Archive for August 2012

Pengertian Autisme


Autis berasal dari bahasa Yunani, dari kata “autos” yang berarti sendiri. Dalam kamus psikologi umum (1982), autisme berarti preokupasi terhadap pikiran dan khayalan sendiri atau dengan kata lain lebih banyak berorientasi kepada pikiran subyektifnya sendiri daripada melihat kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, penyandang autis sering disebut orang yang hidup di “alamnya” sendiri.
Dulu anak-anak yang mengalami gangguan autis sering dideskripsikan dalam berbagai istilah seperti chilhood schizophrenia (Bleuer), sedangkan Margareth Mahler (1952) menyebutnya dengan symbiotic psychotic children dengan gejala-gejala tidak dapat mengembangkan self-object differentiation.
Belakangan istilah psikosis cenderung dihilangkan, dan dalam Diagnostic and Statistical Maunal of Mental Disorder edisi IV (DSM-IV) autis digolongkan sebagai gangguan perkembangan pervasif (pervasive developmental dis-orders), secara khas gangguan yang termasuk dalam kategori ini ditandai dengan distorsi perkembangan fungsi psikologis dasar majemuk yang meliputi perkembangan keterampilan sosial dan bahasa, seperti perhatian, persepsi, daya nilai terhadap realitas, dan gerakan-gerakan motorik.
Autis pertama kali dikemukakan oleh Dr. Leo Kanner 1943 seorang psikiatris Amerika. Istilah autisme dipergunakan untuk menunjukkan suatu gejala psikosis pada anak-anak yang unik dan menonjol yang sering disebut Sindrom Kanner (untuk membedakan dengan sidrom Asperger atau autis Asperger). Ciri yang menonjol pada sindrom Kanner antara lain ekspresi wajah yang kosong seolah-olah sedang melamun, kehilangan pikiran dan sulit sekali bagi orang lain untuk menarik perhatian mereka atau mengajak mereka berkomunikasi.
28 August 2012
Posted by Lisfatul Fatinah
Tag :

Dampak Gangguan Emosi dan Tingkah Laku bagi Anak dan Lingkungan


Gangguan atau hambatan emosi dan tingkah laku yang dialami anak GETL mempunyai dampak negative bagi dirinya sendiri maupun lingkungan sosialnya. Perasaan tidak berguna bagi orang lain, perasaan rendah diri, tidak percaya diri, perasaan bersalah, dan lain sebagainya menyebabkan anak GETL merasakan adanya jarak dengan lingkungannya.
Salah satu dampak serius yang dialami anak GETL adalah tekanan batin berkepanjangan sehingga menimbulkan perasaan merusak diri sendiri. Apabila anak GETL kurang mendapatkan perhatian dan penanganan dengan segera, anak GETL akan semakin terperosok dan jarak yang memisahkan anak dari lingkungan sosialnya akan semakin bertambah besar.
Terkait tekanan batin yang berkepanjangan ini, Schloss (Kirk dan Gallagher, 1986) disebabkan oleh ketidakberdayaan yang dipelajari dan tidak mampu merespon dengan baik terhadap stimulasi sosial, keterampilan sosial yang minim, dan konsekuensi paksaan yang berpengaruh pada tekanan batin yang berlarut-larut.
Untuk menghadapi hal-hal di atas, kita hendaknya dapat memngaruhi lingkungan mereka, mengajar, dan menguatkan keterampilan sosial antarpribadi yang lebih efektif, serta menghindarkan mereka dari ketergantungan dan penguat ketidakberdayaan.
Posted by Lisfatul Fatinah

Faktor Penyebab Gangguan Emosi dan Tingkah Laku


Dinamika keadaan yang melatarbelakangi anak GETL beserta gejala-gejalanya perlu ditelusuri untuk memberikan pemahaman yang jelas tentang anak GETL. Dengan memahami hal itu akan mempermudah dalam usaha menanggulangi atau memberikan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan anak.
Dari berbagai faktor yang berkaitan dengan masalah anak GETL, berikut dibahas mengenai kondisi atau keadaan fisik, masalah perkembangan lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.

a.     Faktor Kondisi atau Keadaan Fisik
Beberapa ahli meyakini bahwa disfungsi kelenjar endokrin dapat mempengaruhi timbulnya gangguan tingkah laku atau dengan kata lain kelenjar endokrin berpengaruh terhadap respon emosional seseorang. Bahkan dari hasil penelitiannya, Gunzburg (Simanjuntak, 1947) menyimpulkan bahwa disfungsi kelenjar endokrin merupakan salah satu penyebab timbulnya kejahatan. Kelenjar endokrin ini mengeluarkan hormone yang memengaruhi tenaga seseorang. Bila secara terus menerus fungsinya mengalami gangguan, maka dapat berakibat terganggunya perkembangan fisik dan mental seseorang sehingga akan berpengaruh terhadap perkembangan wataknya.

Kondisi fisik ini dapat pula berupa kelainan atau kecacatan baik tubuh maupun sensoris yang dapat memengaruhi perilaku seseorang. Kecacatan yang dialami seseorang mengakibatkan timbulnya keterbatasan dalam memenuhi kebutuhannya baik berupa kebutuhan fisik-biologis maupun kebutuhan psikisnya.

Masalah ini menjadi kompleks dengan adanya sikap atau perlakuan negative dari lingkungannya. Sebagai akibatnya, timbul perasaan rendah diri, perasaan tidak berdaya atau tidak mampu, mudah putus  asa, dan merasa tidak berguna sehingga menimbulkan kecenderungan menarik diri dari lingkungan pergaulan atau sebaliknya, memperlihatkan tingkah laku agresif, atau bahkan memanfaatkan kelainannya untuk menarik belas kasih lingkungannya. Dengan demikian, jelaslah bahwa kondisi atau keadaan fisik yang dinyatakan secara langsung dalam ciri-ciri kepribadian atau secara tidak langsung dalam reaksi menghadapi kenyataan memiliki implikasi bagi penyesuaian diri sesorang.

b.     Faktor Masalah Perkembangan
Erikson (Singgih D. Gunarsa, 1985: 107) menyatakan bahwa setiap memasuki fase perkembangan baru, individu dihadapkan pada berbagai tantangan atau krisis emosi. Anak biasanya dapat mengatasi krisis emosi ini jika pada dirinya tumbuh kemampuan baru yang berasal dari adanya proses kematangan yang menyertai perkembangan. Apabila ego anak dapat mengatasi krisis ini, keegoan yang matang akan terjadi, sehingga individu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dan masyarakatnya.

Adapun ciri yang menonjol dari masa krisis individu adalah sikap menentang dan keras kepala. Kecenderungan ini disebabkan karena anak sedang dalam proses menemukan jati dirinya. Anak menjadi merasa tidak puas dengan otoritas lingkungan, sehingga timbul gejolak emosi yang meledak-ledak seperti marah, menegang, memberontak, dan keras kepala.

Sebagaimana diuraikan di atas bahwa segala tindakan yang dilakukan anak pada masa kritis bertujuan untuk menarik perhatian yang didorong oleh tuntutan pengakuan egonya. Jika pada masa ini anak banyak mendapatkan rintangan dan tantangan, akan timbul akibat yang dapat merugikan kelangsungan fungsi-fungsi dan psikis pada masa ini dan dapat mengakibatkan kemunduran individu.

Pada masa ini jiwa anak masih labil dan banyak mengandung risiko. Jika anak kurang mendapatkan bimbingan dan pengarahan dari orang dewasa, anak akan mudah terjerumus pada penyimpangan tertentu dan menjadikan anak termasuk dalam anak GETL.

c.      Faktor Lingkungan Keluarga
Dalam pembahasan sosial, keluarga menjadi ruang sosial pertama bagi anak. Keluarga pulalah yang memiliki pengaruh terbesar akan kelangsungan perkembangan anak. Karena, dari keluargalah anak menadapatkan pengalaman pertama perasaan dan sikap sosial. Lingkungan keluarga yang tidak mampu memberikan dasar perasaan aman dan dasar untuk perkembangan sosial dapat menjadikan anak GETL. Dalam hal ini, ada banyak aspek keluarga yang menyebabkan terjadinya anak GETL, seperti faktor kasih sayang, keharmonisan keluarga, dan ekonomi keluarga.

Kurangnya kasih sayang yang diterima anak dapat mengakibatkan anak mencari kasih sayang dan perhatian di luar rumah. Dalam kasus lain, anak mugkin saja tidak mencari kasih sayang di luar rumah, tetapi anak dengan sengaja melakukan tindakan yang tidak sesuai norma untuk menarik perhatian lingkungan keluarganya.

Lain halnya dengan kasus di atas, sebagian anak ada yang mendapatkan kasih sayang yang berlebihan dari keluarga hingga anak tumbuh menjadi anak yang manja. Karena perlakuan ini anak menjadi ketergantungan dan mudah menyerah, sehingga anak tumbuh menjadi pribadi yang tidak percaya diri dan rendah diri.

Keharmonisan dalam keluarga juga berpengaruh dalam perkembangan anak. Kondisi rumah yang kacau dan keluarga yang terpecah sangat berpeluang menjadikan anak dalam keluarga sebagai anak GETL.

Di samping hal di atas, lemahnya kondisi ekonomi keluarga dapat pula menjadi salah satu penyebab tidak terpenuhi kebutuhan anak.Padahal, hal seperti yang kita ketahui bersama pada tingkat perkembnagan tertentu anak memiliki keinginan-keinginan untuk menyamai teman yang lainnya.

Tidak terpenuhinya kebutuhan anak dalam keluarga akibat ekonomi lemah mendorong anak mencari jalan sendiri yang kadang mengarah pada tindakan antisosial. G.W. Bawengan (1977) menyatakan bahwa kondisis-kondisi seperti kemiskinan atau pengangguran secara relative dapat melengkapi rangsangan-rangsangan untuk melakukan pencurian, penipuan, dan perilaku menyimpang lainnya.

d.     Faktor Lingkungan Sekolah
    Selain sebagai tempat pendidikan, tak jarang sekolah menjadi tempat penyebab timbulnya gangguan tingkah laku dan emosi pada anak. Hal ini seperti yang dikemukakan Sofyan Willis (1978) bahwa dalam rangka pembinaan anak didik kea rah kedewasaan, kadang-kadang sekolah juga menjadi penyebab dari timbulnya kenakalan remaja.

e.     Faktor Lingkungan Masyarakat
     Bandura (Kirk dan Gallagher, 1986) menyatakan bahwa salah satu hal yang nampak memengaruhi pola perilaku anak dalam lingkungan sosial adalah keteladanan, yaitu meniru perilaku orang lain. Di samping meniru hal-hal positif, di lingkungan masyarakat juga terdapat banyak sumber yang merupakan pengaruh negative yang dapat memicu munculnya perilaku menyimpang. Hal ini dapat terjadi lebih tinggi lagi di kota-kota besar yang mana di dalamnya tersedia berbagai fasilitas tontonan dan hiburan yang kurang tersaring oleh budaya lokal.

Masuknya pengaruh kebudayaan asing yang kurang sesuai dengan tradisi yang dianut masyarakat yang diterima begitu saja oleh kalangan remaja dapat menimbulkan konflik yang bersifat negative. Di satu piahk para remaja menganggap kebudayaan asih tersebut benar, sementara di pihak lain masyarakat masih memegang norma-norma yang bersumber pada adat istiadat dan agama.
Selanjutnya, konflik juga timbul pada diri anak sendiri yang disebabkan norma yang dianut di rumah bertentangan dengan norma dan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Misalnya, seorang anak dalam keluarga ditekankan untuk bertingkah laku sopan dan menghargai orang lain, akan tetapi ia menemukan kenyataan lain dalam masyarakat di mana banyak ditemukan tindakan kekerasan dan tidak adanya sikap saling menghargai.
Posted by Lisfatul Fatinah

Klasifikasi Anak dengan Gangguan Emosi dan Tingkah Laku


Sebagai langkah penangan dan untuk memudahkan pelayanan pendidikannya anak GETL diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok. S.A Bratanata (1975:69) menyatakan bahwa anak GETL dicirikan oleh seberapa jauh anak itu terlihat dalam tingkat kenalakan, tingkat kelainan emosi, dan status sosialnya.
Secara geris besar anak GETL dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu anak dengan gangguan emosi dan anak dengan gangguan tingkah laku. Tiap kelompok anak tersebut dibagi lagi sesuai dengan tingkatan berat ringannya derajat gangguan dan hambatan anak.
Sehubungan dengan dua kelompok di atas, William M. Cruickshank (1975:567) mengemukakan bahwa anak dengan gangguan tingkah laku sosial dapat diklasifikasikan ke dalam kategori berikut:

a.     The Semi-socialize Child
Anak kelompook ini adalah anak yang dapat mengadakan hubungan sosial, tetapi terbatas pada lingkungan tertentu, misalnya keluarga dan kelompoknya. Keadaan in terjadi pada anak yang datang dari lingkungan yang menganut norma-norma tersendiri, yang mana norma tersebut bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat. Di lingkungan sekolah, karena perilaku mereka sudah diarahkan oleh kelompoknya, maka sering kali menunjukkan perilaku memberontak karena tidak mau terikat oleh peratuaran di luar kelompoknya. Dengan demikianm anak selalu merasakan ada suatu masalah dengan lingkungan di luar kelompoknya.

b.     Child arrested at a primitive level of socialization
Anak pada kelompok ini dalam perkembangan sosialnya berhenti pada level atau tingkatan yang rendah. Mereka adalah anak yang tidak pernah mendapat bimbingan ke arah sikap sosial dan terlantar dari pendidikan, sehingga ia melakukan apa saja yang dikehendakinya. Hal ini disebabkan oleh tdak adanya perhatian dari orang tua, yang berakibat pada perilaku anak. Kelompok ini cenderung dikuasai oleh dorongan nafsu saja. Meskipun demikian, mereka masih dapat memberikan respon kepada perlakuan yang ramah.

c.      Children with minimum socialization capacity
Anak kelompok ini tidak mempunyai kemampuan sama sekali untuk belajar sikap-sikap sosial. Ini disebabkan oleh pembawaan atau kelainan atau anak tidak pernah mengenal hubungan kasih sayang, sehinga anak pada golongan ini sering bersikap apatis dan egois.

 Untuk anak dengan gangguan emosi, mereka juga memiliki derajat atau tingkatan gangguan. Anak dalam kelompok ini mengalami hambatan dalam menyesuaikan tingkah laku sosial karena adanya gangguan dalam diri sendiri. Adapun klasifikasi untuk anak dengan gangguan emosi adalah sebagai berikut.

  1. Neurotic Behavior (perilaku neurotik)
Anak dalam klasifikasi ini masih bisa bergaul dengan orang lain, akan tetapi mereka mempunyai permasalahan pribadi yang tidak mampu diselesaikan. Anak klasifikasi ini sering dan mudah sekali dihinggapi perasaan sakit hati, perasaan marah, cemas, dan agresif, serta rasa bersalah. Disamping itu, kerap kali mereka juga melakukan tindakan lain seperti mencuri dan bermusuhan. Anak pada klasifikasi ini dapat dibantu oleh terapi seorang konselor.

Keadaan neuritik ini biasanya disebabkan oleh kondisi atau sikap keluarga yang menolak atau terlalu memanjakan anak. Di samping itu, keadaan ini juga mungkin dipengaruhi pola pendidikan yang salah atau adanya kesulitan belajar yang berat.

  1. Children with Psychotic Processes
Anak GETL pada klasifikasi ini mengalami gangguan yang paling berat sehingga memerlukan penanganan yang lebih khusus. Mereka sudah menyimpang dari kehidupan pada umumnya. Anak pada klasifikasi ini umumnya tidak memiliki kesadaran diri serta tidak memiliki identitas. 

Ketidaksadaran diri pada anak GETL disebabkan oleh gangguan pada sistem syaraf sebagai akibat dari keracunan, misalnya karena minuman keras dan obat-obatan. Oleh karena itulah usaha penanggulangan lebih sulit karena anak tidak dapat berkomunikasi, sehingga layanan pendidikan harus disesuaikan dengan kemajuan terapi dan dilakukan pada setiap kesempatan yang memungkinkan.

Kiranya jelas bahwa pada kelompok neurotic, anak mengalami gangguan yang sifatnya fungsional, sedangkan pada kelompok psikotis di samping mengalami gangguan fungsional. Anak GETL juga mengalami gangguan yang sifatnya organis. Oleh karena itu, anak-anak yang termasuk kelompok psikotis kadang-kadang memerlukan perawatan medis.
Posted by Lisfatul Fatinah

Kurikulum Berdiferensiasi untuk Anak Berbakat


Kurikulum merupakan metode menyusun kegiatan-kegiatan belajar mengajar untuk menghasilkan perkembangan kognitif, efektif, dan psikomotorik anak. Menurut Sato (1982) kurikulum mencakup semua pengalaman yang diperoleh siswa di sekolah, di rumah dan dalam masyarakat, dan yang membantunya mewujudkan potensinya.

Berbeda dengan kurikulum umum yang bertujuan untuk dapat memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anak pada umumnya, maka kurikulum berdiferensiasi merupakan jawaban terhadap perbedaan-perbedan dalam minat dan kemampuan anak didik. Sehingga, dengna kurikulum berdiferensiasi setiap anak memiliki peluang besar untuk terus meningkatkan kemampuannya tanpa harus terikat oleh satu kurikulum umum yang menyamaratakan kemampuan seluruh anak.

Kendati demikian, pada dasarnya kurikulum berdiferensiasi tetap bertitik tolak pada kurikulum umum yang menjadi dasar bagi semua anak didik. Kurikulum berdiferensiasi juga memberikan pengalaman belajar berupa dasar-dasar keterampilan, pengetahuan, pemahaman, serta pembentukan sikap dan nilai yang memungkinkan anak didik berfungsi sesuai dengan tuntutan masyarakat atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Berdasarkan penjelasan di atas, Semiawan (1983) menyatakan bahwa bakat-bakat khusus baru dapat dikembangkan atas dasar kurikulum ini. Di samping itu, untuk dapat mewujudkan bakat yang khusus diperlukan juga pengalaman belajar yang khusus. Sehingga, pendidik juga dapat mengetahui keberbakatan anak dan memantaunya sesuai dengan kurikulum yang telah dideferensiasikan.

Lalu, Bagaimana Kurikulum Berdiferensiasi Dapat Dikembangkan? Menurut Kaplan (1977), perkembangan kurikulum dewasa ini menekankan penggunaan kurikulum secara fleksibel sesuai dengan kebutuhan guru dan siswa yang memungkinkan keragaman cara untuk mencapai sasaran belajar. Bahkan dalam kurikulum semacam ini tidak tertutup kemungkinan bahwa siswa pada saat-saat tertentu merumuskan sendiri sasaran-sasaran belajarnya.

Suatu kurikulum dapat berdiferensiasi melalui materi (konten atau muatan), proses, dan produk belajar yang lebih maju dan majemuk, serta dapat dirancang dengan cara sebagai berikut.

Kurikulum Berdiferensiasi Menyesuaikan dengan Kurikulum Umum
  1. Menambah hal-hal baru yang menarik dan menantang bagi anak berbakat. Misalnya dengan menambahkan muatan tugas yang dianggap menantang kemampuan yang dimiliki anak berbakat.
  2. Mengubah bagian-bagian tertentu yang kurang sesuai. Karena anak berbakat memiliki kemampuan memahami pelajaran dan pengetahuan yang melampaui anak pada umumnya, biasanya pemberian materi kepada anak berbakt lebih menyesuaika kemampuan anak. Sehingga, anada beberapa bagian yang diterima anak umum di kelas tetapi tidak diterima oleh anak berbakat.
  3. Mengurangi kegiatan-kegiatan yang terlalu rutin. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, anak berbakat memiliki tingkat kemampuan memahami pelajaran yang lebih tinggi dibandingkan anak umum, jadi beberapa kegiatan atau pelajaran yang dapat dikerjakan sendiri dan tanpa bantuan berarti dari pendidik sebaiknya dikurangi.
  4. Meluaskan dan mendalami materi. Karena sifat yang cenderung kurang puas dan mendetail, pemberian materi pembelajaran kepada anak berbakat sebaiknya lebih diluaskan dan mendalam.

Kurikulum Berdiferensiasi dengan Menggunakan Kurikulum yang Baru atau Khusus
Cara kedua ini adalah dengan menggunakan kurikulum yang benar-benar berbeda dengan anak umum dan disesuaikan dengan keberbakatan anak.
Untuk menyusun sebuah kurikulum, pendidik harus mengetahui beberapa asas kurikulum sebagai berikut:
  1. Berkaitan dengan mata pelajaran. Yaitu, kegiatan bekajar dikaitkan dengan mata pelajaran atau materi tertentu. Contohnya, ketika anak belajar bagian-bagian serangga, anak dapat mencari sendiri serangga-serangga yang akan dipelajarinya di lingkungan sekolah.
  2. Berorientasi dengan proses. Maksudnya, kegiatan belajar mengajar  menekankan perkembangan keterampilan dan proses berpikir daripada hanya materi. Contohnya, ketika anak sudah mengenal bagian-bagian serangga, anak dapat menganalogikan bagian-bagian tersebut dengan bagian-bagian kendaraan.
  3. Berpusat pada kegiatan aktif. Yaitu kegiatan belajar sepenuhnya mengikutsertakan anak secara aktif. Sehingga, dapat menghidupkan suasana keilmuan yang penuh akan diskusi dan saling bertukar pikiran.
  4. Penerapan tugas berakhir terbuka.Dengan asas ini tidak ada istilah “benar” dan “salah” dalam hasil tugas siswa, tetapi seluruhnya berdasarkan pengalaman setiap anak.
  5. Memungkinkan anak memilih. Asas ini memberikan peluang kepada setiap anak sesuai dengan kebutuhan, minat, dan kemampuan masing-masing. Sehingga, sekolah seharusnya menyediakan sarana atas minat dan bakat anak.

 Tiga hal yang membedakan penerapan kurikulum berdiferensiasi dengan kurikulum umum:
  1. Konten. Muatan atau materi yang diberikan kepada anak berbekat berbeda-beda sesuai dengan minat dan kemampuan anak.
  2. Proses. Proses belajar anak berbakat, entah itu waktu maupun caranya, dibedakan dengan anak umumnya sesuai dengan tingkat kemampuan anak.
  3. Produk. Dalam hal penugasan, anak berbakat diberikan beban produk yang lebuh rumit dan kompleks daripada anak umum. Produk belajar itu sendiri dapat berupa lisan, tulisan, ataupun benda.


Posted by Lisfatul Fatinah

Ciri-Ciri Anak Berbakat Menurut Matinson (1974)


Seorang pakar pendidikan khusus bernama Matinson (1974) pernah mengemukakan bahwa setidaknya ada 14 ciri-ciri yang menjadikan seorang anak dapat dikategorikan sebagai Anak Berbakat. Keempat belas ciri tersebut adalah seperti di bawah ini.
  1. Mempunyai pengamatan yang tajam. Sesuatu yang biasa saja di mata orang-orang menjadi hal yang sangat menarik dan harus dianalisis oleh anak berbakat.
  2. Dapat berkonsentrasi untuk waktu yang panjang pada tugas dan minatnya.
  3. Berpikir kritis, bahkan terhadap diri sendiri. Anak berbakat lebih banyak bertanya terhadap apa yang ada di lingkungannya dan terhadap dirinya sendiri. Jika memilik masalah, anak berbakat tidak hanya menanyakan kenapa dirinya bisa seperti ini tapi juga menganalisa ke belakang dan dampaknya ke depan.
  4. Senang mencoba hal-hal baru. Anak berbakat cenderung penantang dalam mencari pengalaman. Keinginan anak berbakat atas segala hal yang menarik baginya diikuti oleh keinginan yang kuat dan kefokusan yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak normal pada umumnya.
  5. Mempunyai daya abstraksi, konseptualisasi, dan sintesis yang tinggi.
  6. Senang terhadap kegiatan intelektual dan pemecahan masalah.
  7. Cepat menangkap hubungan-hubungan sebab akibat.
  8. Berperilaku terarah pada tujuan. Anak berbakat memiliki tingkat kefokusan tinggi pada tujuan akhirnya.
  9. Mempunya daya imajinasi yang kuat.
  10. Memiliki banyak kegemaran. Mempunyai daya tarik pada banyak hal dan tetap fokus pada banyak hal tersebut.
  11. Mempunyai daya ingat yang kuat.
  12. Tidak cepat puas dnegan prestasinya.
  13. Peka (sensitif) dan menggunakan intuisi (firasat).
  14. Menginginkan kebebasan dalam gerakan dan tindakan.
 Utami Munadar, pakar pendidikan Anak Berbakat, berperndapat bahwa sebenarnya ciri-ciri anak berbakat tidak banyak berbeda dari anak pada umumnya, hanya saja anak berbakat memiliki ciri-ciri di atas dalam derajat yang jauh lebih tinggi. Selain itu, tidak semua anak berbakat memiliki semua ciri-ciri tersebut. Dengan kata lain, sebagian anak berbakat hanya memiliki beberapa ciri-ciri di atas.
Posted by Lisfatul Fatinah

Disabilitas Keturunan? Atau Menular?


Bismillahirrahmanirrahim

Setiap ada teman baru yang tahu bahwa saya berkecimpung di dunia anak-anak disabiitas, pertanyaan-pertanyaan menarik kerap kali muncul dari mereka. Beberapa pertanyaan sejenis yang sering muncul, terutama dari teman-teman yang ingin menikah dan ibu-ibu yang ingin punya cucu, adalah Apakah disabilitas adalah keturunan? Apakah disabilitas menular? Apakah disabilitas dapat disembuhkan?

Jelas pertanyaan-pertanyaan di atas adalah bentuk ketakutan mereka pada kemungkinan memiliki anak yang terlahir tidak ‘sempurna’. Biasanya, dari pertanyaan-pertanyaan di atas perbincangan saya dan mereka akan merambat pada kisah-kisah miris tentang pembuangan atau pembunuhan anak yang terlahir dengan kekurangan (cacat). Nah, dari sinilah saya pikir ada baiknya juga menuliskan sedikit apa yang saya tahu sebagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas. Hal ini tidak lain agar teman-teman yang tidak tahu bisa menjadi tahu, sehingga tidak ada lagi istilah-istilah ‘mengerikan’ yang dilabeli pada anak-anak disabiilitas.

Mungkin teman-teman juga pernah pernah bertanya apakah disabilitas adalah keturunan. Jawabannya, disabilitas sama sekali bukan keturunan karena setiap disabilitas memiliki penyebab medis masing-masing yang tidak ada sangkut pautnya dengan gen atau sifat pembawa dari orang tua ke anak.

Anak berkebutuhan khusus (ABK) dibagi ke dalam kelompok disabilitas pengelihatan, disabilitas pendengaran, disabilitas intelektual, disabilitas tubuh, gangguan emosi dan tingkah laku (GETL), autis, ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorders), multidisabilitas (anak dengan disabilitas lebih dari satu), dan anak berbakat. Dari sembilan kelompok ABK ini, semuanya disebabkan oleh berbagai hal. Secara garis besar, semua kondisi ABK disebabkan pada hal-hal yang terjadi pada tiga masa yang sangat rentan keselamatannya. Tiga masa itu adalah Prenatal (sebelum melahirkan atau saat kehamilan), Natal (saat melahirkan), dan Posnatal (setelah melahirkan atau di masa pertumbuhan anak).

Prenatal (sebelum melahirkan atau saat kehamilan). Di masa ini, ibu yang sedang hamil seharusnya benar-benar menjaga kesehatan tubuh dan janinnya. Jika kesehatan ibu terganggu risiko gangguan pada janin akan terjadi. Salah satu risikonya adalah janin terlahir cacat.

Hal-hal yang terjadi pada ibu hamil dan berisiko pada kecacatan janin adalah ibu terinfeksi bakteri Rubella, keracunan, mengonsumsi obat-obatan yang terlalu keras untuk pertumbuhan janin, dan keguguran.

Sebagai contoh, kakak perempuan saya yang memiliki anak pertama autis disebabkan saat hamil tua (sekitar tujuh bulan) terserang tifus dengan demam yang sangat tinggi dan harus diopname beberapa minggu. Menurut pemeriksaan medis, demam dari kakak saya merambat pada janin yang berada di puncak perkembangan. Dan, yang terserang adalah bagian otak kiri (tepatnya bagian wernich, tempat sistem wicara diatur). Oleh karena itu keponakan saya speech delay (telat bicara) dan didiagnosa autis pada usia awal perkembangannya.

Berbagai kondisi berisiko di atas bisa menyerang bagian-bagian tertentu dari otak janin yang masih berkembang. Sehingga, kerusakan organ atau saraf bisa terjadi di bagian mana saja dan bentuk kecacatan setelah lahirpun akan berbeda. Mungkin saja kerusakan terjadi pada mata, telinga, hati, tulang, sel-sel otot, atau sistem syaraf pusat di otak. Jadi, menjaga kesehatan dan kebersihan adalah hal penting bagi ibu hamil agar terhindar dari risiko besar ini.

Natal (saat melahirkan). Proses melahirkan menjadi fase paling rentan akan keselamatan ibu dan bayi, pun itu yang menjadi penentu apakah bayi akan terlahir berkekurangan atau ‘sempurna’.
Hal-hal yang menjadi potensi terlahirnya ABK pada  proses melahirkan adalah waktu melahirkan terlalu lama (pembukaan yang lama), penggunaan alat-alat medis saat ibu kelelahan atau pingsan ( biasanya alat yang digunakan adalah vacum atau tang untuk menarik bayi dari liang kelamin ibu), lahir sungsang, bayi kekurangan oksigen (ditandai dengan bayi tidak menangis saat lahir), dan pendarahan kecil di kepala bayi saat baru lahir.

Sebagai contoh, salah satu ABK yang saya kenal didiagnosa medis karena terjadi kerusakan syaraf pengelihatannya di otak akibat penggunaan vacum saat dilahirkan. Kondisi ibunya yang lemah saat melahirkan menyebabkan dokter harus membantu menarik bayi yang sudah ada di liang kelamin dengan vacum khusus bayi. Alhasil, di usia awal perkembangannya anak ini tidak memiliki pengelihatan yang sama seperti anak umum lainnya. Hingga kini, anak ini memiliki pengelihatan sangat minim atau  dikenal dengan istilah low vision.

Terakhir, Posnatal (setelah melahirkan atau di masa pertumbuhan anak). Setelah bayi lahir, bayi akan mengalami pertumbuhan awal hingga usianya 5-6 tahun. Masa ini tidak kalah penting untuk turut diperhatikan oleh para orang tua, karena ini adalah awal perkembangan anak ditempa secara fisik dan psikis untuk tumbuh menjadi anak yang sehat.

Beberapa hal yang kerap kali menjadi penyebab kedisabilitasan pada masa ini adalah anak kekurangan gizi, kekurangan vitamin, sakit parah, dan kecelakaan yang menyebabkan kerusakan permanen.

Teman-teman masih ingat kisah Sang Penulis? Nah, Sang Penulis adalah salah satu contoh dari bagian ini. Sang Penulis lahir dengan pengelihatan yang sama dengan anak umumnya. Tetapi, pada usianya beranjak 1.5 tahun, Sang Penulis terserang campak dan demam yang sangat tinggi, sehingga menyebabkan syaraf pengelihatan pada otaknya terganggu dan Sang Penulis tidak dapat melihat setelah sakit selama kurang lebih enam bulan.

Dari sini kita, terutama yang perempuan, bisa belajar untuk lebih berhati-hati di tiga masa rentan ini. Menjaga kesehatan dan kebersihan saat hamil, menghindari penggunaan alat-alat medis saat melahirkan, dan menjaga kesehatan anak di awal perkembangannya adalah poin-poin penting untuk menghindari anak dari hal-hal yang berpotensi menyebabkan anak memiliki kedisabilitasan.

Nah, sudah cukup jelas bukan bahwa disabilitas bukanlah sifat bawaan dari gen orang tua? Dengan demikian, disabilitas bukanlah sebuah penyakit yang diturunkan, karena memang disabilitas bukanlah penyakit yang disebabkan oleh virus atau bakteri dan dapat disembuhkan dengan obat. Sekalipun pemicu awal disabilitas salah satunya adalah bakteri Rubella, akan tetapi kedisabilitasan yang terjadi bukanlah disebabkan oleh bakteri melainkan karena kerusakan permanen pada organ atau indera yang diserang bakteri.

Jika kita sudah tahu bahwa disabilitas bukanlah penyakit, berarti kita juga tahu bahwa disabilitas bukanlah sesuatu yang ditularkan. Selain itu, disabilitas bukanlah kondisi yang dapat disembuhkan. Kondisi disabilitas hanya bisa disesuaikan, misalnya yang disabilitas pengelihatan menggunakan huruf Braille, dan disabilitas pendengaran menggunakan bahasa isyarat. Di samping itu, kondisi disabilitas juga bisa diminimalisir dampaknya, seperti pada anak autis biasanya diberi terapi balur agar anak tidak mengamuk, memukul dan menyakiti diri sendiri.

Begitulah kira-kira sedikit jawaban dari saya tentang apakah disabilitas adalah keturunan. Semoga catatan singkat ini bermanfaat untuk menambah wawasan kita tentang dunia disabilitas. Khususnya kepada teman-teman perempuan agar bisa memahami apa yang harus diperhatikan pada tiga  masa yang rentan pada keselamatan anak.

Lebih dari itu, semoga catatan ini bisa mengubah mindset bahwa ABK bukan sifat bawaan atau keturun. Dan, bisa dipahami bahwa ABK adalah kondisi kerusakan permanen yang terjadi pada tiga masa rentan.
14 August 2012
Posted by Lisfatul Fatinah
Tag :

Menjadi Tokoh Inspiratif dalam Rubrik 'Inspirasi' di Kartunet.com, Masya Allah ^^


Bismillahirrahmanirrahim

Segala puji bagi Allah yang telah Memberikan segala nikmat atas diri yang fana ini. Segala puji bagi Allah yang senantiasa Mengiringi setiap langkah ini. Semoga segala titik peluh yang menetes menjadi amal kebaikan di sisi-Nya.

Sore itu saya mendapat sebuah sms dari seorang teman sekaligus partner menulis di Redaksi Kartunet.com. Jika biasanya sms yang dikirim adalah pemberitahuan rapat redaksi dan permintaan tulisan, kini teman saya yang bernama Ramadhani meminta saya sebagai narasumber dalam salah satu rubrik yang menurut saya cukup bergengsi. Yaitu rubri inspirasi yang memuat sepenggal kisah hidup orang-orang hebat yang menginspirasi.

Singkat cerita, tibalah saat wawancara. Wallah, gugup sekali saat diwawancara. Selain karena belum pernah diwawancarai secara formal, saya rasa rubrik bergengsi ini tidak layak memuat profile saya.

Berikut ini saya kopi-tempel-kan tulisan di rubrik Inspirasi Kartunet.com. Semoga isi di dalamnya dapat bermanfaat dan mengispirasi pada kebaikan ^_^

***

“Kesadaran, bahwa aku punya keluarga yang disabilitas, lalu kenapa aku nggak mengabdikan hidupku untuk keluargaku?” Itulah sebuah alasan kuat yang akhirnya membuat Lisfa memutuskan untuk menerjunkan diri ke dunia disabilitas. Meski sejak dulu ia amat mencintai dunia sains dan sempat menimba ilmu di Jurusan Farmasi UIN pada tahun 2010, ternyata ia tidak merasa nyaman dengan apa yang dijalaninya saat itu. Perlahan namun pasti, hati gadis 20 tahun itu terpanggil untuk mempelajari seluk beluk kehidupan disabilitas. Tahun 2011, Lisfa mulai menjalani hidup barunya sebagai mahasiswi jurusan Pendidikan  Luar Biasa UNJ, dan sepak terjangnya pun dimulai.

Keluarga memang selalu menjadi muara dari setiap kisah kehidupan manusia. Keluarga yang pertama kali memperkenalkan kita dengan lingkungan sosial di sekeliling kita. Oleh karena itu, dari keluarga juga Lisfa mulai mengenal individu-individu dengan disabilitas. Sebut saja, Sulastri, kakak kedua Lisfa yang kretin (kerdil). Meski usianya telah menginjak 28 tahun, tubuhnya hanya setinggi pinggul orang dewasa. Tidak hanya itu, cara bicaranya pun belum jelas, sikapnya masih seperti anak-anak, dan suka memainkan permainan yang dimainkan oleh anak kecil.

“Waktu umur lima tahun, kakak panas tinggi sampai semua rambutnya rontok. Lalu setelah sering berobat ke rumah sakit dan akhirnya sembuh, pertumbuhan fisik dan mentalnya terhenti hingga sekarang.” Begitulah penjelasan yang Lisfa dapatkan dari kedua orang tuanya ketika dulu ia menanyakan kondisi Sulastri. Sejak kecil, bungsu dari tiga bersaudara ini memang sudah mengerti dengan kondisi kakaknya itu. Menurut dia, tetangga dan lingkungan sekitar tidak pernah memperlakukan Sulastri secara diskriminatif. Namun tidak demikian halnya dengan Naufal, keponakan Lisfa dari kakak sulungnya yang menyandang autistic dan hiperaktif  sejak usia dua tahun.

Ya, Lisfa hidup bersama dua orang individu disabilitas di dalam rumahnya. Dengan hambatan mental yang disandang oleh kedua anggota keluarganya tersebut, Lisfa harus belajar untuk menghadapi mereka dengan penuh kesabaran. Naufal yang hiperaktif sering kali tidak tidur selama berhari-hari dan membuat gaduh suasana rumah di malam hari. Hal ini kerap kali mengundang amarah seorang tetangga yang merasa terganggu. “Yah, mungkin nggak ngerti sama kondisi Naufal,” ujar Lisfa, maklum.

Satu tahun menempuh studi di jurusan Farmasi UIN, rupanya tidak membuat Lisfa nyaman. Ia merasa masih ada yang kurang dari hidup yang tengah dijalaninya saat itu, hingga suatu hari ia menemukan jawaban. Seorang kawan lama yang ternyata berkuliah di jurusan PLB tiba-tiba menghubunginya. Ia bercerita tentang adiknya yang tunagrahita serta menanyakan keponakan Lisfa yang autistik. Saat itulah Lisfa menyadari, bahwa meski telah hidup bertahun-tahun bersama individu disabilitas, ternyata dirinya tidak mengetahui apa-apa tentang disabilitas. Hatinya pun mulai terpanggil untuk mempelajari dunia disabilitas lewat internet. 

Semakin banyak tahu seluk beluk dunia luar biasa yang telah dikenalnya sejak  kecil, Lisfa pun semakin memantapkan hati. Sebuah keputusan berat ketika ia harus meninggalkan dunia sains yang amat dicintainya. Namun, toh nyatanya ia tetap melangkahkan kaki memasuki dunia pendidikan luar biasa.

Banyak hal yang Lisfa pelajari selama menuntut ilmu di jurusan PLB. Jika sebelumnya Lisfa kerap kali menghadapi Sulastri dan Naufal dengan emosi, maka sekarang ia tak pernah lagi melakukannya. Lisfa mengakui, belajar di PLB membuatnya lebih memahami bagaimana menstimulasi keluarganya tersebut. Kondisi disabilitas yang disandang Sulastri dan Naufal pun sering kali mengundang tatapan-tatapan aneh orang-orang di tempat umum. Dulu, Lisfa selalu menghadapi situasi seperti ini dengan kekesalan. Namun kini, ia memahami mengapa masyarakat bersikap demikian. “Mereka kayak gitu hanya karena mereka nggak tahu,” tutur gadis yang juga merupakan ketua dari Komunitas Peduli Anak Jalanan (KOPAJA) ini.

“Keluarga kita, baik dia disabilitas atau tidak, mereka adalah titipan Allah,” ungkap Lisfa. Menurut dia, setiap keluarga harus terlebih dahulu dapat menerima kondisi anggota keluarganya yang disabilitas, kemudian bersikap terbuka untuk mencari jalan demi masa depan keluarganya tersebut. Mereka harus memahami bahwa kondisi disabilitas bukanlah hal memalukan yang perlu disembunyikan.

Dengan ilmu yang dipelajarinya, ia ingin mengubah pemikiran masyarakat umum terhadap penyandang disabilitas. Lisfa ingin mengajak orang-orang awam untuk melihat individu disabilitas dari sisi yang berbeda. Ia tak pernah bosan membagi pengalaman-pengalaman uniknya berinteraksi dengan penyandang disabilitas lewat catatan facebook-nya dengan akun Lisfatul Fatinah Munir. “Tulisan-tulisan itu pengen aku kumpulkan untuk dijadikan buku,” ujarnya.

Bagi Lisfa, dunia disabilitas adalah dunia yang sangat menarik untuk dipelajari. Karena itulah, ia berharap lewat tulisan-tulisannya akan semakin banyak orang yang tahu sisi lain dari dunia disabilitas.

Sebelum resmi menjadi seorang pendidik anak berkebutuhan khusus (ABK) aku harus sudah bisa menjalankan proyek pribadiku: mengajarkan keponakanku dan mendidiknya agar bisa hidup mandiri selayaknya anak normal pada umumnya.

Itulah sepenggal kalimat yang tercantum pada blog Lisfa di www.duniakuluarbiasa.blogspot.com. Tampaknya gadis kelahiran 21 Februari itu sudah menetapkan targetnya. Bagi Lisfa, tidak ada yang sulit jika segalanya dimulai dengan tekad yang kuat dan niat yang lurus. Oleh karena itu, Lisfa mulai merenovasi cita-citanya. Jika dulu ia ingin membangun apotek dan klinik pribadi, maka kini ia ingin mendirikan yayasan pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang tidak mampu, serta membangun badan training dan penyuluhan di daerah-daerah terpencil yang di dalamnya terdapat ABK yang diperlakukan tidak manusiawi. Lebih dari itu, sebagai orang yang tidak memiliki disabilitas, Lisfa menyimpan sebuah mimpi yang sangat luar biasa terhadap dunia disabilitas sebagaimana yang ia ungkapkan pula dalam blog-nya, “Aku juga ingin menjadi duta Indonesia untuk internasional sebagai duta Pendidikan Khusus.”

Link website yang memuat tulisan ini di Kaertunet.com: http://www.kartunet.com/lisfa-terjun-ke-dunia-disabilitas-karena-keluarga-1423
Posted by Lisfatul Fatinah

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -