Archive for 2011

(Review Buku) Sheila: Luka Hati Seorang Gadis Kecil

Oleh: Lisfatul Fatinah Munir
(Mahasiswa Pendidikan Khusus Universitas Negeri Jakarta)


Sheila: Luka Hati Seorang Gadis Kecil adalah sebuah novel psikologi yang diangkat dari kisah nyata seorang anak bernama Sheila. Torey Hayden, penulis novel ini, adalah seorang Bachelor of Art bidang Kimia Fisika di Whitman College, Walla Walla, Washington. Ketertarikannya kepada dunia anak-anak berkebutuhan khusus mengantarkan wanita bernama lengkap Victoria Lynn Hayden ini untuk mengambil gelar master di bidang pendidikan khusus. Torey, begitulah panggilan akrabnya, juga sempat meneruskan pendidikannya di tingkat doctoral, namun tidak diselesaikannya.
Torey lahir pada 21 Mei 1951 di Livingston, Montana, Amerika Serikat. Pada usianya yang ke-28 tahun, Torey mencoba menulis catatan pribadinya mengenai salah seorang muridnya yang bernama Sheila. Karena kelayakan tulisannya untuk diterbitkan, pada 1980 tulisannya diterbitkan dalam bentuk novel yang berjudul One Child. Tanpa disangka, dalam waktu dekat novelnya menjadi best seller dan diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, salah satunya dalam bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Qanita dengan judul Sheila: Luka Hati Seorang Gadis Kecil.
Kini Torey tinggal bersama putri tunggalnya, Sheena. Di samping menjadi penulis, Torey juga bekerja sebagai konsultan bagi anak-anak korban kekerasan. Bahkan ia menjabat sebagai ketua pada sebuah yayasan bagi anak-anak korban kekerasan di daerah tempat tinggalnya, North Wales, Inggris.
Torey selalu menyajikan kisah yang penuh dinamika di setiap halaman bukunya. Karya-karyanya kaya akan warna dari setiap sosok anak berkebutuhan khusus yang dididiknya. Kegigihannya dalam mengajar dan membimbing anak-anak berkebutuhan khusus tertuang dalam bentuk cerita yang sarat akan ilmu dan wawasan. Maka tak heran jika karya-karyanya sering menjadi rujukan para guru pendidik khusus, konseling, dan psikolog.
Kisah dalam novel ini dibuka dengan sepenggal cerita mengenai artikel pendek dalam sebuah koran yang berisikan berita tentang seorang gadis kecil berusia enam tahun yang menculik seorang bocah di lingkungan rumahnya. Peristiwa yang terjadi bulan November itu tak sampai di situ. Gadis kecil itu kemudian mengajak bocah berusia tiga tahunan itu ke hutan kecil dekat rumah mereka dan mengikatnya di sebuah pohon. Kekejaman gadis kecil itu dilanjutkan dengan dibakarnya bocah lelaki tersebut.
Saat membaca artikel yang tak lebih dari dua paragrap ini, Torey baru saja menerima tawaran untuk menjadi guru di kelas yang dikenal dengan sebutan “kelas sampah” di sekolah tempatnya bekerja. Kelas tersebut diberikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus yang tidak memiliki klasifikasi dalam kekhususan mereka.
Kelas tersebut berisikan delapan orang anak dengan karakter dan kekhususan yang berbeda-beda. Salah satu murid di kelas tersebut adalah seorang anak lelaki delapan tahun bernama Peter yang memiliki kondisi neurologis yang buruk. Kondisi ini menyebabkannya sering mendapatkan serangan hebat dan perilaku kekerasan yang semakin parah.
Lalu ada Tyler, anak perempuan delapan tahun yang sudah pernah melakukan percobaan bunuh diri sebanyak dua kali. Max dan Freddie, anak lelaki enam dan tujuh tahun yang penyandang  autisme.
Ada juga Sarah, anak perempuan tujuh tahun yang menjadi korban penyikasaan fisik dan seksual. Karena pengalaman buruknya, Sarah menjadi anak yang selalu marah dan pembangkang juga tidak mau berbicara kecuali dengan ibu dan saudara perempuannya.
Selain itu, ada Suzzanah Joy. Seorang anak perempuan enam tahun yang cantik yang menyandang skizofrenia. Kemudian ada William, anak lelaki sembilan tahun yang memiliki ketakutan pada air, kegelapan, mobil, alat penyedot debu, dan debu di bawah tempat tidurnya. Terakhir adalah Guillermo, anak lelaki sembilan tahun yang pemarah dan memiliki disabilitas pengelihatan.
Dalam kelas yang berwarna ini Torey didampingi oleh dua asisten, yakni Anton, pria 29 tahun yang belum lulus SMA, dan seorang murid SMP bernama Whitney yang menghabiskan waktu luangnya untuk membantu Torey.
     Sejak tahun ajaran baru dimulai di bulan Agustus hingga Desember, semuanya berjalan dengan lancar. Bahkan, banyak perkembangan yang terjadi pada murid-murid Torey. Peter yang mulai terkontrol emosinya, Tyler yang hampir tidak pernah membicarakan tentang bunuh diri, juga Sarah yang kini mau berbicara dengan siapa saja.
Tapi semuanya berubah setelah libur Natal usai. Awal Januari, Sheila datang dan menjadi bagian dari kelas Torey. Sheila yang seharusnya ditempatkan ke rumah sakit negara, sementara waktu harus ditempatkan di kelas Torey sambil menunggu dibukanya kamar untuk unit anak-anak. Dengan pakaian lusuh dan tubuh yang jauh dari kategori bersih, Sheila datang ke kelas dengan wajah penuh kewaspadaan pada lingkungan barunya.
Kewaspadaann Sheila terhadap lingkungan barunya terbentuk karena ketakutan dan ketiadaan kasih sayang dalam kehidupannya selama enam tahun ini. Menjadi seorang anak empat tahun yang ditinggal di jalan oleh ibunya yang baru berusia empat belas tahun adalah trauma terberat Sheila. Sejak kejadian itu hingga ia memasuki kelas Torey, Sheila masih menyimpan banyak pertanyaan perihal mengapa ia ditinggalkan.
Tak cukup sampai di situ, kerasnya kehidupan harus diterima Sheila yang masih kecil ketika ayahnya yang seorang pemabuk, pecandu dan sering keluar masuk penjara selalu melakukan kekerasan kepadanya. Torey juga sepertinya memaklumi ketika tak sedikit orang yang mengalami kesulitan untuk berusaha mencintai Sheila. Karena memang perilaku Sheila mencirikan bahwa ia tak tahu bagaimana caranya untuk dapat dicintai oleh orang lain.
Torey tidak dapat menyimpulkan kasus yang sebenarnya terjadi pada gadis kecil yang tak pernah menangis ini, terlebih ketika hasil tes psikologi mengatakan bahwa gadis berambut pirang ini memiliki IQ di atas 180. Sebuah angka yang mustahil dimiliki oleh seorang anak dari perkampungan migran. Apalagi jika mengingat Sheila bukanlah anak yang mau mengerjakan setiap tugas sekolah dan selalu merusak lembar tugasnya.
Meskipun banyak hal yang menciutkan nyali Torey untuk membantu Sheila, ia tetap berusaha sebisa mungkin, paling tidak sekadar menjinakan sikap “liar” Sheila. Hingga akhirnya, dengan penuh kerja keras, Torey berhasil menarik perhatian dan kepercayaan Sheila kepada dirinya. Dengan sikap keibuannya, setiap pagi sebelum kelas dimulai, Torey memandikan Sheila yang sebelumnya tak pernha mengenal kebersihan. Jauh daripada itu, Sheila kini sudah mau menceritakan banyak hal kepada Torey meskipun yang ia ceritakan adalah hal-hal yang berulang; kepergian ibunya dan kekerasan yang sering ia terima.
Kedekatannya dengan Sheila terlibat terlalu jauh dalam masa lalu Sheila dan dengan setiap perkembangan psikis muridnya itu. Hal ini membuatnya lupa bahwa Sheila sedang menunggu unit anak-anak di rumah sakit negara dibuka. Karena merasa bahwa Sheila tidak layak digabungkan dengan orang-orang gila di rumah sakit Negara, dengan bantuan kekasihnya, Chad, Torey mengajukan ke pengadilan agar Sheila tidak dipindahkan ke rumah sakit negara.
Usaha Torey pun membuahkan hasil dan hari-hari selanjutnya berjalan lebih baik hingga satu peristiwa mengerikan terjadi pada Sheila yang malang. Pamannya yang baru saja keluar dari penjara mencoba menyetubuhi Sheila karena gaun indah pemberian Torey yang dikenakannya. Sebilah pisau merobek kemaluan Sheila hingga ia nyaris kehabisan darah. Dengan wajah pucat, Sheila memasuki ruang kelas dan berulang kali ke kamar kecil untuk menyembunyikan darah yang terus mengalir dari kemaluannya.
Berkat insting keguruannya, Torey melihat ada yang ganjal dengan tingkah Sheila hari itu. Setelah mengetahui apa yang sedang menimpa muridnya, Torey langsung membawa Sheila ke rumah sakit dan pamannya segera kembali dimasukkan ke penjara.
Kisah dalam novel ini diakhiri dengan perpisahan antara Torey dan Sheila di akhir tahun ajaran sekolah. Sheila yang memiliki IQ di atas rata-rata anak seusianya diloncat kelaskan ke kelas tiga. Akan tetapi sekalipun Sheila sudah mampu menguasai emosinya, ia tetap tidak dapat menerima dan memahami perpisahan.
Dalam novel ini diceritakan bagaimana Torey menaruh perhatian yang mendalam kepada Sheila. Saya sendiri menilai bahwa kepriatinan Torey tumbuh karena latar belakang Sheila yang jauh dari bahagia. Oleh kerena itu, sedikit perhatian yang Torey berikan kepada Sheila menyebabkan Sheila merasakan keanehan. Terlebih lagi di awal pertemuan Sheila menampakkan rasa ketakutannya. Pengajaran Torey yang mengedepankan kemampuannya membaca perasaan atau jalan pikir muridnya inilah yang saya kagumkan. Sejak melihat raut ketakutan pada wajah Sheila karena keramahan yang ia berikan, Torey mengubah sikapnya dengan sedikit cuek namun tetap memerhatikan dari jauh.
Berdasarkan apa yang telah saya baca, cara Torey menghadapi Sheila seperti di atas dapat dikatakan seperti menjalani perang grilya. Torey tidak langsung mengambil perhatian ataupun mendekatkan diri secara personal kepada Sheila, namun mempelajari apa yang ada di balik gadis kecil itu. Dengan berbekal sedikit informasi yang didapatakannya dari berkas tipis yang menceritakan latar belakang Sheila, Torey berhasil menggunakan pendekatan diam-diamnya kepada Sheila.
Torey membiarkan Sheila menampakkan sikap aslinya dalam kelas dan mencoba memahami apa yang ada dalam pikiran Sheila. Untuk menangani kekhususan yang dimiliki Sheila, Torey memiliki pendekatan yang sedikit berbeda. Jika kepada anak-anak lainnya Torey melakukan pendekatan dan berusaha saling membentuk kepercayaan, dengan Sheila mulanya ia membiarkan Sheila meminimalisir bentuk traumatik yang didapatkan dari masa lalunya seperti takut dicambuk setiap melakukan kesalahan.
Sedikit demi sedikit Torey mengubah mindset Sheila dengan mengatakan apa yang seharusnya terjadi, apa yang harus dilakukan beserta dengan alasan yang mudah dipahami anak kecil.  Hal ini pun seperti menjadi bagian yang harus ada dalam pola pengajaran Torey, karena hampir di setiap teguran yang dilakukannya memiliki pola seperti ini.
Teknik pengajaran yang Torey lakukan adalah dengan “menguasai” suasana hati muridnya. Hal ini jelas terlihat ketika setiap pagi Torey mengajak murid-muridnya bernyanyi dan mengajak murid-muridnya mengungkapkan perasaannya satu per satu. Dengan cara ini, menurut saya, paling tidak Torey sekaligus dapat mengajarkan kepada murid-muridnya bagaimana mengontrol emosi.
Adapun cara pengajaran yang Torey lakukan kepada Sheila yang tidak pernah mau dikatakan salah adalah dengan membiarkan anak tersebut memahami sendiri terlebih dahulu apa yang ada di dekatnya setelah itu Torey megoreksi apa yang dipahami Sheila dengan menunjukkan apa yang seharusnya dilakukan Sheila.
Satu lagi sarana pengajaran yang Torey bedakan antara Sheila dan murid-muridnya, yakni sudut diam. Sudut diam yang Torey sediakan untuk Sheila digunakan ketika Sheila kehilangan kontrol emosinya. Menurut saya, sudut diam yang dikhususkan bagi Sheila adalah satu penerapan pengajaran yang sesuai dengan kekhususan Sheila. Pemberian sudut diam ini, berdasarkan pandangan saya, paling tidak mampu mengurangi sikap destruktif Sheila. Ditambah lagi dengan adanya sudut diam ini Sheila dapat meminimalisir sikap balas dendam yang biasa ia lakukan, seperti dalam salah satu kasus ini adalah merusak ruang kelas seorang guru yang memarahinya.
Satu hal yang kurang saya setujui dari cara pengajaran Torey adalah adanya pendekatan personal yang terlampau jauh, sehingga menyamarkan batas hubungan seorang guru dan murid. Keterlibatan Torey dalam hal ini menyebabkan Sheila tidak ingin berpisah dengannya. Meskipun ketidakinginan Sheila untuk berpisah dengan Torey adalah salah satu bentuk traumatik yang pernah dialaminya, setidaknya jika masih ada sekat pemisah hubungan seorang guru dan murid Torey mampun membuat Sheila memahami bahwa mereka hanyalah guru dan murid.
Sikap implusif Torey dalam novel ini saat menangani beberapa hal yang berkaitan dengan Sheila, menurut pandangan saya juga tidak selamanya buruk. Keinginan Torey untuk membebaskan Sheila dari tuntutan pengadilan memang melampaui batasannya sebagai seorang guru, tapi dengan ini kita belajar bagaimana seorang guru mau mempertaruhkan keadaan (dia didukung atau tidak oleh pihak sekolah).
Di samping itu, implusif ini menjadikan kekeraskepalaan Torey dalam mengambil keputusan tidak selamanya baik. Setelah implusif yang Torey lakukan membuahkan hasil sesuai dengan keinginannya, kedekatannya dengan Sheila juga semakin menjadi. Kekurangannya di sini adalah Torey kurang mampu memberikan realita kepada Sheila bahwa hubungan mereka hanya sebatas guru dan murid, sehingga tidak membuat Sheila kecewa ketika sedikit perubahan dilakukan oleh  Torey.
 Adapun poin penting dalam teknik pengajaran Sheila adalah pemahaman Torey terhadap latar belakang kekhususan yang dialami muridnya. Selain itu, seorang guru seperti Torey harus mampu menaruh perhatian yang menyeluruh kepada setiap muridnya. Hal ini terbukti dari hasil pengajaran Torey selama setahun murid-muridnya mengalami perubahan yang pesat ke arah yang lebih baik.
Adanya kesadaran pada realita juga bisa dimasukkan kedalam poin utama dalam teknik pengajaran yang Torey punya. Torey tidak memiliki suatu target atau tuntutan yang besar kepada anak didiknya, tetapi murid-muridnya tidak dianggap lagi sebagai “murid sampah” dan mampu bersosialisasi dengan anak normal pada umumnya sudah cukup bagi Torey.
Sikap kooperatif  Torey dengan pendamping atau asistennya, juga bisa menjadi contoh bagi pengajar anak dengan kekhususan. Selain itu, menurut saya hal yang cukup penting dari teknik pengajaran Torey adalah pemahaman seorang guru terhadap kondisi psikologi muridnya. Karena ketika seorang guru dengan kekhususan mampu membaca psikis yang terjadi dalam muridnya, ini dapat sangat membantu proses belajar mengajar agar berjalan sesuai dengan harapan. Selain itu, pemahaman psikologi seorang guru tak hanya membantu guru itu sendiri, tapi juga membantu murid agar tidak merasa tertekan selama proses belajar mengajar berlangsung.
Terlepas dari berbagai aspek yang saya sampaikan dalam review ini, saya rasa novel ini bukan sekadar untuk mengundang rasa kasihan pembacanya, melainkan agar masyarakat, awam maupun pendidik, dapat belajar dari Torey bagaimana menangani murid-murid spesialnya dengan kekhususan yang berbeda.(*)
19 December 2011
Posted by Lisfatul Fatinah

Taare Zameen Par, Every Child is Special

Bismillahirrahmanirrahim

Sedikit kemanisan, sedikit ketidaknyamanan, sedikit kedekatan. 
Tidak terlalu banyak.
Sesungguhnya, yang kubutuhkan hanya kebebasan.
Aku hanya ingin menganyam mimpi sehangat sweater dan melewati awan putih sebagai duniaku.
Ada banyak anak yang seperti aku, sangat banyak.
Aku tidak sendiri berjalan dalam mimpi dengan penuh keheranan.

Bukalah mata kalian, lihat bagaimana aku berlari, bagaimana aku berputar ke sisi lain. 
Sekali aku menunjukkan duniaku, aku akan mengejutkan semua orang. 
Termasuk kamu

Syair di atas adalah penggalan lagu yang menggambarkan suasana hati seorang anak dalam film Bollywood yang sudah berkali-kali saya tonton. Judul film tersebut sama dengan judul catatan ini, Taare Zameen Par, Every Child is Special.

Dalam opening film ini penonton disajikan rentetan huruf dan angka yang berantakan dan membuat mata sakit. Lalu disusul oleh ekpresi guru yang sedang membacakan nilai murid-muridnya. Ketika membacakan nilai untuk murid yang pandai, mata yang bersinar dan senyuman ramah hinggap di wajah sang guru. Tapi, saat giliran membacakan nilai dalam kategori buruk, sang guru malah mengernyitkan dahi dan menggelengkan kepala. Sebuah opening yang sulit ditebak, pikir saya saat pertama kali menonton film ini.

Film ini menceritakan tentang seorang anak bernama Ishaan Awasthi. Ishaan adalah anak sembilan tahun yang sudah dua kali tidak naik kelas. Di sini diceritakan bagaimana nakalnya seorang anak sembilan tahun. Ishaan dikarakterkan sebagai anak yang memiliki dunianya sendiri. Di dalam kelas hanya melamun, melihat keluar jendela dan mengimajinasikan banyak hal.

Tulisan tangan Ishaan tidak bisa terbaca, bahkan nyaris tidak menyerupai tulisan. Ishaan juga tidak bisa membaca dan berhitung. Pernah Ishaan disuruh oleh gurunya untuk membaca, tapi yang dia katakana, “Huruf-huruf ini menari, Bu. Saya tidak bisa membacanya.”

Ishaan juga tidak pernah mengerti ketika diperintah untuk membuka sebuah halaman buku. Rentetan kekurangan Ishaan membuatnya sering dihukum keluar kelas. Jadi, dalam bahasa awamnya, banyak yang mengatakan Ishaan bodoh dan nakal. Eit, meskipun begitu, Ishaan pandai menggambar. Superb! Itu kata yang tepat untuk setiap goresan cat airnya.

Hal ini berbeda jauh dengan Yohan Awasthi, kakak Ishaan, yang pandai di setiap pelajaran dan unggul dalam olahraga tenis. Banyak yang tidak percaya bahwa Ishaan adalah adik kandung Yohan.

Puncak kesedihan film ini (menurut saya) adalah ketika Ayah Ishaan, sosok yang selalu menginginkan kesempurnaan dari anaknya, memasukkan Ishaan ke dalam asrama khusus anak laki-laki. Keputusan ini diambil karena Sang Ayah menganggap kenalakan Ishaan sudah tidak bisa ditolerin. Di saat ini, meskipun Ishaan menangis dan membujuk akan menjadi anak yang baik, Ibu Ishaan tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menuruti kehendak suaminya.

Di dalam asrama, perkembangan Ishaan jauh dari yang diharapkan. Ishaan menjadi anak yang tertinggal dengan yang lainnya. Temannya hanya satu, Rajan, anak manager asrama yang menyandang disabilitas tubuh (Rajan menggunakan kaki kanan palsu dan alat pengangga tubuh/kruk).

Ishaan sering mendapatkan hukuman, nilai nol di setiap pelajaran dan selalu menjadi ejekan teman-temannya.  Tak ada yang tahu di mana letak kekeliruan dalam sistem pengajaran yang diterima Ishaan. Tak ada yang memedulikan apa yang salah dalam sistem belajar Ishaan.

Di tengah cerita, datanglah seorang guru Kesenian Kontemporer yang baru, Ram Shankar Nikumbh yang diperankan oleh Aamir Khan. Guru Nikumbh awalnya mengajar di SLB C Tulip (SLB untuk penyandang grahita). Berbeda dengan guru sebelumnya yang selalu memukul buku-buku jari Ishaan dengan penggaris, guru Nikumbh datang ke kelas dengan memainkan seruling dan menari bersama murid-muridnya. (Bollywood banget ini mah :D)

Saat guru Nikumbh membagikan kertas untuk menggambar, Ishaan yang tadinya suka menggambar malah membiarkan kertas itu dikumpulkan dalam keadaan kosong. Guru Nikumbh merasakan keanehan dengan Ishaan. Dia sering melihat Ishaan dihukum dan merasa ketakutan. Lalu, Rajan sebagai teman dekat Ishaan menceritakan masalah Ishaan bahwa Ishaan tidak bisa baca tulis dan dikirim orangtuanya ke asrama sebagai tanda hukuman atas “kenakalan”nya.

Guru Nikumbh akhirnya mencari tahu letak kesulitan Ishaan dalam belajar. Dia memeriksa tulisan Ishaan yang sangat buruk. Dalam tulisannya, Ishaan selalu salah dalam menulis ejaan, tidak mampu membedakan b dan d, m dan w, u dan n, L dan 7, dan lainnya.

Setelah diidentifikasi, dalam dunia pendidikan khusus namanya asasmen, ternyata Ishaan mengalami kesulitan dalam mengenal huruf atau bisa dikatakan Ishaan adalah anak penyandang disleksia.

Guru Nikumbh mendatangi orang tua Ishaan untuk memberitahukan kondisi Ishaan yang sebenarnya. Tapi kedua orang tuanya tidak terima, terutama ayahnya. Kedua orang tua Ishaan tidak ingin dikatakan sebagai orang tua yang tidak memerhatikan anaknya.

Guru Nikumbh meminta kepada kepala sekolah agar Ishaan diperkenankan ujian lisan, bukan tulisan. Dan guru Nikumbh memberikan pelajaran intensif  kepada Ishaan untuk melatih keseimbangan sensorik dan motorik Ishaan, Agar Ishaan lebih bisa konsentrasi dan tidak lagi melihat huruf-huruf itu menari.

Alhasil, guru Nikumbh berhasil membangkitkan semangat belajar Ishaan. Ishaan yang tadinya merasa tidak ada yang mengerti dia, akhirnya merasakan hangatnya perhatian seorang guru. Tidak hanya itu, ayah dan ibu Ishaan mulai memerhatikan Ishaan dan tidak membedakan Ishaan dengan Yohan, kakaknya yang lebih pintar.

Kisah ini ditutup dengan menangnya Ishaan dalam kontes melukis antara murid dan guru. Ishaan tak bisa berhenti menangis saat tahu gambarnya menjadi juara pertama, sedangkan gambar guru Nikumbh menjadi juara kedua. Yang lebih mengharukan, ternyata guru Nikumbh melukis wajah Ishaan yang sedang tertawa.

***

What an amazing story it is!

Sebuah tontonan yang tak hanya menghibur, tapi kental akan pelajaran bagi para orang tua dan calon orang tua. Dari film ini saya belajar bagaimana memosisikan anak sebagai makhluk Allah. Maksudnya, menyadari bahwa setiap makhluk adalah berbeda, setiap makhluk adalah istimewa, pun itu anak kita nantinya.

Memang semua orang tua menginginkan anaknya menjadi yang terbaik dan mendapatkan yang terbaik. Sama seperti obsesi saya kepada keponakan saya. Tapi, perlu sedikit rasa sabar dan sadar bahwa yang terbaik menurut kita sebagai pendidik belum tentu baik untuk mereka yang dididik.

Belum lagi jika memang anak tersebut membutuhkan kekhususan, seperti Ishaan yang disleksia. Sebagai orang tua hendaknya mampu mengasesmen anaknya sendiri sekalipun orang tua tidak memiliki ilmu asasmen secara formal. Ya, paling tidak mengonsultasikannya pada orang yang kira-kira mengerti tentang pendidikan anak.

Saya jadi teringat kalimat yang dikatakan oleh dosen saya sebagai landasan kami (guru pendidikan khusus) dalam membimbing murid-murid kami.

“Jika saya tidak dapat mengerti dengan cara yang Bapak/Ibu ajarkan, dapatkah Bapak/Ibu mengajarkan saya dengan cara yang dapat saya mengerti.”

Dari dosen ini saya belajar bagaimana mengendalikan emosi dan obsesi seorang guru maupun orang tua, bahwa tidak ada anak yang sama, secara kemampuan maupun kekurangan. Mempelajari atau menurut bahasa saya adalah melebur dalam dunia anak tersebut adalah hal bijak yang dapat kita lakukan. Tidak hanya memperoleh kedekatan emosional, tapi kita juga dapat memberikan penanganan khusus sesuai kekhususan setiap anak. Khusus di sini bukan berarti si anak harus disabilitas, cacat, atau berkekurangan. Bukankah setiap orang berkekhususan? :)

Jika dibayangkan, memang sulit menerapkan ini pada sekolah regular yang mayoritas dihuni oleh anak normal pada umumnya. Tapi setidaknya orang tua yang berperan sebagai pendidik pertama harus mampu menerapkan ini.

Saya tidak ingin memperpanjang kata, karena saya pun belum punya anak (hehe, nikah aja belum :P). Ya, paling tidak film ini adalah rekomendasi terbaik untuk para orang tua, guru, calon guru, dan calon orang tua.

***

“Bukalah mata kalian, lihat bagaimana aku berlari, bagaimana aku berputar ke sisi lain.

Sekali aku menunjukkan duniaku, aku akan mengejutkan semua orang.”
Dan benar saja, seluruh mata membelalak saat lukisan Ishaan mampu mengalahkan lukisan guru Nikumbh. Dan ternyata, guru Nikumbh juga penyandang disleksia. Surprise!

-Lisfatul Fatinah Munir-
Tanah Merah,
Kamis malam, 15 Desember 2011
Posted by Lisfatul Fatinah

Memanusiakan Manusia

“Ooh, berarti kamu sering ketemu anak yang gak normal ya?”“Yang ngajar anak-anak idiot ya?”“Murid kamu anak-anak yang ileran dong? Yang gak bisa ngapa-ngapain itu ya.”  

Tiga kalimat di atas hanyalah segelintir kalimat yang sering saya dengar ketika ada yang menanyakan kegiatan saya akhir-akhir ini. Memang sudah tiga bulan lebih saya dengan sengaja berkecimpung di dunia anal luar biasa. Yakni dunia yang secara awan dikenal sebagai dunia anak-anak yang tidak normal, idiot, ileran, buang air di tempat, dan sederet identifikasi negative lainnya.

Kalau boleh jujur, saya sangat jengkel kalau ada merespon istilah anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus (ABK) dengan hal-hal yang serba kekurangan. Kalau boleh bersikap jutek, pasti saya langsung mengatakan, “Memangnya kamu normal?” Nah, dalam catatan kali ini saya akan sedikit sharing mengenai makna dunia yang baru saya temui ini, yang menurut masyarakat awan identik dengan anak-anak yang cacat dan berkelainan fisik atau mental.

Memang, sebelum masuk ke dunia formal anak berkebutuhan khusus (ABK), saya sudah terbiasa dengan ABK. Di rumah saya terdapat dua orang ABK; kakak kedua saya yang menderita kretin, serta keponakan saya yang seorang pernyandang autistik dan ADHD (hiperaktif). Tapi, apakah kita harus serumah dulu dengan ABK, baru kita mau dan bisa memahami hakikat keberadaan mereka. Jawabannya: tidak. Justru pemahaman ini bisa dengan mudah kita dapatkan seandainya kita mau mengubah paradigma kita tentang mereka.

***

Kita semua sama. Itulah hal yang pertama kali saya tanamkan dalam pikiran saya, sehingga ketia bertemu dengan ABK saya menganggap mereka sama dengan saya, sama juga dengan kalian. Dan bukankah dalam Islam sudah jelas bahwa semua manusia sama. Bahkan, penyetaraan derajat manusia lebih ditekankan hingga di hadapan Allah. Dan hanya ketakwaan manusialah yang menjadi pembedanya. Jadi, untuk apa kita merasa berkelebihan dari mereka?

Dengan nalar seperti inilah saya belajar bagaimana “memanusiakan manusia” sesuai hakikatnya, bahwa manusia diciptakan Allah untuk beribadah dan yang membedakan manusia yang satu dengan yang lainnya hanyalah ketakwaannya.

Hal ini juga yang mengantarkan saya pada inti salah satu ayat al-Quran (saya lupa surat apa dan ayat berapa) yang menyatakan bahwa sesungguhnya manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling berhubungan dalam rangka saling membutuhkan.

Bertolak pada semboyan Indonesia yang terukir dalam pita yang digenggam garuda, Bhineka Tunggal Ika, Prof. Dr. Muljono Abdurrahman, dosen yang perawakan dan kecerdasannya mengingatkan saya kepada almarhum K.H. Abdurrahman Wahid, mengatakan bahwa nilai memanusiakan manusia berada pada semboyan ini. “Berbeda tetapi tetap satu”, memiliki makna bahwa apapun perbedaan yang ada di antara manusia, mengajak kita untuk tetap bersatu menuju satu titik kesamaan yakni Tuhan. Selaras dengan tujuan diciptakannya manusia, yakni beribadah kepada Allah.

Memanusiakan manusia, menjadikan mereka, ABK, sama dengan kita. Bahwa mereka tetap manusia, sama seperti kita. Bahwa kekurangan mereka bukan untuk dikasihani. Bagi saya yang melankolis kronis, merekalah tempat kubelajar banyak hal. Memahami setiap individu yang berbeda dan istimewa dengan segala keterbatasan yang dimilikinya.

Selamat memanusiakan manusia. Semoga kita bisa belajar memandang sesuatu dari sisi lain, dari sudut mata sesama manusia, sesama makhluk Tuhan yang punya keterbatasan.



Oleh: Lisfatul Fatinah Munir


Tanah Merah,
Sabtu pagi 15 Oktober 2011
15 October 2011
Posted by Lisfatul Fatinah

Panji: Potret Naufal yang Lain

Pertama kali aku melihatnya di depan Masjid Nurul Irfan di kampusku, ketika aku hendak shalat dhuha. Tubuhnya tinggi, nyaris sama dengan rata-rata tubuh mahasiswa tingkat pertama di kampus ini. Kalau tidak salah, sudah ada kumis tipir di antara hidung dan bibir atasnya. Seingatku, dulu ia mengenakan kaos merah lengan pendek dengan celana jeans yang sudah usang. Dari jauh sudah nampak bahwa dia berbeda dari yang lainnya.

Awalnya, aku kira dia mahasiswa, sama sepertiku dan yang lainnya. Tapi ketika aku memerhatikannya lebih lekat lagi dari kejauhan, jelas dia bukan mahasiswa ataupun siswa yang masih bersekolah di Labschool UNJ (sekolah elite binaan UNJ).

Siangnya, ketika aku ingin shalat zuhur di masjid yang sama, lagi-lagi aku melihatnya. Masih dengan pakaian tadi pagi, tapi pakaiannya terlihat lebih kotor. Wajahnya juga semakin kusam, tertutup debu jalanan.
Saat berjalan mendekati masjid, aku melihat dia sedang tertawa dengan seorang senior berjilbab panjang.

Keesokan harinya, di waktu dhuha, aku juga melihat dia. Kali ini bukan di depan masjid, melainkan di depan gedung fakultasku. Dan kali ini aku melihatnya lebih dekat. Karena penasaran, aku bertanya-tanya kepada yang lain tentang sosok itu. Panji, itu namanya yang aku tahu dari seorang teman. Menurut cerita temanku, panji adalah seorang individu berkebutuhan khusus (IBK). Entahlah dia grahita (kemampuan intelektual di bawah rata-rata) atau autis.

Panji, sosoknya mengingatkanku pada Naufal, keponakanku yang juga seorang berkebutuhan khusus.  Bukan berlandaskan rasa iba  sehingga aku ingin sekali mengenalnya dan menjadi "teman"-nya di sini, sama sekali bukan. Melihat sosoknya, aku seakan dekan dengan keponakanku sendiri, seakan Naufal pun ada di sana. Ya, melihat Panji seakan melihat Naufal dalam potret berbeda.

Ingin sekali bisa berdekatan dengan Panji. Mengenal sosok Panji sedekat aku mengenal keponakanku. Karena aku biasa berkomunikasi dengan pribadi seperti itu, maka aku berani ada di dekatnya. Ya, itu yang aku katakan ketika beberapa teman enggan mendekati Panji.

(... bersambung)


Oleh: Lisfatul Fatinah Munir
10 October 2011
Posted by Lisfatul Fatinah

Semua Bermula dari Rumah

Aku percaya bahwa semua kisah bermuara pada sebilik bangunan yang menjadi tempat berlindung kita, yang bernama rumah. Sama dengan cerita kalian, ceritaku juga bermula dari rumah bernuansa merah jambu dengan teras hijau teduh.

Rumah. Satu bangunan inilah yang seharusnya kalian kunjungi jika ingin mengetahui apa yang menjadi alasan dari semua hal yang aku putuskan, termasuk perihal kepindahanku dari Farmasi UIN Jakarta ke Pedidikan Khusus (Special Education) UNJ. Rumah. Di sana kalian akan menemukan jawabannya.

Di dalam bangunan yang cukup luas ini aku hidup sebagai anak terakhir. Di dalam rumah ini aku hidup dengan kedua orang tuaku, kakak pertamaku, kakak keduaku, juga dengan keponakanku. Sekilas, keadaan rumahku memang tak berbeda dengan rumah-rumah lainnya. Sebuah rumah yang diisi oleh sebuah keluarga yang “tenang”.

Di dalam rumah yang tak banyak diisi oleh pernak-pernik ini, aku menemukan apa yang seharusnya aku putuskan setahun yang lalu, mejadi mahasiswa Pendidikan Khusus di universitas negeri di negeri ini. Melihat kondisi kakak keduaku dan juga keponakanku yang merupakan individu berkebutuhan khusus, sepertinya inilah jawaban dari kebingunganku selama setahun kuliah di Farmasi.

Sulastri, kakak keduaku, seorang kretin (kerdil). Di usianya yang menginjak 27 tahun, kakakku memiliki tubuh hanya setinggi pinggu orang dewasa. Cara berbicaranya juga belum jelas. Sikapnya pun masih seperti anak-anak, suka bermain boneka, masak-masakan, dan mainan-mainan yang dimainkan anak kecil.

Keponakanku, anak dari kakak pertamaku, Naufal nama panggilnya. Naufal, cucu pertama kedua orang tuaku adalah seorang penyandang autistik dan hiperaktif. Sejak berusia dua tahun, tanda-tanda autistic mulai muncul di dirinya. Naufal tidak menunjukkan perkembangan motoriknya di usia yang seharusnya dia sudah bisa berbicara dan berjalan. Hingga di usianya yang kesebelas tahunpun dia tidak bisa berbicara selayaknya anak yang lain.

Dimulai dengan tekad untuk mendedikasikan diriku kepada dunia yang sudah kukenal sejak kecil, “Dunia Luar Biasa”, aku memutuskan untuk keluar dari Farmasi UIN Jakarta dan memilih melanjutkan studiku di Pedidikan Khusus UNJ. Memang awalnya berat, ketika aku harus rela meruntuhkan segala cita-cita yang kubangun; menjadi apoteker dan memiliki klinik pribadi. Tapi demi hidupku yang lalu dan yang akan datang, aku kuatkan langkah ini untuk terus menembus keegoisan yang pernah aku miliki.

“Tidak ada yang sulit ketika segalanya dimulai dengan tekad yang kuat dan niat yang lurus.”

Meski harus meninggalkan dunia ilmiah dan ke-IPA-an yang sudah aku cintai selama duduk di bangku SMA, aku ikhlaskan diriku untuk mereka yang berkebutuhan khusus. Sebelum resmi menjadi seorang pendidik anak berkebutuhan khusus (ABK) aku harus sudah bisa menjalankan proyek pribadiku: mengajarkan keponakanku dan mendidiknya agar bisa hidup mandiri selayaknya anak normal pada umumnya.

Dan untuk menyeimbangkan keadaan sekarang dengan yang akan datang, aku merenovasi target masa depanku. Jika dulu aku bertekad ingin membangun apotek dan klinik, kini aku bertekad “Aku harus membangun yayasan pendidikan khusus yang menampung ABK yang tidak mampu, serta membangun badan training dan penyuluhan untuk daerah-daerah terpencil yang di dalamnya terdapat ABK yang diperlakukan tidak sebagaimana mestinya (dipasung atau dikandang). Aku juga ingin menjadi duta Indonesia untuk internasional sebagai duta Pendidikan Khusus.”

Semoga Allah menguatkan langkahku untuk mencapai segala cita-citaku.

Semua bermula dari rumah, maka kukuatkan tekad ini dari rumah. Dari langkah pertamaku meninggalkan teras hijau, semoga Allah memudahkan dan menguatkan jalanku. Amin.


~Lisfatul Fainah Munir
Posted by Lisfatul Fatinah

Keliling Kampus Seharian, Sebuah Perjuangan Demi Adik-Adik Spesial

Hai, teman-teman! Masih ingat dengan kegiatan bakti social yang sedang dicanangkan oleh BEMJ Pendidikan Luar Biasa UNJ yang bernama SEOC (Special Education on Charity)?

Hari ini, 12 September 2011, saya dan panitia yang lainnya melakukan aksi pencarian dana di sekitar kampus. Selama satu hari ini, kami mengelilingi kampus sambil membawa kotak-kotak yang sudah siap menjadi tempat penampungan uang dan barang-barang yang akan disumbangkan. Dari tiga tim yang menyebar ke seluruh penjuru kampus, berikut adalah hasil yang kami dapatkan.
1. Uang sebesar : Rp.867.800
2. Barang berupa :
    Buku tulis kecil : 23 buah
    Buku tulis besar : 1 buah
    Pensil : 2 buah
    Pulpen : 1 buah

Dengan hasil pencarian dana selama satu hari yang lebih dari cukup, kami mengucapkan terimakasih kepada kakak-kakak dan rekan-rekan kampus yang mau berkontribusi dalam acara ini. Terimakasih juga kepada teman-teman panitia yang telah mau turun ke jalan demi tercapainya pelaksanaan kegiatan ini. Besok kita beraksi lagi, okay! ;)


Setitik kepedulian kalian, sangat berarti bagi adik-adik kami!
Untuk teman-teman PLB UNJ, tunjukan perjuangan kita dengan aksi nyata! ^_^
SHOW YOUR CARE!


Bagi teman-teman yang belum tahu apa itu SEOC, silakan cari tahu di sini ^_^
12 September 2011
Posted by Lisfatul Fatinah
Tag :

SEOC [Special Education on Charity] 2011

SEOC [Special Education on Charity] 2011
23-24 September 2011
Bersama SLB B/C Mini Bakti Jakarta Timur

SEOC adalah program tahuan BEMJ Pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri Jakarta. Program ini berisi kegiatan bakti sosial yang kami lakukan kepada Sekolah Luar Biasa di sekitar Jakarta. Bakti sosial yang kami lakukan dapat berupa apapun. Salah satunya seperti tahun 2011 ini, kami melakukan renovasi SLB B/C Mini Bakti Jakarta Timur dengan mengecat ulang ruang kelas, pemberian rak buku, buku-buku bacaan, dan mainan edukatif.

Bagi teman-teman yang ingin berkontribusi dalam kegiatan ini, dapat menyumbangkan:

*Buku bacaan
*Media pembelajaran
*Mainan edukatif
*Alat tulis
*Uang

Sumbangan dapat diserahkan ke BEMJ PLB UNJ mulai tanggal 5-20 September 2011
Untuk uang dapat transfer melalui Rek. BNI 0203530709 atas nama Oryza Sativa atau diserahkan langsung kepada Oryza Sativa di BEMJ PLB UNJ.


CP: Ory-083875490860 (konfirmasi transfer uang ke nomor ini)
09 September 2011
Posted by Lisfatul Fatinah
Tag :

Kumulai dengan Cinta

Dunia Luar Biasa
..., inilah nama blog baru saya.  Sebuah blog yang sedang Anda kunjungi di dunia maya ini. Sebagaimana judulnya, blog saya yang satu ini berisi "cerita-cerita luar biasa" tentang dunia luar biasa.


Dalam blog ini, saya akan berbagi cerita maupun ilmu dari dunia yang saya tempati sekarang. Sebuah dunia yang tak biasa, yang penuh dengan kisah-kisah luar biasa yang insya Allah dapat memberi banyak hikmah.


Bismillahirrahmanirrahim. Kumulai penulisan blog ini dengan cinta, dengan kisah kaya cinta yang akan memupuk cinta kita pada sesama makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Kumulai dengan cinta, karena aku percaya, Tuhan memberkahi segalanya atas nama cinta.


Selamat berselancar, Kawan :)


Oleh: Lisfatul Fatinah Munir
Posted by Lisfatul Fatinah
Tag :

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -