan tema?”

Duh, pertanyaan dalam sms ini membuat saya perlu berpikir. Tapi, saya tetap membalas smsnya sejenak.

“Sharing biasa tentang kendala orangtua ABK di rumah yang bisa dibantu oleh guru. Temanya yang simpel aja Sinergitas Guru dan Orangtua dalam Mendidik ABK. Bagaimana? Paham gak?”

“Itu maksudnya gimana? Bisa jelasin gak?”

Saya membaca smsnya tapi belum mau membalasnya. Jadi, saya taruh hape saya dan memilih melanjutkan menikmati pemandangan Telaga Warna. Saya dan teman-teman menuruni semak-semak dan berjalan di atas tanah gembur untuk melihat Telaga Warna dari jarak yang lebih dekat. Lalu, sebuah sms masuk lagi.

“Liiisss. Pliiissss bantu gue. 10 menit lagi gue harus ketemu kepsek SLB :(”

Sms itu membuat saya tidak berpikir panjang. Saat itu juga saya menekan tombol call dan langsung menelepon teman saya. Karena tidak mau kehilangan kesempatan menelusuri setiap sudut Telaga Warna, sambil menjelaskan lewat hape, saya tetap terus berjalan dan mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru Telaga Warna. Lalu, tiba-tiba…, jlep! Kaki kiri saya tidak bisa diangkat O,o

Kaki kiri saya kejeblos ke dalam lumpur Telaga Warna sampai setengah betis. Seketika, saya dan teman-teman panik. Saat saya berusaha mengangkat kaki kiri saya, ternyata kaki kanan saya ikutan kejeblos -,-“Alhasil, semakin paniklah, meski sambil cengar cengir melihat kaki saya yang mendem.

Saat itu, saya lupa menutup telepon. Di ujung sana, terdengar suara teman saya yang turut kebingungan dan panik, “Lis, lo gak kenapa-kenapa kan? Lis…, Liiis.” Klik. Telepon saya tutup. Saya malu, sekaligus bingung >,<

Tolong menolong dalam kejeblosan. Sudah kejeblos masih sempat ketawa aja :D

Di sinilah terdapat sesi tolong menolong yang sangat dramatis.


Kakek dan Rizki mencari bala bantuan, mengumpulkan ranting dan dedaunan kering sebagai pijakan saya. Sari memegangi tas saya, Erni, Kak Firdha, dan Ajeng bergotong royong menarik saya dari kubangan lumpur, sedangkan Mbah Lina aktif memotret kepanikan kami -,-“

Alhamdulillah, beberapa menit kemudian Kakek dan Rizki membawa ranting pohon dengan daun kering yang banyak dan datang bersama dua orang sepuh yang terbiasa dengan medan Telaga Warna. Kedua kaki saya berhasil keluar dari tanah Telaga Warna yang gembur. Alhasil, warna kaos kaki saya yang ungu muda jadi hijau kehitaman dan berbau sulfur. Gamis saya yang senada dengan air Telaga Warna menjadi belepotan lumpur. Terakhir, sandal gunung yang baru saya beli tidak jelas lagi warnanya :P

Sandal baru yang penuh lumpur. Tetap semangat, meski belepotan lumpur ^_^


Well, kami memutuskan berbalik arah ke loket. Saya sendirian menuju toilet untuk membersihkan lumpur di baju, kaos kaki, dan sandal. Saat saya membersihkan lumpur, yang lain asik banget foto-foto, angel-nya bagus-bagus pula >,<

Sekitar lima belas menit saya bersih-bersih. Baju saya sudah tidak berbau sulfur lagi meski bagian bawah gamis saya sudah tidak jelas warnanya. Sandal saya juga sudah kembali “baru”. Saatnya melanjutkan perjalanan kami :D

Gua-Gua Misterius

 Enam wanita dengan dua kakek :)

Kami langsung berjalan mengikuti jalur yang sudah ada. Di kawasan Telaga Warna ini ada banyak gua-gua kecil yang ditandai dengan pendopo-pendopo kecil berwarna hijau di depannya. Beberapa gua ini sepertinya sedang digunakan untuk bertapa oleh penduduk. Ini ditandai dengan banyaknya bunga di sekitar gua dan sepanjang pintu masuk gua.

Yup. Dieng masing kental dengan kepercayaan dinamismenya. Contohnya, di perjalanan menuju Telaga Warna ini kami menemukan banyak janur kuning melengkung, padahal tidak ada prosesi pernikahan. Dan, ternyata janur-janur ini ada juga di beberapa gua yang kami lewati.



Di depan gua-gua kecil ini biasanya ada patung-patung dewa-dewi atau tokoh perwayangan Jawa. Saya tidak hapal apa saja nama-nama gua yang ada di kawasan Telaga Warna. Hanya satu yang saya ingin, Gua Pengantin atau Couple Cave. Saya ingat nama gua ini karena namanya terpampang sangat jelas dibandingkan gua yang lainnya. Selain itu, hehe, saya juga punya doa di tempat ini, semoga saya datang lagi untuk kedua kalinya dengan pengantin saya. #ups ;)

Pohon Horisontal dan Manusia Pohon Dadakan :P


Lanjut. Semua gua-gua misterius di kawasan Telaga Warna sudah kami telusuri. Matahari Dataran Tinggi Dieng sudah merangkak naik. Cuacanya hangat, tapi kelembapannya tinggi. Jadi, udara di sini tetap terasa dingin meski matahari sudah membelakak. Kami melanjutkan perjalanan ke arah yang berlawanan menelusuri jalur yang sudah ada dan mulai bertemu dengan banyak back packer lainnya atau keluarga yang sedang berliburan di sini, bahkan kami sempat bertemu dengan back packer yang satu mini bus dengan kami tadi Subuh.

Di pertengahan jalan, kami melihat pohon terbentang bukan secara vertikal, melainkan horizontal. Terlihat unik dan menakjubkan. Seketika itu juga, sifat kampungan anak kota pun keluar. Karena di Jakarta tidak akan ada hal yang seperti ini, maka kami kompak memutuskan untuk berhenti dan bernarsis ria. Jadi deh, manusia pohon dadakan :P



Hehe, teori Darwin seperti terbukti di sini. Satu per satu dari kami langsung memanjat pohon horisontal ini. Padahal, kalau di Jakarta pasti bakalan takut manjat.

Padang Ilalang dan Naluri Narsis yang Kelewatan :d

Kami melanjutkan perjalanan lagi. Tereeeng! Tibalah kami di kejutan kesekian dari sekian banyak kejutan yang dihadirkan Telaga Warna. Kami tiba di padang ilalang yang sangat luas. Jujur, saat tiba di padang ilalang ini, saya seperti berada dalam location setting sebuah film Bollywood atau film koboi Amerika :)


Seperti biasa. Namanya juga anak kota, jarang-jarang nemu padang ilalang di Jakarta, kami semua serempak menurunkan ransel dan siap mengambil posisi untuk berpose. Saya sendiri sampai bingung, kayaknya hasrat narsis di sini sudah di ranah tidak sadar. Jadi, kalau melihat ada lahan kosong untuk narsis, gestur tubuh refleks ambil posisi di depan kamera :D

Olraig. Sementara kami ambil posisi terbaik di antara ilalang yang mencoklat, Kakek ambil posisi menempatkan three pot kamera agar kami semua bisa kebagian tempat bersamaan. Belum puas foto bersamaan, kami semua akhirnya foto satu satu di padang ilalang ini. Semuanya sibuk mencari pose terbaik mereka ^^

Telaga Kedua yang Tak Diduga

Selesai bernarsis ria di padang ilalang, kami melanjutkan langkah. Berjalan ke tempat yang tidak kami ketahui, kecuali Rizki dan Allah yang tahu saat itu. Tiba-tiba kubangan air yang luas terbentang di depan kami. Inilah telaga kedua yang kami jumpai di kawasan Telaga Warna, yang menjadi kejutan kesekian di antara banyak kejutan yang tak pernah kami bayangkan. Namanya Telaga Balai Kambang.

Bersama kembaran saya ^_^

Telaga Balai Kambang –menurut saya– adalah tempat sangat romantis. Airnya jernih, masih ada serpihan ilalang kering di sekelilingnya. Dikelilingi tebing yang menghijau dan sihiasi gerombolan burungyang terbang rendah di atas air. Semuanya subhanallah indahnya. Sejauh langkah ini berpijak, semakin banyak tasbih dan syukur terucap pada Rabbi. Subhanallah. Indah niah negeri ini. Terima kasih Allah, atas nikmat yang Kau berikan pada Indonesia :’)

Nonton Teater a.k.a Tidur Siang Bareng


Matahari sudah meninggi. Kawasan Telaga Warna sudah kami telusuri. Sebelum kami pulang, kami memutuskan untuk berkunjung ke Dieng Plateau Theater (Teater Dataran Tinggi Dieng). Letak teater ini menanjak ke atas. Untuk mencapai teater, kami harus menaiki puluhan anak tangga hingga ke atas.

Di teater ini kami disajikan video edukasi yang menceritakan sejarah terbentuknya Dataran Tinggi Dieng. Ternyata, Dataran Tinggi Dieng berasal dari letusan satu gunung yang sangat besar hingga dataran tinggi ini dikelilingi puncak-puncak gunung. Melalui video ini juga Kami akan tahu kapan waktu-waktu menyenangkan saat ke Dieng. Misalnya, kondisi terekstrem di Dieng adalah saat bulan Juni-Agustus. Saat bulan-bulan ini, suhu bisa di bawah 0o C, bahkan embun di pagi hari bisa membeku karena sangat dingin.

Tapi, sebagaimana subjudul bagian ini. Ternyata banyak teman-teman saya bukannya menonton, melainkan malah tidur. Jadilah acara menjelang siang itu bukan nonton teater bareng, tapi tidur siang bareng -,-“

Saat keluar dari pintu teater, salah satu berseru, “Tadi aku gak nonton, tapi tidur. Habisnya capek banget.” Satu orang berseru demikan, ternyata yang lain menyusul dengan satu jawaban, “Sama.” Ckck

Lalu, dengan datarnya Rizki berkata, “Kok pada tidur. Filmnya bagus banget loh.”

“Bagus sih, tapi gak bagus ditonton pas lagi capek. Apalagi instrumennya pas banget buat tidur.” Sahut salah satu di antara kami, saya lupa siapa yang bilang begini.


Sesi foto-foto sebelum "tidur siang bersama"


Oke. Acara nonton teater bersama eh maksudnya acara tidur siang bersama selesai :P


Eh, ada satu oleh-oleh lagi. Saat kami berjalan lagi kurang lebih 3 Km menuju penginapan, kami berbarengan dengan anak-anak yang pulang sekolah. Anak-anaknya kecil-kecil, imut-imut, dengan pipi yang merah-merah. Karena geregetan, kami memutuskan untuk berfoto dulu dengan sekumpulan anak sekolah yang sedang berjalan pulang ^_^

Bersama bocah-bocah Dieng ^_^

(bersambung…,)
27 December 2012
Posted by Lisfatul Fatinah

Ekspedisi Negeri di Atas Awan (Bag. 1)


 Bismillahirrahmanirrahim

Ratna mutu manikam, bagai mutiara yang bertebaran. Itulah kalimat yang layak untuk Tanah Air tercinta. Indonesia, Bumi Pertiwi  tercinta ini adalah secuil tepian surga yang dengan sengaja Allah turunkan ke bumi.

Sebuah Pengantar

Ada banyak cara untuk mensyukuri nikmat yang Allah berikan kepada kita, anak-anak Pertiwi. Pun itu dengan banyak cara untuk mengenal dan mencitai Indonesia. Saya punya dua cara indah yang dapat membuat saya lebih mengenal dan mencintai Indonesia. Dua cara itu, saya sebut sebagai “dua tanjakan cinta”, yang semakin saya menanjaki keduanya, semakin saya memahami arti dari setiap langkah yang saya tempa. Sastra dan petualangan, inilah dua cara indah yang saya lakukan untuk belajar mencintai Tanah Air ini.


Sastra, untaian kata-kata indah dan bermakna sedalam samudera selalu mampu menghipnotis saya. Ia dapat membawa saya pada ranah imajinasi senyata mungkin, membayangkan hamparan tanah dan lautan yang Allah ciptakan sebagai tempat saya berpijak, mahacantiknya Indonesia.

Petualangan, serangkaian perjalanan luar biasa dari langkah-langkah kecil dengan kemauan besar. Berkunjung ke museum, ke hutan-hutan di kaki gunung, hiking ke bukit, pendakian ke gunung-gunung gagah dengan ribuan mdpl (meter di atas permukaan laut), dan membelah lautan adalah jejak-jejak “nekad” yang selalu memberikan kejutan tak terduga di setiap persimpangan jalan.

Petualangan, bagi saya, ke mana pun itu selalu memberikan kenangan luar biasa berkuadrat tak terhingga. Karena setiap perjalanan selalu memberikan saya sebuah pelajaran baru tentang arti sebuah persaudaraan, kehidupan, mimpi, dan perjuangan.

Sehubungan dengan cara kedua, satu punya satu cerita yang ingin saya bagi kepada teman-teman semua tentang sebuah perjalanan luar biasa yang saya lakukan satu bulan lalu.

Ekspedisi Negeri di Atas Awan, begitulah saya menyebut petualangan ini. Ekspedisi ini saya lakukan bersama dengan tujuh manusia yang tak kalah anehnya dengan saya. Mereka adalah  empat teman super unik dari Kompas Khatulistiwa dan tiga sahabat saya yang super ajaib.

Kak Firdha. She is the unic AB. Teman facebook yang bertemu di KOPAJA (Komunitas Peduli Anak Jalanan) ini bergolongan darah AB. Wanita bergaya pakaian amat sangat feminin ini ternyata juga penikmat travelling.

Ajeng. Mahasiswi Komunikasi UI yang seumuran dengan saya, selain feminin dan paling lembut di antara wanita aneh yang ada di antara kami, Ajeng juga selalu yang paling lebar senyumnya setiap bernarsis ria di depan kamera.

Sari. Mahasiswi Komunikasi UI, teman sekelasnya Ajeng. Meski jarang ngobrol dengan Sari, saya suka logatnya yang sangat Sumatera. Sangat senang juga saat keturunan Aceh ini bercertita tentang kampung halamannya.

Rizki. He is The Master. Bukan The Master Magician, tapi masternya travelling di antara kami. Semua itu tidak luput dari latar belakang Rizki yang seorang mahasiswa Arkeologi UI dan punya antusiasme tinggi untuk memperkenalkan kekayaan alam Indonesia kepada pemuda-pemuda Indonesia.

Mbah Lina. Siapa lagi kalau bukan salah satu sahabat saya yang ngomporin saya untuk ikut ke ekspedisi ini. Padahal saat itu keuangan saya sedang kritis. Tapi kalau sudah sama dia, tenang saja, tidak usah takut kekurangan ongkos. Kan Si Mbah bos Kami. Hehe.

Erny. Ini kembaran saya, kata orang-orang. Satu spesies dengan saya, hijabers dan bergamis tapi interest dengan kegiatan yang memicu adrenalin. Hijabers yang suka ngetrek ini sahabat saya, sahabatnya Mbah Lina juga.

Terakhir, Kakek Tiro. Kakek-kakek yang selalu mengaku masih muda ini adalah kakek saya, Mbah Lina, dan Erny. Kakeklah yang akan melindungi kami selaku cucu-cucunya selama ekspedisi ini. Kakek juga yang bertugas mengobati penyakit narsis kami dengan kameranya. Selama ekspedisi, kakek adalah fotografer terbaik sedunia. Secara, hanya kakek yang mau memotret rombongan kami.

Jumat 15 November 2012, Terminal Lebak Bulus

Schedule yang saya terima sebelum malam keberangkatan memberitahukan bahwa pukul 14.00 kami akan berangkat ke Wonosobo dari Terminal Lebak Bulus. Jadi, saya mem-planning harus tiba di Lebak Bulus maksimal pukul 13.30. Ternyata, kondisi lalu lintas Jakarta-Ciputat hari itu sangat mendukung saya. Pukul 12.05 saya berangkat dari Tanah Abang menuju Lebak Bulus dengan bantuan Metro Mini 102 dan tiba di Lebak Bulus pukul 13.15.

Hujan. Lagi-lagi, setiap ingin bepergian jauh, hujan selalu mengantarkan saya. Seakan hujan hendak berkata, “Semoga berkah perjalananmu, wahai makhluk yang disayangi Allah.”

Pukul 13.15 saya berdiri sendirian di depan warung-warung yang berjejer sepanjang terminal. Kakek dan sua sahabat saya ternyata masih membeli sejumlah bekal di mini market daerah Ciputat. Jadi, sambil menikmati denting air yang jatuh dan beradu dengan keramaian terminal, saya menunggu mereka di pinggir jalan.

Pukul 13.45. Tiga orang super rempong itu belum juga datang. Mereka terjebak macet di lampu merah Point Square. Ternyata mereka naik taksi dari Ciputat. Padahal kalau naik angkot dan turun di pasar Jumat, lalu jalan kaki tiga menit ke Lebak Buluk itu jauh lebih cepat. Eh, namanya juga super rempong, pasti yang dipilih yang rempong-rempong. #eh

Pukul 13.50 saya menelepon Kak Firdha yang berdasarkan kabar dari Kakek sudah tiba di bus. Alhasil, saya memutuskan masuk terminal dan meninggalkan tiga orang yang sedang terjebak macet itu. Pukul 14.00 setelah dijemput oleh Rizki, saya tiba di bus. Di bus sudah ada Ajeng, Sari, dan Kak Firdha. Kami berbincang sedikit, hingga tiga orang rempong dari Ciputat datang lima belas menit kemudian.

Eng ing eng. Sudah jam 14.15 tapi bus belum juga berangkat. Tiba-tiba Rizki yang sempat menghilang datang dan bilang, “Kami jalan jam 5 ya.”

“Kok jam 5? Lama amat?” satu per satu dari kami kaget dan langsung protes.

“Kata sopirnya juga jalan jam 5. Kan busnya belum isi,” kata Rizki sambil membetulkan rambut gondrongnya. Mendengar kabar itu semuanya kompak memasang wajah bete sambil berpikir apa yang akan Kami lakukan selama hampir dua jam menunggu? Baca novel? Ngeliatin orang? Melongo ke jendela? Atau tidur?

It’s Time to Go! Dieng, We are Coming!

Pukul 17.00 datang juga. Roda bus Jakarta-Wonosobo yang kami tumpangi akhirnya berputar membawa kami, delapan anak kota yang tak sabar ingin melihat sunrise dari balik Dataran Tinggi Dieng.

Sepanjang perjalanan, kami berbincang satu sama lain. Berhubung saya, Erny, dan Kak Firdha duduk dalam satu bangku, jadi selama perjalanan kami asik membicarakan masa depan KOPAJA hingga mata kami sama-sama terpejam. SeKamir pukul 20.00 bus yang kami naiki tiba di rumah makan, tempat singgah untuk shalat, buang air, dan membeli makan malam.

Bus melaju lagi. Perut sudah kenyang, muka sudah segar karena air wudhu, tapi mata tetap minta untuk dipejamkan. Alhasil, saya tidur. Sementara di samping saya, Erny, masih asik baca novel dengan penerangan seadanya dari senter yang dibawa.

Sabtu, 16 November 2012
Selamat Pagi, Wonosobo! Selamat Pagi, Sunrise Dieng!            

Sebelum matahari Wonosono terbit, mata kami perlahan terjaga. Meski kami tidak janjian untuk bangun di jam yang sama, uniknya kami bangun di jam yang hampir sama –sepertinya setiap perjalanan memang selalu mengikat hubungan antarpelaku perjalanan. Pukul 4.15 waktu Wonosobo kami turun di Plasa, sebuah pertigaan jalan yang dihiasi sebuah tugu besar yang ada di tengah taman.

Di Plasa, Wonosobo



Setelah bernarsis ria beberapa jepretan, kami melanjutkan perjalanan dengan sebuah mini bus ke arah Dieng. Di mini bus ini, penampilan penduduk setempat terlihat sangat berbeda dari kami. Mereka menggunakan jaket, penutup kepala, dan syal yang terlilit di leher mereka.

“Di atas nanti dingin. Pipi penduduk aslinya malah sampai pada merah-merah karena kedinginan,” Rizki yang menjadi orang serba tahu memberikan informasi. Kami yang tidak tahu apa-apa kompak berkoor O-.

Mini bus subuh itu penuh dengan pemuda-pemudi dengan tas-tas besar. Kami dan seluruh penumpang mini bus ini satu tujuan. Kami sama-sama back packer yang hendak melancong ke Dieng, menikmati mahakarya Allah di Negeri di Atas Awan.

Oh iya, di dalam mini bus ini, amat sangat rugi kalau tidur. Kenapa? Karena dari balik kaca mini bus terhampar pemandangan luar biasa langka yang tidak akan bisa ditemukan di Jakarta.  Tebing-tebing batu coklat muda dan kuning gading berdiri tegap bersisian dengan rumah-rumah warga dan disinari sercahan cahaya matahari yang baru terbangun. Subhanallah, mahaindah ^_^

Muka kucel saat di mini bus menuju Dieng


Kurang lebih pukul 5.20 kami tiba di Dieng. Kami mencari masjid terdekat untuk salat Subuh. Di Masjid Baiturrahmah ini kami beristirahat untuk pertama kalinya. Di sini kami juga bertemu dengan back packer lainnya yang semuanya pria. Nah, di sinilah uniknya, kami sesama back packer selalu bertegur sapa, yang lelaki saling berjabat tangan, berkenalan, dan menanyakan asal masing-masing. Setiap travelling, pasti momen seperti ini selalu terjadi. Kami, sesama treveller atau back packer serasa seperti keluarga yang disatukan oleh alam :)

Bbrrrr. Berwudu di masjid Baiturrahmah serasa tidak menggunakan air, tapi es. Airnya sangat dingin, bahkan lebih dingin dari air di Ciater saat Subuh. Tapi, rasa dingin ini serasa hilang ketika mata ini mengintip ke balik pagar dan memutar pandangan, menikmati hamparan ladang sayur mayur yang bersebelahan dengan masjid.

Selesai salat, kami sarapan seadanya dengan bekal yang masih ada di ransel. Eits, seperti biasa, di setiap persinggahan adalah wajib mengabadikan momennya. So, sebelum keluar dari masjid inilah kali pertama kami mengabadikan ekspedisi ini.

 Indahnya masjid Baiturrahmah di tengah bukit-bukit Dieng

Selepas dari masjid, kami tidak langsung ke penginapan, tapi langsung ke tempat penuh kejutan yang pertama, Telaga Warna. Perjalanan menuju Telaga Warna kurang lebih 3 Km. Dengan ransel yang masih menggantung di pundak, kami berjalan beriringan sambil menikmati hamparan pemandangan yang mahadahsyat.

(bersambung…,) 
26 December 2012
Posted by Lisfatul Fatinah

Si Buta Sang Penulis


Bismillahirrahmanirrahim

 Saya mengenal sosoknya sejak 7 Maret 2011 lalu, melalui sebuah film documenter yang diputar pada malam Inagurasi FLP Ciputat. Film ini dibuat oleh seorang teman di Kelas Menulis Skenario. Di dalamnya terdapat seorang remaja SMA penyandang disabilitas pengelihatan. Dalam film berdurasi sekitar dua puluh menit itu saya menyaksikan  remaja tersebut beraktivitas seperti remaja awas lainnya dengan menggunakan sebuah tongkat alumunium. Singkat cerita, tibalah di ending film documenter tersebut  remaja disabilitas ini memperkenalkan dirinya.

Tak ada perasaan apapun saat saya melihat film itu, kecuali kagum dan haru. Sempat terselip keinginan untuk bertemu dengannya, suatu saat nanti. Ya, meski saya tak tahu kapan itu terjadi.  

Selang beberapa bulan kemudian, tepatnya pada pertengahan Oktober 2011, saya diamanahkan untuk menjadi panitia penerimaan anggota baru organisasi kepenulisan yang saya ikuti, Forum Lingkar Pena Ciputat. Di detik-detik terakhir pendaftaran penerimaan anggota baru sekaligus bedah buku, seseorang yang pernah saya lihat menghampiri saya yang sedang duduk di meja presensi. Dia datang menggunakan sebuah tongkat alumunium sambil dibimbing oleh salah seorang teman saya. Dia adalah remaja penyandang disabilitas pengelihatan yang pernah saya lihat melalui film dokumenter beberapa bulan silam.

Saat itu saya baru saja menggeluti dunia disabbilitas. Mungkin karena semangat saya masih hangat, dengan refleks saya bengkit dari tempat duduk dan mengulurkan lengan saya untuk di pegang Sang Penulis.  Kami pun memasuki ruangan yang sudah ramai. Inilah awal perkenalan saya dengan Sang Penulis yang tidak pernah saya duga.

Usianya 17 tahun. Kini ia baru memasuki kelas XII SMA.  Sang Penulis lahir secara normal dan dengan pengelihatan yang sama seperti anak awas pada umumnya. Di sini, saya tidak akan menceritakan secara spesifik tentang disabilitas yang dialami Sang Penulis. Tapi, saya ingin sedikit bercerita tentang perjalanan Sang Penulis dan perjuangan kedua orang tuanya.

Sang Penulis lahir dari keluarga sederhana–jika kesederhanaannya tidak ingin dikatakan kekurangan. Di usianya yang ke 1.5 tahun, Sang Penulis jatuh sakit. Campak, begitulah banyak orang, bukan dokter, mendiagnosa penyakitnya. Panas tinggi menyebabkan Sang Penulis kecil hanya bisa berbaring dan memejamkan mata selama setengah tahun. Obat? Jangan ditanya. Ayahnya yang hanya pekerja serabutan dan ibunya yang tak bekerja hanya memberinya obat warung dan mengompresnya.

Di buan keenam, panas tubuh Sang Penulis turun. Tapi, siapa sangka jika panas tubuhnya adalah kesembuhan baginya? Ternyata bukan. Panas tubuhnya yang menurun adalah awal dari segala kehidupan barunya. Hidupnya yang gulita.

Sesaat setelah demamnya reda, sebuah cairan mengalir dari mata kiri Sang Penulis kecil. Ibu sang penulis membasuh cairan itu dengan tangannya Lalu, setetes darah mengalir. Hanya setetes. Diiringi sebutir benda yang tak tahu itu apa.

Beberapa hari setelah kesembuhannya, Sang Penulis hanya terpejam. Tak ada cahaya yang bisa ditangkapnya. Dokter di kota berkata, mata kirinya sudah tidak ada. Ternyata, butiran kecil yang pernah keluar dari mata kiri Sang Penulis adalah matanya yang sudah mengerut. Sedang mata kanannya kehilangan fungsinya karena terlalu lama terpejam. Syaraf pengelihatannya putus, begitulah dokter menjelaskan.

Sang Penulis tumbuh seperti anak pada umumnya. Bermain, berlari meski harus terbentur tiang atau masuk ke selokan, dan tertawa bersama anak sebayanya. Hanya saja, Sang Penulis tak bersekolah. Ibunya hanya mengajarkan dengan kemampuan apa adanya, maklum, ibu Sang Penulis bukan Ibu yang berpendidikan pula. Di usia empat tahun, Sang Penulis merengek penuh harap agar Ibunya mau melepasnya ke masjid dan belajar mengaji bersama anak lainnya. Tapi sayang, sebagaimana tradisi Sunda, Sang Penulis dilarang ke langgar atau masjid sebelum disunat. Jadilah, Sang Penulis disunat di usia empat tahun agar dapat belajar mengaji dengan anak lain di masjid desa.

Usia Sang Penulis sudah tujuh tahun. Kini ia tinggal di kota. Kendati ia tinggal di kota, nasibnya tetap desa. Sang Penulis hidup apa adanya bersama Ibunya. Sang Penulis tak sekolah. Hingga pada suatu hari datang seorang wanita berjilbab kuning–begitulah kata Ibunya saat bertutur–datang dan menyemangati Ibunya untuk menyekolahkan diri Sang Penulis, kendati uang SPP SLB sangatlah mahal.

Bermodalkan semangat, Sang Penulis sekolah di TK saat teman sebayanya sudah kelas II SD. Tapi, apa dikata, nasib belum berpihak padanya. Sang Penulis putus sekolah karena tersendat biaya.

Usianya kini sudah masuk angka sembilan. Sang Penulis belum melanjutkan sekolah karena biaya. Lalu, seperti bantuan dari surga, seseorang datang dan meminta Sang Penulis sekolah. Masalah biaya, orang itu yang mengurusnya. Lanjutlah, Sang Penulis bahagia. Dia dapat kembali sekolah.

Tak mudah. Meski sudah sekolah, semua tak berjalan mudah. Ibu Sang Penulis bingung akan uang jajan dan ongkos anaknya. Ibunya memutar akal. Alhasil, jadilah Sang Ibu seorang pedagang gorengan dan sayur di sekolah. Ia juga berkeliling komplek sekolah saat Sang Penulis ada di dalam kelas.

Begitulah perjuangan Ibu Sang Penulis untuk menyekolahkannya. Hingga sekarang, ibunya masih bekerja, meski sekadar menjadi kuli cuci. Ayahnya sekarang sudah berdagang.

Keterbatasan pengelihatan, bukan hambatan bagi Sang Penulis. Belakangan, dia mengakui bahwa sejatinya dia tak merasa buta, justru dia merasa sama dengan yang lainnya, seperti kita yang melihat. Apa alasannya? “Karena saya bisa melakukan apa-apa yang bisa kakak lakukan,” ujarnya kepada saya sambil menyengir kuda.

“Eh, kadang aku yang merasa berketerbatasan,” saya menanggapinya.

“Kenapa gitu, Kak Lis?” katanya penasaran.

“Karena aku tidak sehebat kamu,” kata saya beriring tawa.

Sang Penulis ikut tertawa.

Ya, Sang Penulis hebat. Saya berkata demikian, karena banyak hal yang bisa diraihnya tapi tak mampu saya raih. Sang Penulis sudah banyak menuai prestasi di bidang kegemarannya. Seperti namanya, dia ingin menjadi seorang penulis. Sudah banyak prestasi yang didapatnya dari pemerintah. Um, jika teman-teman melihat acara Kick Andy, teman-teman akan mengetahui sosoknya. Sang Penulis sering muncul di layar teve sejak ia di kelas X SMA.

Di beberapa kesempatan, saya sering pergi ke FLP Ciputat bersama Sang Penulis. Kami biasanya naik angkot. Nah, di dalam akngkot ini banyak cerita-cerita mengganjil bagi saya, tapi tidak bagi Sang Penulis. Salah satunya adalah setiap kali saya hendak membayar ongkos, pak supir kebanyakan berkata, “Bawa aja, Neng. Ikhlas kok.”

Dengan wajah bodoh, biasanya saya bengong terlebih dahulu sambil tetap menjulurkan uang. Tapi pak supir terus berkata, “Saya ikhlas.” Dan, saya berterima kasih lalu pergi dengan wajah heran.

Di tengah perjalanan, saya bertanya, “Mereka kok gak mau dibayar ya?”

“Halah, sudah biasa itu mah, Kak Lis. Kasihan sama orang buta. Padahal Eijke mah gak pernah minta dikasihani. Hahaha.” Tawa Sang Penulis meledak. Ya, begitulah Sang Penulis berbicara. Humoris, supel, dan sastrais. Kadang, Sang Penulis berbicara layaknya orang dari zaman dahulu, puitis dan terstruktur seperti membaca sebuah sastra lama.

Saya? Saya hanya senyum-senyum mendengarnya sambil merenungkan kalimat-kalimatnya yang kerap kali bijak.

Di satu kesempatan, saya berbincang-bincang dengan Ibu Sang Penulis. Perbincangan kami layaknya seorang sahabat. Atau, seperti Ibu dan anak yang terlanjur dekat. Pernah, di satu kesempatan, saat saya sedang berkunjung ke rumahnya, ada seorang anak muda mengamen di depan rumahnya. Ketika pengamen itu pergi, Ibu Sang Penulis berdumel hebat.

“Saya paling gak suka lihat pengamen, Neng!” katanya sambil sedikit memonyongkan bibir.

“Hehe, berisik ya, Bu?”

“Bukan masalah berisiknya. Liat aja tadi, mereka masih sehat-sehat. Ngeliat bisa, jalan bisa. Kurang apa? Liat anak saya, biar buta tapi gak ada niatan ngamen. Dia tetap semangat sekolah, belajar ke mana-mana. Jadi kesel rasanya,” Ibu Sang Penulis menunjuk-nunjuk keluar rumah. Kesal.

Saya hanya mengangguk-angguk, senyum-senyum  dan berujar, “Iya ya, Bu.”

Begituah sekilas tentang Sang Penulis dan Ibunya yang, bagi saya, so super^^! Meski finansial tidak mendukung kehidupan mereka, tapi nasib berkata lain. Bantuan seseorang yang membuat Sang Penulis terus sekolah hingga sekarang membangkitkan kembali semangat yang pernah redup. Sang Penulis bisa sekolah seperti biasa. Bahkan sekarang, Sang Penulis sekolah di sekolah biasa, bukan di SLB.

Adalah kepercayaan diri yang besar yang saya temukan pada diri Sang Penulis. Saya pribadi adalah sosok yang kurang percaya diri dan malu-malu. Melihat Sang Penulis dengan kobaran semangat dan percaya dirinya, saya seakan ditampar takdir berkali-kali. Kurang apa saya? Sehat. Fisik lengkap. Uang ada. Dengan kata lain, saya tinggal melaksanakan apa yang saya mau. Tapi nyatanya, nyali saya terlalu ciut untuk mau mengembangkan segala potensi saya.

Ya, beginilah memang manusia. Begini juga hidup.  Tak ada kesadaran jika  tak ada kebodohan. Lama saya mengurung diri dalam kebodohan diri sendiri, mal-malu hingga ditinggal pergi kesempatan. Kini, Sang Penulis datang menyadarkan saya, meski saya tahu Sang Penulis tak merasa melakukannya.

Sosok Sang Penulis yang ekstrovert dan humoris, benar-benar bertolak belakang dengan. Karena kami semakin lama kami semakin dekat dan aktivitas kami sama, di FLP Ciputat dan Kartunet.com, alhasil, jadilah saya semakin ciut di depannya. Kadang–tapi  sepertinya sering–saya terlalu melankolis di hadapannya. Sampai-sampai saya berkali-kali menangis karena kagum pada dirinya. Kalau sudah begini, Sang Penulis hanya tertawa lalu diam, jika dia tahu saya tidak berhenti menangis. -,-“

Oh iya, ada satu lagi. Kasihan. Itulah kata yang sangat sensitif di telinga Sang Penulis. Ingat apa yang saya tuliskan di muka? Sang Penulis pernah berkata “Saya tidak minta dikasihani karena saya bisa seperti kalian.” Atau omelan Ibu Sang Penulis yang nyata-nyata tak ingin anaknya mengamen atau mengemis.

Sebuah kata kasihan memang kerap muncul di mulut teman-teman yang baru menyentuh dunia disabilitas. Tapi tahukah kalian, teman-teman, bahwa kasihan tidaklah ada di kamus mereka. Karena mereka, sebagaimana yang dikatakan Sang Penulis, tidak membutuhkan belas kasihan.

Pada satu kesempatan saya berpikir, kenyataannya bukan merekalah yang membutuhkan belas kasih dari kita yang merasa “normal”. Justru kita yang “normal” yang perlu dikasihani karena kadang kita tak menyadari bahwa ketidaknormalan sebenarnya sudah merajai hati, yakni hilangnya kepekaan hati kita.

Dari Sang Penulis, secara khusus saya belajar menghargai kemampuan diri saya sendiri. Bahwa kemampuan bukan pada kata ‘bisa’ atau ‘tidak bisa’, kemampuan kita ada pada kata ‘mau’ atau ‘tidak mau’. Meskipun kita bisa tapi tak mau, apa gunanya? Ya, begitulah saya mencoba mencontoh kepercayaan diri Sang Penulis tanpa menghilangkan sikap yang sudah ada pada diri saya.

Akhiran, dari Sang Penulis, dari kehidupan teman-teman disabilitas lainnya, saya pribadi belajar mengasihani diri sendiri untuk tidak berlarut-larut dalam keadaan alpa. Untuk kesekian kalinya, tak lupa pula bersyukur, karena kelengkapan fisik yang seharusnya kita mampu mengaktualisasikan diri. Wallahu a’alam.



Posted by Lisfatul Fatinah

Sepasang Matahari, Sang Sumber Inspirasi


Bismillahirrahmanirrahim

Bismillah… Menjalani hidup sebagai anak korban broken home, tentunya kita tahu seperti apa rasanya. Tapi bukan ini yang akan aku paparkan dalam tulisan sederhanaku.Kusadari, bukan hal mudah menjalani peran sebagai anak korban broken home.Hingga kemudian, saat kaki ini mulai terasa lelah menapak alur skenario hidup, dalam pemberhentianku di antara terik untuk sejenak mengusap peluh, aku belajar menatap titah hidupku dari perspektif lain, pada sudut pandang yang nampak terang, tanpa bayang kabut yang menghijabi kebeningan hati.

Meskipun, broken home menjadikan aku pincang tanpa seorang ayah, buta dan tuli tanpa kesempurnaan cinta seorang ibu.Tapi…, broken home mengajariku, tentang bagaimana aku harus memanage konsep ikhlas dalam penerimaan terhadap titah-Nya.

Menerima kehilangan sebagai bentuk proses penempaanku untuk belajar mandiri menghadapi dinamika hidup, tidak terlalu bergantung pada sosok seorang ayah. Broken home menuntunku untuk semakin mendekat dengan ruang kesabaran dan membuka kesadaranku bahwa keluh tidaklah mampu meringankan beban yang menindih pundak. Hanya dengan mendekat, bercakap dan memohon pada-Nya kedamaian hati itu aku dapat.

Tiga paragraf di atas saya terima kemarin pagi, dari sebuah cacatan seorang adik yang jauh dari pandangan mata. “Catatan Hati Anak Korban Broken Home - dari Dakwatuna.com”, begitulah judul yang tertera di catatannya. Membaca judulnya saja, bibir saya sudah menyunggingkan senyum tipis, mata berkaca karena tak kuasa membayangkan wajahnya saat membaca dan memosting tulisan ini.

“Tulisan diatas memang boleh sekadar copas. Ini bukan sekadar inspirasi, tapi juga improvisasi hati. Terwakili oleh tulisan ini :)” begitulah kalimat penutup tulisan di cacatan yang saya baca pagi ini yang sempurna membuat airmata saya menyeruak dari kantungnya. Saat itu juga saya benar-benar ingin memeluknya dan memeluk adik yang lainnya.

Jika dirunut, saya tak percaya bahwa saya bisa menangis karena adik yang satu ini, padahal mulanya kami hanya dua orang yang saling sapa dan berbagi informasi di dunia maya. Dulu, kami hanya saling kenal melalui tulisan kami di blog dan facebook.

***

Adalah salam yang membuat setiap insan saling mengenal. Adalah pertemuan yang membuat setiap kenal menjadi ikatan. Adalah Islam yang membuat setiap ikatan lebih dari sekadar persaudaraan.
Allah Menciptakan banyak rahasia dalam setiap perkenalan. Dia Yang Berkuasa penuh atas setiap ruh ukhuwah yang ditiupkan dalam relung-relung pertemanan. Entah itu peduli, sayang, dan kasih.

Ini adalah serangkaian cerita yang Allah reka untuk saya. Ini adalah penggalan kisah yang saya punya, dan saya bahagia karena-Nya. Ini adalah tentang sepasang matahari di hati saya yang Allah kirimkan melalui perkenalan tak terduga. Merekalah dua cahaya yang telah menghangatkan sisi hati saya yang pernah membeku.

Matahari Pertama; Bunga Matahari

Saya memanggil matahari yang pertama dengan nama Dinda Herlian. Dinda berarti dia adalah adik kesayangan saya, Herlian berarti bunga matahari –bunga kesukaannya. Herlian seorang gadis pendiam, punya dunia imajinasinya sendiri, gemar mempelajari budaya Uzbekistan dan Kazakhstan, suka menulis dan menggambar anime.

Saya mengenalnya 2009 lalu di dunia maya. Usia kami terpaut di angka dua. Saat itu saya masih duduk di bangku kelas XII, Herlian di kelas X. Dalam satu sisi, kami sama-sama tertarik mempelajari bahasa Rusia. Jadi, kami menjadi semakin dekat karena sepanjang pertemuan di dunia maya atau pun dunia nyata, yang kami bahas tak jauh seputar budaya dan bahasa Rusia.

Banyak yang mengatakan wajah kami serupa. Mungkn karena kami sama-sama bermata sayu dan berkaca mata. Hanya saja, Herlian lebih tinggi dari saya, sehingga kalau teman-temannya melihat kami berdua yang terdengar adalah pernyataan, “Itu adik kamu, Herlian?”

Herlian banyak bertanya tentang keluarga saya, kesukaan saya, segala hal tentang aktivitas keseharian saya, bahkan juga tentang pelajaran saya di sekolah. Ya, meskipun dia bukan siswa IPA, dia selalu banyak tanya tentang pelajaran IPA. Sebaliknya, saya tidak punya ketertarikan sedikitpun untuk menanyakan pelajara IPS-nya. Begitulah, kami bisa berjam-jam mengobrol melaluilayar laptop masing-masing. Hingga Allah memberikan kami kesempatan untuk bertemu, setelah lebih dari satu tahun berkenalan sebatas kata dan tulisan. Begitulah skenario Allah. Dia Mengatur sebuah salam di dunia maya, mempersatukan kami, dan waktu membantu mempererat hubungan kami.

Kini, kami bukan sebatas teman di dunia maya. Saya dan Herlian sering bertemu di acara-acara yang berhubungan dengan Rohis sekolah dan budaya Rusia. Kami semakin dekat, semakin akrab.

“Aku jadi adiknya Kak Lis, Kak Lis jadi kakakku. Adil kan?” kata Herlian suatu hari. Dia meresmikan hubungan persaudaraan kami. Saya anak bungsu dan Herlian anak sulung. Saya menginginkan seorang adik dan Herlian menginginkan seorang kakak. Maka, jadilah kami sepasang adik-kakak yang berjumpa dari rahim berbeda.

Hari demi hari berkelindan menjadi hitungan tahun. Kami semakin akrab, semakin dekat. Semua cerita yang Herlian punya juga punya saya.

Banyak kisah yang semakin sering saya dengar tentang dirinya. Kisah-kisah itu bisa diiringinya dengan tawa ataupun air mata. Tapi, Herlian lebih sering bercerita dengan air mata, meski saya tahu air mata itu terlalu sering dikurungnya. Enggan ditumpahkan, meski saya sudah siap menampungnya.

Herlian kerap menceritakan adik satu-satunya yang tidak pernah akur dengannya, dan tentang kedua orang tuanya yang tak pernah akur satu sama lain. Ibu dan Bapaknya sangat sering bertengkar. Ibunya memutuskan keluar dari rumahnya dan tinggal sendirian, meninggalkan Herlian dan Bapaknya.

Kondisi ini membuat Herlian kerap kali merasakan ketidaknyamanannya di rumah. Kegaduhan dan keributan yang terjadi di antara Ibu dan Bapaknya membuat Herlian tidak betah di rumah. Kalau sudah begini, saya harus sering-sering meneleponnya. Membujuk Bunga Matahari ini agar tidak “minggat” dari rumah.

"Durhakakah jika aku membeci Bapak yang menelantarkan kami? Yang meski serumah, tidak pernah menafkahi kami?” tanya Herlian satu waktu, membuat saya menarik napas panjang.

“Bolehkah aku pergi dari rumah, Kak? Meninggalkan Bapak. Pergi dari Ibu. Aku ingin tenang, seperti adik yang sudah ‘mengungsi’ di kampung halaman,” Herlian bertanya lagi di lain kesempatan.

Tak banyak yang bisa saya jawab. Kadang hanya sepotong kalimat, “Seburuk apapun, mereka tetap kedua orangtuamu dan kamu masih memiliki kewajiban untuk berbakti pada mereka.”

Bukan hanya lewat pertanyaan-pertanyaannya, Herlian juga sering membuat saya terkejut dengan sms atau telepon permohonannya. Apalagi bentuk permohonan Herlian jika bukan meminta saya datang menghampirinya dan mendengarkan semua yang ingin diungkapkannya. Jika sudah begini, saya harus bergegas melakukan perjalanan Tanah Abang-Depok dengan KRL, bahkan beberapa kali saya mengorbankan jadwal kuliah karena kekhawatiran saya pada dirinya.

Setiap Herlian meminta saya datang ke Depok, ada senang sekaligus sedih yang beremulsi dalam hati. Senang, karena saya akhirnya bisa berjumpa lagi dengannya. Sedih, karena harus mendengarkan kesedihannya. Beginilah, pertemuan saya dan Herlian kerap diisi dengan curahan hatinya akan sikap kedua orang tuanya. Sering, airmata yang dia tunjukkan kepada saya.

Jika saya tidak bertemu dengannya, komunikasi kami berlanjut melalui telepon. Pada waktu-waktu tertentu kami membuat pertemuan suara, berjanjian untuk saling mendengarkan dan berbagi bercerita melalui telepon. Tapi, sayangnya seiring dengan kesibukannya belajar dan saya juga harus kuliah juga mengajar di malam hari, waktu kami untuk bercerita melalui telepon semakin berkurang. Herlian sering mengeluhkan kesibukan saya yang membuat saya jarang menghubunginya.

Karena keluhannya, saya mencari cara agar kami bisa tetap berkomunikasi dan berbagi cerita. Alhasil, awal tahun lalu saya membeli dua buah buku diary. Satu saya berikan kepadanya, satu untuk saya pegang sendiri. Saya meminta dia untuk menuliskan semua curhatannya di buku diary yang saya berikan, demikian juga saya. Kami punya kesepakatan, setiap kami bertemu, kami saling bertukar buku diary, membaca curhatan satu sama lain, dan sibuk mengomentari setiap curhatan di kolom yang sudah kami siapkan.

Cara yang saya terapkan kepada Herlian memang aneh. Tapi, saya pikir cara inilah yang terbaik untuk saat ini, ketika saya dan dirinya mulai sibuk dan mengkhawatirkan akan saling mengganggu jika terlalu sering berhubungan lewat telepon.

Sebenarnya, dengan cara saya ingin Herlian belajar untuk tidak terus mengeluh dan mengadukan keluh kesahnya kepada saya. Saya ingin mengajarkan kepadanya untuk mengadukan keluh kesah ini kepada Allah saja. Maybe, dengan menulis dia bisa berimajinasi bahwa tulisan-tulisan itu akan dikirimnya kepada Allah dan Dia akan membaca segala pengaduannya. Ya, meskipun saya yakin Herlian tahu bahwa Allah Maha Mendengar, meski yang tersembunyi dalam hati.

Selain itu, melalui tulisannya sendiri saya ingin mentransfer kesedihan dan energi negatif yang dimiliki Herlian menjadi energi positif, bahwa kesedihannya bisa dituangkannya ke dalam bentuk cerita yang sekaligus bisa mengasah kemampuan belajarnya. Ternyata berhasil. Herlian yang gemar membuat gambar manga dan cerita kini mulai memadukan tulisan curhatannya dengan imajinasinya. Setiap curhatannya diberikan ilustrasi. Bahkan, Herlian membuat karakter saya dalam versi manga.

Saya tidak tahu apakah Herlian masih menuliskan curhatannya. Mengingat kesibukannya di tahun pertama kuliah, saya berharap Herlian bisa menemukan kesibukan positif yang menyibukkan pikirannya dan membuatnya lupa akan kesedihannya di rumah :’)

Matahari Kedua; Abang Ganteng yang Semakin Cantik

Dia datang dengan cara istimewa dalam perjumpaan istimewa, karena dia istimewa. Abang Cahya, begitulah cara saya memanggilnya.

Pertama kali saya melihatnya adalah di pelatihan calon anggota FLP Ciputat. Saat itu hujan lebat. Saya harus berteduh lebih lama dan datang terlambat. Saya duduk di barisan paling belakang, saat pelatihan menulis sudah dimulai. Saat itulah saya melihat sosok Abang.

Abang duduk di depan saya, mengenakan jaket birunya yang lusuh. Di antara seluruh mahasiswa UIN yang berhijab dan berpakaian rapi, Abang tampak berbeda. Dia hanya berkaus oblong, bercelana jeans, rambut bondol, dan cuek –hampir sama cueknya seperti saya.

Abang tidak memerhatikan pembicara di depan, dia sibuk menggambar di atas buku-bukunya yang tebal. Saat pertama kali memerhatikannya menggambar, di saat itu pula saya merasakan bahwa Abang berbeda. Abang Cahya istimewa.

Hampir setiap  pekan kami  bertemu di Kesekretariatan FLP Ciputat dan di kelas menulis novel. Lambat laun, kami semakin dekat, semakin akrab. Abang juga sering menceritakan teman-teman nongkrongnya yang biasa mengajaknya bermain di salah satu taman kota hingga pagi buta. Abang Cahya mengaku nyaman dengan teman-temannya yang bisa dibilang “begajulan”. Alasannya? Abang lebih nyaman di luar rumah dibandingkan di dalam rumahnya.

Sama seperti Herlian, Abang berasal dari keluarga yang patah. Keadaan rumah yang kurang harmonis membuatnya sangat enggan untuk berlama-lama di rumah. Tak banyak yang saya tahu tentang detail ketidakharmonisan orang tua Abang. Toh, kalau pun saya tahu, semua itu bukanlah hal yang indah untuk dituliskan di sini.

Yang selama ini saya tahu, kepenatan  Abang dilampiaskan dengan nongkrong hingga malam di Taman Suropati dan rokok. Beberapa kali Abang pernah merokok di depan saya dan selalu mata melotot yang saya tunjukkan padanya. Atau, saya akan menjauh darinya sebagai tanda protes saya padanya.

Ada satu cara baru yang temukan untuk melawan kebiasaan buruk Abang. Ketika Abang sudah mengeluarkan rokok saya langsung mengajaknya “hang out” –dengan pengertian hang out yang berbeda.  Saya mengajaknya ke masjid, memintanya menemani saya mengaji dan berharap dia mengikuti saya salat atau tadarus. Atau, saya mangajaknya makan di rumah makan terdekat, setelah itu kami makan Magum –ice cream kesukaannya, dan bercerita panjang lebar tentang apa saja.

Tak banyak yang saya tahu tentang Abang. Hanya satu hal yang satu tahu persis, bahwa setiap orang yang mengenal saya dan dirinya akan menyebutkan satu kata yang sama untuk kami berdua, “misterius”.

Pernah suatu hari, saat saya bertemu dengannya, Abang melarang saya pulang. Hingga cukup malam, saya dan dia hanya duduk di dalam masjid. Saya tidak tahu apa yang Abang inginkan malam itu. Kami hanya duduk bersisian. Tanpa berbicara satu sama lain. Sedikitpun.

Kurang lebih satu jam kami sama-sama menatap ke depan. Nanar. Tanpa sepotong kata. Kemudian Abang mengeluarkan suaranya, lebih tepat pertanyaannya.

“Bagaimana sih sebenarnya anak indigo itu? Apa setiap anak sepertiku aneh?” Saya melihat pipinya mulai basah saat mengatakan itu.

Ya, Abang seorang anak istimewa. Sejak pertemuan pertama dengannya, saya sudah merasakan keistimewaan itu. Abang Cahya, cahaya hati saya yang berbeda adalah seorang anak indigo. Banyak hal yang baru saya ketahui tentangnya saat itu. Tentang kisah di balik keindigoan dan keluarganya yang patah.

Karena keindigoannya, Abang sering dipandang aneh oleh teman-teman sekolahnya. Bahkan, tak sedikit yang menjauhinya hanya kerena keindigoannya. Yang paling menyakitkan adalah banyak orang-orang tak bertanggung jawab yang memanfaatkan keindigoan Abang.

Abang kerap menjadi kambing hitam karena Abang memanfaatkan keindigoannya untuk orang lain. Hal ini karena tanpa sepengetahuan Abang, orang yang dibantu dengan keindigoannya itu adalah orang yang tidak baik dan memanfaatkan keindigoan Abang untuk hal yang tidak baik.

Ejekan, tatapan mencibir, dan sayup-sayup pembicaraan yang seketika hening ketika Abang datang adalah beberapa tanda bahwa Abang tidak disukai banyak orang di lingkungannya. Masalah di rumahnya saja sudah membuatnya tidak ingin pulang, lantas apakah Abang akan tidak ingin sekolah karena sikap teman-temannya?

Saat itu saya menjelaskan panjang lebar tentang ketidaknyamanan serupa yang dirasakan orang lain selain dirinya. Saya hanya berkata, “Tatapan aneh itu bukan milikimu saja, Abang. Tatapan aneh itu juga milik orang lain yang bernasib sama denganmu.”

Kini Abang sudah mengurangi intensitasnya nongkrong dan merokok. Abang sudah beranjak dewasa. Pakaian serba kebesaran dan ajket lusuhnya sudah mulai ditinggalkan. Kini Abang perlahan menggunakan kemeja perempuan, berdandan, menggunakan bandana, dan tutur katanya berubah. Abang sudah mengerti arti kehidupan, meski dalam arti yang tidak sama dengan saya dan kalian. Kini Abang bertekad menghidupi dirinya sendiri dengan bekerja.

***

Sebenarnya apa yang ingin saya sampaikan kepada kalian melalui tulisan panjang ini? Simpel, saya ingin menunjukkan kepada kalian tentang sisi kehidupan yang baru. Satu dinding kehidupan yang mungkin tidak pernah terbayangkan oleh kalian, tapi ada di sekitar kita. Dinding kehidupan itu milik anak-anak seperti Herlian dan Abang Cahya.

Ada arti kehidupan yang baru yang saya ambil dari kehidupan mereka. Arti kehidupan dan kebahagiaan yang berbeda, dari sudut kehidupan yang berbeda.

Sebuah rumah mungkin menjadi tempat “persembunyian” paling indah bagi sebagian dari kita, tapi menjadi temapat paling menyakitkan bagi sebagain lainnya. Misalnya saja bagi Herlian dan Abang Cahya.

Rumah bagi keduanya bukanlah tempat yang baik untuk kembali. Justru, seperti yang sudah saya ceritakan di atas, keduanya memilih untuk tidak di rumah atau tidak kembali ke rumah. Mengapa semua itu terjadi? Hanya satu jawabannya; karena surga telah hilang dari dalam rumah mereka.

Dua matahari hati saya memiliki dua cara berbeda untuk melampiaskan protesnya pada Titah Allah. Herlian lebih memilih meninggalkan rumah dan menginap di rumah temannya, yang justru membuatnya semakin iri dengan keharmonisan rumah temannya. Abang Cahya, memiliki melampiaskan kesendiriannya dnegan fotografi dan menikmati hidupnya dengan menongkrong dan merokok.

Jika saya boleh menyebut hidup kedua matahari kecil ini adalah hidup yang tidak bahagia, maka usaha mereka untuk keluar dari rumah dan mencari kehidupan baru di luar sana adalah sebuah usaha untuk mencari kebahagiaan yang berbeda dengan cara menikmati yang berbeda. Ya, meski kita semua tahu bahwa sejatinya kebahagiaan yang sebenarnya indah adalah kebahagian bisa berkumpul dengan keluarga, dalam keadaan utuh.

Bagi sebagian orang, bahagia mungkin adalah kecukupan harta dengan fasilitas hidup yang mewah dan makanan serba nikmat di lidah. Tapi bagi dua matahari kecil ini, bahagia adalah keutuhan keluarga, rumah yang nyaman sebagai tempat pulang sekolah, dan orang tua yang selalu menampakkan suara lembut dan keakraban di depannya.

Dua matahari kecil ini mengajarkan saya sebuah usaha lebih dalam hidup, bahwa kebahagian hidup tidak bisa dilakukan hanya dengan berpangku tangan atau dengan menangisi nasib yang tidak sepihak dengan hati. Kebahagian hidup bisa kita usahakan dengan bergerak di luar sana.

Dari dua matahari kecil ini saya belajar arti hidup yang baru. Bahwa hidup bukan sekadar untuk menggapai mimpi, tapi untuk menikmati hidup itu sendiri. Bahwa hidup bukan sekadar untuk bersenang-senang, tapi berusaha menggapai kesenangan.

Usaha kesenangan itulah yang membedakan kita dengan miliyaran manusia yang ada di muka bumi ini. Perbedaan usaha kita menggapai kebahagiaan dan makna hidup yang sesungguhnya membuat kita merasakan kebahagiaan dan makna hidup yang berbeda.

Apapun makna kebahagian hidup itu, semoga anak-anak broken home seperti dua matahari kecil ini bisa menemukan kebahagian yang masih di koridor Islam dan dalam tuntunan Allah swt. Semoga perjalanan mencari kebahagian ini  berakhir pada keberserahan diri akan takdir Allah, yang pasti di dalamnya ada janji-janji kebahagiaan yang tak teringkari.

Semoga proses mencari kebahagiaan yang mereka lakukan menjadikan mereka pribadi yang kuat. Semoga kehidupan yang berbeda ini memberikan pelajaran pada kita bahwa setiap dari kita harus memberikan kebahagiaan kepada anak-anak kita kelak seperti kebahagian yang kita cari saat ini.

"Broken home memproteksi hatiku, mematikan rasa agar senantiasa terjaga kesuciannya, tak tersentuh oleh sosok yang tak semestinya dan menanggalkan pengharapan dalam penantian yang keliru. Karena hanya Allah, Allah sang pemilik hati. Dia yang akan menentukan pada siapa esok hati ini akan tertaut membentuk ikatan suci. Menjadi anak korban broken home karena Allah mencintaiku lebih dari yang lain, Allah menginginkan aku tumbuh menjadi individu tangguh yang senantiasa dekat denganNya.Menjadi anak korban broken home? Kenapa harus menangis (lagi)??![Paragraf Penutup Catatan Herlian]

Jazakumullah, dua matahari kecil yang telah memberikan kenikmatan perkenalan kepada diri yang dhoif ini. Adalah kesyukuran tiada tara akan karunia Allah yang telah memberikan saya orang tua yang masih tinggal serumah. Adalah nikmat tiada bertepi ketika saya bisa mengenal kalian dengan cara berbeda dengan kisah yang beda.

Dua matahari kecil saya, Herlian dan Abang Cahya, adalah dua gadis kuat pilihan Allah yang diistimewakan-Nya dengan cara berbeda. Semoga Allah Mengangkat derajat kalian melalui kisah dan ketabahan kalian menjalankan alur kisah yang dititahkan-Nya. Amin.
21 December 2012
Posted by Lisfatul Fatinah

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -